"Mommy sudah pulang!"
"Yeay! Mommy benar-benar pulang sangat cepat! Apakah kita jadi pergi ke mall? Mommy mengatakan kita akan membeli pakaian untuk tahun baru, apakah jadi perginya, Mommy?"Raysan dan Raysen menyerbunya dan mengikutinya masuk ke dalam rumah setelah dia pulang bekerja. Kedua Putra kembarnya yang tampan dan mewarisi gen ayahnya itu terlihat begitu antusias berceloteh. Membuat Rachel melepaskan tas yang disandangnya lalu berjongkok dan mendapatkan ciuman di masing-masing pipinya dari dua putranya itu."Tentu saja jadi! Mommy sudah berjanji jadi tidak mungkin Mommy akan mengingkarinya. Kita akan pergi ke mall untuk membeli pakaian dan ini adalah pertama kalinya untuk Raysan dan Raysen, bukan?" ujarnya lembut membuat kedua pria kecil berwajah kembar itu mengangguk-angguk."Ini pertama kalinya, Mom! Raysen benar-benar tidak sabar dan ingin segera datang ke sana. Selama ini kami hanya di rumah dan kalaupun bermain hanya di halaman rumah bersama dengan Nenek. Karena Nenek mengatakan kalau di luar rumah banyak kuman dan juga orang-orang jahat jadi kami hanya boleh bermain di halaman. Ini pertama kalinya Mommy akan membawa kami membeli pakaian. Ayo Mommy, kita harus segera bersiap karena Raysen sangat tidak sabar!" ujar putra bungsunya itu antusias."Nanti, Raysen! Apakah kau tidak melihat Mommy merasa lelah setelah pulang bekerja? Setidaknya Mommy istirahat dan mandi lebih dulu, kau langsung mengajak Mommy pergi apakah benar-benar tidak menyayangi Mommy makanya melakukan itu?"Raysen menatap wajah kakaknya itu lalu mengerutkan dahinya. "Kenapa kau sangat sok tahu? Mommy saja tidak ada mengatakan kalau dia lelah. Aku tidak pernah datang ke mall dan aku penasaran dengan keadaan di sana, jadi aku tidak sabar, apakah salah?""Tidak salah," ucap Raysan dengan wajah seriusnya. "Tetapi kau jangan mengajak Mommy langsung pergi keluar saat ini juga. Bukannya bertanya apakah Mommy sudah makan atau belum, kau malah langsung mengajak Mommy. Bagaimana kalau Mommy sakit?"Raysen terdiam dan menatap wajah ibunya dengan tatapan mata yang mulai berubah. "Maaf, Mommy. Raysen tidak termasuk untuk membuat Mommy semakin lelah. Raysen hanya tidak sabar," ucapnya membuat Rachel terkekeh.Dia mengusap kepala Raysan dan Raysen dengan lembut, sebelum akhirnya berkata. "Kita akan pergi dan Mommy tidak lelah kok, karena Mommy hanya bekerja dari pagi sampai siang. Tetapi, ini masih sangat siang dan terlalu panas kalau kita keluar sekarang. Jadi ayo tunggu agak redup sedikit cahaya mataharinya. Mall ada di pusat kota, terlalu jauh walaupun kita menggunakan taksi. Jadi sebaiknya kita tunggu dulu sampai agak sore baru nanti kita pergi ke sana, oke?" ujarnya dengan lembut membuat kedua anaknya mengangguk."Okey, Mommy! Kalau begitu, Mommy mandi saja. Kami juga akan mencari Nenek untuk mandi!"Rachel tersenyum dan mengangguk. "Pergilah."Raysan menatap wajah ibunya sementara Raysen sudah berlarian ke belakang. Rachel tersenyum padanya, membuatnya tahu kalau ibunya memang tidak lelah karena dia tidak melihat raut wajah kusut di sana. Hal yang membuat Raysan tersenyum dan berlari juga ke belakang mengikuti saudara kembarnya."Bagaimana bisa Raysan yang masih berusia hampir lima tahunan bersikap sedewasa itu? Siapa yang sudah mengajarinya? Ini sudah beberapa kali aku melihatnya, sejak dia mulai pandai bicara," gumamnya seraya menghela napas dan tersenyum.Dia tahu kalau watak setiap anak itu berbeda walaupun mereka kembar identik. Tak mau memikirkannya, Rachel tidak ingin membatasi ruang pikir dan ruang gerak anaknya, makanya dia tidak terlalu banyak mengomentari atau memarahi mereka setiap kali melakukan sesuatu. Itu wajar mereka lakukan, terlebih lagi ini di masa-masa pertumbuhan jadi dia harus lebih membiarkan mereka bereksplorasi sesuka hati.Masuk ke kamarnya, Rachel bergegas mandi. Setelah makan siang dan istirahat sebentar, dia akan mengajak anak-anaknya pergi ke mall dan semoga saja nanti tidak ada orang yang kenal dengannya.***"Mommy! Ini luas sekali! Tempatnya sangat bagus," ucap Raysen dengan wajahnya terlihat sangat antusias meskipun menggunakan masker spider-man."Benar, ini sangat bagus! Nenek selama ini hanya pernah melihatnya di televisi." Bibi Vee terkekeh mengatakannya membuat Rachel tersenyum."Ayo kita ke toko pakaian untuk anak-anak, Mommy mau memberikan kalian pakaian kembar supaya bertambah tampan.""Ayo! Kita pergi kesana!"Raysen langsung menyambar tangan ibunya, membawanya berjalan dengan penuh semangat. Keluarga bahagia tanpa Ayah itu terlihat mengelilingi beberapa kali mall untuk mencari pakaian yang mereka mau. Rachel beberapa kali menyerukan nama anak-anaknya yang berlarian dengan sangat antusias, khawatir anak-anaknya itu malah akan menabrak orang-orang yang berlalu lalang."Mommy ..."Rachel yang sedang membayar terlihat menunduk menatap wajah putranya. "Kenapa, Raysan?""Temani aku ke kamar mandi, rasanya aku tidak nyaman dan ingin buang air kecil."Rachel tersenyum dan mengangguk, dia memberikan belanjaan mereka pada Bibi Vee, memintanya untuk menggantikan mengantri sementara Rachel sendiri membawa kedua anaknya keluar dari toko itu dan mencari toilet umum.Karena anaknya laki-laki, Rachel terpaksa harus masuk ke toilet khusus laki-laki. Sementara dia menunggu kedua anaknya selesai, dia melepaskan masker dan membasuh wajahnya di wastafel. Rasanya cukup melelahkan membawa kedua anaknya yang sangat aktif ke tempat umum seperti ini, dia berkeringat walaupun dia merasa senang karena anak-anaknya senang.Setelah sekian lama dia selalu berusaha untuk menyembunyikan pergerakan yang ada di dalam rumah dan meminta agar Bibi Vee tidak begitu menonjolkan keadaan rumah karena khawatir ada orang-orang dari keluarga Stepson yang memperhatikan, baru sekaranglah Rachel bisa lebih leluasa setelah mengantisipasi banyak hal dan menggunakan masker agar tidak dikenali."Mommy, Raysan sudah selesai.""Raysen juga, Mommy!"Rachel menoleh lalu tersenyum. "Mommy datang!"Dia bergerak, melupakan maskernya yang dia letakkan di sisi wastafel. Dia sedang membantu anak-anaknya membasuh bekas buang air kecil mereka itu, ketika mendengar suara pintu terbuka dan dua orang pria masuk ke sana."Menjijikkan! Seharusnya dia sudah datang lebih dulu dibandingkan aku. Dia seharusnya tahu kalau aku tidak membutuhkannya disini, dia yang membutuhkanku."Salah seorang dari pria itu dengan suaranya yang berat dan terdengar marah hingga membuat Raysan dan Raysen memanggil Rachel dengan suara pelan dan memeluk ibu mereka itu karena takut sebab ini untuk pertama kalinya bagi mereka mendengar suara marah seorang pria."Maaf, Tuan, saya akan urus-""Tidak perlu, putuskan saja hubungan kontrak dengannya! Katakan padanya, jangan mencari aku lagi!""Baik."Setelahnya, pria itu menyipitkan matanya melihat seorang wanita menggendong dua anak laki-laki kecil yang menyembunyikan wajah mereka ke leher ibunya itu."Tidak apa-apa, kita pergi sekarang, okay?" ucap Rachel dengan lembut sambil berbalik.Dia sudah akan melanjutkan langkahnya tapi terhenti ketika matanya menangkap wajah seorang pria yang menatapnya datar. Namun sesaat, pria itu membulatkan matanya dengan tatapan kaget saat melihatnya, hingga membuat Rachel dengan reflek menunduk dan jantungnya perlahan berdebar kaget melihat pria itu ada di hadapannya dengan Vicky, asistennya, yang juga sama terkejutnya dengan wajah pria itu."Nona Rachel?! Anda-" Vicky menggantung kalimatnya, wajahnya begitu kaget, terlebih lagi ketika kedua anak yang digendong oleh Rachel itu sama-sama menoleh ke belakang dan melihat mereka. "I-ini ... Tuan ..."Vicky menatap wajah Hillen yang tampak semakin mematung di tempatnya. Anak-anak itu ... kenapa sangat mirip dengannya?Suasana terasa membeku begitu Hillen dan Rachel bersitatap di dalam ruangan itu. Keduanya menatap wajah satu sama lain dengan tatapan kaget, bahkan tatapan Hillen yang terlihat menegang dan tangan mengepal erat. Dia masih tercengang karena melihat wajah kedua anak kembar yang sudah kembali merunduk ke dalam leher ibunya."Nona ... Anda ... Tuan ..." Vicky bahkan kehilangan kata-katanya melihat itu, tapi Hillen seperti tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ketiganya sempat membeku saat itu, tapi berbeda dengan Rachel, dia terlihat menunduk setelah tersadar, dipeluknya tubuh anaknya dengan erat lalu membungkuk."Maaf, Tuan. Silakan, anak saya sudah selesai menggunakan kamar mandi ini." Dengan sopan Rachel berkata, walaupun dia akhirnya mengutuk kebodohannya.Bagaimana bisa dia mengatakan kata-kata itu? Sebagai seorang pria yang cerdas, Hillen pasti bisa menemukan sebuah kejanggalan dan kebenaran dari ucapannya. Tetapi dia tidak bisa lama-lama di sini, dia harus segera pergi atau nanti
"Pergilah, bawa masuk pakaian yang sudah Mommy belikan pada kalian. Sekarang pergi ke kamar, jangan keluar kecuali Mommy panggil, oke?"Raysan dan Raysen mengangguk sebelum akhirnya membawa paper bag berisi pakaian mereka, masuk ke dalam kamar dengan bahagia dan antusias. Rachel merasa senang karena anak-anaknya tidak ada bertanya sama sekali kenapa dia harus melakukan itu. Sementara setelahnya, Rachel langsung duduk di sofa dan diam dengan wajahnya yang kaku. Bibi Vee tahu pasti ada sesuatu yang sudah terjadi makanya tadi Rachel sengaja mengajak mereka pulang lebih cepat dan bahkan berlari-lari menggunakan jalan tikus sampai hampir tersesat.Dia pergi ke dapur lalu membuat teh sebelum membawanya ke depan dan duduk di hadapan Rachel yang sedang berusaha menghilangkan kekhawatiran di wajahnya. "Nona ... apakah ada sesuatu yang baru terjadi? Kenapa Anda seperti mengalami sesuatu yang berat dan mengkhawatirkan?" tanyanya sopan membuat Rachel menggeleng.Selama beberapa tahun ini Rachel
Rachel belum berani menuju ke arah pintu mendengar suara ketukan itu. Dia takut itu adalah Hillen, bagaimana dia akan menyembunyikan diri? Bagaimana dia akan menyembunyikan anak-anaknya? Hillen Stepson adalah pria yang kejam, dia sudah pasti akan tiba di sini dan melakukan semuanya, mungkin untuk membalaskan rasa kesal atau tidak sukanya karena Rachel diam-diam sudah berani melahirkan anaknya. Pertemuan mereka saat di mall tadi pasti membuat Hillen curiga dengan anak-anak yang di bawanya, bukan? Hillen adalah seorang pria cerdas dan segala macam pemikirannya pasti sudah sampai di tahap, anak-anak kembar itu pastilah anaknya."Mommy ..."Pintu kamarnya terbuka dan menampilkan putra sulungnya, Raysan, yang berjalan ke arahnya dengan wajah heran karena melihat ibunya yang sedang duduk melamun di atas ranjang."Ada apa, Raysan? Dimana adikmu?" tanya Rachel, berusaha untuk tetap baik-baik saja karena ada anaknya di sini.Raysan naik ke atas tempat tidur ibunya, lalu menatap wajah ibunya i
"Nona, saya sudah mengetuk pintunya dari tadi. Kenapa Nona tidak juga membukanya? Saya panik sekali kalau Nona ternyata tidak menerima saya lagi." Rachel membuang napasnya panjang ketika melihat kalau yang ada di balik pintu adalah Bibi Vee. Suara pintu yang terus diketuk membuatnya memberanikan diri untuk membukanya, dia sudah bersiap dengan apa yang akan dia lihat dan siapa yang akan dia hadapi, tapi ternyata yang datang adalah Bibi Vee dan itu cukup membuatnya lega."Maaf, masuklah, Bi. Sebaiknya mulai sekarang kita jangan terlalu sering keluar, mereka bisa melihat pergerakan kita dan itu bisa membuat mereka curiga." Rachel berkata seraya menarik tangan Bibi Vee masuk dan kembali menutup pintu rumahnya.Bibi Vee tahu kalau Rachel sedang dalam keadaan takut saat ini, bahkan bisa dikatakan ini adalah ketakutan terbesar yang dialami Rachel yang pernah dia lihat selama mereka tinggal bersama. Bibi Vee tak tahu apa sebabnya, tapi dia juga tak mau mencari tahu sebab itu adalah hal yang
Rachel membeku melihat siapa yang ada dihadapannya, dia kaget karena tak menduga kalau yang ada di hadapannya adalah pria yang sudah membuatnya kehilangan kesuciannya lima tahun lalu.Rachel sungguh tidak menduga kalau tamu VIP yang dikatakan oleh majikannya adalah dia. Rachel mengira kalau mungkin orang lain, karena memang biasanya toko roti mereka membuka layanan seperti ini. Beberapa tahun terakhir, ada banyak sekali kejadian bunuh diri di negara ini makanya pemilik toko berinisiatif untuk menyediakan jasa curhat jika seandainya ada yang ingin menyampaikan isi hatinya. Rachel juga beberapa kali mendapatkan job yang sama, hanya saja karena ada karyawan khusus yang akan mengurus itu, dia jarang berada di depan sini untuk melayani pelanggan sebab tugasnya ada di bagian dapur."Rachel Gracilia," ucap Hillen seraya menatapnya dalam. "Kemari."Rachel tak mau menggerakkan kakinya dan hanya diam saja di sana seperti tak mendengar apa-apa. Dia tidak menduga kalau pria ini yang ada di dalam
Rachel merasa lega karena Hillen tak mengganggunya lagi setelah dia meninggalkan pria itu di ruangannya tadi. Hingga sampai semua pekerjaannya selesai dan dia pulang ke flat yang kini sudah menjadi rumahnya, semuanya berjalan lancar seperti tak ada yang terjadi.Rachel merasa lega, tapi kemudian kelegaannya hilang ketika dia melihat seorang pria yang lumayan dikenalinnya sedang turun dari mobil yang berhenti di halaman flatnya tinggal."Nona Rachel, saya diperintahkan untuk mengantarkan bahan-bahan makanan dan kebutuhan ini oleh Tuan Besar. Beliau mengatakan sangat merindukan Nona, hanya saja kesehatannya menurun makanya beliau tidak bisa datang."Rachel kehilangan kata-kata karena pria itu menggunakan nama Tuan Besar Stepson dihadapannya, yang dimana itu adalah kakek angkatnya dan pria yang paling menyayanginya setelah kedua orangtuanya meninggal. Namun, bukankah pria ini adalah asistennya Hillen? Sejak kapan kakeknya kekurangan asisten hingga meminta asisten pria itu untuk mengantar
Rachel terdiam menatapi bahan-bahan makanan yang ada di hadapannya saat ini. Bahan-bahan makanan dan keperluan yang dikatakan Vicky dikirimkan oleh kakeknya dan Rachel merasa itu seperti tidak masuk akal. Kakeknya sendiri saja sudah membiarkannya hidup mandiri, dia juga hanya cucu angkat, lantas kenapa harus mengirimkan bahan-bahan makanan dan keperluan ini lagi? "Percuma saja aku pergi dan tinggal disini, dia tetap tahu dimana aku berada." Rachel tak tahu kenapa Hillen harus melakukan ini. Dia tak mengerti bagaimana dan apa yang bisa dia lakukan, Hillen jauh dari jangkauannya dan sikapnya juga tak sama seperti yang Rachel harapkan."Apakah aku harus serahkan anak-anak baru kemudian dia akan berhenti? Namun, apakah dia akan menjaga anak-anak dengan baik?"Rachel menggeleng tak yakin. Hillen saja biasa di urus pelayan, biasa diperlakukan layaknya Pangeran. Bagaimana bisa pria seperti itu menjadi ayah dua anak yang sedang aktif-aktifnya?"Tiga Minggu lagi aku akan lulus dan wisuda, se
Hillen terdiam menatap wajah kedua anak kembar yang masing-masing memegang botol susu ditangan mereka itu. Wajah-wajah mereka sangat mirip dengannya, membuatnya menarik napas perlahan dan menatap wajah Bibi Vee."Rachel pernah menikah? Sudah berapa lama Anda bersamanya?"Bibi Vee diam sesaat sebelum akhirnya dia menunduk. "Selama saya melihatnya dia belum pernah dekat dengan pria manapun dan kalau ada yang ingin mendekatinya juga Nona Rachel selalu menolak. Kenapa Tuan bertanya seperti itu?" tanyanya membuat Hillen menatap anak-anak itu lagi.Mereka sudah agak menjauh, bicara satu sama lain dan bahkan tak mempedulikan kehadirannya. Jika tadi mereka mendekati Bibi Vee karena sengaja, mereka terlihat khawatir dengan kedatangan orang baru. Sementara itu, sekarang mereka sudah tidak begitu peduli karena Bibi Vee juga ada di sana dan bicara dengannya."Bagaimana hadirnya anak-anak ini kalau dia tidak pernah menikah? Apakah ada kesalahan dalam hal ini?" tanya Hillen, membuat Bibi Vee mengge
Seharian itu Rachel habiskan di dalam kantor dan dia tidak melakukan apa-apa selain bekerja sampai akhirnya rasa lelah menggerogoti. Namun, meski dia merasa lelah saat ini tapi ada rasa senang di hatinya karena tak perlu merepotkan orang lain kelak. Dia juga punya pegangan karena bekerja di perusahaan dan dia tidak akan menjadi gelandangan meski nanti harus luntang-lantung kemana-mana. Saat sedang berhenti dan menunggu taksinya datang, dia melamun sendirian di depan perusahaan sebelum akhirnya dia menghela napas berat. "Entah bagaimana kedepannya akan terjadi, aku tidak tahu. Yang pasti aku masih berdiri tegak dan masih hidup," gumamnya seraya menatap sekitar. Namun, baru saja dia akan menenangkan diri, sebuah mobil mewah berhenti di depannya membuat Rachel mengerutkan dahinya dan menatap siapa yang datang. Rekan bisnisnya yang lainnya tampak berbisik-bisik heboh melihat mobil itu, sampai akhirnya pintu mobil itu terbuka dan Vicky terlihat berjalan sebelum menunduk sopan padanya.
Rachel menyentuh dahinya dengan wajah yang masih diam saja di kamarnya. Dia teringat dengan apa yang dilakukan Hillen tadi makanya saat ini dia merasa seperti kehilangan kemampuan untuk menyembunyikan sedikit saja perasaan aneh di dadanya. Dia belum keluar sejak tadi, masih memakai seragam kerjanya. Tetapi sekarang dia masih mempersiapkan mentalnya untuk bertemu dengan anak-anaknya dan Hillen. "Non ..." Rachel menoleh sambil memasukkan notebook, dia menemukan Bibi Vee tengah bergerak masuk ke dalam kamarnya. "Kenapa, Bi?" "Sudah siap? Tuan dan anak-anak sudah menunggu di bawah untuk sarapan bersama." Rachel menghela napasnya. "Bibi turun saja dulu, bilang supaya mereka mau sarapan lebih dulu dan tidak usah menungguku. Aku akan turun setelah menyelesaikan apa saja yang kubutuhkan," ucapnya membuat Bibi Vee menatapnya. "Bibi melihat Nona berubah akhir-akhir ini, ada masalah apa?" Rachel menggeleng, lalu tersenyum menatap Bibi Vee tanpa ada niatan menjelaskan apa yang dia rasakan
Rachel membuka mata dan mengusap wajahnya perlahan. Dia membuka matanya ketika mendengar suara alarm, tidurnya benar-benar lelap saat ini dan itu cukup membuat yang rasa lebih baik sebelum akhirnya bangkit duduk. Sudah tidak ada suara anak-anaknya yang membangunkan setiap hari, Rachel sebenarnya merasa rindu tapi kalau mereka juga tak mau menemuinya itu juga bukan sebuah hal yang harus dia pikirkan lagi. Mungkin dia memang benar-benar belum dewasa tapi dia tidak mau mendapatkan penolakan dari anak-anaknya masih kecil. Itu hanya akan melukai hatinya yang sudah merawat mereka dengan sepenuh hati. "Mungkin setelah menikah nanti dan mereka semakin tidak mau denganku, aku akan memutuskan untuk berpisah. Aku lelah kalau harus menjalani hidup dalam permainan, masih banyak hal yang bisa aku gapai dan aku bisa melakukan semua itu dengan leluasa." Bangkit dari duduknya, Rachel menuju kamar mandi dan langsung membersihkan diri karena dia harus bekerja hari ini. Dia masih memiliki pekerjaan
Rachel tiba di rumah dan tidak ada anak-anak, biasanya kedua anak kembar itu akan selalu menyambutnya kalau dia pulang, tapi saat ini bahkan tak ada anak-anak yang menyambutnya, tidak ada lagi mereka yang datang dan mengerumuninya. "Bibi ..." Tidak ada sahutan, Rachel hanya bisa duduk di sofa dan memegang kepalanya yang sakit. Tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah dan itu membuatnya tahu kalau mereka mungkin pergi entah ke mana. Mungkin bersama dengan ayah mereka atau mereka jalan-jalan ke mana. Di rumah itu dia diam sendirian, seolah bisa melihat bayangan ketika dia dulu dengan susah payah menerima kenyataan kalau dia hamil, mengandungnya dengan hampir gila, melahirkannya dengan bertaruh nyawa, membesarkannya dengan bekerja sambil kuliah. Susah payah dia melakukan semua itu tapi saat anaknya mendapatkan ayah, dia bahkan terlupakan begitu saja. Sekarang dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, air matanya menetes begitu saja. Rachel menangis sendirian tanpa mampu menahan keses
Hari itu Hillen tidak pulang, dia tetap berada di rumah Rachel dan entah menunggu apa. Raysan dan Raysen sudah bermain lagi dengannya setelah sarapan, sementara Rachel sedang bersiap karena dia akan pergi bekerja. "Ra ... bisa kamu datang ke rumah nanti malam? Biar bagaimanapun, Kakek juga harus tahu tentang rencana pernikahan kita." Rachel menarik napasnya lalu menatap wajah Hillen. "Aku sudah keluar dari keluarga Kakak," balasnya tanpa ekspresi berlebihan. "Kalau Kakak mau mengatakan pada Kakek, Kakak bisa katakan sendiri. Sekaligus minta pendapatnya, aku yakin Kakek tidak akan setuju kalau Kakak menikahiku." "Kenapa?" "Tidak usah bertanya hal yang sudah jelas, seharusnya Kakak juga lebih tahu dariku." Hillen terdiam menatap wajah Rachel untuk sesaat. "Kalau kakek saja bisa menjadikanmu sebagai cucunya itu berarti kamu layak. Kakek bukan seseorang yang suka bermain-main, dia juga selalu serius dalam urusan apapun. Kakek menerimamu sebagai cucunya itu menunjukkan kalau kau
Hillen mengerutkan dahinya mendengar itu. Tatapannya tampak heran karena Rachel tiba-tiba mengajukan syarat seperti itu. Selama beberapa hari ini, Hillen berusaha untuk membuka hatinya walau dia tahu kalau masih belum seberapa. Hanya saja kenapa sekarang dia malah mengajukan hal seperti ini?"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya seraya mengambil berkas itu. "Kenapa tiba-tiba mengajukan pernikahan?"Rachel duduk di sofa seberang Hillen, lalu menatapnya dengan wajah serius. "Jadi ... memang tidak ada niatan untuk menikahiku ya? Kakak datang hanya untuk mendapatkan perhatian anak-anak?"Hillen menatapnya lalu menghela napas dan kembali menatap berkas yang merupakan kertas dengan tulisan manual milik Rachel. Disana ada beberapa syarat yang sudah ditulis Rachel secara langsung."Kalau Kakak hanya mau anak-anak, aku sudah katakan. Tunggu mereka sedikit lebih besar, agar bisa memutuskan apakah mereka mau ikut dengan Kakak atau tidak. Kalau hanya dari keinginan Kakak sendiri, seharusnya Kakak
"Mommy ... Mommy ... Daddy muntah-muntah di kamar mandi."Raysan yang berlari sambil mengatakan itu terlihat mengganggu fokus Rachel yang sedang dia menonton televisi. Raysan berhenti di depannya, membuat Rachel menaikkan alisnya."Mommy, tolong Daddy. Daddy sepertinya masuk angin atau sakit makanya muntah-muntah di kamar mandi belakang."Rachel menarik napasnya, lalu bangkit dengan perasaan berkecamuk. Bahkan perhatian anak-anaknya semakin besar pada Hillen dan hanya minta tolong padanya kalau sudah ada sesuatu hal yang tidak bisa mereka tangani tentang ayahnya itu. Rachel baru diingat di saat seperti ini tapi cukup membuatnya merasa sedih sendiri.Hillen terlihat memegang dadanya sendiri sambil keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah yang sedikit memucat. Dia menatap wajah pria itu selama beberapa saat sebelum akhirnya menarik napas lagi."Pulanglah, mungkin Kakak sudah lelah. Di sini tidak ada persediaan obat jadi aku tidak akan bisa memberikan perawatan apapun." Rachel berkata
Tiba di rumah, Rachel turun dari mobil dan berjalan begitu saja meninggalkan Hillen yang sudah menghela napasnya. Sangat sulit untuk membuat Rachel takluk padanya hanya dengan kata-kata.Hillen tidak begitu tahu apa yang bisa dilakukan untuk membuat hati seorang wanita merasa lebih lunak, dia tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya jadi tentu saja dia tidak begitu banyak tahu."Tetapi aku tidak bisa melibatkan kakek di dalam urusan ini. Ke depannya aku masih harus berusaha keras."Hillen membuang napasnya pelan lalu bergerak turun juga dari mobil. Dia masuk dan melihat Rachel yang sedang dipeluk oleh anak-anak mereka. Ya, dia tidak pernah menganggap kalau itu hanya anak-anaknya karena peran Rachel sangat besar di dalam urusan ini.Jika, berpikir lagi apakah dia menerima kenyataan ini atau tidak, Hillen bahkan sebenarnya tak pernah berpikir memiliki anak-anak dalam waktu dekat karena dia tak pernah memiliki riwayat percintaan dengan siapapun. Kejadiannya juga terjadi sangat c
"Tidak masuk akal, aku menghabiskan waktuku menemaninya di sini dan ternyata salah orang. Jika saja itu benar-benar Kak Hillen akan lebih mudah. Bagaimana bisa ... kenapa aku terlalu bodoh? Kak Hillen memiliki kekuasaan dan juga kemampuan untuk menolak siapa saja yang tidak disukainya. Mana mungkin kami bisnisnya yang sudah sangat besar dan berpengaruh itu dia rela menikah dengan seorang wanita yang tidak sepadan dengannya."Cynthia termasuk bukan gadis yang sesuai karena dia masih berada di bawah keluarga Stepson. Setidaknya yang akan menjadi istri dari Kak Hillen adalah gadis yang memiliki kekayaan setara dengannya. Cynthia dan aku bukan termasuk orang yang memiliki syarat itu. Aku sepertinya sudah terlalu banyak berpikir, aku lupa siapa Kak Hillen sampai percaya kalau laki-laki yang dijodohkan pada Cynthia adalah dia."Rachel berpikir di dalam hatinya sampai berjalan keluar dari dalam restoran karena pamit pada Cynthia yang sudah akrab dengan pria itu. Dia berkata harus pulang seba