Enam bulan kemudian, Damien tiba di rumah sakit untuk kembali menjalankan terapi agar penyembuhannya semakin berjalan lancar. Saat ini, ia sudah tidak tinggal di Prancis. Ia beserta keluarganya memilih menetap di New York. Sesuai dengan pernyataan Bailey yang ingin membawa Damien pergi ke rumah sakit terbaik agar Damien bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi.
Kursi roda yang digunakan Damien tampak bergerak memasuki ruangan Jhonson yang selalu merawatnya dengan baik selama berada di New York. Dokter berusia 45 tahun itu menyambut Damien dan Dyandta dengan senyuman manisnya."Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Curtis," sapa Jhonson."Selamat pagi, Dok," balas Damien dan Dyandta secara bersamaan.Jhonson kembali tersenyum. "Sudah siap menjalani terapi, Tuan Curtis?""Tentu saja saya siap, Dok," jawab Damien dengan semangat yang membara."Baiklah. Ayo, kita ke ruang terapi sekarang."Dyandta menyerahkan Damien pada JhonDyandta menghela napas lelah sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Seharian ini, banyak sekali pasien yang ia tangani. Sepertinya, ia membutuhkan asisten tambahan untuk meringankan pekerjaannya. Dyandta juga harus bisa membagi waktu untuk mengurus suaminya yang masih membutuhkan perhatian ekstra. Ia tidak mungkin membebankan tugasnya sebagai seorang istri kepada mertuanya.Sesaat kemudian, ada sebuah panggilan telepon yang masuk. Dyandta segera mengambil ponselnya dari dalam saku jas dokternya. Panggilan itu dari Airin. Dyandta menggeser ikon hijau di layar untuk menerima telepon dari Airin."Halo, Bu," sapa Dyandta."Halo, Nak. Kau masih di rumah sakit?"Dyandta menegakkan tubuhnya, lalu menjawab, "Iya, Bu. Ada banyak pasien hari ini. Sepertinya, aku membutuhkan asisten tambahan untuk membantuku di sini. Aku bahkan belum menjemput Damien. Dia pasti marah padaku.""Ah, kau tidak perlu khawatir soal itu, Nak. Damien sudah aman bersama Ibu. Tadi, dia menghubungi Ibu dan meminta Ibu unt
Dyandta mengeringkan rambutnya dengan hairdryer sambil duduk di depan meja rias. Ia menatap dirinya di pantulan cermin. Sekilas Dyandta melirik ke arah tempat tidur. Damien tampak tertidur pulas. Bahkan tidak terganggu sedikitpun dengan aktivitas yang dilakukan Dyandta sejak tadi. Terlihat jelas di wajah Damien yang sangat kelelahan karena terapi yang ia lakukan.Hairdryer itu diletakkan Dyandta ke dalam laci meja rias. Setelah itu, ia beranjak ke tempat tidur untuk melihat jelas wajah suaminya. Perlahan, Dyandta mengusap pelan wajah Damien sambil mengukir sebuah senyum. Ia merasa lega karena sudah menikahi pria yang dicintainya itu."Aku sangat mencintaimu, Damien.""Aku juga."Dyandta terkesiap mendengar balasan dari suaminya. Pria itu sudah membuka mata dan tersenyum menatap Dyandta. "Kau sudah bangun sejak tadi?" tanya Dyandta."Tidak. Aku terbangun saat kau menyentuhku," jawab Damien. "Tapi aku berpura-pura tidur. Sampai aku mendengar pernyataan cintamu. Barulah aku membuka mata.
Hari ini, George datang kembali ke rumah sakit milik Dyandta. Pria itu membawa saudaranya untuk melakukan berbagai terapi penyembuhan. George berharap bisa lebih leluasa mengobrol tentang banyak hal bersama Dyandta. Entah kenapa ia merasa rindu dengan kedekatan mereka dulu, sebelum terkontaminasi oleh sifat jahat Cacha.Menyesal? Sudah pasti George menyesal. Berulang kali George memikirkan hal itu dan merasa tidak tenang. Apalagi Dyandta belum memberinya maaf. George juga menyesal karena hampir melecehkan Dyandta waktu itu. Ia tidak habis pikir, kenapa dirinya bisa bertindak bodoh seperti itu demi uang.George tersadar dari lamunannya saat tak sengaja menyenggol seseorang. Ternyata yang ia senggol adalah Dyandta."Oh, maafkan aku, Dyandta. Aku tidak melihatmu," ucap George menyesal.Dyandta memegang bahunya yang disenggol oleh George. "Iya, tidak apa-apa.""Ehm, aku ke sini mau menemani saudaraku melakukan terapi.""Baiklah. Ikut aku."George mengikuti langkah Dyandta menuju ruang khu
George berjalan ke arah minimarket di seberang jalan. Ia ingin membeli sesuatu untuk menghadiahi Dyandta. Sesuatu yang bisa dimakan karena ia tahu Dyandta akan lembur sampai malam. George mengetahui jadwal Dyandta dari salah satu suster di tempat praktek itu.Dengan langkah riang, George menyeberang jalan. Setelah tiba di depan minimarket, ia tak sengaja melihat sosok pria yang sangat dikenal. Di samping kanan minimarket memang ada kafe yang tidak terlalu besar. Sosok pria yang ia lihat sedang duduk di salah satu kursi kafe yang ada di luar. Tapi pria itu tidak sendiri. Ada seorang wanita yang menemaninya.George mengernyit heran sambil menggumam, "Siapa wanita itu? Kenapa dia pergi dengan wanita lain? Sedangkan istrinya sibuk bekerja sendirian."Kalian sudah tahu siapa yang dimaksud oleh George. Damien. Pria itu duduk di kafe bersama seorang wanita yang tak lain adalah Velice, adik kembar Deborah. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra. Begitulah menurut pandangan George."Apa mungki
Kini, Airin sudah duduk berhadapan dengan Dyandta. Jarak rumah pribadi dengan rumah sakit cukup dekat. Airin diantar oleh sopir pribadinya sendiri."Ada apa, Nak? Kenapa tiba-tiba meminta Ibu untuk datang?" tanya Airin sedikit cemas. "Wajahmu terlihat gelisah. Ada masalah?"Dyandta mengangguk lemah. Seakan tidak siap mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Pikiran Dyandta melayang entah kemana. Dalam pikirannya, timbul sebuah pertanyaan baru. Mungkinkah Airin juga mengetahui hal ini dan sengaja menyembunyikan semuanya dari Dyandta?Mendadak Dyandta merasa takut akan fakta itu. Ia tak tahu harus apa jika memang itu semua benar. Haruskah ia mempertahankan rumah tangga yang dibangun susah payah olehnya? Bahkan ia sampai bertengkar dengan orang tua kandungnya demi menikahi Damien. Haruskah pengorbanan itu dibalas pengkhianatan?"Dyandta?" Airin menyentuh tangan Dyandta yang berada di atas meja. Wanita itu melamun dan Airin berusaha menyadarkannya. "Ada apa? Katakan pada Ibu. Jangan tutupi
Pukul 20.00 malam, Damien menepati ucapannya pada Airin. Ia pulang ke rumah dengan memakai kursi roda. Damien sudah bisa mendorong kursi rodanya sendiri untuk masuk ke dalam rumah. Sesampainya di ruang tamu, Damien langsung disambut tidak ramah oleh orang tuanya.Sebelumnya, Airin sudah menceritakan semua kebohongan Damien pada Bailey. Itu sebabnya, malam ini Airin dan Bailey menunggu kepulangan Damien di ruang tamu."Ayah, Ibu, kenapa tidak tidur?" tanya Damien tanpa berpikir negatif melihat perubahan sikap orang tuanya."Kami menunggumu sejak tadi," jawab Airin dingin dengan tatapan tidak bersahabat.Damien mengernyit saat melihat tatapan berbeda yang ditampilkan Airin. Setelah itu ia beralih menatap Bailey. Tatapan Bailey juga tak kalah tajam dan mengintimidasi. Damien masih belum menyadari kesalahannya."Ada apa ini? Kenapa sikap kalian berbeda dari biasanya?" tanya Damien bingung.Bailey berdiri dari tempat duduknya, diikuti Airin. Kedua tangan Bailey bersedekap, menatap Damien d
Deborah berjalan tergesa-gesa di koridor rumah sakit, sekitar pukul 05.00 pagi. Ia baru saja mendapat ultimatum dari Dokter Jhonny karena kelakuan buruk Velice, saudara kembarnya yang lahir 5 menit setelah Deborah. Wajah panik Deborah terlihat jelas, meskipun kondisi koridor tidak terlalu terang. Langkah kakinya semakin cepat saat melihat Velice keluar dari ruang rawat salah satu pasien di sana.Napas Deborah sudah sangat memburu. Marah bercampur lelah. Deborah tak menyangka kelakuan adiknya bisa berdampak juga pada karirnya. Dokter Jhonny memberi ancaman padanya."Kau akan dipecat dari rumah sakit ini, jika tidak bisa menasehati Velice." Begitulah ancaman keras Dokter Jhonny pada Deborah. Meskipun hanya sebuah gertakan, Dokter Jhonny tidak akan segan melakukan itu pada Deborah. Karena sebelumnya, Dokter Jhonny sudah melaporkan hal ini pada atasannya di rumah sakit itu.Deborah menarik paksa Velice dan menjauhkannya dari meja resepsionis. Cengkraman tangan Deborah pada lengan Velice b
Dyandta baru saja menghentikan mobilnya, tak jauh dari rumahnya saat ini. Rasa ragu untuk pulang ke rumah muncul di hati Dyandta. Haruskah ia pulang detik ini juga? Siapkah dirinya melihat wajah Damien yang sudah mengkhianatinya? Ah, entahlah. Semua pertanyaan yang berputar di otak Dyandta membuat pusingnya semakin bertambah.Saat hendak melajukan mobilnya lagi, tiba-tiba ponsel yang ada di kursi bagian kanan berdering. Dyandta mengurungkan niat untuk melajukan mobilnya. Diterimanya panggilan telepon dari nomor yang tidak tersimpan di kontak ponselnya."Halo," jawab Dyandta. "Ini Dokter Dyandta. Ada yang bisa dibantu?""Halo, Dok. Saya Deborah, saudara kembar Velice."Dyandta terdiam. Tak menyangka. Ternyata yang menghubunginya saat ini adalah saudara kembar dari wanita yang telah berani menggoda suaminya. Dyandta menggenggam erat ponsel yang masih menempel di telinganya. Rasa marah pun muncul saat mengingat kembali rekaman video itu."Dok, tolong dengarkan saya. Saya baru mengetahui
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka