Bunyi suara peralatan medis mengisi ruang kosong di mana Sarah berbaring. Orang tuanya berada di sana. Menemaninya yang entah dapat hidup kembali atau tidak."Bagaimana ini?" Tanya Bu Laela, suaranya sudah serak dan hampir hilang karena terlalu banyak menangis."Tenanglah Bu. Kita tidak boleh mengabari keluarga Bima dulu. Pernikahan masih jauh, jangan memberikan mereka kesedihan terlalu dini." Pak Agus berusaha menenangkan Istrinya.Samar-samar Sarah mendengar percakapan orang tuanya. Ia bisa mendengar namun tak bisa membuka mata."Dimana ini..." Sarah berdialog sendiri dalam pikirannya.Sarah tak ingat lagi dirinya ada di mana. Rekaman terkahir ingatannya memperlihatkan sebuah truk bermuatan berat melaju kencang ke arahnya. "Sebuah truk.. tabrakan, setelah itu...rasa panas yang seperti membakar tubuhku, wajahku." Dalam keadaan tidak sadar otak Sarah masih aktif mencari jawaban. Ingatan-ingatan yang tergambar abstrak memenuhi otaknya."Akh... Kepalaku sakit. Mungkin lebih baik aku t
Semua orang di dalam ruangan tiba-tiba terdiam. Air muka mereka berubah dari ketakutan menjadi keterkejutan. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Pak Agus bertanya dengan mimik wajah lebih serius. "Aku tahu. Sarah mengandung anak lelaki itu, kan? Aku bisa merasakannya." Amarta mendekati Sarah, ia meletakkan telapak tangannya di atas perut Sarah. "Bayi ini, apa kamu rela mengorbankannya?" lanjut Amarta. Manik hitam milik Sarah bergetar samar. Ia bahkan tidak tahu bahwa kini ia tengah berbadan dua. "Aku mengandung anak Bima?" Sarah bertanya di dalam hati. Tiba-tiba saja air matanya menetes, hal itu membuat kelopak matanya yang memiliki luka bakar terasa perih dan panas. "Bagaimana ini? Apa aku harus mengorbankan anak ini?" Sarah dilema. "Jika kalian setuju, kita harus melakukannya di kediamanmu. Tidak boleh ada yang tahu apa yang aku lakukan pada Sarah kecuali orang tuanya." Sarah berbalik menghadap Pak Agus dan Bu Laela. Orang tua Sarah tak memberi jawaban. Bisa di lihat air muka mereka
Setelah tidur cukup lama Amarta terbangun oleh keramaian di luar kamar tidurnya. Tanpa ragu ia segera keluar dan melihat siapa yang datang.Ternyata itu adalah Sarah, bersama orang tuanya juga beberapa tenaga medis. Mereka membawa Sarah menggunakan tandu dan langsung masuk ke kamar utama di villa itu."Wah berapa banyak uang yang digelontorkan pak tua itu untuk menutup mulut mereka?" Sarah berbisik.Setelah merapikan semua kebutuhan Sarah, mereka pun pergi meninggalkan tempat itu.Pak Agus menyadari keberadaan Amarta yang sejak tadi melihatnya membantu Sarah pindah. Tanpa ragu lelaki itu datang pada Amarta dan bertanya."Kapan penyembuhan anakku dapat di laksanakan?" tanya Pak Agus."Nanti malam. Siapkan ruangan tanpa ada satupun barang di dalamnya. Aku juga butuh bunga mawar putih sebanyak mungkin, dan satu lagi... Darah ayam cemani. Darah segar. Anda bisa mulai mencari persyaratannya sekarang." Amarta tersenyum.Pak Agus mengangguk pelan. Walaupun Pak Agus memiliki banyak pertanyaan
Bab 27Sarah perlahan membuka mata setelah mendengar teriakan yang memanggil namanya. Netranya perlahan menyesuaikan dengan ruangan yang temaram. Bau darah langsung mengganggu penciumannya. Lalu setelahnya dia sadar bahwa kini tubuhnya melayang."A-apa yang terjadi?" Manik hitam Sarah mulai menyusuri seluruh ruangan dengan gelisah."Amarta?" Panggil Sarah lirih.Amarta tak menjawab panggilan Sarah. Wanita itu hanya tersenyum seraya mulai menggerakkan jari-jari lentiknya, seolah berasal dari sanalah kekuatan yang membuat Sarah melayang.Perlahan tubuh Sarah melayang turun, sampai akhirnya ia duduk kembali di atas kursi roda."Apa sudah selesai?" Pak Agus dengan ragu bertanya pada Amarta."Sudah. Namun kalian harus menunggu sampai besok pagi. Batu Ludira membutuhkan waktu untuk menyembuhkan Sarah," jawab Amarta."Baiklah. Kalau begitu saya akan membawa Sarah ke kamarnya untuk istirahat." Pak Agus mulai mendorong kursi roda dan membawa Sarah keluar.Begitu pintu kamar terbuka, Bu Laela
Air muka Pak Agus penuh dengan kecemasan dan rasa marah. Dia mungkin terlalu menaruh harapan pada Amarta, hingga kini rasa kecewa itu membuat dadanya terasa sesak."Aku akan melihatnya langsung." Dengan dingin Amarta menanggapi kemarahan Pak Agus.Amarta dengan sikap tak peduli berjalan begitu saja melewati pak Agus. Ia langsung menuju kamar Sarah. Didepan pintu kamar, Hadi berdiri menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.Di dalam kamar, Bu Laela terlihat sedang duduk di sebelah Sarah seraya menangisi putrinya yang malang."Apa kalian tahu kenapa dia belum sembuh total?" Amarta melemparkan pandangannya pada setiap orang di dalam ruangan."Ini bukan karena aku tidak mampu menyembuhkannya, atau bukan karena batu ludira kurang ampuh.." Amarta menggantung kalimatnya.Dengan rahang yang sudah mengeras menahan emosi, pak Agus membentak Amarta, "Tidak usah berbelit-belit! Cepat katakan yang sebenarnya!" Amarta menatap tajam pada Pak Agus, ia kemudian berjalan perlahan mendekati je
Hari itu Bima datang dengan harapan Sarah baik-baik saja. Ia mendengar kabar bahwa Sarah mengalami kecelakaan, namun sampai sekarang keluarga Sarah terkesan menutupi keadaan Sarah."Bagaimana kabar Sarah Bu? Apa saya sudah bisa bertemu dengannya?" tanya Bima."Nanti ibu coba tanyakan sama Sarah dulu ya. Kamu bisa tunggu dulu disini. Ibu buatkan kopi dulu." Bu Laela tersenyum lalu pergi ke dapur.Bima hanya membalasnya dengan senyuman. Lelaki itu mengedarkan pandangannya menyusuri ruangan, "Ternyata mereka punya villa sebagus ini. Tempatnya tenang dan jauh dari pemukiman, namun akses jalannya mudah," gumam Bima.Tangannya menggaruk-garuk dagunya, lelaki itu sibuk dengan berbagai macam penilaiannya pada keluarga Sarah.Sementara di dalam kamar Sarah masih berperang dengan ego-nya. Sebagian dirinya yang naif merasa senang dengan kedatangan Bima, namun sebagian dirinya yang lain cemas akan respon yang Bima berikan.Tak lama Bu Laela datang dengan secangkir kopi dan beberapa toples camilan
Sarah bersimpuh di bawah kaki Amarta, manik matanya sudah berkaca-kaca dan terlihat putus asa."Kamu yakin bisa melakukannya? Menyembuhkan semua lukaku tanpa tersisa?" Sarah kembali bertanya."Apa kamu yakin sanggup menanggung semua akibatnya? Karena sebenarnya tidak ada yang gratis bila berurusan dengan mereka." Amarta balik bertanya.Sarah mengangguk, "Ambil apa yang harus mereka ambil, aku tahu bahwa semua ini hanyalah pertukaran. Yang terpenting sekarang bagaimana caranya agar Bima tidak meninggalkan ku." Amarta dapat melihat percikan api yang penuh dengan ambisi pada netra Sarah, "Dia mirip sekali dengan Diane," batin Amarta."Baiklah, kita mulai nanti malam. Siapkan tempat di dalam hutan." Amarta menyentuh lembut rambut Sarah."Siapkan juga lilin untuk penerangan. Ada beberapa ritual yang harus aku lakukan untuk menyatukan kekuatanku dengan kekuatan batu ludira," lanjutnya."Baiklah, orang tuaku akan menyiapkan semuanya." Sarah tersenyum dengan penuh keyakinan dan segera pergi d
Amarta tersenyum melihat Sarah yang menggeliat di hadapannya. Bu Laela dan pak Agus tentu tidak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Sarah. Saat ini tubuh Sarah tengah di kerubungi oleh tiga makhluk yang eksistensinya sudah ada bahkan sebelum manusia diciptakan."Ah, aku tahu rasanya Sarah. Aku tidak pernah melupakan pengalaman itu meski umurku sudah mencapai ratusan tahun." Amarta bergumam.Kenangan saat ia pertama kali mengorbankan diri, dan menukar kehidupannya dengan keelokan parasnya masih dengan jelas tersimpan dalam memori."Amarta! Apa yang kamu lakukan pada Sarah? Hentikan cepat!" Pak Agus kembali menghardik Amarta.Raut kecemasan tergambar jelas pada air muka kedua orang tua Sarah. Melihat Sarah menggeliat di atas tanah dengan keadaan yang tak sadarkan diri membuat mereka berpikir Sarah sedang meregang nyawa."Tenanglah! Dia baik-baik saja. Semakin kalian berisik semakin lama proses ini selesai!" Amarta menghardik balik pak Agus dengan tatapan tajam.Mereka semua a
"Mau bermain ditempat yang lebih sepi?" tanya Amarta seraya tersenyum.Bima terdiam. Seketika suara riuh itu hilang. Lelaki itu terlihat ragu namun dalam waktu bersamaan dia juga bergairah.Entah karena malam yang berlalu dengan cepat, atau karena bisikan yang menggoda telah berhasil membawa mereka melompati momen.Kini Bima dan Amarta telah berada di kamar hotel. Sebuah kamar dengan lampu yang temaram memberikan nuansa hangat. Suara klik dipintu seperti bel yang menandakan bahwa mereka telah siap saling menyibukkan diri.Bima dengan tidak sabar menautkan bibirnya pada milik Amarta. Jemarinya menari dengan indah menggelitik bagian belakang leher Amarta. Gerakannya tak terkendali, seolah telah lama ia menahan semua gairah itu.Ruangan itu begitu hening. Yang terdengar hanya deru nafas yang saling bersahutan. Beberapakali desahan terdengar namun tak lama terkubur lagi oleh keheningan.Netra Bima terpaut pada milik Amarta yang berwarna coklat tua, "Bagaimana ini?" Suara Bima terdengar s
Setelah bertemu Amarta di villa, Sarah kembali kerumah dengan rasa lega. Beberapa kali ia terdengar bersenandung seraya menyisir rambut hitam panjangnya.Wanita itu berdiri didepan cermin besar dengan bingkai kayu jati berukiran antik. Tangannya dengan trampil terus menyisir dan merapikan rambut panjang yang basah setelah mandi.Netra hitamnya menatap lekat pantulan bayangan dari cermin. Sosok cantik dan sempurna yang sekarang sedang ia lihat akan segera lenyap. Sarah menatap lekat pada setiap detail sudut wajahnya. Kulitnya yang mulus, bibirnya yang tebal dan penuh. Halis yang hitam dan terukir rapi. Serta mata indah lengkap dengan bulu mata yang lentik. Hidung mungil dan mancung menyempurnakan keseluruhan bagian wajahnya."Tidak apa-apa, aku rela mempertaruhkan semuanya demi mempunyai anak. Tentunya aku harus memiliki anak dari Bima. Anak ini harus diakui dan dijadikan pewaris tunggal." Ucap Sarah."Aku hanya perlu mempercayakan semuanya pada Amarta. Semuanya ... ." Lanjut Sarah.H
Hari itu juga Sarah pergi ke villa dimana Amarta tinggal. Sejak kejadian yang merenggut nyawa Bu Laela, ini pertama kali mereka bertemu kembali. Sarah mengedarkan pandangannya ke sekeliling villa. "Sepi, tapi masih terawat," gumam Sarah.Sarah berjalan perlahan menaiki anak tangga menuju pelataran rumah. Ia mendorong pintu depan pelan dan langsung terbuka. Tanpa ragu wanita itu masuk kedalam tanpa permisi."Kamu datang?" Suara lembut Amarta terdengar dari bagian dalam rumah. Sarah berusaha menajamkan pengelihatannya karena ruangan itu sedikit gelap."Dimana kamu?" Teriak Sarah.Sarah berjalan perlahan mengelilingi ruangan itu, hingga sebuah sentuhan lembut pada pundaknya membuatnya terperanjat."Wah gila! Kenapa gelap sekali di sini? Belum bayar listrik, hah?" sindir Sarah.Amarta tertawa pelan, "Takut? Kenapa sesama pengikut setan harus takut?" Amarta menyindir balik Sarah.Sarah tidak menanggapi jawaban Amarta, dia berjalan mencari-cari dimana kiranya tombol lampu berada. Tak lam
Target terkunciSudah empat puluh hari sejak kematian Bu Laela. Kecurigaan serta rasa gelisah perlahan luruh tidak tersisa. Pak Agus juga Sarah sudah mulai terbiasa tanpa kehadiran Bu Laela. Namun, pak Agus ternyata diam-diam menyimpan kecurigaan kepada Sarah juga menantu lelakinya."Sarah, kenapa semenjak ibu meninggal bapak belum melihat Bima tinggal disini lagi?" tanya pak Agus."Oh, Bima sibuk pak. Dia sering dinas diluar jadi memilih pulang kerumah ibu bapaknya saja. Katanya kasian kalau aku harus terganggu karena dia sering pulang tengah malam," ungkap Sarah.Pak Agus mengerutkan keningnya. "Tapi harusnya dia mendampingi kamu, Nak. Ibumu baru saja meninggal." Suara pak Agus terdengar sedikit bergetar. Ia berusaha menahan emosinya kepada menantunya itu.Sarah tersenyum. "Sudah ya Pak. Sarah juga sudah tenang kok, Sarah sudah ikhlas ibu meninggal. Bapak juga harus belajar ikhlas." Pak Agus tertunduk mendengar perkataan putrinya yang terlihat lebih tegar dibanding dirinya. Perla
Tanah merahPagi datang bersama gerimis yang turun sejak subuh. Suara dentingan air dari atap seolah menyerupai elegi yang begitu ramai. Didalam rumah Sarah justru keheningan yang pekat terasa begitu riuh.Mbok Inah dan Pak Hadi terduduk lesu di dapur kotor, tepat di bagian belakang rumah. Kilasan ingatan yang terjadi semalam terus berputar seperti kaset yang kusut didalam kepala mereka."Hari ini hasil autopsinya keluar mbok... Bagaimana kalau seandainya mereka tahu ibu dibunuh oleh iblis jahat itu?" Hadi menoleh lirih pada mbok Inah."Entah ini jawaban yang menenangkan atau justru membuatmu semakin gelisah Hadi... Selama ini, tidak ada pembunuhan yang dilakukan oleh non Amarta yang bisa terungkap oleh orang lain." Mbok Inah menatap Hadi dengan sorot mata penuh kengerian.Seketika keheningan merangkul mereka kembali untuk terbenam dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya lamunan itu hilang bersamaan dengan suara langkah kaki yang terdengar berjalan menyusuri lorong penghubung
Sarah meremas kasar rambutnya. Jemarinya penuh dengan darah yang sudah mengering. Ia sadar, dan ingat apa yang sudah ia alami."Bima! Teganya kamu..." Suara Sarah bergetar marah. Ia menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.Hadi dan mbok Inah yang masih terkejut hanya bisa terdiam menatap Sarah dengan rasa iba."Mbok Inah, Pak Hadi. Tolong bantu aku. Sekarang kalian bersihkan kamarku, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Lalu jasad ibu... " Sarah terdiam sejenak. "Urus semuanya, pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," lanjutnya.Keesokan paginya kediaman Sarah mulai ramai. Beberapa polisi dan tim medis mulai berdatangan. Sarah memainkan perannya dengan baik- duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab. Sampai akhirnya jasad Bu Laela dibopong kedalam mobil ambulans untuk otopsi.Kabar ramai dikediaman Sarah langsung sampai pada Bima. Awalnya lelaki itu gusar, namun ia tak menyangka ternyata jasad yang ditemukan di sana bukanlah Sarah.Rasa penasaran dan ketakutan akan
Amarta berlari ke luar rumah dengan kaki telanjang berlumuran darah. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena kakinya yang licin."Bu Laela?" Bisik Amarta begitu melihat seorang wanita tergeletak di depan rumah. Seketika kedua kaki Amarta seperti kehilangan tenaganya. Perlahan ia mendekati tubuh Bu Laela yang sudah terbujur kaku diatas tanah.Bersamaan dengan itu sebuah mobil datang memasuki halaman, dan dengan cepat Hadi dan mbok Inah berhamburan keluar menuju tempat Amarta dan Bu Laela berada."Ya ampun!" Pekik mbok Inah. Mbok Inah terduduk lemas diatas tanah.Hadi tak dapat menahan Isak tangisnya, lelaki itu pun terduduk didekat tubuh Bu Laela."Ibu! Bu Laela! Bangun Bu!" Hadi berusaha membangunkan Bu Laela. Hadi mengguncang tubuh Bu Laela. Hingga akhirnya Amarta menghentikan itu semua."Cukup Hadi! Bu Laela sudah meninggal!" Ucap Amarta."Kenapa bisa begini? Ayo, non! Hidupkan lagi Ibu Laela!" Hadi terisak.Amarta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya, semua
Hadi termenung memikirkan pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Amarta. Tubuhnya pasrah ditarik pergi oleh mbok Inah keluar rumah. Mereka segera masuk kedalam mobil setelah mematikan seluruh aliran listrik di rumah itu."Hadi! Sadar! Ayo cepat hidupkan mobilnya!" bentak mbok Inah.Hadi masih terdiam, hingga sebuah pukulan cukup kencang yang mendarat di kepalanya membuat ia sadar."Ah iya, maaf mbok. Saya banyak melamun." Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu langsung pergi cukup jauh meninggalkan area rumah itu.Dalam keadaan gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun, Amarta memulai ritualnya. Amarta memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Dalam satu kali hentakan nafas, netra kecoklatan itu berubah menjadi warna emas yang menyala.Amarta segera membuat simbol pemanggilan dari darah Sarah yang tercecer di lantai. Walaupun keadaan gelap gulita, Amarta tidak merasa kesusahan sedikitpun seolah kegelapan adalah teman baiknya.Setelah simbol pemanggilan s
Kengerian langit malam dengan gemuruh guntur dan kilatan petir terkalahkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang terang dan sunyi. Semua orang menatap Amarta dengan penuh tanya, "Akankah ia bisa menyelamatkan lagi Sarah kali ini?" Begitulah pertanyaan yang terpendam di dalam hati mbok Inah dan Hadi.Amarta tanpa ragu berjalan masuk. Tapak kakinya terukir pada genangan darah di atas lantai. "Hadi, suami Sarah yang melakukan ini semua, kan?" "Ya, benar!" Suara Hadi bergetar.Seharusnya tanpa bertanya pun Amarta pasti sudah tahu jawabannya. Namun wanita dengan surai kemerahan itu masih butuh menyakinkan dirinya.Sarah terbaring tidak karuan di atas tempat tidur. Hampir seluruh sprei sudah berlumuran darah. Di ujung ruangan terdapat pisau dapur yang berlumuran darah."Mbok Inah, ambilkan gunting. Hadi, ceritakan apa yang terjadi sebelumnya." Tanya Amarta seraya mengecek kondisi tubuh Sarah."Seperti biasa saya menunggu di teras samping rumah setelah bekerja. Lalu Pak Bram datang dan la