Hilaire dan Frederic masih terlihat tidak enak dengan Mike karena penolakan Dyandta tentang perjodohan itu. Hilaire mencoba memberi pengertian pada Mike untuk lebih bersabar menunggu sampai Dyandta bisa menerima perjodohan tersebut."Ibu mohon padamu untuk bersabar sebentar, Mike. Dyandta memang seperti itu. Tapi tidak sulit untuk membujuknya. Nanti Ibu akan bicara baik-baik padanya," ucap Hilaire.Mike tersenyum. "Tidak masalah jika dia menolak perjodohan ini. Aku juga tidak ingin memaksakan kehendak. Pria yang dia sebut sebagai kekasihnya itu mungkin pria terbaik untuknya."Ucapan Mike seakan menohok hati Hilaire. Wanita paruh baya itu tidak mungkin membatalkan perjodohan dan mengingkari janjinya pada mendiang orang tua Mike. Itu bukanlah sifat Hilaire. Janji tetaplah janji dan itu harus ia tepati apapun resikonya."Mike, Ibu sudah berjanji pada orang tuamu tentang perjodohan ini. Ibu tidak mungkin mengingkari janji itu," kata Hilaire. "Tunggulah sebentar saja. Ibu akan membujuk Dya
Selesai berdoa, Dyandta termenung di gereja. Siang ini, Dyandta menolak tawaran makan siang bersama dengan Airin. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya dari berbagai masalah yang sedang ia hadapi saat ini. Dyandta sempat menganggap remeh semua masalahnya. Menganggap bahwa orang tuanya akan setuju dengan keputusannya. Tapi kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi. Orang tuanya justru menjodohkannya dengan pria lain.Dyandta menghela napas kasar sambil bersandar di kursi gereja. Ia masih belum menetapkan pilihan sampai detik ini. Nasehat Airin selalu menggema di telinganya. Memintanya untuk berhenti mengharapkan Damien yang sedang terbaring sekarat di rumah sakit.Memang benar apa yang dikatakan Airin. Entah sampai kapan Damien akan tetap seperti itu. Hanya kuasa Tuhan yang mampu menyadarkan Damien dari komanya. Dyandta hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk pria itu."Dyandta?"Mendengar namanya dipanggil, Dyandta langsung tersentak kaget. Ia menoleh ke samping kanan. Dyandta menegakk
Dyandta menggebrak meja kerjanya karena kesal dengan perilaku kedua orang tuanya. Sudah dua kali ia mendapatkan tamparan dari mereka. Ia sampai tidak bisa berpikir jernih saat ini. Bahkan semua pasien yang sudah menunggunya terpaksa pulang dengan kekecewaan karena Dyandta tidak fokus untuk bekerja.Wanita itu duduk di kursi kerjanya sambil bersandar dengan helaan napas yang kasar. Ia memijat pelipisnya karena terlalu sakit. "Apa yang harus kulakukan?" gumamnya pelan.Pikiran Dyandta melayang jauh entah kemana. Ia benar-benar bingung menghadapi situasi seperti ini. Kedua orang tuanya sudah sangat kelewatan menilai Damien. Memang Dyandta akui, Damien sempat menyakiti perasaannya. Tapi hal itu segera Dyandta lupakan, mengingat kondisi Damien saat ini cukup parah.Sampai akhirnya lamunan itu buyar ketika dirinya mendengar suara ketukan pintu ruangan yang terbuka. Dyandta melihat ke arah pintu dan melihat Airin tengah berjalan menghampirinya. Ia langsung menegakkan tubuhnya dan mempersilak
Keesokan paginya, dokter sudah bersiap memeriksa kondisi Damien lebih lanjut. Untuk sementara, Dyandta, Airin dan Bailey menunggu di luar. Mereka berharap tidak ada hal serius lainnya yang bisa mengguncang pikiran Damien nantinya. Dyandta terus mendoakan Damien di dalam hati.Airin menyentuh pundak Dyandta. "Nak, tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Aku yakin, Damien pasti bisa pulih dengan cepat berkat dukunganmu, Nak.""Iya, Bu. Aku akan melakukan apapun untuknya."Bailey menatap Dyandta. Hatinya masih mengganjal perihal hubungan Dyandta dengan orang tua kandungnya. Bailey melihat langsung penolakan keras dari kedua orang tua menantunya itu. Dyandta diusir dari rumah dan diberikan sumpah serapah oleh Hilaire karena tidak menuruti kemauan mereka untuk menikah dengan Mike."Nak," panggil Bailey.Dyandta pun menoleh. "Ya, Ayah?""Apa kau sudah menghubungi orang tuamu?" tanya Bailey.Dyandta menggeleng pelan. Mendadak tubuhnya lemas saat Bailey membahas tentang orang tuanya. Inilah res
Dyandta masuk ke dalam ruang rawat suaminya dengan wajah murung. Ia masih kesal perihal kehadiran Cacha di rumah sakit. Apalagi wanita itu berbicara buruk padanya. Dyandta duduk di sofa dan tetap dalam posisi diam tanpa kata. Airin yang melihat perubahan ekspresi Dyandta pun bergegas mendekati menantunya itu. Airin duduk tepat di samping kanan Dyandta.Dipegangnya pundak Dyandta dengan pelan sambil berkata, "Ada apa, Nak? Kenapa wajahmu murung begitu? Ada masalah?""Bu," Dyandta menatap Airin, "apakah tadi Cacha masuk ke ruangan ini?"Airin langsung mengernyit. "Cacha? Tidak. Dia tidak ada masuk ke ruangan ini. Kenapa kau membicarakan Cacha?""Hhh! Syukurlah," ucap Dyandta lega. "Aku tadi bertemu dengannya sebelum masuk ke ruangan ini, Bu.""Wanita sialan itu? Apa tujuannya datang ke rumah sakit?" tanya Airin penasaran.Dyandta menggeleng. "Aku juga tidak tahu, Bu. Tapi aku mempunyai firasat buruk.""Apa yang kau rasakan, Dyandta? Apa kau takut Cacha akan merebut Damien kembali?""Iya
Cacha terlihat mondar-mandir di ruang tamu sambil memegangi ponselnya. Ini sudah masuk hari kedua setelah George menghubunginya kemarin. Memaksanya untuk membebaskan George dari penjara. Besok adalah waktu yang ditunggu oleh George. Baru saja Cacha mendapat panggilan telepon lagi dari George. Itu sebabnya dia panik saat ini.Kegelisahannya itu semakin bertambah saat George kembali mengancamnya tadi. George akan menyebut namanya dan akan membuatnya merasakan dinginnya lantai penjara. Cacha tidak bisa membayangkan hidupnya akan berada di dalam penjara. Sudah pasti, Albert tidak akan membantunya."Astaga! Bagaimana ini? Ayo berpikir, Cacha. Berpikir," gerutunya.Cacha ingin menghubungi kedua orang tuanya. Tapi nomornya sudah diblokir. Orang tua Cacha juga sudah pindah rumah dan sengaja tidak memberitahukan hal ini pada Cacha. Sampai detik ini, Cacha tidak pernah lagi bertemu dengan kedua orang tuanya."Sial!"Wanita itu duduk di sofa sambil memukul ujung sofa dengan kesal. "Kenapa harus
Setelah menunggu beberapa saat, Cacha kembali melihat Bailey masuk ke dalam ruang rawat Damien. Bailey membawa selembar kertas dan pena lalu menyerahkan benda tersebut pada Cacha. Cacha yang menerimanya merasa bingung sambil menatap Bailey."Apa ini?" tanya Cacha sambil menunjuk lembaran kertas itu.Bailey bersidekap lalu menjawab dengan santai, "Surat perjanjian.""Surat perjanjian?""Ya," jawab Bailey. "Jika kau menginginkan uang itu, maka kau harus menandatangani surat ini. Disitu tertulis, kau harus menjauhi keluargaku, terutama Damien dan Dyandta. Jika tidak, kau akan berurusan dengan polisi. Bagaimana?"Cacha mendecak kesal. Ia tidak menduga hal ini sebelumnya. Ternyata Bailey jauh lebih pintar daripada dirinya. Tapi Cacha harus menerima perjanjian itu. Ia tidak punya pilihan lain."Jika kau setuju, tandatangani sekarang dan aku akan memberikan uangnya," lanjut Bailey.Cacha masih menatap surat perjanjian itu. Ia ragu untuk menandatanganinya. Jika surat itu ia tandatangani, otom
Airin membuka pintu ruang rawat Damien dengan tergesa-gesa. Ia terlambat datang karena terjebak macet di jalan. Setelah melihat Damien bersama Dyandta, barulah Airin bisa bernapas lega."Syukurlah," ucap Airin sambil mengelus dada dan menghampiri menantunya. "Ibu kira Damien sendirian di sini. Tadi Ibu terjebak macet di jalan. Maafkan Ibu ya."Dyandta tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu.""Iya, Bu. Tidak perlu meminta maaf," sambung Damien.Airin dipersilahkan duduk oleh Dyandta. Sementara Dyandta mengambil kursi yang lain untuknya. "Ibu, Cacha datang ke sini saat aku sedang mengurus pasien. Damien yang mengatakannya padaku," ucap Dyandta."Benarkah?" Airin terkejut dan menatap Damien. "Apa yang dia lakukan di sini? Dia menyakitimu, Nak?" tanyanya.Damien menggeleng. "Tidak, Bu. Dia datang ke sini untuk meminta uang.""Untuk apa dia meminta uang padamu? Harusnya dia minta pada suami barunya itu. Berani sekali dia mengganggu putraku," gerutu Airin."Aku juga tidak tahu tujuannya apa meminta
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka