Damien mengerjapkan mata ketika sinar matahari menerpa wajahnya dari sela jendela. Tirai jendela ternyata sudah dibuka oleh Airin agar putra kesayangannya itu segera terbangun dari tidur lelapnya. Air lemon hangat juga disediakan oleh Airin di atas nakas.Damien sedikit mendesis sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing dan berdenyut. Ia mencoba untuk duduk dan bersandar. Setelah sepenuhnya sadar, barulah Damien menyadari kehadiran Airin di sana. "Ibu, kepalaku pusing sekali," keluhnya."Minum air lemon ini." Airin menyodorkan gelas berisi air lemon kepada putranya. "Kau pulang jam tiga pagi dalam keadaan mabuk. Wajar jika kau mengalami pusing di kepala.""Mabuk?"Airin mengangguk sambil meletakkan gelas tersebut ke atas nakas. "Iya. Kau tidak ingat?""Oh, iya. Aku baru mengingatnya, Bu," ucap Damien yang masih memijat kepalanya. "Lalu, yang mengantarku pulang siapa?""Ibu juga tidak tahu, Nak. Kata Ayah, kau sudah tergeletak di lantai."Damien berusaha mengingatnya, namun kepalan
Dyandta duduk di salah satu kursi yang ada di kantin rumah sakit. Saat ini, ia sedang berhadapan dengan Bailey secara langsung. Semula, mereka sudah bicara via telepon pagi tadi. Tapi siang ini, Bailey kembali menghubungi Dyandta untuk bertemu secara langsung. Tatapan Bailey tampak tajam, seakan sedang mengintimidasi tersangka. Sementara Dyandta hanya bersikap tenang seperti biasa. Kedua tangan Dyandta berada di atas meja."Jadi, hal apa yang ingin anda tanyakan?"Bailey berdeham sejenak, lalu ia berkata, "Masih tentang hal yang sama. Tentang Damien, anak saya.""Ada apa dengan Damien?""Dokter jangan pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi pada anak saya. Kemarin, Damien melihat anda sedang bersama pria lain. Dan anak saya berkata bahwa keluarga anda berat memberi restu karena riwayat penyakit mentalnya yang menjadi alasan utama," ucap Bailey dengan nada suara yang sedikit tegas. "Sekarang, jawab pertanyaan saya. Apakah benar kejadiannya seperti itu?"Dyandta terdiam. Akhirnya ia
Damien menatap Dyandta dengan tajam karena telah merusak kesenangannya. Bahkan Damien dengan lantang menepis tangan Dyandta yang masih bertengger di lengan kekarnya. Dyandta benar-benar merusak suasana. Wanita yang ada di samping Damien pun menatap Dyandta dengan tatapan tidak suka."Apa yang kau lakukan di sini, hah?! Kau merusak kesenanganku!" Suara Damien meninggi karena marah. "Pergi dari hadapanku sekarang! Kau itu tidak pantas menghalangiku!"Dyandta merasa sedih mendengar teriakan itu. Bagaimana bisa Damien setega itu padanya? Padahal Dyandta datang untuk menjelaskan semuanya. Tapi kondisi Damien saat ini tidaklah baik."Damien, tolong dengarkan aku. Kau hanya salah paham. Waktu kau datang ke rumah sakit, aku....""Cukup!" Damien menyela dengan cepat. Ia tidak suka mendengar alasan. "Aku tidak akan mendengar alasanmu! Apapun itu, aku sudah membencimu dan menjauhlah dariku!"Damien mendorong tubuh Dyandta hingga tersungkur ke lantai. Dyandta meringis kesakitan, sementara Damien
Dyandta menangis sesenggukan di dalam kamar. Ia merasa hancur melihat perubahan Damien. Tidak menyangka kesalahpahaman itu akan mengubah karakter seseorang menjadi lebih buruk seperti itu. Dyandta sangat menyesal karena tidak memikirkan hal ini sebelumnya.Saat ketukan pintu terdengar dari luar, Dyandta langsung menghapus airmatanya. Suara ibunya sudah terdengar dan memintanya untuk sarapan.Pagi ini, Dyandta memang izin untuk tidak masuk kerja karena merasa tidak enak badan dan juga pikirannya sedang kacau. Sejak semalam ia tidak tidur, mencari cara untuk menyadarkan Damien dari segala perbuatan buruknya. Dyandta tidak ingin Damien terjebak di dalam dunia gelap itu."Dyandta, ayo sarapan, Nak."Suara ibunya kembali terdengar. Dyandta bergegas turun dari tempat tidur. Sebelum membuka pintu, Dyandta memastikan airmatanya sudah mengering agar ibunya tidak banyak bertanya mengenai hal itu.Pintu dibuka dan Dyandta memaksakan senyuman agar ibunya tidak curiga. "Iya, Bu. Nanti aku menyusul.
Ketika hati terluka, luka itu tidak akan sembuh secepat kilat. Butuh proses untuk menyembuhkannya. Begitu juga hati Damien yang sempat terluka untuk kedua kalinya. Meskipun sebenarnya ini hanyalah kesalahpahaman saja. Tapi Damien tidak mau mengerti. Mungkin karena trauma masa lalu yang masih menghantuinya sampai detik ini. Dikecewakan itu memang tidak enak.Damien juga sadar, dirinya hanyalah seorang duda yang pernah gagal dalam pernikahan dan tidak bisa mempertahankan pernikahan itu. Mengalami trauma dan depresi berat sehingga membuatnya seperti orang tidak waras. Wajar jika orang tua ataupun saudara Dyandta yang lain masih ragu untuk memberi restu.Saat ini, Damien tengah termenung di ruangannya. Sudah berapa hari dirinya tidak datang ke kantor itu hanya karena ingin melampiaskan emosi bersama wanita lain. Jujur saja, melihat Dyandta dekat dengan pria lain dan tertawa lepas, membuat hatinya hancur. Sakit. Damien tidak bisa menerima itu dengan mudah meskipun sudah dijelaskan berkali-
Setelah jam kerja selesai, Damien tidak berkunjung ke bar, melainkan langsung pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin karena hasratnya sudah ia lampiaskan pada Celine saat di kantor tadi. Bahkan sebelum pulang, ia sempat menemui Celine dan kembali mengancam agar kejadian itu tidak disebar-luaskan. Celine hanya bisa menurut dan tidak berani melawan perintah atasannya itu karena Celine butuh pekerjaan tersebut untuk menafkahi anak-anaknya.Damien berjalan memasuki pekarangan rumah. Dilihatnya sang ibu sedang menyiram tanaman di halaman. Beberapa tanaman hias sangat terawat dengan baik di sana. Airin memang rajin merawat tanaman hias itu.Damien memeluk Airin dari belakang. Airin hanya tersenyum sambil mengelus kepala putranya yang bersandar di bahunya. "Cepat ganti pakaianmu. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," kata Airin."Aku masih belum lapar, Bu.""Pergi dan lihatlah ke meja makan. Kau akan merasa lapar setelah melihat masakan Ibumu ini," ujar Airin.Damien pun melepas pelukannya.
Dyandta terduduk lemas salah satu kafe yang tak jauh dari lokasi ia diturunkan oleh Damien. Kondisinya masih belum pulih total. Ditambah lagi perlakuan Damien yang sangat menyesakkan hati. Wanita mana yang suka diperlakukan kasar seperti itu? Hanya karena salah paham, semuanya menjadi hancur dan berubah dalam sekejap. Dyandta juga mengutuk dirinya sendiri yang memang tidak bisa mengendalikan rasa senangnya saat bertemu dengan Malvis.Selama ini, Malvis adalah pria yang selalu mendengarkan segala keluh-kesahnya dalam hal apapun. Malvis juga sering membantu Dyandta jika mengalami kesulitan. Dyandta tidak bisa bersikap cuek pada pria itu. Ia menganggap Malvis sudah seperti saudara. Apalagi Dyandta sendiri hanya anak tunggal.Dyandta memesan segelas cokelat panas untuk menghilangkan rasa stresnya. Dyandta benar-benar membutuhkan hiburan saat ini. Untungnya, suara musik dari kafe itu membuatnya sedikit lebih tenang dan santai. Ia menarik napas lalu membuangnya perlahan sambil menutup mata.
Pukul 01.00 dini hari, Alex mendapati Damien yang sedang berkelahi di ruang VVIP dengan salah satu tamu pria. Alex dan beberapa karyawan bar lain berusaha melerai perkelahian itu. Bahkan petugas keamanan yang berjaga di luar bar turut membantu. Alex berusaha memegangi tubuh Damien yang terus memberontak untuk dilepaskan. Sementara pria yang berkelahi dengan Damien tampak babak belur di sofa.Masalahnya hanya karena pria itu menggoda salah satu wanita yang mendampingi Damien di ruangan tersebut. Damien yang sudah terlanjur mabuk berat dan tidak suka dengan pria itu, akhirnya Damien menyerang pria itu tanpa pikir panjang."Lepaskan aku!""Sudah hentikan, Damien! Dia sudah babak belur!" teriak Alex."Biarkan saja! Aku akan menghabisi nyawanya sekarang juga!"Damien berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Alex. Ia hendak menyerang pria yang sedang sekarat itu. Tapi pergerakannya berhasil dicegah oleh Alex. Alhasil, Damien kembali memberontak sambil berteriak tidak jelas."Lepaskan aku! A
Satu tahun kemudian, George dan Dyandta melangsungkan pernikahan sederhana di salah satu gereja. Disaksikan oleh keluarga besar George, pegawai Lunar's Cafe, para perawat di rumah sakit Dyandta, serta Cacha yang datang bersama Albert.Sebulan yang lalu, Albert akhirnya menemui Cacha dan mengaku masih mencintai Cacha. Albert mengajak Cacha untuk rujuk kembali dan ajakan itu pun diterima dengan senang hati oleh Cacha. Kabar baik itu langsung disebarkan oleh Cacha. Dan kini, Cacha menghadiri pernikahan dua sahabatnya bersama Albert.Lalu, bagaimana dengan Damien?Sejak diceraikan oleh Dyandta, Damien kembali mengalami depresi. Perusahaannya mengalami kebangkrutan dan proyek besar itu berhasil diambil alih oleh Willy dan kasus Malvis sudah ditutup karena pelakunya sudah tewas dalam kecelakaan tunggal. Damien pun dikirim ke rumah sakit, tempat Dyandta membuka praktek. Bailey dan Airin memang memberikan rumah sakit itu pada Dyandta dan tidak mengambilnya kembali.Selama ini, Dyandta masih m
Dyandta terbangun dari tidurnya pukul 02.00 dini hari. Ia melenguh sakit di kepala dan tangannya. Dyandta mencoba menormalkan pandangannya untuk melihat ke sekitar ruangan. Itu bukanlah kamarnya.Wanita itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Hingga ingatan akan kecelakaan itu langsung muncul. Dyandta langsung meraba perutnya."Anakku," gumamnya lirih.Dyandta melihat seseorang sedang tertidur di samping kirinya. Seseorang itu adalah George. Dia menemani Dyandta sejak tadi. Dyandta dipindahkan ke kamar perawatan pada pukul 12.00 dini hari tadi. Dan kini, Dyandta sudah sadar."George," panggil Dyandta lirih.George yang mendengar suara itu pun segera membuka mata dan menatap ke arah Dyandta. Pria itu tersenyum meskipun kesadarannya belum pulih sepenuhnya."Ah, kau sudah sadar. Aku panggilkan Dokter dulu ya," ucap George."Bagaimana dengan anakku?"Pertanyaan Dyandta membuat tubuh George kaku. Ia menatap Dyandta dalam diam. Sedangkan Dyandta menunggu jawaban dari George. "Katakan,
"....Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang."Mendengar pengakuan Malvis, air mata Dyandta langsung menetes. Belum sempat ia meminta maaf pada orang tuanya, Tuhan sudah mengambil mereka darinya. Seketika tangis Dyandta pecah sambil memanggil kedua orang tuanya. Malvis menenangkan sambil mengusap pundak Dyandta."Aku ingin mengajakmu pergi karena aku tahu, kau tidak bahagia dengannya," lanjut Malvis.Dyandta menggeleng perlahan. "Tidak, Malvis. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya. Kau juga begitu. Jangan mencoba untuk lari sebelum masalah selesai.""Tidak!" Malvis menolak dengan tegas. "Aku tidak sudi bertemu dengannya. Dia sudah menghancurkanku. Bahkan secara tidak langsung, dia juga membunuh orang tuamu.""Jangan menuduh sembarangan, Malvis!" bentak Dyandta.Malvis menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan. Mengabaikan perintah Dyandta untuk berhenti. Sampai akhirnya, mereka saling berebut setir bundar itu. Hingga membuat mobil oleng ke kanan dan ke kiri. Tidak ada
"Sekarang, katakan apa yang sedang terjadi? Kenapa kau menangis?"Dyandta masih diam. Belum menjawab pertanyaan George. Ia masih berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian buruk itu. Untungnya George sabar menunggu dan berusaha memahami perasaan Dyandta.George menggenggam tangan Dyandta yang berada di atas meja, setelah piring bekas makan itu disingkirkan oleh George."It's okay, jika kau belum siap untuk cerita. Aku akan menunggu. Tenangkan dirimu," ucap George tenang. "Sekarang, ikuti aku. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang perlahan."Dyandta langsung mengikuti apa yang disuruh George. "Iya, seperti itu. Bagus sekali. Lakukan terus sampai kau bisa tenang kembali," lanjut George memberi semangat.Wanita itu melakukannya secara berulang, lalu berhenti setelah dirinya merasa lebih tenang. Setelah itu, ia memulai ceritanya dari awal hingga akhir. George menjadi pendengar yang baik, meskipun hatinya sedang dongkol saat tahu Dyandta menangis karena Damien. Tapi George tetap me
Seminggu sejak kejadian ruang arsip terbakar, akhirnya polisi mengetahui identitas si pelaku. Pelaku tersebut adalah Malvis. Masih ingat dengan Malvis? Ya. Dia Malvis. Pria yang dikenal oleh Dyandta dan Damien. Pria yang selalu dianggap Dyandta sebagai saudara, justru berniat menghancurkan kehidupan Damien.Sampai saat ini, polisi masih memburu Malvis yang mendadak kabur entah kemana. Polisi sudah mendatangi alamat keluarga Malvis. Tapi Malvis tidak ada di sana.Entah sejak kapan pria itu berada di New York. Bahkan Dyandta sama sekali tidak tahu Malvis berada di kota yang sama dengannya.Damien menggebrak meja dengan kesal. Ia jadi teringat kejadian dulu, sebelum dirinya menikah dengan Dyandta. Karena kedekatan Dyandta dengan Malvis, Damien sempat berprasangka buruk pada Dyandta. Tapi Dyandta berusaha meyakinkannya bahwa Malvis hanya sekadar teman yang sudah dianggap seperti saudara. Damien berusaha menerima alasan itu setelah menikah dengan Dyandta.Tapi nyatanya, pria itu pula yang
"Tuan."Panggilan Pablo membuat Damien sedikit terkejut. Sejak tadi, Damien memang sedang melamun. Pikirannya terus tertuju pada seseorang yang ciri-cirinya disebutkan oleh Pablo. Sekuat tenaga Damien mengingatnya, namun tak kunjung menemukan titik terang."Apa anda yakin mengenal orang itu?" tanya Pablo.Damien mengangguk. "Saya yakin sekali, Pablo. Tapi saya masih belum bisa mengingat siapa namanya dan kapan terakhir bertemu dengannya.""Ah, pantas saja anda melamun. Ternyata anda sedang memikirkan itu," terka Pablo."Iya. Saya hanya penasaran, apa motifnya sampai membakar ruang arsip perusahaan."Pablo menghela napas panjang, kemudian memberikan opininya, "Saya rasa, dia sedang mencari berkas proyek itu, Tuan. Saya akui, proyek itu memang besar dan kita termasuk orang beruntung yang bisa mendapatkannya. Karena menurut informasi, ada banyak perusahaan yang mencoba menembus dinding pertahanan si pemilik proyek itu. Tapi selalu gagal dan pada akhirnya jatuh ke tangan kita, Tuan.""Hhh
Saat memasuki lobi kantor, Damien terkejut melihat beberapa staf dan karyawan berlarian dan saling dorong satu sama lain. Wajah mereka tampak panik dan ada Pablo yang menginstruksi mereka semua untuk segera keluar."Ayo cepat! Semuanya keluar!" perintah Pablo.Damien yang tidak tahu apapun langsung menghampiri Pablo. Wajah Pablo juga tak kalah panik, sama seperti yang lain."Ada apa ini, Pablo?" tanya Damien.Tapi sayang, Pablo tidak menjawab. Mungkin Pablo tidak sadar jika di sebelahnya adalah Damien. Dengan terpaksa, Damien menepuk kuat pundak Pablo hingga membuat Pablo terkejut."Ah, Tuan.""Ada apa ini? Kenapa semua panik?" tanya Damien."Tuan, ruangan arsip terbakar. Tim pemadam akan segera datang," jawab Pablo.Damien terkejut setengah mati. Ruang arsip? Semua berkas penting ada di sana. Seketika Damien teringat dengan berkas proyek besar itu di ruangannya. Ruangan arsip tidak terlalu jauh dari ruangannya. Damien bergegas pergi dan tak menghiraukan panggilan Pablo yang melarangn
Pagi hari, tepat pukul 07.00, Damien dan Dyandta pergi menuju rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus konsultasi. Maklum, ini yang pertama bagi mereka. Menjadi calon ayah dan ibu untuk pertama kali cukup membuat mereka sedikit gugup. Ada banyak ketakutan yang muncul, seperti keguguran dan lain sebagainya.Sekitar 30 menit, sampailah mereka di salah satu rumah sakit ternama di New York. Mereka masuk ke lobi dan berjalan menuju poli kandungan setelah mengambil nomor antrian. Karena masih pagi, antrian belum terlalu banyak. Mereka mendapat antrian nomor 4. Mereka tidak akan menunggu terlalu lama.Satu per satu pasien mulai dipanggil untuk bertemu dengan dokter kandungan tersebut. Nama yang tertera di dekat pintu bertuliskan Mariana. Pasien di sana biasa memanggilnya Dokter Ana dan wanita itu begitu dikagumi oleh para ibu-ibu hamil. Menurut mereka pelayanan Dokter Ana sangat baik dan memberi kenyamanan bagi mereka. Apalagi saat persalinan, D
Selepas makan malam, Damien, Dyandta, Bailey dan Airin duduk di teras rumah. Saling berbagi cerita dan tertawa bersama. Malam ini, terasa begitu istimewa karena Dyandta tengah berbadan dua. Sesekali Damien menemani Dyandta ke kamar mandi saat mual, namun untungnya tidak terlalu sering. Hanya sesekali saja. Dan besok, Damien akan membawa Dyandta ke dokter kandungan untuk memeriksa usia kandungan istrinya.Damien terus merangkul Dyandta saat duduk di teras. Pandangannya tak lepas dari wanita cantik yang dalam hitungan bulan akan melahirkan buah cinta mereka ke dunia."Dyandta, Ibu senang sekali mendengar kau hamil. Ibu tidak menyangka. Sungguh," ucap Airin. "Padahal Ibu sudah sedikit pesimis saat orang lain menuduh Damien mandul karena waktu itu Cacha tidak kunjung hamil. Bahkan Cacha juga ikut menuduh Damien."Senyum manis terukir di kedua sudut bibir Dyandta. Digenggamnya kedua tangan Airin, lalu berkata dengan bijak, "Ibu, anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berniat menitipka