Semalaman Kenzi tidak bisa tidur, ia terus kepikiran banyak hal yang mengganggu ketenangannya. Tapi Kenzi mengesampingkan itu semua, ia pun bergegas pergi ke dapur dan memulai memasak. Meskipun hari masih petang, jam menujukkan pukul lima pagi, tapi dia bangun dan memasak. Kenzi adalah laki-laki yang sama sekali tidak pernah perhitungan pada istrinya. "Kenapa pedas," cicit Kenzi berdecak mencicipi masakannya sendiri. "Duh, bagaimana ini? Nanti kalau istriku sakit perut, aku sendiri yang khawatir." Rupanya Kenzi benar-benar sangat kelabakan. Ia berkacak pinggang di dapur dan berkali-kali mencicipi masakan yang sama menimbang-nimbang apakah istrinya akan kepedasan atau tidak. Hingga tiba-tiba saja Kenzi terjingkat kaget saat seseorang memeluknya dari belakang. Laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang. "Ngagetin saja," ucap Kenzi terkekeh. "Habis, mencicipi masakan saja sampai ada sepuluh kali. Kenapa? Asin ya?" tanya Ayumi mengintip masakan Kenzi. "Tidak, tapi pedas ini yang b
"Ayumi jangan makan itu, nanti alergimu kambuh lagi. Kenzi bisa marah-marah padamu." Kata-kata penuh peringatan itu terlontar dari bibir Yogas seraya ia mengambil sebuah roti isi keju di tangan Ayumi. Mungkin seringnya Kenzi bercerita padanya sampai dia tahu kalau Ayumi tidak boleh makan keju karena alergi yang dia miliki. "Mana," sahut Kenzi tiba-tiba menyahut makanan yang tadi Ayumi bawa dan sudah berpindah tangan pada Yogas. Ayumi pun diam hanya menatap beberapa makanan yang masih ada di sana. Gadis itu bingung ingin mengambil apa, hingga Kenzi akhirnya mengambilkan sepotong pizza untuk Ayumi. "Sini, duduk di samping Kakak," ujar Kenzi. Laki-laki itu menarik lengan Ayumi hingga duduk di sampingnya. Kenzi menyerahkan sepotong pizza yang ia bawa pada sang istri. "Makan yang banyak, Ayumi. Kau ini jangan diet-diet ya, tubuhmu sudah kecil. Kalau kau kurus-kurus nanti Kenzi cari pacar lagi," ujar Bill seraya meletakkan kotak pizza di hadapan Ayumi. "Halah, mulutnya kalau bicara
"Aduh... Capek, pusing, ngantuk..." Ayumi baru saja bangun dari tidurnya, ia memukuli kepalanya pelan sebelum telapak tangan menarik lengannya seolah meminta Ayumi berhenti memukuli kepalanya.Gadis itu menarik napasnya panjang dan tubuhnya terasa sesak saat Ayumi yang kecil dan mungil dibebani oleh tubuh kekar Kenzi. "Jangan pukuli kepalanya Sayang, nanti bisa sakit," ujar Kenzi, laki-laki itu beringsut berbaring di samping Ayumi. Kenzi masih memeluknya erat-erat. Laki-laki itu mengecup pipi Ayumi, hingga Ayumi memeluk tubuh Kenzi. "Kak Kenzi jahat sekali," lirih Ayumi dengan nada kesal. "Ayumi be-beneran marah." Kenzi terbangun, ia terkekeh pelan. "Maaf Sayang, tapi aku memang tidak bisa menghentikannya, maaf ya..." Laki-laki itu pun bangun, ia kembali mendekati Ayumi dan mengecupi tiap jengkal wajah Ayumi. Ayumi hanya tersenyum sebelum ia menangkup kedua pipi Kenzi. Ayumi memandangi wajah itu sampai tatapannya jatuh pada pundak Kenzi yang terdapat luka bekas kuku Ayumi. "Ha
"Aku kan tidak jadi pergi, kenapa harus marah, hem? Aku tidak menyukainya, Sayang..." Kenzi berusaha membujuk Ayumi untuk tidak marah, sulit bagi Kenzi meminta agar istrinya berhenti bersifat kekanakan. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya saja, seolah tidak papa, padahal Ayumi sangat kesal dengan Saras yang selalu ingin berusaha mendekati Kenzi. "Dia selalu seenaknya sendiri. Ayumi sudah berkali-kali menegasi wanita itu, tapi dia tidak punya perasaan sama sekali! Ayumi tidak suka, Kak!" amuk Ayumi pada suaminya. Kenzi hanya terdiam memperhatikan istrinya yang marah. Setelah beberapa bulan mereka menikah, baru kali ini Ayumi menunjukkan kemarahannya pada Kenzi kalau dia benar-benar sangat cemburu pada wanita itu. Kenzi merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya ini. Ayumi pun tidak peduli apa alasan Kenzi, sudah berkali-kali ia memperingati Saras. "Sayang," pelan Kenzi memanggil Ayumi. Gadis itu duduk di sofa ruang keluarga dengan ekspresi wajahnya yang sangat
Saat pagi tiba, Ayumi bangun lebih awal. Ia tahu kelau Kenzi akan pergi ke rumah sakit pagi ini karena ada pasien yang harus dia tangani. Namun saat dia membuka mata, suaminya sudah tidak ada di dalam kamar dan seluruh rumah. Kini Ayumi berdiri di ujung atas anak tangga, ia terdiam memikirkan Kenzi. "Apa suamiku masih marah?" lirih Ayumi sedih. "Setidaknya dia pamit padaku, ini juga masih pukul enam. Kenapa malah jadi begini?" Ayumi berjalan menuruni anak tangga, ia menatap ke arah ruang makan di mana di sana ada satu potong roti bakar yang mungkin Kenzi sisakan untuknya. "Kenzi," lirih Ayumi menyergah napasnya kesal. Bingung dengan suaminya, Ayumi pun malas melakukan apapun, ia kembali ke kamarnya dan memilih diam di sana. Tahun baru kurang dua Minggu lagi, Ayumi sangat ingin pulang. Tapi Kenzi sekarang sibuk dan lebih lagi dia marah pada Ayumi. Suara dentingan ponsel milik Ayumi membuat gadis itu cepat-cepat meraihnya. Ia pikir kalau yang menghubunginya adalah Kenzi, tapi Ay
Kenzi berjalan keluar dari dalam ruangan operasi. Laki-laki itu membuka masker yang menutupi hidung dan mulutnya seraya menghela napasnya panjang. Senyuman Kenzi terukir tipis begitu ia membuka layar ponselnya di mana sang istri menghubunginya berkali-kali, mungkin Ayumi sudah menyadari kesalahannya, pikir Kenzi. "Ken! Kenzi!" Suara Yogas membuat Kenzi menoleh ke belakang. Sahabatnya itu berlari ke arahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Langkah Kenzi terhenti, sepertinya ada sesuatu yang cukup serius kali ini. "Ada apa, Gas?" Kenzi menatap sahabatnya. "Kenapa Ayumi menangis?! Kau ribut dengannya barusan karena Saras, hah?!" sentak Yogas mendorong pundak Kenzi. Kedua mata Kenzi mengerjap bingung. "Ayumi menangis? Ribut? Saras? Apanya hah?! Aku baru saja keluar dari ruangan operasi," jelas Kenzi bingung. "Ayumi menangis di mana?!" Yogas berdecak kesal. "Ck! Dia beberapa menit yang lalu ke sini, dia keluar dari lorong lantai tiga menabrakku, dia menangis histeris katanya k
"Ayumi... Makan dulu yuk, jangan sedih terus. Biar nanti Papi yang menasihati Kenzi, ya?"Rivaldo membujuk Ayumi, laki-laki itu tahu bagaimana perasaan putri kesayangannya. Meskipun sebagai orang tua, Rivaldo dan Tery jelas saja marah, anak satu-satunya pulang ke rumah orang tuanya dalam keadaan menangis histeris, dan sendirian. Gadis itu masih diam berbaring di atas ranjang kamarnya memeluk boneka miliknya. Ayumi berpura-pura tidur, seperti biasa. "Ayumi... Biasanya Ayumi tidak pernah tidak mendengarkan nasihat Papi," ujar Rivaldo mengusap rambut panjang putrinya. Barulah Ayumi bangun, gadis itu menunjukkan wajah masamnya. Senyuman Rivaldo mengembang, ia menangkup kedua pipi Ayumi dan mengecup kening putrinya penuh kasih sayang. "Ayo, Mami sudah masak makanan kesukaan Ayumi," bujuk Rivaldo."Papi hu-hubungi Kenzi kalau Ayumi di si-sini?" tanya Ayumi lirih. Rivaldo diam sesaat, sebelum akhirnya dia menggeleng dan tersenyum lebar. "Tidak, Papi tidak menghubunginya. Tenang saja!
Saat pagi tiba, Kenzi bangun lebih awal dibandingkan Ayumi. Seperti biasa kalau gadis itu terbiasa bangun siang dan tidak ada yang memprotesnya. Kenzi menarik selimut tebalnya menutupkan pada tubuh Ayumi, tak lupa Kenzi memberikan kecupan di pelipis Ayumi sebelum laki-laki itu beranjak. "Jangan pulang..." Tangan kanan Ayumi tiba-tiba menarik bagian belakang kemeja biru laut yang suaminya pakai Kenzi menoleh. "Sayang, aku tidak pulang. Aku mau mandi dulu, okay?" Kenzi kembali mendekati Ayumi, laki-laki itu mengecupi tiap jengkal wajah ayu istrinya. Tidur Ayumi sangat-sangat terusik dengan tingkah Kenzi yang menyebalkan ini.Kedua mata gadis itu terbuka, mereka bersitatap sejenak. Memperhatikan wajah Kenzi membuat Ayumi teringat apa yang Saras katakan padanya. Ayumi tidak pantas menjadi istri untuk Kenzi. "Kenapa diam saja?" Kenzi menarik pelan pipi Ayumi yang gembil. Gadis itu menggeleng, ia mendorong pundak Kenzi dan Ayumi pun duduk di tepi ranjang memunggunginya. Pemandangan di
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu