“Semangat Zahra ...”“Astagfirullah,” ucapku ketika membaca jajaran rapi tulisan wanita cantik ini. Aku tak pernah tahu jika Mbak Zahra memiliki penyakit kanker, bahkan karena penyakit itulah Mbak Zahra merelakan rahimnya. Aku kembali membuka halaman selanjutnya.“Jangan risaukan apa yang tidak kamu miliki, Tapi risaukan ketika hati tak bersungguh-sungguh mensyukuri pemberianNya,”Bagaimana mungkin aku bisa berkeluh kesah, sedangkan Allah menakdirkan cerita hidupku begitu indah. Dari pandangan pertama saat aku melihatnya bahkan sampai saat ini aku mencintai dan di cintai oleh orang yang sama, perasaan yang tak akan pernah luntur meskipun kelak di alam yang berbeda. InsyaAllah.Aku kembali membuka halaman selanjutnya.“Cinta tak pernah meminta untuk menanti, ia mengambil kesempatan. Yang pertama adalah keberanian dan yang kedua adalah pengorbanan”Seperti cinta untuk suamiku, yang tak pernah ku ukur dengan apapun. Hanya melihat ia tersenyum bahagia itu semua lebih dari cukup. Bahkan k
“Jangan lupa minta tolong Bu Neni tetangga sebelah, minta ia untuk memanggilkan Pak Modin Syukur!” Aku masih tak percaya dengan kalimat yang baru saja ku dengar.“A-apa, Bu?”“Minta tolong Bu Neni. Nduk. Tolong panggilkan Pak Modin, untuk mengurus jenazah Zahra.”Ponselku seketika terjatuh. Aku mencubit diriku, berharap ini semua adalah mimpi. “Au sakit,” ucapku setelah mencubit lengan. “Astagfirullahalazim, rejeki, maut, kematian, memang tidak pernah ada yang tahu, semua rahasia Allah, innalillahi wa Inna ilaihi rojiun,” tangisku pecah, aku tak tahu harus berbuat apa, rasanya getir, bahkan melebihi rasa cemburuku seperti saat ia masih ada. Aku terbayang senyum indahnya. Senyum yang selalu tak pernah jauh-jauh dari raut wajahnya. Senyum yang terus melengkung indah dengan apapun takdir untuknya. Dari ia lah aku banyak belajar artinya keikhlasan. Sosok wanita surga yang selalu menjadi guruku. Belum juga aku meminta maaf atas semua salahku, kini engkau pergi begitu saja, Mbak. Aku m
“Assalamualaikum,” ucap seorang wanita yang baru saja memasuki rumah ini. Berparas ayu, mirip sekali dengan Mbak Zahra. Sontak aku terus melihat wanita itu. Siapa dia? Ia mendekati jenazah wanita cantik yang mirip sepertinya. Tangisnya tak kalah pecah dari aku dan Mas Zul, ia memeluk tubuh kaku itu.“Air matanya jangan sampai mengenai jenazah, Dek!” ucap Mas Zul sambil menyentuh pundak itu. Kekasih halalku itu seperti nya mengenal baik wanita berwajah mirip Mbak Zahra. Wanita itu perlahan mundur, menatap aku dengan seksama, memerhatikan dari ujung jilbab yang kupakai hingga rok bawahan yang ku kenakan. “Mbak Aisyah,” ia menyapaku, bahkan ia tahu namaku. “Aku Rara, Mbak. Adiknya Mbak Zahra.” Rara menyodorkan tangannya mengajakku berkenalan. Aku baru tahu kalau adik Mbak Zahra begitu mirip dengannya. Kami memandikan jenazah Mbak Zahra, ia masih terlihat cantik meskipun kini tubuhnya hanya terbalut oleh kain jarik coklat bermotif. Rara duduk memangku kepalanya, sedangkan dua warga
“Apa tidak lebih baik kamu meminta Zul menikah lagi, Nduk? Kamu bakal sibuk ngurus dua anak, sedangkan toko suamimu itu lagi rame-ramenya. Kasihan suamimu harus banting tulang sendiri. Lagian sudah pasti kan kamu operasi Cesar lagi, nafkah batin suamimu tak akan terpenuhi dalam kurun yang lama.”Suara yang terdengar lembut itu, seakan mengantarkan listrik ke urat syarafku. Menegang, detak jantungku seakan berhenti memompa darah ke organ dalam lainnya. Suara lirih tapi menembus ke kalbu. Aku membantu Zafran memakaikan pakaian untuknya. Sambil sesekali melirik ke arah sumber suara. Wanita yang melahirkan suamiku itu berdiri tak jauh dariku, sambil menyampaikan saran yang bagiku terlalu menyakitkan. “Kamu jangan egois, Nduk. Jika dulu Zahra bisa berbagi suami kepadamu, kamu juga harus bisa berbagi suami untuk wanita lain. Ini juga demi kebaikan kalian.”Ucapan wanita itu kembali menyayat hatiku yang kini telah tumbuh sempurna dengan kebahagiaan. Kini organ itu terasa pedih, merasakan
“Kalau sama Arini gimana, Zul? Sepertinya cocok?” Kalimat itu bagai gemuruh dalam hatiku. Pikiranku di penuhi tanda tanya besar, sebenarnya apa yang di rahasiakan suamiku, serta apa rencana ibu mertua ku itu.“Astagfirullah,” ucapku lirih sambil memegang dada yang terasa sakit ini. Aku bahkan dengan sengaja ingin menguping pembicaraan ibu di telepon. Bahkan hatiku terus suudzon kepada mereka yang telah menerima ku dan memberikan kebahagiaan itu untukku. Ibu memang sepertinya mengenal baik sama Arini. Semenjak Arini memegang jabatan di toko Mas Zul. Ia sering sekali mampir ke rumah dan bercengkerama dengan beliau. Wanita itu humbel, mudah sekali berbaur dengan lingkungan sekitar. Bahkan ilmu marketingnya pun tak bisa di ragukan lagi. Semenjak ia memegang toko, keuangan kami langsung melejit, bahkan toko itu sudah kembali membuka cabang di berbagai daerah. Aku kembali melanjutkan langkahku, menyiapkan makan siang untuk ibu dan Zafran, membuka kulkas dapur dan memasak sup bakso kesu
‘Astagfirullah, apa benar gambar yang aku lihat! Mas Zul menikah di belakangku?’Gambar itu menghilang, sepertinya Arini sengaja menyetel pesan gambar itu agar terlihat sekali saja. Aku tak kuat untuk membalasnya, segera ku taruh benda pipih itu dengan gemuruh hati yang tak karuan. InsyaAllah aku tak mengapa jika Mas Zul ijin menikah kepadaku. Tapi untuk apa? Kenapa ia harus berbuat ini secara diam-diam? Aku menatap dua lelaki ku itu bersamaan. Mereka sedang terlarut dalam lamunan indah di mimpinya, aku memandang wajah Mas Zul yang tampak teduh, aku tak pernah menyangka lelaki seperti ia bisa berbuat seperti ini kepadaku. Semalam suntuk mataku terus terjaga, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata meskipun hanya sesaat. Aku ingin mendengar penjelasan langsung dari suamiku. Namun akupun tak berani untuk mengganggu istirahatnya. “Dek, Dek. Ayo kita subuhan dulu.”Kalimat lirih itu membuatku mencoba membuka mata yang seakan ingin terus menempel. “Tumben, Dek jam segini masih tidur
Mas Zul tampak terdiam tak melanjutkan kalimatnya. “Aku sudah tahu, Mas. Mas sudah menikah dengan Arini kan di belakangku?” tanyaku. Berharap kata tidak adalah menjadi jawabnya. “Tidak seperti itu, Dek. Mas bisa jelaskan.”Terdengar langkah kaki mendekat, dan wanita kedua Mas Zul itu memasuki ruangan ini. “Mas, maaf bukannya Arini mau ikut campur. Tapi lebih baik memang Mbak Aisyah tahu hubungan kita, agar semua jelas. Tak ada yang di tutup-tutupi.”Aku termangu melihat Arini yang penuh dengan keyakinan, sedangkan Mas Zul tampak khawatir sambil menatap ke arahku. “Mbak Aisyah juga harus tahu kalau saat ini aku mengandung, Mas,” ucap Arini.Kalimat yang baru saja ku dengar benar-benar membuat tubuhku tak memiliki daya, tanpa sadar tubuh ini terhuyung dan semua tampak berat. Sayup-sayup kulihat Mas Zul dan Arini yang mendekatiku hingga semua cahaya kini menghilang hanya gelap. “Umi, bangun, Umi!” Terdengar suara Zafran yang memanggilku, terdengar pula Isak tangis dari lelaki kecil
Pov. Zulkifli “Arini, tolong bantu print kan data penjualan kita di bulan ini,” ucapku sambil melihat komputer di depan kasir. Beberapa hari ini penjualan berkurang tidak seperti biasanya.Arini adalah orang kepercayaanku di toko. Alhamdulillah semenjak kehadiran dia, toko yang ku kelola kini mengalami omset yang melejit, meskipun dia bukan lulusan sarjana nyatanya ilmu marketingnya begitu mumpuni. Aisyah yang merekomendasikan ia untuk kerja di sini. Ialah wanita yang berjasa menjaga Aisyah istriku.Arini tak menjawab, hanya tampak melihatku dengan senyuman yang membuatku risih. Ya, aku tahu wanita itu memang memiliki rasa kepadaku. Tapi apa mau di kata, tentang hati tak bisa berbohong. Hatiku seutuhnya telah dimiliki Aisyah hingga tak ada wanita lain yang mampu untuk singgah. Semenjak aku kehilangan Zahra hanya ialah wanita yang duduk di tahta hatiku.“Arini, kamu dengarkan?” tanyaku, mencoba mengulangi perintah yang baru saja ku ucap. Beberapa hari ini wanita itu memang tidak fok
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.