"Dok, bagaimana keadaan istri saya?!" Alex berjalan mendekati dokter yang baru saja keluar dari dalam ruangan di mana Alana diperiksa. Laki-laki berjubah putih itu melirik ke arah Glad yang juga menatapnya sebelum ia menepuk pundak Alex. "Mari ikut saya, Tuan," ajak dokter itu pada Alex. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan, di sana Alex langsung duduk dan menunggu dokter. Helaan napas berat terdengar dari bibir dokter tersebut. "Tuan, kondisi Nyonya Alana sepertinya cukup buruk untuk terus dipaksakan. Mohon untuk tidak memaksakan sesuatu padanya supaya Nona Alana tidak mengingat-ingat banyak hal, dia bisa mengalami sakit kepala yang hebat, dan sangat menyakitinya," ujar dokter tersebut. Alex mengembuskan napasnya pelan. "Tadi ada teman lamanya yang muncul, dia begitu syok dan menangis saat Alana tidak mengenalinya dan berusaha keras mengingatnya, karena itu Alana merasa sakit kepala dan pusing, dok," jelas Alex. "Tapi Tuan, Nyonya Alana bisa saja kembali ingatannya karena seb
"Mommy mana sih, kok belum pulang-pulang? Jangan-jangan Mommy dibuang sama Daddy."Ocehan itu terdengar dari bibir Kenzo, ia sudah jengah mendengar adik kembarannya yang menangis menunggu sang Mama. Bersama Tery dan Benigno, Kenzi duduk di teras menunggu Alex dan Alana. Tidak biasanya mereka pergi hingga nyaris tengah malam belum pulang-pulang. "Mommy...." Kenzi memeluk Tery dan sesenggukan. "Sudah, jangan nangis lagi. Kan ada Kak Tery di sini, ada Paman Benigno juga," bujuk Tery mengusap lembut punggung Kenzi. "Tidak suka Paman Benigno, Paman payah! Nakal," cicit bocah itu. Dari belakang mereka nampak Kenzo yang berjalan mendekat membawa boneka beruang yang ditenteng kepalanya. "Paman, Kenzi kok nangis terus sih?" tanya Kenzo dengan polosnya. Benigno merotasikan kedua matanya, setengah jengah juga dengan Kenzo yang tidak merasa bersalah sama sekali. "Adikmu tidak akan menangis kalau kau tidak menjitaknya!" pekik Benigno dengan kesal. "Hah? Masak iya? Kayaknya tadi pelan, cum
'Mama ingin mengajak Alana dan anak-anakmu makan malam bersama Papa juga, pulanglah ke Madrid!'Embusan napas berat terdengar dari bibir Alex kala ia mengingat kata-kata Mamanya yang pagi tadi menghubunginya. "Tuan Alex baik-baik saja?" "Tidak," jawab Alex tanpa menatap Benigno. Benigno beranjak bangun dari duduknya dan meletakkan beberapa dokumen di atas meja.Keresahan dan semua rasa yang Alex rasakan saat ini mampu Benigno lihat hanya dengan ekspresi dan mood-nya. "Apa aku harus benar-benar mengajak Alana bertemu Mama dan Papaku? Mereka meminta aku pulang ke Madrid," ujar Alex meminta pendapat pada Benigno.Kursi di hadapan meja Alex pun ditarik dan diduduki oleh Benigno. Laki-laki seusia Alex itu langsung mengangguk. "Feeling saya mengatakan kalau Tuan dan Nyonya besar akan memberikan kabar bahagia pada Tuan." Benigno tersenyum lembut."Cih, aku tahu selicik apa Mamaku. Mungkin saat ini dia punya rencana besar." Alex kembali menerka-nerka. "Aku bersumpah tidak akan memberikan
"Aku takut bertemu Papa kalau harus kembali ke Madrid. Lebih baik kau ke sana sendiri tanpa aku." Alana menundukkan kepalanya dan menggeleng menolak ajakan Alex yang setia sejak tadi membujuknya. Bahkan kini Glad juga bersama dengan mereka berdua. Gadis itu memperhatikan Alex yang berlutut di hadapan Alana memegang kedua lututnya dan membujuk penuh kesabaran. Hal mustahil yang tidak pernah Glad bayangkan sebelumnya. "Ayolah, Sayang...." Alex menundukkan kepalanya di atas punggung tangan Alana. Glad merasa kasihan, bagai sia-sia Alex sejak tadi membujuknya kalau Alana sampai kini pun masih diam menggeleng-gelengkan kepalanya. "Alana, ayolah... Apa kau tidak kasihan pada Pak Alex? Sejak tadi dia membujukmu, sekali ini saja. Bukannya Pak Alex laki-laki yang baik dan selalu menuruti apa yang kau inginkan?" tanya Glad ikut membujuk Alana. Wajah Alana terangkat menatap wajah Alex yang cemas dan penuh harap. "Mau ya, Sayang," bujuk Alex menggenggam erat tangan Alana. Alana yang diam,
Alana dan Alex kembali ke Barcelona secepatnya. Mereka berempat pulang ke rumah Alex yang megah, di mana anak-anak sangat senang tinggal di sana. Kenzo dan Kenzi sudah tidur sejak perjalanan pulang. Hingga Alana kini duduk sendirian di depan dinding kaca lantai dua di rumah Alex, ia sibuk berperang dengan pikirannya yang tidak bisa tenang memikirkan orang tua Alex. 'Nyonya Renata memberikan aku dan Alex restu, kami akan menikah dan bahagia. Bukannya itu yang aku nanti-nantikan selama ini?' batin Alana menundukkan kepalanya dan gadis itu kembali tersenyum. Suara derap langkah kaki membuat Alana menoleh ke belakang di mana Alex yang kini berjalan menaiki anak tangga dan laki-laki itu menatapnya penuh senyuman. "Sayang, aku pikir kau sudah tidur," ujarnya melangkah mendekat dan duduk di samping Alana seraya memeluk pinggang Alana "Kenapa belum tidur, hem? Ini sudah malam, apa lagi yang kau pikirkan, Sayang?" tanya Alex memperhatikan wajah cantik Alana dari samping. "Aku memikirkan M
"Val, aku titip Tery dan anak-anakku padamu tidak papa kan?" Alex menatap Rivaldo yang kini duduk memangku Kenzi di kursi teras depan rumah Alana. Tentu saja Rivaldo menganggukkan kepalanya. "Tidak masalah, aku akan mengajak mereka jalan-jalan," jawab Rivaldo santai. "Kalian berdua, jangan nakal!" Alana menatap penuh peringatan pada dua anaknya. Bocah itu mengacungkan jempolnya dan tersenyum manis pada Alana. "Siap Boss!" Alana dan Alex pun melambaikan tangannya pada mereka berempat sebelum keduanya pergi untuk mengurus beberapa hal penting pernikahan mereka. Dan tinggallah Tery bersama dengan Rivaldo dan si kembar. Kedua anak itu asik sendiri dengan mainan baru mobil-mobilan yang Rivaldo bawakan. Diam-diam seorang Rivaldo memperhatikan Tery yang kini tengah mengupas apel untuk si kembar. Ia baru bertemu dengan Tery beberapa hari saat si kembar merekomendasikan gadis itu untuknya. Memang si kembar memiliki selera yang bagus, gadis bernama Tery sangat cantik, baik, dan menggem
Hari sudah malam, Alex tidak bisa tidur malam ini. Ia meninggalkan kamarnya di mana Alana tidur di dalam bersama Kenzi, sedangkan Kenzo yang tidur bersama Tery. Alex membawa kotak rokoknya keluar dari dalam rumah, ia melihat Benigno duduk di bangku taman sendirian bersama sebotol wine di sampingnya. "Kau sedang tidak bisa tidur atau sedang frustrasi?!" Suara Alex membuat Benigno menoleh dan laki-laki itu langsung berdecak pelan menggeser duduknya. Alex pun duduk santai di samping Benigno. Rupanya Benigno masih diam dan mengubur dirinya dalam kelamnya perasaan yang dia rasakan. "Apa apa?" tanya Alex, ia mengepulkan asap rokok dari bibirnya ke atas. "Tery marah padaku," jawab Benigno dengan nada dingin. Jawaban Benigno sukses membuat Alex tertawa pelan, terdengar mengejek, memang. Alex menyilangkan kakinya dan bersandar sebelum ia menatap Benigno. Kadang sosok laki-laki yang dingin seperti Benigno memang lucu saat ditinggal marah oleh gadis yang disukainya. "Kenapa lagi? Kau sa
Alana hari ini pulang ke Madrid sembunyi-sembunyi dari Alex dan dua anaknya yang sibuk bersekolah. Alana tidak enak hati meminta bantuan Alex karena laki-laki itu sangat sibuk di kantornya. Hingga kini Alana sudah sampai dan ia berada di rumah Mamanya. Alana kembali setelah sekian lama pergi dan sangat merindukan rumahnya, tapi tidak dengan Papanya."Ma, Papa tidak ada kan?" tanya Alana. "Tidak ada, Sayang. Hanya ada Mama saja di rumah. Kenapa Alana pulang sendirian? Kenapa tidak meminta Mama saja yang ke sana, nak?" Stella sangat cemas melihat Alana yang nekat pulang. Gadis itu menggeleng pelan dan langsung memeluk Stella yang berdiri di ujung bawah anak tangga. Alana memeluknya dengan erat penuh kerinduan, Alana rindu rumahnya juga Mamanya yang selalu memberikan banyak sekali perhatian untuknya. Stella mengusap punggung Alana, menepuknya pelan. Tidak tahu apa yang Alana alami saat ini, Stella hanya bisa merasakan kesedihan putri semata wayangnya ini. "Ada apa, nak?" tanya Stell
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu