Tara masih di luar kota selama 3 hari 2 malam, hal itu membuat Dena bisa fokus menjahit pesanan pelanggan, bahkan, ada yang meminta dibuatkan selimut untuk kado ulang tahun anak. Dena lembur, ia sengaja supaya bisa mengejar pengerjaan pesanan lainnya.
Seharian itu, Tara hanya mengirim pesan 3 kali, sebagai kepala bagian, ia jelas sibuk. Dena tak masalah, karena ia melihat foto status whatssapp suaminya beberapa kali saat sedang berbicara di forum itu. Dena tersenyum, suaminya hebat, pekerja keras walau kadang tak mau mendengarkan keluh kesahnya tentang perlakuan ibu di rumah.
"Kamu masih jahit?" tegur ibu yang masuk ke ruang kerja Dena.
"Iya, Bu," jawab Dena sembari tersenyum.
"Makin mahal dong, bayar listriknya. Untung nggak seberapa, yang ada buntung." Sindirnya sembari berjalan keluar ruangan. Dena diam, ia menghela napas lalu tetap kenbali menjahit. Namun, suara keluhan ibu kembali terdengar. Dena berdiri di ambang pintu, ia menguping ucapan ibu mertuanyanya itu.
"Kalau aja. Tara mau turunin ego supaya Kanti nggak putusin Tara. Ibu yakin, Pak, kita punya menantu hebat seorang fashion designer terkenal, kita juga ikut naik derajatnya kan. Bukan penjahit sarung bantal yang keuntungannya seperak dua perak tapi gayanya udah kayak apaan aja."
Dena diam, mendengar itu begitu menyakiti hatinya. Andai Dena boleh bekerja lagi, ia pasti akan sukses dan menjadi wanita karir, tetapi Tara melarang dam Dena tak mungkin melawan.
Dena kembali duduk di kursi, melanjutkan menjahit hingga tengah malam, sebelum memutuskan tidur.
Pagi menjelang, bahkan mentari belum meninggi. Dena sudah bangun, memasak nasi dan makanan untuk sarapan. Jam empat ia sudah mulai sibuk di dapur. Tangannya terampil merajang bahan masakan, ia kala itu membuat tumisan dan telor kecap, suara bapak terdengar karena biasa bangun jam yang sama untuk bersiap ke masjid. Argi juga, ia selalu sholat subuh bersama bapak masjid.
"Mbak, masak apa?" tanya Argi sembari mengancingkan baju kokonya.
"Ini, tumis kacang panjang sama telor kecap. Eh iya, Gi, kamu sidang kapan?" tanya Dena.
"Bulan depan, Mbak, kenapa?"
"Kalau wisuda?" tanya Dena lagi.
"Dua bulan setelahnya." jawab Argi yang sudah rapi.
"Aku mau buatin seragam keluarga, untuk foto bareng, biasanya gitu, kan? Kata Mas Tara akan selalu ada foto wisuda." Dena mengaduk masakannya.
"Iya. Boleh Mbak, bagus pasti baju buatan Mbak Dena. Makasih ya, awas gosong masakannya ..." goda Argi. Pemuda itu pamit ke masjid. Dena kembali membuat masakannya. Ia juga menyiapkan 4 cangkir teh manis hangat yang ia letakkan di atas meja ruang TV.
Semua beres, ia sholat subuh di kamar, baru saja selesai salam, ia dikagetkan dengan teriakan ibu. Dena segera beranjak, berlari keluar kamar.
"Ada apa, Bu?!" tanya Dena panik, ia masih mengenakan mukena menuju ke ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih.
"Kamu masak apaan? Telor kecap kok modelnya telor ceplok gini! Telor kecap itu bulat, Denaaa... bukan begini. Ya ampun kamu, udah deh, Ibu aja yang masak mulai sekarang!" singutnya. Dena diam. Ia tak mau menyanggah apapun, takut salah lagi.
Dena kembali ke kamar, melepas mukena lalu duduk di tepi ranjang. Ia berusaha menghubungi suaminya.
"Assalamualaikum, Mas, udah sholat subuh belum?" tanya Dena bernada bicara lembut.
"Waalaikumsalam, udah, ini baru selesai. Kamu udah sholat? Udah siapin sarapan?" tanya Tara di seberang sana.
"Udah, Mas, tapi... salah lagi, barusan Ibu marahin aku," keluh Dena. Suara Tara berdecak sebal dan berucap 'Haduh' terdengar kesal.
"Aku nggak bermaksud ngadu, ya, Mas, aku cuma cerita yang barusan kejadian aja," lanjut Dena.
"Hmmhh... kapan kamu bisa akur sama Ibu, aku bingung kalau kayak gini."
"Akur? Emang aku ribut sama Ibu? Kan enggak, Mas. Malah aku yang salah terus kan, semua yang aku kerjakan salah terus di mata Ibu." Dena mulai meninggi nada bicaranya.
"Udah, Dena, jangan bahas sekarang. Aku mau siapin bahan diskusi anggaran. Nanti aku kabarin lagi, Assalamualaikum," lalu telepon terputus. Dena tahu jika suaminya jengah dengan keluhan dirinya tentang masalah ia dan ibu. Namun, itu kenyataannya, dan Tara selalu saja kesal dan malas membahas.
Dena meletakkan ponsel, ia segera keluar kamar, melayani menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Mencoba kembali memaklumi sikap ibu mertuanya itu.
***
Dena sedang disupermarket, ia berbelanja kebutuhan pokok seorang diri dengan menggunakan taksi, karena tak mungkin jika naik motor. Ia mendorong keranjang belanja, membeli kebutuhan rumah dengan uang bulanan dari Tara. Begitupun dengan belanja harian, dan listrik. Uang pensiunan bapak sama sekali tak ia kutik-kutik. Mereka tinggal bersama mertua, tetapi semua kebutuhan tetap Tara yang menanggung.
Itulah mengapa Dena menerima pesanan jahitan, ia butuh jajan, dan ia tak mau menggunakan uang suaminya.
"Dena!" Suara seseorang memanggil. Dena menoleh, tampak Sofia dan Syifa, kedua kakak kembar Tara. Keduanya sudah menikah, dan tinggal satu komplek, bersebelahan juga rumahnya.
"Kak...," sapa Dena ke kedua wanita itu sembari mencium punggung tangan keduanya.
"Ibu nggak kamu ajak belanja bulanan?" tanya Sofia.
"Ibu suka nggak mau, Kak, jadi Dena sendirian belanjanya," jawab Dena. Raut wajah Sofia dan Syifa menyiratkan amarah.
"Kenapa nggak dipaksa..., Ibu kadang pura-pura nggak mau padahal mau. Kamu harusnya lebih peka, dong. Ya ampun Dena..., gregetan banget aku sama kamu." Keluh Sofia lagi. Sedangkan Syifa hanya bisa berdecak.
"Maaf, Kak, nanti Dena ajak Ibu. Kak Sofia dan Kak Syifa juga belanja bulanan?" Dena mencoba mengalihkan pembicaraan. Kedua wanita itu mengangguk.
"Belanjaan untuk Ibu mana? Pindahin ke keranjangku, biar aku yang bayarin." Tukas Sofia sembari menunjuk ke dalam keranjang belanja.
"Nggak udah, Kak, Mas Tara udah kasih uang bulanannya, juga, ini udah mau selesai, mau je kasir." Lanjut Dena. Sofia dan Sifa hanya menatap. Lalu keduanya mengedikkan bahu.
"Terserah." Lalu kedua wanita itu berjalan meninggalkan Dena yang masih menatap ke arah mereka.
"Adek ipar perempuan satu, lagaknya songong amat. Udah bener dulu Tara sama Kanti. Tara bodoh." Gumam Sofia yang masih bisa terdengar Dena. Istri Tara itu hanya bisa diam, kembali terdengar nama Kanti disebut. Ia harus mencari tahu, seistimewa apa seorang Kanti hingga diagungkan keluarga Tara.
Dena tiba kembali di rumah. Ia membawa enam kantong belanja, dan di sambut bapak yang membantu membawa ke dalam.
"Ibu mana, Pak?" tanya Dena.
"Pergi, katanya mau ketemu teman lama. Banyak banget belanjaannya, Dena, uang kalian habis nanti," ucap bapak yang tak enak sendiri.
"Nggak, Pak, udah di pisahin kan. Ini semua sesuai catatan yang Ibu kasih ke Dena tadi pagi. Bapak nggak pergi? Dena lihat di masjid banyak orang tadi, Pak?" tanya Dena sembari mengeluarkan belanjaan lagi.
"Oh, itu, nanti, magrib Bapak rapat untuk acara santunan anak yatim." Jawab bapak, tak lama, suara mobil berhenti terdengar, lalu langkah kaki dan suara tawa beberapa orang terdengar.
"Assalamualaikum, Pak..." panggil ibu.
"Waalaikumsalam," jawab bapak yang menatap terkejut karena ibu pulang ke rumah bersama, Kanti.
"Ada Kanti, Pak, dia sudah di Jakarta ternyata," wajah ibu ceria dan bahagia. Dena menatap Kanti yang bertubuh tinggi semampai, dengan gaya busana yang juga menunjukkan kelasnya.
Pantas, mereka mengagungkan Kanti, cantik dan berkelas. Ucap Dena dalam hati sambil terus menatap Kanti.
Bersambung,
"Halo... apa kabar, aku Kanti," sapanya ramah. Dena membalas jabatan tangan itu sembari menyebut namanya juga."Kanti ini mantan pacarnya suamimu yang paling deket dan baik sama kita semua di sini, Dena, jadi wajar lho, ya, kalau Ibu anggap dia anak di sini, walau nggak bisa jadi menantu. Sedih banget Ibu kalau ingat itu," tetiba wajah ibu menyiratkan kesenduan. Dena mengangguk, mencoba memahami situasi yang ada."Namanya jodoh, rezeki, maut, dan apapun itu ditangan Allah, bisa aja pacaran lama, tapi nikahnya sama orang lain. Anggap aja jagain jodoh orang." Kali ini bapak bersuara. Ia ikut duduk di sofa ruang tamu. Dena pamit mundur untuk membuat minuman di dapur. Namun, pembicaraan ibu begitu terdengar jelas di telinga Dena."Semenjak kamu putus dari T
Tara menatap langit-langit kamar, semenjak kejadian tadi, ia terus dilanda rasa khawatir, juga muncul perasaan lain saat ia bertemu tatap lagi dengan Kanti. Lima tahun mereka hilang kontak, Tara sengaja melakukan itu karena saat itu memang mau menghapus Kanti dari hati dan hidupnya, pun, ia sedang mendekati Dena.Dena yang kala itu masih mahasiswi tingkat akhir menarik perhatiannya saat tak sengaja mereka bertemu di acara pernikahan teman sejawat Tara. Sedangkan Dena menemani Papanya datang ke acara tersebut.Dena yang manis, senyuman ramah, ayu, dan berpenampilan sederhana tapi tak kuno, membuat Tara yang kala itu seperti mendapat jalan keluar dari rasa gundah di hatinya semenjak putus dengan Kanti.Ia menghela napas, beranjak perlahan untuk memadamkan
Dena duduk di kursi penumpang tengah, di barisan ketiga sudah penuh dengan bahan untuk jahitannya dan juga bahan brokat untuk kebaya. Mereka tak langsung pulang, tetapi pergi makan siang di restoran seafood langganan orang tua Dena. Papanya yang pensiunan PNS itu, tau tempat makanan enak. Sedangkan mamanya yang pensiunan dari bank swasta, tau tempat makan kelas menengah ke atas yang sering disambangi waktu Dena dan kakaknya belum berumah tangga masing-masing."Pa, ke sini? Tau aja Papa, anaknya udah lama nggak makan ikan bakar sama kepiting," goda Dena yang begitu bersemangat."Emang kamu nggak pernah di ajak makan keluar sama Tara? Makan seafood aja, bahagia banget." Papa balas menggoda."Suka lah, Pa, tapi bukan di sini. Mas Tara dan keluarganya punya langganan sendiri," sanggah Dena yang sejujurnya itu kebohongan. Tara jarang mengajaknya makan di luar, karena jika itu terjadi, maka omela
Tara asik makan siang dengan sesama rekan kerjanya di kantin kantor itu sambil bercengkrama dengan gelak tawa menggema."Besok siapa aja yang berangkat ke Malang juga?" tanyanya sembari meminum es teh manis miliknya."Kita berlima, Pak, tiket Bapak masih sama saya, nanti sayaCheck in-kan sekalian, jadi Bapak tinggal datang ke bandara aja." Sahut anak buah Tara. Pria itu mengangguk."Mobil dari dinas sana udah di siapin juga?" Kembali Tara bertanya."Sudah, Pak, mereka nanti jemput ke bandara dan kita langsung ke hotel. Jam sepuluh baru kita ke kantor dinas di sana. Bapak mau minta laporan apa saja? Biar saya hubungi orang di sana untuk siapkan," lanjut anak buah Tara yang seorang pria berusia dua puluh lima tahun."Oke." Lalu Tara beranjak, menuju kasir, membayarkan makanan pesanannya juga teman-temannya. Tara memang suka
Dena tak bisa tidur, hatinya merasa tak nyaman karena sikap ibu mertuanya yang jelas tak suka kepadanya. Bapak bahkan sampai meminta Dena membahas dengan Tara, namun, sepertinya Tara justru marah kepadanya. Dena menoleh ke arah kiri, Tara tidur memunggunginya. Semalam keduanya bertengkar, oh bukan, lebih tepatnya Tara yang memberi tahu Dena supaya tidak membuat ibunya kesal dan marah. Meminta Dena terus bersabar tanpa Tara memberikan kesempatan Dena bicara untuk sekedar membela dirinya.Waktu subuh tiba, Dena membangunkan suaminya yang segera membuka mata, lalu beranjak untuk mandi, bersiap sholat subuh lalu berangkat ke bandara dengan taksi. Dena menyiapkan sarapan berupa mie instan dengan telor rebus dan teh manis hangat. Masih pukul lima. Pesawat akan berangkat pukul sembilan pagi. Jarak dari rumah ke bandara cukup jauh, jadi Tara harus berangkat beberapa jam lebih cepat.Tara sudah tampak rapi, ia berjalan keluar kamar, menyeret tas koper yang ia dirikan di dekat m
Tara pulang dari perjalanan dinasnya di Kota Malang, Dena berjalan menghampiri dengan cepat karena ia baru selesai mandi. Kala itu, jam menunjukkan pukul tiga sore. Suara ibu yang senang menyambut putranya pulang terdengar riang. Dena segera berjalan keluar dari kamarnya, ia lalu menghampiri Tara.“Mas,” sapanya sembari meraih tangan pria itu. Tara diam, ia hanya melirik lalu mengabaikan Dena. Ia diam, berpikir jika mungkin suaminya lelah.“Aku siapin air hangat untuk mandi, ya, sebentar, Mas,” ucapnya sembari beranjak. Ia bergegas kembali ke dalam kamarnya, menuju ke kamar mandi lalu menyiapkan air hangat di dalam bak dengan air yang mengcur dari keran. Ia juga menyiapkan handuk baru, juga pakaian tidur Tara.Derit pintu kamar terdengar. Tara mas
"Saya bingung, udah bener Tara sama Kanti, tau kan kalian, yang disainer baju terkenal itu. Cuma karena Kanti mau sekolah lagi sambil meniti karir di luar negeri, Tara malah putusin. Dia malah pilih Dena yang jelas-jelas bikin hati saya nih, aduhhh... perih... sakit hati.Saya di rumah suka diketusin, Dena kalau diajak ngobrol juga suka nggak nyambung. Kasihan anakku, tiap pulang kerja, suka saya ceritain tentang sikap istrinya itu. Keselll... hati saya," curhat ibu ke tetangga yang rumahnya hanya berbeda tiga rumah ke samping kanan darinya."Lho, masa, sih? Saya lihat Dena nggak begitu, biasa aja dan rajin. Saya sering ketemu di tukang sayur, belanja bareng, dan kalau saya tanya belanja apa aja dan masak apa, dia selalu jawab kalau masak sesuai permintaan kamu, sekali belanja bisa dua ratus ribu sehari." Sanggah
Istilah 'keluar dari rumah', sering digadang-gadang banyak orang, terlebih dalam lingkup keluarga juga masyarakat bagi pasangan yang sudha menikah. Masalahnya, kadang penyampaian untuk mengingatkan seseorang akan sikap itu salah cara, yang berujung membuat salah tanggap yang berakhir ada yang tersakiti.Dena diam, saat ia sedang menyuguhkan makanan untuk tamu ibu mertuanya yang datang ke rumah. Bukan tamu jauh, mereka adalah orang-orang yang sehari-hari ada dilingkungan rumah juga. Istri Tara itu baru saja selesai mengantar pesanan jahitan sarung bantal, dan saat ia melihat ‘tamu’ ibu mertuanya itu. Ia segera ke kamar, berganti pakaian dan menuju ke dapur. Ia membuat minuman, juga menyuguhkan kue-kue yang memang, Dena rajin membeli, sekedar untuk camilan di rumah karena bapak mertuanya suka minum kopi sambil ngemil kue.“Silakan, Bu,” ucapnya sopan sembari meletakkan teh lemon hangat dan beberapa potong bolu pandan krim vanilla yang ia bel
Apakah mereka sudah saling mencintai? Jawabannya, belum. Dena dan Argi menjalankan hak dan kewajiban, mereka juga sudah sah menjadi suami istri. Keduanya yakin, cinta akan datang seiring dengan waktu, tak perlu khawatir dengan hal itu. “Dena,” panggil Argi yang tak mendapati istrinya di dalam kamar saat ia baru selesai mandi besar setelah mereka bersetubuh. Argi duduk di tepi ranjang, masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi semalam dan hal itu membuat jantungnya berdebar begitu keras. Ia meraba dadanya, lalu menatap ke foto Saski yang masih terpajang di kamarnya. “Kamu nggak marah, ‘kan, Sas?” lirihnya diakhiri tawa dan wajah berseri-seri. Argi beranjak setelah mendengar bel pintu kamar hotel. “Udah bangun?” tanya Dena sambil membawa dua bungkus yang dari wanginya menggugah selera Argi yang lapar. “Kamu ke mana?” Ia mengekor Dena yang meletakkan bungkusan itu di atas meja. “Beli sarapan. Nggak sengaja sebenarnya, karena mau ke tempat Ariq, ternyata mereka udah ke Legoland
Argi menepati janji, hari jumat sore pukul 4.30 waktu KL, mereka berangkat ke Johor, menuju Legoland. Argi meminta Dena memesan hotel untuk menginap dua malam di sana, tak lupa ia mengajak Dena dan Ariq membeli beberapa pakaian baru juga di salah satu mal yang ada di KL. Satu koper ukuran besar menjadi pilihan Dena untuk mengemas pakaian mereka bertiga. Perjalanan yang akan memakan waktu tempat kurang lebih empat jam, ia siapkan sedemikian rupa juga dengan membawa makanan dan beberapa minuman. “Riq, kamu tidur aja kalau ngantuk, ya,” ucap Argi sambil menoleh ke arah belakang sebelum kembali menatap jalan bebas hambatan. “Iya, Pa,” jawabnya. Ariq tampak senang, pun Dena yang kali pertama plesir ke negara orang yang tak asing baginya karena suasana mirip dengan tanah air juga. “Betah tinggal di sini nggak kira-kira?” Argi membuka percakapan setelah mereka menempuh perjalanan satu jam. “Lumayan, aku masih haru keliling dan pingin tau transportasi umumnya. Nggak mau naik taksi atau re
Dena tiba di Kuala lumpur, Malaysia siang hari pukul satu. Ia dan Ariq duduk di lobi menunggu Argi menjemput. Hanya satu koper yang Dena bawa, ia memang bukan tipikal perempuan yang suka membawa banyak barang saat pergi yang menginap hingga beberapa hari. Ia lebih senang mencuci bajunya, cukup bawa baju seperlunya yang nanti di mix and match sendiri. Ariq menikmati burger yang Dena baru saja belikan sambil menunggu Argi menjemput. Kala itu, Ariq dan Dena kompak memakai warna baju senada, atasan putih dan celana jeans, juga sepatu kets warna hitam. Karena Dena memakai hijab, ia memilih kemeja putih dua ukuran lebih besar darinya supaya tak ketat membentuk lekuk tubuhnya. Bibirnya juga hanya ia olesi lipstik warna pink natural begitu tipis, hijab warna krem semakin membuat wajahnya bersinar. “Bun, kita di sini satu minggu? Itu lama, ya, Bun?” Ariq kembali menggigit burgernya setelah bicara.“Sebentar, kok. Kenapa? Ariq nggak mau lama-lama di sini?” Dena merapikan tatanan rambut putran
Syifa dan Tara duduk di teras rumah orang tua mereka. Sekarang, hanya tinggal Tara yang tinggal di rumah itu karena bapak meminta Argi baiknya keluar dari rumah setelah menikah dengan Dena. Lagi pula Argi di kuala lumpur dan jarang pulang, jadi baiknya saat Argi sedang di Jakarta, tinggal bersama Dena di rumah orang tua Dena. Meminimalisir resiko keributan juga rasa canggung karena Argi dan Dena sudah menikah. “Menikah lah lagi, Tara. Kakak nggak mau lihat kamu kayak gini,” tutur Syifa yang direspon tawa sinis Tara. “Kak Syifa, nggak semudah itu juga. Tara masih harus cerna semua ini. Merasa dicurangi adik sendiri itu nggak enak. Sakit hati.” ketusnya dengan tatapan dingin. “Gimana juga kalian saudara kandung, akan seperti itu sepanjang usia. Kamu harusnya pahami dan lihat hal ini wajar karena kita juga yang salah, kan? Kak Syifa ambil andil rusaknya hubungan kamu dan Dena di masa lalu.” Syifa menundukkan kepala. Tara beranjak, ia meninggalkan Syifa seorang diri di teras. Membuka
Hati Dena tak karuan, ia dan Argi saling menatap. Suaminya tersenyum begitu manis lalu berbisik lagi di telinga Dena saat keduanya duduk bersisian di restoran yang dipesan Argi untuk acara syukuran sederhana pernikahan mereka. “Semua akan aman dan baik-baik aja, Mbak Dena. Aku udah selamatkan kamu dari Mas Tara.” Argi memundurkan wajahnya, Dena tersenyum begitu tipis. Masih seperti mimpi yang aneh, karena mereka berdua kini pasangan suami istri. Pintu restoran terbuka, muncul Tara sambil membawa buket bunga. Tak ada senyuman, yang ada tatapan tajam menusuk dengan kemarahan yang membuat Dena segera menggenggam jemari tangan Argi di bawah meja. Argi menoleh, ia merasakan dinginnya jemari Dena. Kedua mata Argi juga menatap genggaman erat pada tangannya. Ia menatap Tara yang semakin berjalan mendekat lalu memberikan buket bunga mawar putih. “Selamat atas pernikahan kalian… adik ipar,” ucapnya dengan nada begitu dingin. Dena mencoba untuk tersenyum, walau ketakutan juga ragu terpancar pa
Tak kunjung berakhir rasa sesal yang dirasakan Tara, ia kini duduk sendirian di depan makam ibundanya. Wajahnya tampak gusar karena sejak tiba, ia terus merasakan hatinya sakit jika memikirkan Dena yang terang-terangan menolaknya. “Bu, Tara sekarang diambang kebimbangan. Argi mau menikah dengan Dena. Tara mau memperbaiki hubungan dengan Dena tapi… dia sama sekali nggak mau kasih kesempatan sedikit pun. Tara sendirian, dijauhkan dari orang yang Tara sayang bahkan Ibnu juga tinggal dengan Kanti dan suaminya sekarang.” Tara memainkan rerumputan yang menutupi gundukan tanah makam. Jarinya mencabuti pucuk rumput dengan pelan, layaknya anak kecil yang bermain atas lapangan penuh rerumputan. Gelapnya malam tak membuat ia ingin lekas beranjak, ia masih betah di sana walau tak lagi bicara. Fokusnya kini, bagaimana ia menata hati juga menghadapi pernikahan Dena dengan Argi. Tak kan mudah ia mengontrol semuanya. Tara seperti tenggelam dengan rasa sesal mendalam. Di lain tempat, Argi tampak bar
Dena baru saja kembali dari lokasi pameran yang ia ikuti, langkah kakinya begitu santai melenggang menuju ke parkiran mobil. Jam juga sudah menunjukkan pukul empat sore, lokasi pameran tutup pukul lima. Dena menyerahkan kepada dua stafnya untuk membereskan stand mereka, masih ada dua hari ke depan ikut tetap berada di sana. Ia mengarahkan mobil ke mana lagi kalau bukan rumah. Namun, saat ditengah jalan, mendadak mobilnya mengalami kendala, mendadak mati mesin. Buru-buru ia mematikan AC, lalu menepi. Dena mencoba kembali menstarter mobil hingga berulang kali tapi tetap saja tak mau menyala. Tak tau harus berbuat apa, ia turun lalu melihat sekeliling. Tak ada bengkel mobil, yang ada hanya warung kecil dan warung bakso. Dari kejauhan,Tara yang sedang mengendarai motornya melihat Dena yang berdiri di dekat mobilnya dengan bingung. Ia segera mendekat. “Dena,” sapanya. Wanita itu berjengkit kaget, ia menoleh cepat ke arah sumber suara. Tanpa menjawab apa-apa, Dena terus menghubungi papan
Tara menatap Ibnu haru, putranya sudah di sunat dan tak menangis. Sebagai seorang Ayah, ia merasa bangga bisa mengantarkan putranya melalukan kewajiban untuk seorang laki-laki. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar, sosok Kanti datang. Ia menyapa Tara hanya dengan senyum tipis, wanita itu datang bersama suaminya. "Ibnu," sapa Kanti sambil berjalan mendekat. Ibnu tersenyum, meraih tangan Kanti lalu ia cium. "Selamat ya, 'nak, udah besar sekarang, udah sunat," ujarnya sambil mencium kedua pipi Ibnu. "Nu," sapa ayah sambungnya yang ia panggil bapak. "Selamat, ya," lanjutnya. "Iya, Pak," jawab Ibnu. Kanti menatap suaminya, pria itu mengangguk. "Tara, bisa kita bicara berdua di depan. Tapi... saya mohon maaf, kalau ajudan saya ada yang jaga di depan, tidak masalah, 'kan?" Ajudan? Suami Kanti bahkan membawa ajudannya yang bertugas mengawal. Tara merasa malu, ia sungguh tak ada apa-apanya dengan pria di hadapannya itu. "Ya, nggak masalah. Mari," ajaknya sambil berjalan keluar dari kamar
Tara terus duduk termenung di meja kerjanya, bahkan sampai detik ini, jabatannya pun tak kembali seperti semula. Ia masih menjadi bawahan Bima--suami Tya. Tara galau, semua ucapan Dena benar-benar membuat tak bisa bergerak untuk mencoba dekat dengan sang mantan istri. Bagaimana jika memang pernikahan itu terjadi dan posisinya, Dena menjadi adik iparnya. Terlalu rumit, tapi terlihat jika Argi bersungguh-sungguh.Ketukan pada meja membuat Tara tersadar, Bima menarik kursi di hadapan Tara lalu duduk berhadapan dengannya. "Ada apa? Lo dari pagi terus bengong kayak gini?"Tara tersenyum tipis, "nggak papa. Ada apa, Bim. Apa ada yang harus gue siapin lagi? Permintaan lo untuk data pegawai kontrak, udah gue siapin, buat apa memangnya?""Lo kenapa? Nggak jawab pertanyaan gue. Dena mau nikah sama Adek lo? Itu bener?" Pertanyaan Bima membuat Tara menatap ke arah pria itu lalu menganggukkan kepala. "Yaudah lah... bukan jodoh lo emang, lo nggak perlu pusing atau merasa nggak nyaman. Argi dan Dena