"Apa aku boleh meminta calon istrimu menjadi pengasuh si kembar? Kira-kira... Ara bisa, tidak?" Alana menatap Benigno dan Arabella yang duduk bersampingan. Di sana Arabella tersenyum manis dan mengangguk. "Bisa Kak, Ara bisa kok," jawab gadis itu dengan wajah antusias. "Iya Mom, kita mau dijagain sama Kak Ara saja. Dijagain sama Paman Ben kita kayak dijaga sama Mama tiri, dimarahin terus!" seru Kenzo melirik sinis pada Benigno. Arabella tersenyum geli mendengarnya, ia sudah dua hari tinggal bersama dengan Benigno. Laki-laki itu memang dingin dan jarang sekali bersuara. "Kak Ara, ayo main di rumah kita," ajak Kenzi menarik lengan Ara. "Sayang, kalian pulang dulu ya, dirapikan mainannya setelah itu ajak kembali Kak Ara ke sini, paham?!" seru Alana. Anak-anak itu cemberut, namun mereka memegangi lengan Alana. "Ya udah, ayo Mom!" ajak Kenzo. "Iya Sayang." Alana pun bangkit dari duduknya, ia kembali menoleh pada Arabella. "Ara, aku tunggu di rumah ya," ujar Alana. "Eh... I-iya
Alex berlari masuk ke dalam rumahnya, di sana nampak di kembar yang berdua duduk di anak tangga paling bawah dan mereka membawa boneka maninya masing-masing dengan wajah sedih. "Kembar," lirih Alex berlari masuk ke dalam sana dan mendekati si kecil. "Wahhh... Daddy!" pekik Kenzo melihat kepulangan Papanya. "Dad... Daddy, Mommy pingsan. Tidak tahu kenapa. Padahal tadi habis bincang-bincang sama kita. Mommy lagi jagain kita terus tiba-tiba pingsan!" Kenzi mengadu pada sang Papa. "Iya Sayang, Kenzi dan Kenzo di sini dulu ya... Daddy mau menemuin Mommy dulu, okay?!" Mereka berdua menganggukkan kepalanya. Alex pun gegas berlari ke lantai dua menuju kamarnya. Di sana, ia benar-benar melihat Alana terbaring di atas ranjang sendirian. Arabella tengah membuatkan teh hangat untuk Alana di lantai satu. Alex berjalan cepat mendekati Alana yang kini sudah tersadar, ia menatap Alex yang nampak berdiri di ambang pintu kamar. "Ya ampun Sayang, apa yang terjadi, hem? Kenapa Sayang?" Alex lang
'Nyonya Alana kehilangan janinnya. Karena janinnya yang rentan dan Nyonya Alana yang sedang tidak baik-baik saja.' Alana meringkuk memeluk bantal besar di atas brankar kamar rumah sakit saat teringat kata dokter tadi. Ia diam menatap ke arah jendela kamar itu. Di samping Alana, ada Alex yang mengusap punggung Alana dan sesekali mengecup pelipisnya seraya membisikkan kata-kata untuk saling menguatkan satu sama lain. "Sayang, sudahlah... Jangan terlalu dipikirkan. Kita juga sama-sama kehilangan, mungkin memang belum anugerah untuk kita," ujar Alex memeluknya. Alana memejamkan kedua matanya dan memeluk balik sang suami. "Kembar pasti kecewa," lirih Alana menyeka air matanya. "Tidak akan, mereka anak-anak yang pintar. Mereka berdua pasti tahu dan paham bagaimana perasaanmu, jangan menangis, Alana...."Alana menarik lengan Alex dan menjadikannya sandarannya. Laki-laki itu mengusap rambut panjang Alana dan mengecup pucuk kepalanya dengan sangat lembut. "Semua karena aku yang tidak bi
Kondisi Alana perlahan sudah mulai membaik dan pulih. Semuanya berkat perhatian Alex dan juga setiap hari ia selalu menguatkan Alana untuk tetap bahagia bersama dengannya. Tapi siang ini, Alex meninggalkannya karena kini ia membuat janji dengan seseorang. Alex dininta untuk menemui seseorang yang telah mencarinya selama selama beberapa bulan. "Tuan, Nyonya ada di ruangan VIP," ujar Benigno yang tengah berjalan mendekatinya. "Ya. Apa dia sudah dari tadi?" "Belum Tuan." Alex mengangguk, ia segera berjalan menuju ruang VIP dan membuka pintu ruangan tersebut. Di sana, seorang wanita terlihat tersenyum manis menyambutnya dengan penuh senyuman. "Alex... Akhirnya, kita bertemu juga!" Renata berlari kecil mendekati sang putra dan memeluknya dengan sangat erat. Begitu erat seperti sama halnya Alana memeluknya saat Alex pergi beberapa hari. Namun Alex perlahan melepaskan pelukan wanita itu. "Mau apa Mama menemuiku ke sini? Apa lagi yang Mama inginkan?" tanya Alex datar tanpa ekspresi.
Setelah bertahun-tahun Alex dan Alana tinggal dan hidup di Prancis, mereka membangun rumah tangga yang luar biasa, damai, indah, dan bahagia. Si kembar juga tumbuh menjadi anak-anak yang hebat dan pintar. Mereka sudah besar dan hendak memasuki sekolah menengah pertamanya. "Mom, Dad, datang ya... Kita tidak mau sekolah lagi kalau Mommy dan Daddy tidak datang. Ini acara penting pokoknya, kita mau pamer bakat!" seru Kenzo dan Kenzi memeluk Alex dan merayu-rayu Papanya. "Acara apa sih, Sayang?" Alana mendekati mereka berdua. "Itu Mom, kita berdua kan kapan hari dipilih sebagai perwakilan perlombaan antar kota, jadi kita menang. Besok ada acara di sekolah, Mommy sama Daddy harus datang pokoknya!" jelas Kenzi menatap kedua orang tuanya dengan tatapan penuh keyakinan. "Daddy sibuk, Sayang," sahut Alex menatap mereka berdua. "Kapan sih Daddy pernah tidak sibuk! Ini waktu buat anak loh, Dad!" Kenzo berkacak pinggang dengan wajah manyun di depan Papanya. "Lalu?" Alex menaikkan kedua alis
"Kalian benar-benar hebat! Anak-anak Daddy yang sangat luar biasa!" Alex memeluk si kembar di depan gerbang sekolah mereka. Baru saja Alex dan Alana menyaksikan kedua putranya menerima penghargaan dari prestasi mereka yang luar biasa. "Apa kita bilang Dad, Daddy dan Mommy tidak akan pernah kita buat menyesal, kok!" seru Kenzi tersenyum manis menunjukkan deretan gigi putihnya. "Kalian memang yang terbaik, Sayang...." Alana mengecup pipi Kenzo dan Kenzi. "Ihhhh Mommy! Jangan kecup-kecup, nanti kalau pacarnya Kenzo tahu gimana?!" protes anak itu memasang wajah cemberut. "Pacar? Yang mana pacarnya Kenzo? Cantikan mana sama pacarnya Daddy?" Alex beralih merangkul pundak Alana. "Bentar ya... Bentar!" Anak itu berlari masuk lagi ke dalam area sekolah. Di sana, Alex dan Alana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sedangkan Kenzi, ia masih setia diam saja di sana bersama Mamanya. Memang dari kedua anaknya, hanya Kenzo yang paling legend dan banyak sekali acaranya. "Pacarnya Kenzi
"Aku ingin kita nanti berbesan saja, supaya hubungan keluarga kita semakin erat." Seruan Rivaldo dengan jelas, Alex dan Alana hanya tersenyum-senyum saja. Itu semua menjadi guyonan sekaligus hal serius tentang masa depan yang mereka rencanakan untuk anak-anaknya. "Aku rasa tidak akan semulus itu Val, anakku ada dua, mereka kembar, dan keduanya sama-sama menyayangi Ayumi," ujar Alex pada Rivaldo. Di sana, sahabatnya itu nampak terdiam dan menganggukkan kepalanya. "Aku pikir juga begitu, tapi putriku selalu menanyakan Kenzo setiap hari, kau tahu!" seru Rivaldo lagi."Namanya juga anak-anak," sahut Alana terkekeh. "Begitulah Papinya Ayumi Kak, selalu menyeriusi apapun yang Ayumi katakan. Padahal mereka masih bocah, impian mereka kan juga masih panjang!" sahut Tery pula. Di sana, Kenzi memperhatikan Ayumi, anak itu berpikir jauh apakah Ayumi pernah mempertanyakan dirinya. "Ayumi memangnya pilih siapa, Sayang? Kak Kenzo apa Kak Kenzi?" tanya Alex menatap anak perempuan cantik yang d
Selagi hari libur sekolah, Alex mengajak Kenzo ke kantornya dan mereka hanya berdua saja. Kenzi sibuk dengan les fisika dan biologi yang sudah ia geluti beberapa bulan ini. Kenzo tidak mau kalah dengan adiknya, ia juga ingin belajar bagaimana menjadi orang sehabat Papanya."Dad, Kenzo ngapain?" tanya anak itu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Duduk saja dulu, nanti Daddy beri tugas ya, Sayang." "Iya Dad." Kenzo duduk di sofa besar, sampai tiba-tiba saja pintu ruangan Alex terketuk. Di sana nampak seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan itu bersama dengan Benigno. Laki-laki dengan name tag Vincent itu, nampak membawa gulungan kertas panjang. "Oh kalian sudah datang!" seru Alex tersenyum pada mereka. Kenzo pun ikut bangkit dari duduknya dan bersalaman dengan laki-laki itu. "Ya Pak Alex, oh... Tunggu, ini putramu?" tanya Vincent menunjuk ke arah Kenzo. "Heem, ini putraku. Kembarannya tidak ikut, dia sibuk dengan les fisikanya," jelas Alex sebelum ia menepuk pundak Kenzo. "Ayo kena
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu