"Kau harus meninggalkannya, Damien!"Damien menepis tangan Velice dengan kasar. Kemarahan itu terlihat jelas di wajah tampan Damien. Pria itu benar-benar sudah bisa berjalan normal. Posisinya saat ini berada di salah satu pusat perbelanjaan. Sejujurnya, Damien enggan pergi ke tempat tersebut. Tapi Velice memaksa karena ingin membeli salah satu tas mahal yang stoknya terbatas. Itu sebabnya Velice memaksa Damien saat Damien berpura-pura mengikuti terapi di rumah sakit."Apa yang kau pandang dari wanita itu, hah? Dia tidak cantik dan super sibuk. Bahkan dia tidak punya waktu banyak untuk menemanimu terapi. Apa itu belum cukup untuk membuktikan bahwa dirinya tidak layak menjadi seorang istri?"Damien menatap Velice dengan tajam. "Tutup mulutmu itu! Tidak semudah itu meninggalkan wanita yang sudah berkorban banyak untukku. Kau tidak sebanding dengannya. Dia seorang dokter, dan kau hanya suster. Bahkan prestasinya jauh lebih besar daripada kau.""Lalu, kenapa kau mengencaniku?!""Aku tidak
Tepat di saat bersamaan, Damien dan Dyandta tiba di rumah. Mereka saling bertatapan dalam diam. Ada rasa canggung karena masalah ini. Meskipun Damien sudah ada di depan mata, bibir Dyandta seakan sulit untuk bergerak. Harusnya Dyandta mengatakan apa yang sudah dirancang pikirannya. Tapi sulit sekali rasanya untuk mengutarakan itu semua."Kau darimana?" tanya Damien lembut. Pria itu berdiri dari kursi rodanya secara perlahan. Rasa sakit di lutut saat berdiri masih bisa dirasakan Damien. Ia sedikit meringis kecil.Dyandta gugup. Keringat dingin mulai menyelimuti tubuhnya. Apa yang harus ia jawab untuk pertanyaan itu? Haruskah ia mengatakan bahwa dirinya baru saja menemui George yang memergoki Damien bersama Velice?Saat Dyandta masih bermain dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba saja Damien mendekat. Membuat Dyandta sedikit menegang dan sulit untuk bergerak ke belakang. Ia ingin menghindari pria itu. Tapi kedua kakinya sama sekali tidak memberi dukungan.Kedua tangan Dyandta digenggam da
Damien menyugar rambutnya ke belakang setelah selesai mandi. Handuk berwarna putih masih melilit di pinggangnya, menutupi area sensitif hingga ke lutut. Sementara tubuhnya masih belum mengenakan apapun.Tadi, setelah meminum teh lemon buatan istrinya, Damien memutuskan untuk mandi. Tubuhnya terasa gerah dan lengket. Sekarang, ia sudah merasa segar dan siap untuk mengajak sang istri jalan-jalan, menikmati sore yang indah di pantai sambil menunggu senja.Damien menggunakan deodorant yang ada di atas meja rias, kemudian menyemprotkan parfum kesukaannya di beberapa area tubuh. Setelah itu, Damien meraih kaos berwarna putih serta celana jeans hitam favoritnya. Damien memakai pakaiannya dengan cepat, lalu merapikan rambutnya yang masih basah.Saat dirinya hendak beranjak keluar, ponsel yang sempat ia abaikan pun berdering. Letak ponsel itu ada di atas meja rias. Satu panggilan dari Velice, wanita yang terobsesi padanya."Apa dia tuli? Atau amnesia? Aku sudah mengatakan untuk tidak menghubun
Pantai merupakan salah satu destinasi wisata populer untuk menikmati pemandangan laut di sore hari. Salah satu pantai yang menjadi tujuan Damien dan Dyandta saat ini adalah Jones Beach. Pantai ini terletak di Wantagh, New York, yang memiliki pasir halus dan bersih. Jones Beach juga memiliki West Bathhouse dan kolam renang tepi pantai. Pemandangan sunset juga sangat indah di pantai ini.Dyandta sangat menyukai tempat itu. Damien mengambil salah satu tenda miliknya yang terletak di dalam bagasi mobil. Tenda itu selalu ia simpan di bagasi. Sejak dulu, sebelum disibukkan dengan pekerjaan, Damien selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk mendaki bersama teman-teman, berselancar, dan piknik di tempat-tempat terpencil lainnya. Tak heran jika ia memiliki dua buah tenda yang ukurannya cukup untuk dua orang.Damien memasang tenda yang letaknya sedikit jauh dari bibir pantai agar tidak terkena air. Ia membiarkan sang istri menikmati suasana pantai sambil bermain air. Sesekali Damien memperhatikan
Pukul 01.00 dini hari, Dyandta terbangun karena merasa haus. Ia membuka mata sambil berusaha untuk duduk. Tubuhnya lelah sekali. Untuk melangkah saja rasanya berat. Dyandta melirik ke arah kiri, ternyata suaminya tidak ada di sampingnya. Dahinya mengernyit lalu bergegas keluar kamar. Barangkali suaminya sedang menonton televisi.Dyandta menuruni tangga sambil menguap karena masih mengantuk. Ia lupa membawa segelas air putih ke dalam kamar. Alhasil, ia harus repot turun ke bawah hanya untuk mengambil air minum.Saat kaki kanan Dyandta baru saja menyentuh anak tangga terakhir, sayup terdengar suara Damien sedang mengobrol dengan seseorang di telepon. Tapi nada suara Damien terkesan tegas, bahkan sampai memaki lawan bicaranya."Sudah kukatakan untuk berhenti menggangguku! Aku tidak akan meninggalkan istri tercintaku demi wanita sepertimu!"Kuat dugaan, wanita yang dimaksud suaminya adalah Velice. Karena hanya wanita itu yang belakangan ini menghantui rumah tangga Damien dan Dyandta.Di b
Damien dan Dyandta tiba di parkiran rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Mereka diantar oleh Tommy karena Damien masih trauma untuk menyetir sendiri. Tapi Dyandta sudah memberikan obat khusus agar trauma suaminya berangsur menghilang dan ini masih dalam proses penyembuhan.Pasangan pasutri itu berjalan masuk setelah turun dari mobil. Sementara Tommy pamit untuk ke kafe di sekitar rumah sakit sambil menunggu majikannya tersebut.Damien menggandeng mesra tangan Dyandta. Tidak peduli dengan beberapa perawat yang memperhatikan keharmonisan mereka. Langkah mereka terlihat santai, sampai akhirnya mereka masuk ke dalam ruang kerja Dyandta."Duduklah di sana," ujar Dyandta sambil menunjuk ke arah sofa yang dikhususkan sebagai tempatnya beristirahat. "Aku harus segera menerima pasien.""Baiklah. Semangat!"Dyandta tertawa ringan saat suaminya mengucapkan kata 'semangat' dengan wajah ceria. "Terima kasih, Suamiku. Aku akan mengambilkan minuman dingin untukmu.""Tidak perlu, Sayang. Aku
Velice menyimpan gunting itu di dalam tasnya. Ia akan menunggu waktu yang tepat untuk merobek bagian tubuh Dyandta. Tak peduli apa resiko yang akan diterimanya nanti. Yang jelas, Velice bisa melampiaskan amarah dan rasa kesalnya pada Dyandta, karena wanita itu adalah penghalang besar baginya untuk mendapatkan Damien.Sedangkan di luar ruang penyimpanan itu, Velice tidak sadar dengan kehadiran seseorang. Seseorang itu tak lain adalah Deborah, saudara kembarnya. Bukan bermaksud untuk mengikuti. Hanya saja, kebetulan sekali Deborah ingin masuk ke ruangan itu dan tidak sengaja mendengar ucapan kesal Velice, sebelum dirinya membuka pintu tersebut."Aku harus memberitahu Dokter Dyandta tentang hal ini. Aku tidak ingin Dokter baik itu mendapat perlakuan buruk dari adikku. Kurang ajar kau, Velice. Tidak akan kubiarkan kau menyakiti siapapun, termasuk Dokter Dyandta dan suaminya," gumam Deborah dan langsung menjauh dari ruangan itu.Langkah Deborah tampak tergesa-gesa. Ia memutuskan untuk perg
Malam ini, Dyandta tengah mengemas beberapa pakaian dan peralatan mandi di dalam koper. Sedangkan Damien sedang sibuk memesan tiket pesawat dan booking hotel untuk menginap. Damien duduk di bawah sambil menemani istrinya mengemas pakaian dan lain sebagainya."Sayang, tiket pesawat sudah kupesan. Kita mendapat penerbangan pagi. Hotel juga sudah aku pesan dan kita mendapat hotel yang bagus," ujar Damien setelah meletakkan ponselnya di atas kasur.Dyandta melirik sekilas ke arah suaminya sambil tetap menyusun pakaian di koper. "Kita mau pergi kemana?""Santorini."Dyandta terkejut mendengar jawaban suaminya. Santorini, tempat yang paling indah di Yunani. Ia memang sangat suka tempat itu. Bahkan pernah berharap dirinya bisa sampai di sana bersama orang yang ia cintai. Dan harapan itu terkabul. Padahal Dyandta tidak pernah bercerita tentang keinginannya itu pada Damien."Kenapa, Sayang? Kau tidak suka?" tanya Damien cemas."Suka. Aku sangat suka," Dyandta langsung menjawab dengan wajah sum
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka