Malam ini Alana hanya berempat dengan si kembar dan Tery. Anak-anaknya sudah tidak pernah rewel lagi semenjak mereka merasa punya teman, yaitu pengasuhnya yang selalu ada untuk mereka. Alana yang duduk melamun di teras samping, ia terkejut saat tiba-tiba dua tangan mungil memeluknya dari belakang. "Mom, Daddy kok tidak ke sini?" Kenzi mendongak menatap Mamanya. Senyuman manis terbit di kedua sidit bibir Alana, ia memangku Kenzi perlahan-lahan. Anak itu kembali belajar berjalan menggunakan tongkat setelah cidera di kakinya. "Daddy sedang sibuk, Sayang. Jadi malam ini Daddy tidak bisa menemani kita," jawab Alana menjelaskan pada putra kecilnya. Kenzi mengangguk mengerti, bocah itu memeluk perut Alana dan bersandar di dada sang Mama. Mereka saling diam, sedangkan di dalam rumah, Kenzo tengah belajar membaca bersama dengan Tery. Pada si kecil satu ini, Alana sering dibuat menangis. Kenzi yang selalu bertanya tentang Papanya setiap saat, namun begitu Alex datang dalam kehidupan merek
Kecupan bertubi-tubi dari bibi Alex membuat Alana memejamkan kedua matanya erat-erat meremas punggung laki-laki itu. Pertanyaan Alex yang tadi padahal belum Alana jawab dan tidak Alana beri kesimpulan. Namun laki-laki itu sudah menyerangnya dengan kecupan-kecupan panas. "Al...." Alana kian meremas punggung Alex erat-erat saat telapak tangan laki-laki itu mengusap tubuhnya. "Ja... Jangan," lirih Alana final. Alex tersenyum kecil, ia sudah menduga kalau Alana tidak semudah itu menyerahkan dirinya. Laki-laki itu tersenyum menarik wajahnya dan kembali menatap Alana yang kini memerah wajahnya. "Takut?" tanya Alex entah untuk kesekian kalianya. "Tidak," jawab Alana menggeleng. "Nanti kau kecewa." Alex mengerutkan keningnya bingung. "Kecewa?" "Aku bekas laki-laki lain, sejujurnya... Mana pantas aku bersanding denganmu." Alana menyentuh kedua pundak Alex dengan ragu-ragu. Tidak percaya Alex dengan kata-kata Alana saat ini, bisa-bisanya ia berpikir kalau dirinya hanyalah wanita sisa
Hubungan Alana dan Alex yang sempat keruh menjadi baik kembali. Bujukan manis Alex rupanya memberikan dampak yang luar biasa pada Alana yang sangat menyayanginya. Gadis itu kini duduk di sofa ruang VIP, Alana membaca banyak pesan dari Mamanya. Stella meminta pada putrinya itu untuk nempertimbangkan Alex, ternyata Stella sangat mendukungnya. "Mama sangat mendukungku dengan Alex," lirih Alana tersenyum kecil. "Bagaimana bisa mereka sudah bertemu tapi tidak menjalaskan apapun padaku." Alana tersentak saat seseorang mengambil ponsel miliknya dari belakang. Gadis itu sontak mendongak menatap Alex yang membaca semua pesan-pesan di ponsel kekasihnya. "Aku tidak akan selingkuh," ujar Alana mengulurkan tangannya meminta ponselnya dikembalikan. "Berani selingkuh, Kenzo dan Kenzi akan segera punya adik," jawab Alex seraya menaik turunkan kedua alisnya. Senyuman kecil terbentuk di bibir Alana, ia mencubit kesal pinggang Alex. Laki-laki itu beralih berdiri di hadapan Alana seraya menyunggar
Alana menyempatkan pergi berbelanja setelah ia pulang kerja. Gadis itu pergi ke super market terdekat membeli bahan-bahan makanan untuk makan malam nanti. Ia membutuhkan bahan makanan kesukaan putranya. Entah kebetulan atau bagaimana, makanan favorit si kembar dan Alex hampir sama. Sampai-sampai Alana menjadi memperioritaskan mereka bertiga. "Oh ini dia, hampir saja lupa," lirih Alana mengambil tiga bungkus jamur enoki. "Mereka pasti menyukai ini."Alana kembali melangkah, ia mengulurkan tangannya mengambil ramen yang hanya tersisa tiga bungkus. Namun saat ia mengambilnya, seseorang pun juga ikut mengambil ramen yang Alana pegang. Seketika Alana menoleh pada seorang wanita cantik dengan balutan dress putih, rambut tergerai cantik dan ia yang tersenyum tipis pada Alana. "Aku lebih dulu," ujar Tasya menarik tiga bungkus ramen yang tadi jelas Alana dulu yang mengambilnya. "Kau terkejut bertemu denganku, Alana?" "Tidak," jawab Alana dingin. Tasya, wanita itu ternyata masih ada di Ba
"Mom, Mommy tidak papa kan?" Kenzo dan Kenzi mendekati Alana yang terduduk di lantai dapur menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia terkejut dengan kemarahan Alex yang sangat menakutkan, kecemburuannya sangat mengerikan. "Nyonya, minum dulu...." Tery memberikan segelas air pada Alana dan mengusap punggung Alana dengan pelan. Alana meminumnya sedikit, ia menatap kedua putranya yang cemas. Senyumannya mengembang seketika saat mereka memeluknya. "Mommy tidak papa, Sayang. Daddy hanya marah, Mommy yang salah," ujar Alana tidak mau membuat keduanya kecewa. "Tidak Mom, Daddy jahat. Daddy buat Mommy jadi takut," ujar Kenzo menggeleng-gelengkan kepalanya. Alana mengusap air matanya pelan dan menatap Tery meminta pada pengasuh muda itu untuk membawa kembar bermain dan tidak terlalu memikirkannya. "Pangeran kecil, ayo main di luar. Mommy biar istirahat, ayo," ajak Tery mengulurkan tangannya pada kedua anak tersebut. "Tidak mau! Kenzo mau temenin Mommy, pokoknya kita tidak
Pagi ini Alana datang sedikit lebih siang dari biasanya ke kantor saat Alex sudah datang lebih dulu berada di sana. Gadis itu berjalan membuka pintu ruangan kerjanya dan juga ruangan kerja Alex. Tatapan mata dingin Alex sesaat tertuju padanya sebelum kembali menatap laptopnya dan seolah-olah berusaha tidak peduli pada Alana. "Duduk di tempatmu!" seru Alex saat Alana duduk di hadapannya. "Pak," lirih Alana kembali formal. "Saya... Saya ingin mengundurkan diri." Jemari Alex yang mengetik di atas keybord laptopnya pun terhenti, laki-laki itu mengangkat wajahnya menatap wajah Alana yang sembab. Barulah helaan napas berat terdengar oleh Alex, ia mengusap wajahnya disusul gebrakan tangannya di atas meja. "Aku tidak mengizinkanmu!" pekik laki-laki itu. "Kau tidak boleh pergi lagi dari kehidupanku, Alana!"Teriakan Alex membuat Alana mengangkat wajahnya dan menatap laki-laki itu. "Apa lagi yang perlu aku pertahankan? Kita sudah berakhir, aku tidak mau bersamamu, aku dan kau hanyalah k
"Sekarang kau tidak perlu bekerja ke mana-mana, kau hanya perlu mengembangkan galeri dan toko ini saja, Sayang." Stella membuka pintu kaca sebuah toko bersama Alana dan juga si kembar. Kedua anaknya berlari masuk ke dalam sana dan melihat berbagai macam barang-barang yang berada di sana. Alana menatap sebuah canvas kosong di hadapannya, tumpukan buku dan beberapa aksesoris di dalam etalase dan juga rapi digantung. "Mama pasti mengeluarkan banyak uang untuk ini," ujar Alana menundukkan kepalanya sedih. "Alana selalu merepotkan Mama."Stella menggelengkan kepalanya. "Mama tidak pernah perhitungan dengan anak Mama, asal Alana bisa bahagia," jawab Stella. "Oma paling the best!" Kenzo menyahuti dan mengacungkan jempolnya pada Alana. Rasa haru memenuhi relung hati Alana, kedua matanya menelisik tiap-tiap sudut toko yang sudah berisi banyak barang di dalamnya. Tempat alat-alat tulis, lukis, dan buku, juga tempat itu dulunya menjadi toko galeri milik Stella saat mereka masih tinggal di B
Seharian Alex menemani Alana merapikan galeri tempat gadis itu akan memulai usaha tanpa ikut campur perusahaan Alex lagi. Berulang kali Alana mengusir Alex dan meminta pada laki-laki itu untuk pergi dan jangan mendatanginya, namun Alex tidak mau."Sudah sore, ayo kita pulang," ajak Alex melambaikan tangannya pada si kembar yang tengah menata beberapa mainan. Anak itu saling tatap sebelum mereka mendekati Alex. "Daddy tidak pulang ke rumah kita, kan?" tanya Kenzi mendongakkan kepalanya menatap wajah sang Papa. "Tentu saja bersama kalian," jawab Alex tersenyum. "Heeumm... Padahal kita sudah tidak mau menerima Daddy lagi, karena Daddy berani marahin Mommy," cerca Kenzo seraya bibirnya cemberut.Mendengar kekecewaan putranya, Alex mendekati anak itu dan ia menekuk lututnya di hadapan Kenzo seketika.Alex tersenyum menggenggam telapak tangan putranya, ia menatap kedua manik mata Kenzo yang lucu. "Sayang dengar, waktu itu Daddy hanya refleks saja. Tidak ada niatan Daddy marah pada Mom
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu