Karleen tidak bertemu dengan Lisette saat dia kembali ke kamar. Masih dalam keadaan murung, Karleen mengambil perlengkapan mandinya dan bergegas ke kamar mandi. Saat tiba di sana, Karleen hanya seorang diri. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Dia tidak menyangka bahwa kamar mandinya sangat luas dan bersih. Karleen membersihkan dirinya dengan waktu yang singkat. Dia kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sedikit mendingan.Jam poket yang dibawa Karleen masih menunjukkan pukul lima sore. Karleen menghela napasnya panjang. Seperti biasanya dia ingin menulis jurnal. Hal yang dilaluinya hari ini tidak semenyenangkan yang Karleen kira. Padahal awalnya dia ingin mengobrol dengan Warren. Akan tetapi, Warren tampak bersikap dingin terhadapnya.Sambil mengisi waktu kosong, Karleen mencoba mempelajari buku yang diberikan oleh Conrad. Lembar demi lembar Karleen balikkan. Otaknya seakan ingin meledak. Tulisan-tulisan kuno itu berbentuk seperti bangun datar. Bahkan ada yang berbentuk garis luru
Rahang Karleen seakan mengeras. Meskipun dia senang Warren menghampiri dan meminta maaf, dia tidak menyangka akan menjadi pusat perhatian di kantin. Bisik-bisikan semakin jelas di telinga Karleen. Dia bisa mendengar apa saja yang dikatakan orang-orang di ruangan itu. Karleen sangat tidak senang dengan situasi sekarang. Dia ingin cepat-cepat keluar dari kantin dan kembali ke kamarnya.Mereka meletakkan piring kotor secara bersamaan. Telinga Karleen terasa nyaman setelah sukses keluar dari Kantin. Kecanggungan seakan memenuhi koridor. Edwyn masih dalam keadaan belum bisa menerima apa yang didengarnya dari Lisette. Sementara Lisette memandang Edwyn dengan prihatin.“Karleen,” panggil Warren dengan pelan. Dia menghentikan langkahnya dan membalikkan badan menatap Karleen yang berjalan menunduk.Karleen mendongakkan kepalanya ketika melihat kaki Warren yang ditutupi oleh sepatu, berdiri di hadapannya. “Iya, Kapten.”“Apa kau punya waktu? Ada yang ingin kusampaikan kepadamu,” tanya Warren. K
Ruangan berukuran 4x5 meter itu terasa sangat luas bagi Karleen yang sedang duduk berhadapan dengan Warren. Tidak seperti kamarnya, ruangan Warren sangat hangat. Karleen mengedarkan pandangannya. Matanya mendapati sebuah pemanas. Pantas saja ruangan Warren sangat hangat. “Hmm, Warren? Apa yang ingin kau katakan kepadaku?” tanya Karleen selepas menyesap teh buatan Warren. “Besok, aku minta tolong jangan terlalu menonjol. Kau sudah tahu pakaian apa yang harus dikenakan besok, bukan? Jangan berdandan berlebihan,” ucapnya yang tidak berani menatap mata Karleen. “Eh? M-maksudnya?” Karleen tidak menyangka akan mendengar perintah seperti itu dari bibir Warren. “Pokoknya kau harus bersikap seperti biasanya.” Warren menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya. “Baiklah Kapten,” balas Karleen. “Jangan memanggilku kapten di saat kita hanya berdua. Atau mungkin kau bisa memanggilku Arren?” Karleen membulatkan matanya. Dia seperti pernah mendengar nama Arren di suatu tempat. “A
Edwyn berjalan lemas mengikuti Lisette dan Gunther di depannya. Pikirannya terbang tinggi membayangkan apa yang dilakukan oleh Karleen dan Warren yang sedang berduaan. Dia tidak mendengarkan percakapan Lisette dan Gunther. Mereka sudah tampak dekat dengan satu sama lain. Terkadang mereka tertawa setelah membicarakan sesuatu.Edwyn memainkan rambut cokelatnya asal, sedikit frustasi memikirkan kemungkinan yang terjadi di antara Karleen dan Warren. Tanpa memerhatikan langkah kakinya, Edwyn tidak sengaja menabrak Lisette. Lisette yang sedang asyik mengobrol dengan Gunther menjadi marah.“Kau kenapa Edwyn? Astaga!” Lisette membalikkan badannya. Menatap Edwyn dengan bingung. Dia tidak menyangka Edwyn sedang termenung. Dia tidak menghiraukan perkataan Lisette. Edwyn tersadar saat Lisette mengguncang badannya.“A-ada apa Lisette?” tanya Edwyn setelah merasa sadar.“Kau sudah gila, ya? Apa yang kau pikirkan selama berjalan, hah?” bentak Lisette.“Karleen,” jawab Edwyn singkat. Gunther yang men
Karleen dengan sengaja terus menuangkan teh. Dia masih ingin tetap berada di ruangan Warren, sangat hangat dan nyaman. Meskipun dia tipe yang mudah untuk beradaptasi, berada di kamarnya terasa sangat sesak dan mengerikan. Terlebih lagi saat malam, ingin rasanya Karleen mengajukan untuk perpindahan ruangan. Hanya saja jika dia mengajukan itu kepada pengurus asrama, Karleen akan merasa egois.Mereka terdiam cukup lama. Karleen yang kebetulan mengantongi jam poketnya melirik sesekali. Begitu juga dengan Warren, dia memandang jam dinding yang ditempel pada dinding di seberangnya. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan waktu selama satu jam. Satu jam tidak terasa karena mereka merasa waktu sangat cepat berlalu.“War-.”“Kar-.“Mereka berdua berkata secara bersamaan, membuat keduanya tertawa kecil. Mata emas Karleen terlihat basah. Sudut matanya mengeluarkan sedikit air. Seketika pandangannya dikunci oleh hijaunya mata Warren. Laki-laki itu kemudian mempersilakan Karleen untuk berbicara dul
Dalam bayangan, seorang perempuan bersembunyi dengan mantel bertudung. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras melihat sesuatu yang sangat menggangu. Buku jari-jarinya sudah memutih. Dia membuka tudungnya dengan sengaja. Angin malam membuat rambut pirang perempuan itu berterbangan. Masih mengamati Warren yang sedang memeluk seorang perempuan yang tidak dikenalnya di koridor yang sepi, tangannya menarik seorang lelaki yang daritadi berdiri di belakangnya. “Kak, kau bilang kemarin kau mengetahui siapa perempuan itu, kan?” Jaye memicingkan matanya. Merasa kesal karena ditarik tanpa persetujuannya. “Jika aku memberitahumu siapa perempuan itu, apa yang akan kau lakukan?” Jaye memberikan tatapan mengintimidasi kepada perempuan yang memanggilnya kakak itu, “Itu terserahku, kau tahukan aku siapa?” Perempuan itu menyeringai. Jaye menatapnya dengan gusar. “Tidak bisakah kau berubah? Aku lelah dengan dirimu,” jawab Jaye malas. Dia membalikkan badan, berniat untuk meninggalkan perempuan i
Conrad melihat kalender yang terletak di pinggir mejanya. Jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tempo tertentu sambil berusaha mengingat suatu tanggal penting. Setelah mengingatnya, Conrad membalik halaman kalender. Dia mengambil bolpen dan menandai satu tanggal di bulan Maret. Musim semi akan mulai di minggu itu. Conrad mengeluarkan dokumen yang dia ambil dari brankas tua. Dia menghela napasnya panjang. Menghitung perkiraan yang tepat dengan informasi yang tertulis di dokumen itu.“Jika yang tertulis di sini benar, kira-kira masih ada waktu setahun lebih untuk Karleen menguasai kekuatannya. Aku harap liontin batu merah itu tidak diketahui siapa pun.”Otak Conrad kembali bekerja keras. Dia seperti mengingat sesuatu yang diamanahkan oleh orang tuanya. Saat masih kecil, orang tuanya pernah menyuruhnya untuk mengambil suatu surat di panti asuhan tempat Karleen dititipkan saat Karleen sudah beranjak dewasa.“Sebentar lagi dia akan berumur 19 tahun. Kapan aku akan Kaufungen, ya?” C
Mata Karleen sembab. Dia membasuh matanya sebelum masuk ke dalam kamarnya. Air dingin menyegarkan matanya. Dia mengeluarkan sapu tangan pemberian Warren dari kantung celananya. Sambil mengisi gayung dengan air dingin, Karleen mencoba kembali merangkai kata-kata untuk besok. Menggelengkan kepalanya dengan kuat dengan upaya membiarkan apa yang terjadi dengannya tadi bersama Warren.Karleen memegang gayung dengan tangan kanannya dan berjalan dengan sangat pelan menuju kamarnya. Dari jauh, dia bisa melihat Lisette yang sedang berdiri di depan pintunya. Lisette berjalan menghampiri Karleen dengan tatapan cemas.“Astaga, Karleen! Apa yang dilakukan Warren sampai membuat matamu seperti itu?” teriaknya marah.“Shh, bukan seperti itu Lisette. Kecilkan suaramu, ayo masuk ke kamarku dulu.” Lisette berjalan beriringan dengan Karleen seraya menebak-nebak apa yang baru saja terjadi dengan mereka berdua.Lisette langsung duduk di lantai menghadap ke arah Karleen yang duduk di meja belajarnya. Dia me
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja