Alex masih setia memeluk Alana yang kini sudah tidak lagi menangis. Mereka juga sudah pulang ke rumah Alex, dan Alana tidak mau anak-anaknya tahu kalau dirinya tengah bersedih hingga ia memilih pulang ke rumah Alex. Mereka berdua duduk di atas ranjang, dan Alana enggan untuk tidur. Ia meminta Alex untuk diam dan mendengarkannya saja. "Alex," panggil Alana melirik laki-laki itu dengan ekor matanya yang mulai menyipit. "Ya Sayang, kenapa? Istirahatlah, jangan pikirkan semuanya," bisik Alex menangkup satu pipi Alana dan mengecupnya. Alana menggenggam satu tangan kekasihnya yang mendekap erat tubuh kecilnya."Al, apa kau tidak malu nanti kalau banyak orang yang tahu kalau ternyata anak tirimu adalah anak yang lahir tanpa Ayah? Aku dulunya hamil tanpa suami, Al. Kau tidak malu?" Alana mendongak menatap manik mata Alex, ia menggigit bibir bawahnya guna menahan isak tangisnya yang ingin pecah. Alex kembali berdecak, laki-laki itu menangkup erat pipi Alana. Matanya menayala-nyala penuh k
Hari sudah malam, Alana kembali tenang setelah seharian menimbang-nimbang dan memutuskan untuk tidak akan pulang ke rumahnya di Madrid. Gadis itu kini berdiri di balkon kamarnya, ia mengepalkan jemari kedua tangannya dan memejamkan kedua matanya. Angin malam yang sepi membuat Alana merasa tenang. 'Ya Tuhan, apapun keputusan yang aku pilih, tolong jadikan yang terbaik sebagai pilihan terakhirku.' Alana kembali membuka kedua matanya dan menatap langit yang dipenuhi bintang malam ini. 'Aku tidak punya pilihan lain. Mama... Doakan Alana selalu bahagia, Alana juga akan mendoakan Mama dari sini. Maafkan Alana kalau ternyata Alana membuat Mama dan Papa malu, maaf....'Air mata Alana jatuh dengan sendirinya sebelum tubuhnya merapat saat dua lengan kekar merengkuhnya dari belakang, menyandarkan kepalanya di punggung Alana. Detak jantung yang terasa sangat cepat, Alana merasakan semua itu. Ia tersenyum tipis mengusap punggung tangan yang melilit di pinggang rampingnya. "Aku pikir kau pulang
"Kenapa diam saja, Sayang? Ada masalah, hem? Apa mood-mu hari ini sedang buruk? Mau jalan-jalan atau belanja dulu Sayangku?" Alex mendekatkan wajahnya pada Alana dan mengecup singkat pipi gembil calon istrinya yang sejak tadi diam saja, bahkan sampai kini mobil milik Alex tiba di depan galeri miliknya. Gadis itu menggeleng pelan, Alana menoleh sejenak pada Alex dan tersenyum tipis tanpa mengatakan apapun. "Aku takut," ucap Alana tiba-tiba. Alex kembali menoleh saat ia hendak membuka pintu mobilnya. "Takut apa lagi, hem? Tidak akan ada yang berani macam-macam denganmu, Sayangku." "Aku takut aku dibohongi." Alana mengangkat wajahnya dan menatap Alex dalam-dalam. "Bagaimana kalau tiba-tiba saja kau... Tidak mencintaiku lagi?" Helaan napas panjang terdengar dari bibir Alex. Ia sudah tegang dan mengira kalau Alana akan membahas masa lalu, tapi ternyata tidak. Kekehan pun terdengar dari bibir laki-laki itu. Ia menggelengkan kepalanya dan mengacak-acak pelan rambut Alana. "Lucu seka
Kenzo dan Kenzi baru saja keluar dari dalam gerbang sekolah mereka. Kedua anak itu duduk di bangku panjang menunggu kedua orang tuanya menjemput. Di samping Kenzo ada Ayumi yang duduk juga memeluk boneka kelinci merah muda miliknya dengan erat, gadis berkulit putih cerah itu sangat ceria. "Siapa yang menjemputmu, Ayumi?" tanya Kenzo menoleh menatap sahabat perempuannya. "Emm... Mungkin Bibi Alice, atau bisa saja Paman Calvin. Heum, mereka selalu saja terlambat," keluh gadis itu sedih. "Rumahmu memangnya di mana?" Kenzi memperhatikannya sejak tadi. Gadis kecil itu diam menundukkan kepalanya. Terlihat ia nampak berpikir-pikir saat hendak menjawab pertanyaan Kenzi. "Kenzi!" pekikan kecil dari arah gerbang, nampak Celine yang kini langsung duduk di samping Kenzi dan memeluk lengan sahabatnya. "Kenzi besok-besok Celine ulang tahun, Kenzi datang ya....""Aku ikut juga dong!" sahut Kenzo langsung bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Celine. Gadis kecil itu menatapnya tajam dan
"Alex kenapa lama sekali? Katanya hari ini dia ingin mengajakku ke butik, tapi kenapa sampai terlambat setengah jam, dia ke mana?" Alana mendengkus pelan menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Padahal calon suaminya sejak pagi meminta Alana datang ke sebuah cafe dan ia ingin memberikan kejutan pada Alana. Bosan menunggu Alex yang sejak tadi tidak kunjung datang. Tanpa sengaja Alana menoleh ke arah pintu dan nampak orang yang Alana kenali masuk ke dalam sana. "Samuel!" Alana melambaikan tangannya pada laki-laki yang kini menatapnya. Laki-laki dengan balutan kemeja biru laut itu berjalan mendekatinya seraya menggulung lengan kemeja yang ia pakai. "Loh, dengan siapa ke sini?" tanya Samuel, ia menarik kursi dan beranjak duduk."Sendirian, katanya Alex akan datang setengah sembilan, sampai jam sembilan dia tidak muncul juga!" keluh Alana dengan wajah sebal. Senyuman tipis timbul di sudut bibir Samuel, laki-laki itu menatap Alana dengan sayu. Ternyata cara kesal dan mara
"Kepalaku sakit sekali, Al. Pusing sekali sejak tadi, mungkin karena kau menunggumu lama." Alana menyandarkan kepalanya pada dada bidang Alex. Ia duduk di pangkuan calon suaminya dengan tenang dan nyaman seperti biasa. Usapan lembut dan hangatnya jemari Alex terasa menanangkan bagi Alana. Gadis itu mengusap-usapkan telapak tangannya pada dada bidang Alex yang kini terbalut kemaja katun berwarna putih. "Padahal berapa kali aku bilang padamu untuk tidak berpikir yang berat-berat, kau saja nakal!" Alex menarik gemas pipi Alana hingga membuat wanitanya tersenyum gemas. "Al, katanya hari ini kau ingin mengajakku pergi, kau mau mengajakku ke mana?" tanya Alana mendongak memperhatikan wajah kekasihnya. "Aku sudah membuat janji dengan temanku, dia seorang desainer dan aku sudah meminta padanya untuk merancangkan gaun pengantin untukmu." "Gaun pengantin?" Alana tersenyum senang mendengarnya, mungkin semua wanita di dunia ini juga akan sangat bahagia saat memakainya. Detik itu juga Alana
"Tenang Alana... Semua akan baik-baik saja." Alana berucap pada dirinya sendiri saat ia terbangun dari tidurnya malam ini. Mimpi buruk kembali datang di setiap tiap malam-malamnya. Pelan ia memukuli dadanya yang terasa sesak, Alana sendirian di dalam kamarnya yang gelap. Sejak siang, melihat peristiwa kecelakaan tadi membuat kepingan bayangan menyeramkan di benaknya berulang kali muncul dan menghantui. "Hiks...." Alana medesis pelan menahan tangisannya. "Kenapa... Kenapa harus aku? Alexsander... Siapa dia? Kenapa dia selalu ada di pikiranku? Kenapa wajahnya muncul saat aku takut? Siapa Alex... Siapa dia sebenarnya, Ya Tuhan?" Alana menekuk kedua kakinya dan duduk memeluk lututnya. Ia menunduk dan menangis tersiksa, sangat tertekan dengan apa yang ia rasakan kini.Gadis itu mengusap wajahnya berulang kali meskipun air matanya yang tidak berhenti mengalir. Hingga tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka, di sana Alana mengangkat wajahnya pelan. Nampak siluet laki-laki muncul di balik
"Lesu sekali. Uang sakumu tidak ketinggalan kan, Kenzo?!" Kata-kata ledekan itu terucap dari bibir Celine, gadis kecil dengan rambut dikepang dua yang berjalan merangkul lengan Kenzi dan menatap sinis pada Kenzo. Namun tidak seperti biasanya, Kenzo hanya diam dan begitu jelas menunjukkan kalau dirinya sedang tidak mood pada Celine. "Heum, dia kenapa, Kenzi?" tanya Celine menoleh pada Kenzi yang berdiri menatap punggung Kenzo menjauh berjalan lesu menuju ayunan di depan kelas sebelah. "Tidak papa," jawab Kenzi, dia sangat irit bicara pada Celine yang sering ia panggil angin ribut, karena gadis kecil itu sangat cerewet dan banyak bicara. Celine mendengkus pelan. "Hari ini aneh sekali, Kenzo yang diam padaku, Kenzi yang masih tidak menyukaiku, aku harus bagaimana?" Anak itu menyun. Sedangkan Kenzo duduk di atas ayunan dan membuka kotak bekalnya. Biasanya ia akan bersemangat memakan bekal buatan Mamanya, tapi kali ini tidak lagi karena bekal itu buatkan Tery, bukan buatan Alana. K
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu