Dyah tersentak. Dia tidak menyangka orang ini tahu soal kehamilannya, padahal selama ini dia menyembunyikannya dengan rapih sampai tak ada satu orang pun yang tahu."Jangan bicara sembarangan!" Dyah masih berusaha melawan.Amarta terus berjalan ke arah Dyah. Posisinya yang semakin dekat dengan Dyah membuat Dyah tanpa sadar melangkahkan kakinya kebelakang secara perlahan."Apa ini? Aku bahkan sudah terintimidasi oleh tatapannya yang tajam itu," batin Dyah."Aku tidak ingat berurusan denganmu!" ucap Amarta."Ya, memang. Aku kesini karena Tommy," jawab Dyah."Ternyata benar. Dia yang menghamili mu? Kalau aku tebak usia kandunganmu sudah hampir tujuh bulan, benar?" Amarta tak melepaskan pandangannya dari perut Dyah."Sepertinya Tommy pergi bersamaku setelah menghamili mu, benar?" lanjut Amarta."Kasihan sekali," Amarta melemparkan tatapan sedih."DIAM! DIAAAM! Aku tidak butuh dikasihani! Ini semua karena mu, dasar wanita j*lang!" Dyah mulai terguncang menyadari betapa menyedihkannya dia s
"Aku sudah menelepon Tommy, dia akan kesini sebentar lagi." Amarta menyajikan teh hangat untuk Dyah.Dyah menerima teh hangat itu penuh dengan rasa malu, "Terimakasih," ucapnya.Kedua mata Dyah sudah sembab. Ia menangis cukup lama sebelumnya. Hatinya seperti hancur, kenapa ia tidak menyadari lebih cepat bahwa dia hanya dimanfaatkan oleh Tommy. Dia bertindak bodoh berpikir bahwa Tommy benar-benar mencintainya."Aku akan meninggalkan Tommy, sebenarnya kami tadi baru saja bertengkar. Baguslah kamu sekarang datang, aku jadi punya alasan lain untuk mengakhiri hubunganku dengannya." Amarta duduk di sofa berhadapan dengan Dyah."Serius?" tanya Dyah.Amarta hanya menganggukkan kepalanya."Apa kamu tidak mencintainya?" Dyah kembali bertanya."Cinta? Cinta ya..." Amarta tampak berpikir.Dyah menatapnya bingung, "Apa-apaan ini? Apa dia juga hanya mempermainkan Tommy?" batinnya.Amarta mengangkat bahunya, "Entahlah... Aku sendiri tidak tahu cinta itu yang seperti apa.""Tapi..." Dyah hendak menga
Suasana yang sebelumnya terasa menegangkan berubah menjadi canggung. Dyah dan Tommy diliputi perasaan yang membingungkan. Tommy merasa senang mendengar perkataan Amarta yang ingin menikah dengannya, namun menjadikan Dyah sebagai istri kedua membuatnya merasa tak nyaman.Dyah menatap Amarta dan Tommy bergantian, "Bagaimana ini? Apa aku harus menyetujui perkataan Amarta? Menjadi istri kedua tidak buruk juga, toh itu lebih baik dibandingkan dengan hidup tanpa status sama sekali. Tapi... Apa aku bisa menahan perasaan sakit dan cemburu melihat suamiku bersama wanita lain?" Dyah bergumam didalam hati."Apa kamu serius dengan perkataan mu?" Tommy kembali bertanya.Amarta hanya menganggukkan kepalanya.Tommy mengusap kasar wajahnya yang sudah terlihat tidak bersemangat, "Aku akui, aku memang lelaki yang banyak mempermainkan wanita. Tapi... Memilikimu sebagai istriku satu-satunya itu adalah keinginan utama ku. Kalau nanti aku juga menikahi Dyah dan tidak akan menganggapnya sebagai istriku, bag
Tommy meninggalkan villa itu bersama Dyah. Rasa kesal pada Dyah terlihat jelas pada sorot matanya."Sebenarnya apa yang kamu pikirkan, Dyah?" Tommy membentak Dyah sembari terus memukul kemudi mobil."Maaf." Ucap Dyah. Hanya kata itu yang sanggup Dyah katakan."Padahal kamu bisa mengugurkan kandungan itu saat awal kehamilan. Kamu malah mempertahankannya sampai sebesar ini! Dasar b*doh!" Tommy mengumpat.Ditengah amarahnya yang terus memuncak, tiba-tiba sakit kepala yang Tommy rasakan semakin menjadi-jadi. Beberapa kali ia mengerutkan dahi dan memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit itu."Kamu kenapa? Berhenti saja kalau tidak bisa lanjut mengemudi." Dyah memperingatkan.Jalanan yang menurun dan berkelok, juga kabut yang mulai turun karena sudah hampir tengah malam membuat Tommy semakin kesulitan."Ayo kita berhenti saja!" Dyah mengguncangkan tubuh Tommy sedikit memaksa."Diamlah, aku ingin segera sampai kerumah dan membereskan masalah dengan mu!" Tommy bersikeras."Wajahmu terlihat
Mbok Inah mematung untuk sesaat, "Ya, A-apa?" Amarta tertawa kecil melihat mbok Inah yang kebingungan, "Sudah belanja mbok? Hari ini aku ingin makan enak. Buat sambel yang enak ya, mbok." Amarta mengalihkan pembicaraan dan berlalu meninggalkan mbok Inah."Reaksi apa itu? Apa dia tidak khawatir dengan laki-laki itu?" batin mbok Inah.Mbok Inah langsung pergi menuju dapur dan melaksanakan apa yang Amarta perintahkan.Dengan wajah yang senang Amarta menyesap kopi hangatnya dipekarangan rumah. Sesekali bibir merahnya tersenyum tipis mengingat rencananya yang sudah berjalan dengan lancar.Sementara itu, jasad Tommy dan Dyah mulai diangkat dari jurang. Mereka langsung dibawa kerumah sakit untuk diotopsi. Orang tua Tommy sangat terkejut mendapatkan kabar dari pihak kepolisian bahwa putra sematawayangnya telah mengalami kecelakaan dan meninggal. Namun, hal yang lebih mengejutkan mereka adalah adanya Dyah yang juga meninggal disamping Tommy dengan kondisi tengah berbadan dua.Kabar ini langs
Sarah akhirnya mengizinkan Frans mengikutinya ke villa. Ia berfikir akan aneh seandainya ia melarang Frans untuk pergi, apalagi keadaan sekarang seperti mendukung kecurigaan pada Amarta.Sepanjang perjalanan ia terus gelisah. Beberapa kali Hadi menangkap Sarah yang terus mengigit kuku ibu jarinya."Non Sarah kenapa gelisah seperti itu?" tanya Hadi.Sarah yang tersadar sudah diperhatikan oleh Hadi langsung memasang wajah canggung, "Ah, tidak apa-apa. Aku hanya sedikit mual." Sarah kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil.Hadi melihat dari spion mobil dan menyadari bahwa ada yang mengikuti mereka dari belakang, "Apa Non Sarah tahu siapa lelaki dibelakang itu? Sepertinya dia sejak tadi mengikuti kita." tanya Hadi merasa penasaran.Sarah melihat kebelakang sekilas, "Oh itu temannya Bima. Dia juga ingin bertemu Amarta, jadi dia akan ke villa. Maaf aku tidak memberitahu mu," jawab Sarah."Oh begitu, tidak apa-apa, Non. Saya sempat was-was dia orang jahat." Hadi tersenyum kecu
Sarah tersentak menyadari bola mata Amarta yang berubah. Secara naluri Sarah mulai menjauhi Amarta."Ka-kamu sedang apa?" tanya Sarah merasa ketakutan.Amarta menatap Sarah seolah tak peduli dengan apa yang wanita itu tanyakan, lalu ia kembali memejamkan matanya dan berbisik, "Sepertinya kita harus melanjutkan pembicaraan ini lain kali, terimakasih karena sudah memberitahukan tentang itu." Sarah menatap Amarta dengan wajah ketakutan. Ia jelas melihat gelagat Amarta yang sangat aneh. Wanita itu memiringkan wajahnya seolah ada tangan yang membelainya disana. Kemudian rambut Amarta terlihat bergerak seolah ada seseorang yang memainkannya namun Sarah tak dapat melihat sosok itu.Amarta kembali berbisik, "Ya, kamu benar. Dia yang menyimpan batu ludira sekarang." Lalu entah apa yang terjadi Amarta kemudian menganggukkan kepalanya, tak lama setelah itu sebuah hembusan angin terasa di dalam ruangan. Angin seperti terhentak dari titik dihadapan Amarta."Apa ini? Jelas-jelas semua jendela ter
Frans menatap lekat Amarta. Lelaki itu berusaha menyelam ke dalam warna coklat terpekat milik Amarta."Mungkin lebih baik kamu memberitahuku detailnya, supaya aku bisa memutuskan apakah kecurigaan ini harus aku pertahankan atau ku buang tanpa berpikir panjang." Frans menundukkan tubuhnya, kedua lengan kekarnya bertumpu diatas lutut. Ia samasekali tak menyembunyikan kecurigaan diwajahnya.Amarta tersenyum sinis, "Sudah aku duga kamu lelaki yang seperti ini." "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya. Setiap detail sampai tak ada celah." Amarta bersandar pada sofa dengan kedua tangan terlipat di depan dada.Dua manusia itu saling bertatapan, suasana dingin pekat terasa. Satu dari mereka berbekal rasa sakit dihati berusaha mengorek kebenaran, dan yang lainnya sudah terbiasa menyembunyikan kebenaran."Hari itu Tommy datang, sebenarnya aku sudah beberapa hari tidak bertemu dengannya. Tommy bilang dia baru saja keluar dari rumah sakit." Amarta memulai narasinya."Dia sudah sakit sebelumnya?
"Mau bermain ditempat yang lebih sepi?" tanya Amarta seraya tersenyum.Bima terdiam. Seketika suara riuh itu hilang. Lelaki itu terlihat ragu namun dalam waktu bersamaan dia juga bergairah.Entah karena malam yang berlalu dengan cepat, atau karena bisikan yang menggoda telah berhasil membawa mereka melompati momen.Kini Bima dan Amarta telah berada di kamar hotel. Sebuah kamar dengan lampu yang temaram memberikan nuansa hangat. Suara klik dipintu seperti bel yang menandakan bahwa mereka telah siap saling menyibukkan diri.Bima dengan tidak sabar menautkan bibirnya pada milik Amarta. Jemarinya menari dengan indah menggelitik bagian belakang leher Amarta. Gerakannya tak terkendali, seolah telah lama ia menahan semua gairah itu.Ruangan itu begitu hening. Yang terdengar hanya deru nafas yang saling bersahutan. Beberapakali desahan terdengar namun tak lama terkubur lagi oleh keheningan.Netra Bima terpaut pada milik Amarta yang berwarna coklat tua, "Bagaimana ini?" Suara Bima terdengar s
Setelah bertemu Amarta di villa, Sarah kembali kerumah dengan rasa lega. Beberapa kali ia terdengar bersenandung seraya menyisir rambut hitam panjangnya.Wanita itu berdiri didepan cermin besar dengan bingkai kayu jati berukiran antik. Tangannya dengan trampil terus menyisir dan merapikan rambut panjang yang basah setelah mandi.Netra hitamnya menatap lekat pantulan bayangan dari cermin. Sosok cantik dan sempurna yang sekarang sedang ia lihat akan segera lenyap. Sarah menatap lekat pada setiap detail sudut wajahnya. Kulitnya yang mulus, bibirnya yang tebal dan penuh. Halis yang hitam dan terukir rapi. Serta mata indah lengkap dengan bulu mata yang lentik. Hidung mungil dan mancung menyempurnakan keseluruhan bagian wajahnya."Tidak apa-apa, aku rela mempertaruhkan semuanya demi mempunyai anak. Tentunya aku harus memiliki anak dari Bima. Anak ini harus diakui dan dijadikan pewaris tunggal." Ucap Sarah."Aku hanya perlu mempercayakan semuanya pada Amarta. Semuanya ... ." Lanjut Sarah.H
Hari itu juga Sarah pergi ke villa dimana Amarta tinggal. Sejak kejadian yang merenggut nyawa Bu Laela, ini pertama kali mereka bertemu kembali. Sarah mengedarkan pandangannya ke sekeliling villa. "Sepi, tapi masih terawat," gumam Sarah.Sarah berjalan perlahan menaiki anak tangga menuju pelataran rumah. Ia mendorong pintu depan pelan dan langsung terbuka. Tanpa ragu wanita itu masuk kedalam tanpa permisi."Kamu datang?" Suara lembut Amarta terdengar dari bagian dalam rumah. Sarah berusaha menajamkan pengelihatannya karena ruangan itu sedikit gelap."Dimana kamu?" Teriak Sarah.Sarah berjalan perlahan mengelilingi ruangan itu, hingga sebuah sentuhan lembut pada pundaknya membuatnya terperanjat."Wah gila! Kenapa gelap sekali di sini? Belum bayar listrik, hah?" sindir Sarah.Amarta tertawa pelan, "Takut? Kenapa sesama pengikut setan harus takut?" Amarta menyindir balik Sarah.Sarah tidak menanggapi jawaban Amarta, dia berjalan mencari-cari dimana kiranya tombol lampu berada. Tak lam
Target terkunciSudah empat puluh hari sejak kematian Bu Laela. Kecurigaan serta rasa gelisah perlahan luruh tidak tersisa. Pak Agus juga Sarah sudah mulai terbiasa tanpa kehadiran Bu Laela. Namun, pak Agus ternyata diam-diam menyimpan kecurigaan kepada Sarah juga menantu lelakinya."Sarah, kenapa semenjak ibu meninggal bapak belum melihat Bima tinggal disini lagi?" tanya pak Agus."Oh, Bima sibuk pak. Dia sering dinas diluar jadi memilih pulang kerumah ibu bapaknya saja. Katanya kasian kalau aku harus terganggu karena dia sering pulang tengah malam," ungkap Sarah.Pak Agus mengerutkan keningnya. "Tapi harusnya dia mendampingi kamu, Nak. Ibumu baru saja meninggal." Suara pak Agus terdengar sedikit bergetar. Ia berusaha menahan emosinya kepada menantunya itu.Sarah tersenyum. "Sudah ya Pak. Sarah juga sudah tenang kok, Sarah sudah ikhlas ibu meninggal. Bapak juga harus belajar ikhlas." Pak Agus tertunduk mendengar perkataan putrinya yang terlihat lebih tegar dibanding dirinya. Perla
Tanah merahPagi datang bersama gerimis yang turun sejak subuh. Suara dentingan air dari atap seolah menyerupai elegi yang begitu ramai. Didalam rumah Sarah justru keheningan yang pekat terasa begitu riuh.Mbok Inah dan Pak Hadi terduduk lesu di dapur kotor, tepat di bagian belakang rumah. Kilasan ingatan yang terjadi semalam terus berputar seperti kaset yang kusut didalam kepala mereka."Hari ini hasil autopsinya keluar mbok... Bagaimana kalau seandainya mereka tahu ibu dibunuh oleh iblis jahat itu?" Hadi menoleh lirih pada mbok Inah."Entah ini jawaban yang menenangkan atau justru membuatmu semakin gelisah Hadi... Selama ini, tidak ada pembunuhan yang dilakukan oleh non Amarta yang bisa terungkap oleh orang lain." Mbok Inah menatap Hadi dengan sorot mata penuh kengerian.Seketika keheningan merangkul mereka kembali untuk terbenam dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya lamunan itu hilang bersamaan dengan suara langkah kaki yang terdengar berjalan menyusuri lorong penghubung
Sarah meremas kasar rambutnya. Jemarinya penuh dengan darah yang sudah mengering. Ia sadar, dan ingat apa yang sudah ia alami."Bima! Teganya kamu..." Suara Sarah bergetar marah. Ia menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.Hadi dan mbok Inah yang masih terkejut hanya bisa terdiam menatap Sarah dengan rasa iba."Mbok Inah, Pak Hadi. Tolong bantu aku. Sekarang kalian bersihkan kamarku, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Lalu jasad ibu... " Sarah terdiam sejenak. "Urus semuanya, pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," lanjutnya.Keesokan paginya kediaman Sarah mulai ramai. Beberapa polisi dan tim medis mulai berdatangan. Sarah memainkan perannya dengan baik- duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab. Sampai akhirnya jasad Bu Laela dibopong kedalam mobil ambulans untuk otopsi.Kabar ramai dikediaman Sarah langsung sampai pada Bima. Awalnya lelaki itu gusar, namun ia tak menyangka ternyata jasad yang ditemukan di sana bukanlah Sarah.Rasa penasaran dan ketakutan akan
Amarta berlari ke luar rumah dengan kaki telanjang berlumuran darah. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena kakinya yang licin."Bu Laela?" Bisik Amarta begitu melihat seorang wanita tergeletak di depan rumah. Seketika kedua kaki Amarta seperti kehilangan tenaganya. Perlahan ia mendekati tubuh Bu Laela yang sudah terbujur kaku diatas tanah.Bersamaan dengan itu sebuah mobil datang memasuki halaman, dan dengan cepat Hadi dan mbok Inah berhamburan keluar menuju tempat Amarta dan Bu Laela berada."Ya ampun!" Pekik mbok Inah. Mbok Inah terduduk lemas diatas tanah.Hadi tak dapat menahan Isak tangisnya, lelaki itu pun terduduk didekat tubuh Bu Laela."Ibu! Bu Laela! Bangun Bu!" Hadi berusaha membangunkan Bu Laela. Hadi mengguncang tubuh Bu Laela. Hingga akhirnya Amarta menghentikan itu semua."Cukup Hadi! Bu Laela sudah meninggal!" Ucap Amarta."Kenapa bisa begini? Ayo, non! Hidupkan lagi Ibu Laela!" Hadi terisak.Amarta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya, semua
Hadi termenung memikirkan pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Amarta. Tubuhnya pasrah ditarik pergi oleh mbok Inah keluar rumah. Mereka segera masuk kedalam mobil setelah mematikan seluruh aliran listrik di rumah itu."Hadi! Sadar! Ayo cepat hidupkan mobilnya!" bentak mbok Inah.Hadi masih terdiam, hingga sebuah pukulan cukup kencang yang mendarat di kepalanya membuat ia sadar."Ah iya, maaf mbok. Saya banyak melamun." Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu langsung pergi cukup jauh meninggalkan area rumah itu.Dalam keadaan gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun, Amarta memulai ritualnya. Amarta memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Dalam satu kali hentakan nafas, netra kecoklatan itu berubah menjadi warna emas yang menyala.Amarta segera membuat simbol pemanggilan dari darah Sarah yang tercecer di lantai. Walaupun keadaan gelap gulita, Amarta tidak merasa kesusahan sedikitpun seolah kegelapan adalah teman baiknya.Setelah simbol pemanggilan s
Kengerian langit malam dengan gemuruh guntur dan kilatan petir terkalahkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang terang dan sunyi. Semua orang menatap Amarta dengan penuh tanya, "Akankah ia bisa menyelamatkan lagi Sarah kali ini?" Begitulah pertanyaan yang terpendam di dalam hati mbok Inah dan Hadi.Amarta tanpa ragu berjalan masuk. Tapak kakinya terukir pada genangan darah di atas lantai. "Hadi, suami Sarah yang melakukan ini semua, kan?" "Ya, benar!" Suara Hadi bergetar.Seharusnya tanpa bertanya pun Amarta pasti sudah tahu jawabannya. Namun wanita dengan surai kemerahan itu masih butuh menyakinkan dirinya.Sarah terbaring tidak karuan di atas tempat tidur. Hampir seluruh sprei sudah berlumuran darah. Di ujung ruangan terdapat pisau dapur yang berlumuran darah."Mbok Inah, ambilkan gunting. Hadi, ceritakan apa yang terjadi sebelumnya." Tanya Amarta seraya mengecek kondisi tubuh Sarah."Seperti biasa saya menunggu di teras samping rumah setelah bekerja. Lalu Pak Bram datang dan la