"Ki... Saski tunggu! Kamu kenapa kabur gini?!" panggil Argi saat mengejar Saski yang keluar rumah karena terkejut dengan lamaran dadakan yang sebenarnya udah ketebak. Tapi tetap saja, membuat Saski kesal. "Balik sana ke Jogja! Udah dibilang aku nggak mau nikah sekarang!" tolak Saski. "Iya, aku kan izin ke Kakak kamu, kalau dia restuin, aku langsung ke Papa Mama kamu, Ki. Lagian kita nanri di Jogja, kan, kita pasti sering ketemu, aku nggak mau timbul fitnah! Mas Adim jug--"Saski menghentikan langkah kakinya, ia berbalik. "Mas Adim? Dia yang usulin kamu untuk nikahin aku sekarang? Iya?" Pelototnya. Argi keceplosan, lalu mengangguk. "Kakak kandungmu Tara, bukan Adim, kenapa kamu dengerin Mas Adim terus, sih!?" geram Saski. "Karena sikap Mas Adim sosok Kakak laki-laki yang bisa jadi panutan aku, bukan Mas Tara. Kadang yang bukan sedarah jauh lebih seperti saudara kandung. Saski, kita obrolin di rumah, yuk, sayang...." Nah, mulai nih, si bucin beraksi. "Aku kangen kamu, Sas, kita berap
Dua pasang mata saling menatap, lekat, kemudian helaan napas menjadi pemutus keheningan mereka. "Jadi... mau diundur, Sas?" Argi menatap Saski yang memberikan jawaban dengan anggukan kepala."Aku, mau kerja dulu, Gi. Bukannya mau nolak lamaran kamu, cuma... diundur sampai aku punya pengalaman kerja." Saski mencoba tersenyum, namun sayang, Argi justru menggelengkan pelan kepalanya."Aku nggak larang kamu kerja, Sas. Kamu bisa jalani peras jadi istri, juga berkarir, kita bahkan sepakat nunda punya anak juga, kan?" Argi mencoba meyakinkan Saski kembali."Gi, nikah itu bukan perkara aku, kamu, bersatu. Tapi banyak hal lainnya, bahkan, kebebasan juga nggak bisa sama, mencoba untuk eksplor banyak hal lain juga terbatas. Kamu pikir, apa nikah cuma perkara sesederhana itu? Nggak, kan, Gi? Kegagalan kedua Kakak-kakak kita bisa jadi pelajaran penting untuk kita berdua." Saski beragumen."Dan... apa menurut kamu, aku akan batasi semua yang mau kamu lakuin? Sama sekali nggak, Sas." Argi meraih je
Saski berjalan bersama pria yang menjemputnya, keduanya tiba di lokasi tujuan. Jemari Saski mengusap layar ponsel, sepuluh panggilan masuk dari Argi, dan lima pesan singkat yang belum dibacanya. Saski menghela napas, ia memilih memasukkan ponsel ke dalam tas."Sebelah sini, Sas," ujar pria itu. Saski masuk, lalu semua di mulai.Sementara, Argi yang baru tiba di Jogja setelah menempuh perjalanan dengan pesawat terbang selama beberapa waktu. Tampak kesal juga khawatir. Ia masih ada yang tak biasa dengan sikap Saski."Kamu kenapa sih, Sas, kenapa jadi cuek ke aku gini," kesal Argi. Ia masih berusaha menghubungi Saski dengan ponselnya sambil mendorong troly menuju ke lobi bandara. "Aku tau, ada yang nggak beres sama kamu, please jelasin ke aku," gumamnya lagi. Nyatanya semua percuma, Saski tak menjawab telpon Argi juga.Ia menghentikan taksi, setelah memasukan dua koper besar--karena satunya berisi baju kerja juga baru lainnya yang ia beli di Jakarta--ia segera mengarahkan ke rumahnya. Ru
Argi duduk dengan gusar, keputusannya sudah bulat untuk meninggalkan apa yang ia punya di kota gudeg, kembali ke Jakarta dengan tangan kosong. Ia berhenti bekerja, juga kuliah, sangat disayangkan memang, tapi untuk apa jika hanya ia yang terlihat bahagia diluar namun tersiksa didalam hati. Argi tau mau itu terjadi. Karena belum genap menyelesaikan status kontraknya sebagai karyawan, ia tak mendapatkan tunjangan sesuai yang disepakati, justru Argi terkena pinalty dengan hanya mendapat gaji bulan itu. Tak masalah. Argi menerima dengan lapang dada. Sera yang diberitau kabar itu, ia meminta Argi membiarkan rumah yang mereka sewa, karena beberapa pakaian Sera juga masih di sana. Tak perlu Argi rapikan lalu membawa ke Jakarta. Pandangan Argi menuju ke langit luas, ia tak masalah harus melepaskan impiannya, Saski masa depan yang harus ia jaga dan ia mau, tak ada kata mundur, ia siap melakukan apa saja untuk kekasihnya itu. Argi memutuskan naik kereta, setibanya di Jakarta, segera menuju
Ada kalanya, manusia terlalu egois dalam mengambil satu keputusan, begitupun Argi--menurut keluarganya--yang ngotot mau mendonorkan ginjalnya untuk Saski. Ia sudah frustasi, tak bisa membayangkan hal buruk akan terjadi pada wanita yang ia cinta.Bapak melarang, pun dua kakak lainnya kecuali Sera yang menyerahkan semua kepada si bungsu. Argi menunduk, air matanya menetes perlahan, begitu sedih karena merasa tak bisa berbuat apa-apa."Berangkat lah ke sana, tapi bukan untuk mendonorkan ginjalmu. Cinta yang sampai membuatmu salah ambil keputusan Argi. Coba bahas dengan keluarga Saski, juga Saskinya. Bapak yakin, dia akan marah dan benci kamu kalau sampai kamu mendonorkan ginjal untuk dia."Kalimat bapak benar, Argi mendesah, ia menyandarkan tubuh di kursi, kemudian mengatakan hal lain yang menurut Tara, itu kebiasan adiknya yang sangat nekat. Bagusnya, untuk hal itu, bapak mendukung seratus persen.Argi segera menyiapkan paspor, juga membeli tiket pesawat untuk keberangkatannya esok hari
Argi terus berdoa, Saski sudah dua jam tak sadarkan diri. Bahkan kedua orang tuanya terlihat panik. Tangan Argi bergerak perlahan hendak menggenggam jemari tangan Saski, ia juga menatap ke arah kekasihnya yang masih terpejam. "Bangun, Sas, maafin aku yang terkesan maksa kamu," lirihnya. Ia mengecup jemari tangan Saski beberapa kali, lalu ditempelkan telapak tangan itu ke wajahnya."Gi, kamu nginep di mana? Udah dapat apartemennya, 'kan?" tanya Mama."Udah, Ma, tapi kayaknya Argi di sini dulu aja, ya, boleh, 'kan?" tatapannya penuh permohonan, Mama dan Papa mengizinkan. "Argi minta maaf karena terlalu paksa Saski," lanjutnya."Nggak papa, kamu jangan khawatir kalau kami akan marah, sama sekali enggak, Gi." Papa menepuk bahu Argi.Sementara, di kamar hotel, Dena duduk termenung sambil menatap keluar jendela kamr hotel yang ia tempati. Ia baru saja selesai salat Isya. Kepalanya menoleh saat melihat Adim yang berjalan mendekat. Diam-diam suaminya itu berangkat ke Singapura, ia meninggalka
Canda tawa menghiasi suasana di dalam kamar tidur Dena dan Argi, tepat hari itu usia Ariq genap enam bulan. Ariq sangat senang bercanda dengan Adim, tak henti terus tertawa. Ia tergelak saat Adim terus menciumi pipi juga lekuk leher. Tangan mungilnya juga memukul-mukul kepala Adim yang membuat pria itu semakin gencar menggelitik. Dena yang ikut merebahkan tubuh di ranjang, tersenyum bahagia melihat suami dan anaknya begitu bahagia tergelak.Adim menggulingkan badannya ke samping kanan, menoleh ke Dena yang sudah memiringkan tubuh untuk memberikan ASI ke Ariq yang sudah mengantuk."Kamu capek, ya, Dena. Seharian kerja, pulang tetap urus kebutuhan aku sama Ariq." Jemari tangan Adim menyelipkan helai rambut Dena kebelakang telinga wanita itu."Nggak, kok, Mas, udah kewajiban aku, 'kan." Dena mengusap kepala Adim begitu lembut, kedua mata pria itu terpejam, senyumnya juga begitu lebar."Aku mau olahraga, supaya bugar," ucap Adim. "Udah lama nggak work out," lanjutnya sambil duduk lalu me
Dena mengabaikan ucapan Tara, rasanya ia malah takut dengan sikap juga perkataan mantan suaminya itu. Sesal sudah melekat pada tubuh Tara, ia pun hanya bisa menatap Dena yang kembali mengendarai sepeda motor menuju ke arah rumah.Kebetulan Tara baru saja diminta Bima antar dokumen ke salah satu staf penting kantor, rumahnya satu komplek dengan tempat tinggal Dena. Pertemuan tak sengaja itu, membuat Tara kembali melihat sang mantan istri. Ia menundukkan kepala, hanya senyum tipis yang tersungging karena bisa menatap Dena walau sejenak.Tiba di rumah, Dena mendapati Adim sedang memangku Ariq yang menggigit biskuit bayi. Raut wajah Dena membuat Adim curiga, ia beranjak sambil menggendong Ariq, berjalan ke dalam kamar mereka."Kamu kenapa? Pulang-pulang BT gitu mukanya?" Adim membersihkan bibir Ariq dari remahan biskuit bayi."Aku ketemu Tara." jawab Dena kesal. Ia melepaskan hijabnya, lalu berbalik badan menatap Tara lekat. "Lama-lama aku nggak tenang kalau tanpa sengaja masih ketemu dia
Apakah mereka sudah saling mencintai? Jawabannya, belum. Dena dan Argi menjalankan hak dan kewajiban, mereka juga sudah sah menjadi suami istri. Keduanya yakin, cinta akan datang seiring dengan waktu, tak perlu khawatir dengan hal itu. “Dena,” panggil Argi yang tak mendapati istrinya di dalam kamar saat ia baru selesai mandi besar setelah mereka bersetubuh. Argi duduk di tepi ranjang, masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi semalam dan hal itu membuat jantungnya berdebar begitu keras. Ia meraba dadanya, lalu menatap ke foto Saski yang masih terpajang di kamarnya. “Kamu nggak marah, ‘kan, Sas?” lirihnya diakhiri tawa dan wajah berseri-seri. Argi beranjak setelah mendengar bel pintu kamar hotel. “Udah bangun?” tanya Dena sambil membawa dua bungkus yang dari wanginya menggugah selera Argi yang lapar. “Kamu ke mana?” Ia mengekor Dena yang meletakkan bungkusan itu di atas meja. “Beli sarapan. Nggak sengaja sebenarnya, karena mau ke tempat Ariq, ternyata mereka udah ke Legoland
Argi menepati janji, hari jumat sore pukul 4.30 waktu KL, mereka berangkat ke Johor, menuju Legoland. Argi meminta Dena memesan hotel untuk menginap dua malam di sana, tak lupa ia mengajak Dena dan Ariq membeli beberapa pakaian baru juga di salah satu mal yang ada di KL. Satu koper ukuran besar menjadi pilihan Dena untuk mengemas pakaian mereka bertiga. Perjalanan yang akan memakan waktu tempat kurang lebih empat jam, ia siapkan sedemikian rupa juga dengan membawa makanan dan beberapa minuman. “Riq, kamu tidur aja kalau ngantuk, ya,” ucap Argi sambil menoleh ke arah belakang sebelum kembali menatap jalan bebas hambatan. “Iya, Pa,” jawabnya. Ariq tampak senang, pun Dena yang kali pertama plesir ke negara orang yang tak asing baginya karena suasana mirip dengan tanah air juga. “Betah tinggal di sini nggak kira-kira?” Argi membuka percakapan setelah mereka menempuh perjalanan satu jam. “Lumayan, aku masih haru keliling dan pingin tau transportasi umumnya. Nggak mau naik taksi atau re
Dena tiba di Kuala lumpur, Malaysia siang hari pukul satu. Ia dan Ariq duduk di lobi menunggu Argi menjemput. Hanya satu koper yang Dena bawa, ia memang bukan tipikal perempuan yang suka membawa banyak barang saat pergi yang menginap hingga beberapa hari. Ia lebih senang mencuci bajunya, cukup bawa baju seperlunya yang nanti di mix and match sendiri. Ariq menikmati burger yang Dena baru saja belikan sambil menunggu Argi menjemput. Kala itu, Ariq dan Dena kompak memakai warna baju senada, atasan putih dan celana jeans, juga sepatu kets warna hitam. Karena Dena memakai hijab, ia memilih kemeja putih dua ukuran lebih besar darinya supaya tak ketat membentuk lekuk tubuhnya. Bibirnya juga hanya ia olesi lipstik warna pink natural begitu tipis, hijab warna krem semakin membuat wajahnya bersinar. “Bun, kita di sini satu minggu? Itu lama, ya, Bun?” Ariq kembali menggigit burgernya setelah bicara.“Sebentar, kok. Kenapa? Ariq nggak mau lama-lama di sini?” Dena merapikan tatanan rambut putran
Syifa dan Tara duduk di teras rumah orang tua mereka. Sekarang, hanya tinggal Tara yang tinggal di rumah itu karena bapak meminta Argi baiknya keluar dari rumah setelah menikah dengan Dena. Lagi pula Argi di kuala lumpur dan jarang pulang, jadi baiknya saat Argi sedang di Jakarta, tinggal bersama Dena di rumah orang tua Dena. Meminimalisir resiko keributan juga rasa canggung karena Argi dan Dena sudah menikah. “Menikah lah lagi, Tara. Kakak nggak mau lihat kamu kayak gini,” tutur Syifa yang direspon tawa sinis Tara. “Kak Syifa, nggak semudah itu juga. Tara masih harus cerna semua ini. Merasa dicurangi adik sendiri itu nggak enak. Sakit hati.” ketusnya dengan tatapan dingin. “Gimana juga kalian saudara kandung, akan seperti itu sepanjang usia. Kamu harusnya pahami dan lihat hal ini wajar karena kita juga yang salah, kan? Kak Syifa ambil andil rusaknya hubungan kamu dan Dena di masa lalu.” Syifa menundukkan kepala. Tara beranjak, ia meninggalkan Syifa seorang diri di teras. Membuka
Hati Dena tak karuan, ia dan Argi saling menatap. Suaminya tersenyum begitu manis lalu berbisik lagi di telinga Dena saat keduanya duduk bersisian di restoran yang dipesan Argi untuk acara syukuran sederhana pernikahan mereka. “Semua akan aman dan baik-baik aja, Mbak Dena. Aku udah selamatkan kamu dari Mas Tara.” Argi memundurkan wajahnya, Dena tersenyum begitu tipis. Masih seperti mimpi yang aneh, karena mereka berdua kini pasangan suami istri. Pintu restoran terbuka, muncul Tara sambil membawa buket bunga. Tak ada senyuman, yang ada tatapan tajam menusuk dengan kemarahan yang membuat Dena segera menggenggam jemari tangan Argi di bawah meja. Argi menoleh, ia merasakan dinginnya jemari Dena. Kedua mata Argi juga menatap genggaman erat pada tangannya. Ia menatap Tara yang semakin berjalan mendekat lalu memberikan buket bunga mawar putih. “Selamat atas pernikahan kalian… adik ipar,” ucapnya dengan nada begitu dingin. Dena mencoba untuk tersenyum, walau ketakutan juga ragu terpancar pa
Tak kunjung berakhir rasa sesal yang dirasakan Tara, ia kini duduk sendirian di depan makam ibundanya. Wajahnya tampak gusar karena sejak tiba, ia terus merasakan hatinya sakit jika memikirkan Dena yang terang-terangan menolaknya. “Bu, Tara sekarang diambang kebimbangan. Argi mau menikah dengan Dena. Tara mau memperbaiki hubungan dengan Dena tapi… dia sama sekali nggak mau kasih kesempatan sedikit pun. Tara sendirian, dijauhkan dari orang yang Tara sayang bahkan Ibnu juga tinggal dengan Kanti dan suaminya sekarang.” Tara memainkan rerumputan yang menutupi gundukan tanah makam. Jarinya mencabuti pucuk rumput dengan pelan, layaknya anak kecil yang bermain atas lapangan penuh rerumputan. Gelapnya malam tak membuat ia ingin lekas beranjak, ia masih betah di sana walau tak lagi bicara. Fokusnya kini, bagaimana ia menata hati juga menghadapi pernikahan Dena dengan Argi. Tak kan mudah ia mengontrol semuanya. Tara seperti tenggelam dengan rasa sesal mendalam. Di lain tempat, Argi tampak bar
Dena baru saja kembali dari lokasi pameran yang ia ikuti, langkah kakinya begitu santai melenggang menuju ke parkiran mobil. Jam juga sudah menunjukkan pukul empat sore, lokasi pameran tutup pukul lima. Dena menyerahkan kepada dua stafnya untuk membereskan stand mereka, masih ada dua hari ke depan ikut tetap berada di sana. Ia mengarahkan mobil ke mana lagi kalau bukan rumah. Namun, saat ditengah jalan, mendadak mobilnya mengalami kendala, mendadak mati mesin. Buru-buru ia mematikan AC, lalu menepi. Dena mencoba kembali menstarter mobil hingga berulang kali tapi tetap saja tak mau menyala. Tak tau harus berbuat apa, ia turun lalu melihat sekeliling. Tak ada bengkel mobil, yang ada hanya warung kecil dan warung bakso. Dari kejauhan,Tara yang sedang mengendarai motornya melihat Dena yang berdiri di dekat mobilnya dengan bingung. Ia segera mendekat. “Dena,” sapanya. Wanita itu berjengkit kaget, ia menoleh cepat ke arah sumber suara. Tanpa menjawab apa-apa, Dena terus menghubungi papan
Tara menatap Ibnu haru, putranya sudah di sunat dan tak menangis. Sebagai seorang Ayah, ia merasa bangga bisa mengantarkan putranya melalukan kewajiban untuk seorang laki-laki. Kepalanya menoleh ke arah pintu kamar, sosok Kanti datang. Ia menyapa Tara hanya dengan senyum tipis, wanita itu datang bersama suaminya. "Ibnu," sapa Kanti sambil berjalan mendekat. Ibnu tersenyum, meraih tangan Kanti lalu ia cium. "Selamat ya, 'nak, udah besar sekarang, udah sunat," ujarnya sambil mencium kedua pipi Ibnu. "Nu," sapa ayah sambungnya yang ia panggil bapak. "Selamat, ya," lanjutnya. "Iya, Pak," jawab Ibnu. Kanti menatap suaminya, pria itu mengangguk. "Tara, bisa kita bicara berdua di depan. Tapi... saya mohon maaf, kalau ajudan saya ada yang jaga di depan, tidak masalah, 'kan?" Ajudan? Suami Kanti bahkan membawa ajudannya yang bertugas mengawal. Tara merasa malu, ia sungguh tak ada apa-apanya dengan pria di hadapannya itu. "Ya, nggak masalah. Mari," ajaknya sambil berjalan keluar dari kamar
Tara terus duduk termenung di meja kerjanya, bahkan sampai detik ini, jabatannya pun tak kembali seperti semula. Ia masih menjadi bawahan Bima--suami Tya. Tara galau, semua ucapan Dena benar-benar membuat tak bisa bergerak untuk mencoba dekat dengan sang mantan istri. Bagaimana jika memang pernikahan itu terjadi dan posisinya, Dena menjadi adik iparnya. Terlalu rumit, tapi terlihat jika Argi bersungguh-sungguh.Ketukan pada meja membuat Tara tersadar, Bima menarik kursi di hadapan Tara lalu duduk berhadapan dengannya. "Ada apa? Lo dari pagi terus bengong kayak gini?"Tara tersenyum tipis, "nggak papa. Ada apa, Bim. Apa ada yang harus gue siapin lagi? Permintaan lo untuk data pegawai kontrak, udah gue siapin, buat apa memangnya?""Lo kenapa? Nggak jawab pertanyaan gue. Dena mau nikah sama Adek lo? Itu bener?" Pertanyaan Bima membuat Tara menatap ke arah pria itu lalu menganggukkan kepala. "Yaudah lah... bukan jodoh lo emang, lo nggak perlu pusing atau merasa nggak nyaman. Argi dan Dena