Ana semakin kesal. Lelaki itu adalah musuh bebuyutannya saat di sekolah. Ana menaruh dendam kepada Brian. Lelaki itu pernah sengaja melempar wajah Ana dengan bola basket. Kemudian Ana menyembunyikan bola basket itu hingga berhari-hari, sampai Brian tidak pernah menemukannya.Brian adalah sosok paling tampan dan populer di sekolah Ana. Baru kali ini ada wanita yang berani melakukan hal itu kepadanya.Bola basket itu adalah bola kesayangan Brian, pemberian ayahnya saat dia berulang tahun. Brian sangat marah dan akhirnya membawa Ana ke dalam sebuah gudang, tidak jauh dari posisi sekolah. Kecantikan Ana membuat Brian merasakan sesuatu, hingga akhirnya dia mencium Ana dengan mendadak. Tamparan keras melayang di pipi Brian untuk pertama kalinya dari seorang wanita. Hal itu yang menyebabkan Brian semakin menyukai Ana, namun selalu ditolak."Pen, kenapa dia .... argh!" teriak Ana semakin keras. "Pen?" Anggara terkejut ketika Ana malah menyebutkan nama Pen. Kemudian Ana berjalan cepat masuk k
Joko terkejut dia tidak menyangka Anggara akan mengetahui rahasia itu. Padahal, Joko rencana akan menyembunyikan rahasia ini sampai dia akan berbicara sangat serius dengan Ana dan Pen."Raden, aku kok gak dengar apa-apa ya?" balas Joko sambil mengusap telinganya secara bergantian.Anggara menarik Joko dan mengajaknya masuk ke dalam ruangannya. Menutup pintu sangat rapat. Dia berjalan mondar-mandir dan mencoba untuk mencerna semua yang ada."Aku selama ini selalu saja menemui Pen diam-diam. Aku tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Ini benar-benar di luar dugaanku. Awalnya aku senang sekali Pen bersikap manis kepadaku. Tapi ini malah membuatku sangat tidak mengerti." Anggara memegang kedua pundak Joko dan mengoyaknya dengan sangat keras. Otomatis tubuh sang asisten pun bergerak seperti angin puyuh."Raden, iya ... iya. Aku mendengarkan. Kepalaku bisa copot kalau muter-muter gini."Anggara masih saja melakukannya. "Joko! Ini tidak bisa aku biarkan. Aku mau kita menyelidikinya.
Pen masih bergetar. Bagaimana bisa, dia lupa jika tubuhnya berwujud Ana. Anggara malah menepuk-nepuk wajahnya berkali-kali. Dia menarik pipi wajah Ana, seakan ingin menarik kulitnya."Aww, perih!" teriak Pen. "Udah, hehe," lanjutnya meringis. Pen berusaha membuat kemarahan Anggara mereda. Mungkin dengan cara yang melintas di pikirannya saat ini bisa dia lakukan. "Ana, atau siapa kau. Setan, kunti, dedemit? Argh, cepat akui saja!" bentak Anggara. Namun, dia mengernyit saat melihat wajah Ana. Pen memasang wajah memelas. Mulutnya ke bawah seperti badut saat menangis."Jangan berpura-pura. Kau tidak bisa mengelabuiku. Ayolah, aku tidak bisa melihat wajah itu." Anggara semakin memegang kepalanya ketika Pen mulai sesenggukan. Dia tidak bisa melihat wanita menangis. Apalagi anaknya sendiri.Sebelum bertemu dengan Pen, Anggara sosok yang sangat dingin dan super jutek. Semua orang dianggapnya rendah. Bahkan saat berjalan pun, dia tidak pernah memandang semua orang. Tapi, semua berubah sejak d
Ana masih saja meringis. Dia berusaha mengatasi dirinya. Dia hanya sedikit saja mengetahui masa lalunya. Amara menampik tangan Ana yang masih mencubit pipinya."Jangan menyentuhku, wanita sialan," umpat Amara."Ah, Tante. Kenapa seperti itu dengan keponakan sendiri?""Keponakan? Kau salah besar!" Amara menyodorkan kertas berisi tes DNA. "Kau bukan anak kandung kakakku. Makanya aku membuangmu. Kau bukan siapa-siapa.""Sudahlah!" Nyai berdiri di antara mereka. "Aku sudah menduganya. Dia menyerahkan dirinya begitu saja kepada lelaki tidak dikenal. Dan, anakku korbannya--""Ibu!" teriak Anggara. Dia menarik Ana dan berdiri di hadapan ibunya. "Aku yang salah. Saat itu aku masuk dan melakukannya. Jika aku lelaki baik-baik, aku tidak akan melakukan hal biadab itu. Aku yang bersalah, Ibu.""Cukup!" Nyai berteriak. Dia mendekati Anggara dan memegang kedua pundak anaknya. "Untung saja ada adikmu. Kalau tidak, kau malah akan terjebak."Ana mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak akan terima sang
Ana dan Pen saling menatap. Anggara keluar mobil dan membuka pintu belakang. "Keluar!" bentak Anggara. Kedua wanita di hadapannya itu keluar dalam keadaan cemas. Apalagi Pen tidak pernah melihat Anggara sangat marah seperti itu."Jangan berbelit. Katakan siapa Pen, trus Ana. Kalian sangat membingungkan!" Anggara mendekati Ana dan menatapnya tajam. Lalu, bergantian dengan Pen."Kalian memang sangat berubah. Tidak seperti biasanya. Aku yakin kau bukan Pen!" tunjuknya ke arah Ana. "Dan kau bukan Ana!" tunjuknya ke arah Pen.Ana dan Pen saling menatap. Kedua mata Ana mengeryip, memberikan kode kepada Pen. Sementara, Pen mengedipkan salah satu matanya ke arah Ana. Anggara yang melihatnya menjambak rambutnya sendiri karena frustasi. "Argh!" teriaknya lalu berdiri di antara mereka. "Ini benar-benar sangat membuatku gila."Mereka terkejut mobil Nyai dan Joko tiba-tiba datang. Wanita tua itu ditemani Amara dan Gracia mendekati Ana dan menampar keras. Namun, tamparan itu tidak sampai ke sasar
"Ya Allah, Ana. Kamu itu mau ngapain? Masa aku masuk ke dalam kamarmu seperti ini, dan kamu itu wujudnya Ibu Pen. Kan aku jadi tidak enak lihatnya. Rasanya seperti melihat Ibuku sendiri. Gimana sih kamu ini?" Bambang kemudian menuju ke kursi mengambil keripik lalu membukanya dan segera memakan.Ana sangat kesal melihat sahabatnya seperti itu. Dia segera mendekat, kemudian merebut keripiknya. Bambang terkejut kemudian bersedekap menatap Ana dengan sangat kesal."Kamu itu tidak perlu seperti itu. Sudahlah. Sekarang kamu harus menolong aku untuk menyelesaikan masalah ini. Kita malam ini harus menjadi detektif dan kau harus ikut. Siapa lagi aku meminta bantuan kalau nggak sama kamu. Gimana sih?" Bambang kemudian meluruskan tangannya, lalu mendekati sang sahabat yang duduk di pinggir ranjang sambil mengurut pelipisnya. Dia sangat paham dengan kondisi Ana saat ini. Tapi untuk menjadi detektif dan mengikuti Amara, tante Pen yang sangat jahat itu, mana bisa? Dan semuanya pasti akan dipertaru
Pen semakin menatap Joko. Dia melotot tajam. Glek!Joko mengingat Pen ketika marah. Tidak ada ampun baginya."Katakan kepadaku, Joko!" bentak Pen keras."Saya mana tahu. Mereka pergi begitu saja.""Pen, Ana ... Ah, aku bingung. Kita sebaiknya mengikuti mereka saja. Ayo!" sela Mawar."Edi bagus," balas Joko."Edi?" tanya Mawar memegang kepalanya. "Maksudnya ide?" lanjutnya menunjuk Joko yang meringis menganggukkan kepalanya."Argh! Aku bisa gila!" teriak Mawar keras. Sementara Pen hanya menepuk jidatnya sebelum masuk mobil Joko."Kita ke mana?" tanya Mawar duduk di depan kursi kemudi."Mawar, kenapa kamu yang nyetir?" Pen menepuk pundak Mawar dari kursi belakang.Sang sahabat semakin frustasi. Dia tanpa sadar malah duduk di kursi kemudi. Joko segera keluar dan menuju pintu Mawar saat Pen semakin melotot."Mau aku hajar!" teriak Mawar sebelum memutari mobil lalu duduk di kursi samping kemudi."Saya tadi kan mau bilang--" ucap Joko berhenti saat Pen semakin melotot ke arahnya. Dia seger
Anggara berjalan monfar-mandir. Dia masih berusaha menjernihkan kepalanya. Dia akan sangat malu sekali jika hal itu terjadi. "Ayah ...," panggil Ana pelan."Ra-den ...," ucap Bambang mengikutinya sangat pelan.Anggara tidak menghiraukan mereka. Dia masih berjalan mondar-mandir."Sudah aku bilang. Ayahmu pasti akan baik-baik saja," bisik Bambang semakin mendekati Pen.Anggara spontan menghentikan langkah. Walaupun wanita di hadapannya adalah Ana, dia masih cemburu saat lelaki lain mendekati. Spontan dia menarik Bambang agar menjauh dari tubuh Pen."Jangan menyenyuhnya, anak kecil!" bentak Anggara."Saya bukan anak kecil, Raden. Tubuh saya saja sangat besar. Masak, anak kecil," balas Bambang sewot. Tapi, dia segera menunduk saat Ana semakin melotot."Maksud aku umurmu itu. Kau itu gendut, tapi masih SMA. Argh! Aku semakin gila." Anggara mendekati Ana dan menariknya. Kembali mengawasi dari atas sampai bawah. Dia ingin membuktikan jika memang wanita yang di hadapannya memang bukan Pen, m
Amara tiba-tiba datang bersama dengan dua aparat kepolisian. Wanita itu sekarang berada di tengah-tengah mereka semua. Ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati Penelope saat melihat sang tante sangat pucat sekali. Bahkan dia menggunakan kursi roda. Tubuhnya sangat kurus. Hati Penelope bergetar, tidak menyangka melihat keadaan tantenya yang semula sangat glamor dan sangat anggun itu, kini berubah sangat mengenaskan."Sebaiknya kita ke sana dan bertanya apa tujuannya ke sini. Jangan pakai emosi. Lihatlah, dia sangat pucat sekali. Mungkin penyakit sudah menggerogoti tubuhnya. Penelope, hilangkan masa lalu itu. Yang penting kita sudah bahagia," bisik Anggara dengan tersenyum tampan."Kita harus memaafkannya, Ibu. Sebagai manusia kita harus memaafkannya," imbuh Ana kemudian menarik Penelope untuk menuruni panggung.Amara tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Penelope menerima uluran tangan itu dengan bergetar."Aku mau minta izin untuk bertemu denganmu. Tentu saja mereka semua mengi
Ana sangat terkejut melihat kehadiran Amel. Gadis itu menatap Bambang dengan tersenyum. Mengamati sang sahabat dari atas sampai bawah. Dengan sangat seksi Amel mendekati Bambang, kemudian tidak segan-segan menatapnya dari dekat."Kamu ternyata sangat tampan sekali. Apalagi bisa berkelahi dengan hebat seperti itu. Katakan kepadaku. Apakah kau sudah punya pacar? Atau masih mau menungguku?" tanya Amel tanpa basa-basi. Bambang menarik tengkuk leher Amel. Kemudian menciumnya dengan sangat panas. Ana dan Brian terpaku saat melihatnya. Apalagi Amel membalas ciuman itu."Tentu saja aku tidak memiliki pacar. Aku berubah seperti ini karena dirimu, dan aku akan menjadi lelaki yang sangat mencintaimu. Menjagamu sampai kapanpun." Bambang mengeluarkan satu kotak berbentuk hati di saku celananya sebelah kanan. Kemudian membukanya."Kau ..." Amel terkejut saat di dalamnya ada cincin berhiaskan berlian berwarna biru. "Maukah kau menjadi pacarku, tunanganku, dan istriku?" ucap Bambang kemudian memasan
Penelope bersama dengan Anggara selalu saja bermesraan di manapun mereka berada. Bahkan Penelope selalu menemani Anggara di kantor saat bekerja. Anggara tidak bisa lepas sedikitpun dari sang istri."Aku akan memberikan kejutan untukmu," ucap Anggara saat berada di dalam kantornya. Penelope tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Setiap hari kau selalu memberikan kejutan untukku. Kali ini apalagi?" tanya Penelope sambil bersedekap. Hingga Anggara memberikan satu undangan berwarna putih di depannya. Ada foto Pen dan Anggara pada saat pertama kali bertemu. Foto itu masih saja tersimpan di ponsel Anggara sampai saat ini."Apa ini?" tanya Penelope masih saja melotot tak percaya."Jika kau ingin mengetahuinya, ya buka saja." Anggara tersenyum, kemudian menatap Penelope yang membuka undangan itu. Tentu saja sang istri terkejut. Itu adalah undangan pernikahan mereka. Tepatnya pesta pernikahan mereka yang sempat tidak pernah mereka lakukan."Jadi setelah kita bersama selama 3 tahun kau ba
Pagi menjelang dengan cepat. Ana sudah bersiap-siap untuk pergi ke Inggris. Walaupun hatinya benar-benar resah, ingin sekali bertemu dengan Brian. Tapi dia harus mengorbankan hatinya dan tetap menjalankan perintah itu.Anggara dan Penelope, serta Nyai dan Romo, akan mengantar Ana menuju ke mobil yang akan membawa dia ke bandara. Namun, Ana semakin terkejut saat melihat sosok lelaki yang berada di depan mobil itu sambil bersedekap."Kenapa aku harus diantar oleh Kaisar, Ayah? Bukankah Ayah yang seharusnya mengantar aku? Untuk apa aku harus bersamanya? Ah, tidak menyukainya," ucap Ana dengan sewot. Anggara dan Pen hanya tersenyum, kemudian memeluk Ana sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil."Jaga dirimu dengan baik. Jangan nakal. Ingat, kamu itu pewaris sah. Jadi kamu harus menjalankan tugasmu dengan benar. Nilaimu juga harus tinggi. Jangan mempermalukan keluarga." Seperti biasa, Nyai dengan sangat cerewet memberikan wejangan sebelum pintu mobil tertutup. Romo hanya tersenyum dan melamba
Penelope benar-benar terkejut. Dia sampai meneteskan air mata saking bahagianya. Apalagi Anggara menggandeng Pen dan mengeratkan genggamannya itu, di telapak tangannya sebelah kanan. Raden kemudian tersenyum tampan dan menganggukkan kepala."Apakah ini mimpi? Aku semalam tidak bermimpi apa pun. Hatiku masih saja sakit. Aku ingin bertemu dengan anakku. Tapi ternyata sekarang aku menghadapi drama seperti ini. Sebuah drama yang sangat mengharukan, yang selama ini hanya ada di dalam mimpiku saja," ucap Pen kemudian menatap Anggara. Menarik telapak tangannya menuju pipinya. "Cubit aku, karena aku tidak mau terbangun dari mimpi yang indah ini," lanjutnya berkata dengan kedua mata yang berlinang air mata.Anggaran mencubit pipi Pen, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Aku sudah berjanji akan berjuang mendapatkan dirimu dan Ana sampai titik darah penghabisan dan, ini adalah buktinya. Jika aku memang benar-benar mencintaimu," balas Anggara membuat Pen
Benar-benar di luar dugaannya. Anggara mengatakan hal itu? Ada apa ini? Apakah ini sebuah lelucon? Tidak ada angin, tidak ada perasaan, tidak ada hal apa pun yang Gracia rasakan. Hingga detik ini ... sampai tiba-tiba dia harus mendengarkan sang suami mengatakan hal yang sangat mengejutkan. Dan tentu saja ini membuat dia semakin besar kepala. Gracia tersenyum puas dengan semuanya. Keyakinannya untuk menang sudah di depan mata dan ini adalah semua yang dia rencanakan. Anggara pasti akan menyerah. Membuat dirinya menjadi istri sah satu-satunya yang akan melahirkan ahli waris, yang disetujui oleh dua pihak keluarga. Bukan Penelope, wanita yang sangat bencinya itu."Apakah kau mengatakan yang sebenarnya? Suamiku, ini tidak mungkin. Kau sudah membuatku sangat bahagia. Apalagi mengumumkan ini di depan semua orang. Tolonglah, jangan pernah menganggap ini lelucon. Karena aku tidak akan pernah memaafkan kamu." Gracia menatap sang suami dengan tajam. Dia ingin kepastian. Anggara tersenyum lalu
Ana masuk ke dalam kamarnya berteriak sangat keras. "ARGH!" Semua barang yang berada di hadapannya, dia singkirkan. Prang! Semuanya pecah berserakan di lantai. Para pelayan datang dan berusaha menenangkan gadis itu."Nona, tenanglah!"Mereka semua memegangi Ana. Gracia segera datang, setelah dia menghubungi seorang dokter. Gracia meminta dokter itu untuk menyuntikkan sesuatu kepada Ana agar tenang. Kebetulan dokter itu adalah teman dekatnya. Gracia memberikan uang yang sangat banyak, membuat Dokter wanita itu bisa melakukan apa pun yang Gracia minta."Bagus. Paling tidak dia tenang. Jika ada yang buka mulut, aku akan menghabisi kalian semua," ucapnya pelan dengan tersenyum puas. Kini dia menatap dokter itu. "Bayarannya sudah aku kirim ke rekening mu. Aku akan menghubungi mu kalau perlu.""Baiklah, aku pergi," balas dokter itu meninggalkan kediaman. "Pastikan dia tenang," ucap Gracia sebelum meninggalkan kamar Ana. Semua pelayan hanya bisa menundukkan kepala dan menuruti semua yang di
Ana masih saja menundukkan kepala. Awalnya dia tidak peduli dengan perkataan Gracia. Namun, ketika menyebut nama ibunya. Anak berdiri mendekati wanita itu dan menatapnya tajam. Mendadak mendorong Gracia hingga terjatuh ke belakang. Untung saja di belakang tubuh wanita itu adalah ranjang."Walaupun aku anak kecil tinggiku sama seperti denganmu. Jangan pernah membuat aku marah. Sekali lagi kau akan membuat ibuku menderita ... aku akan membunuhmu. Apa kau lupa dari mana aku berasal? Aku berasal dari jalanan. Bahkan aku sudah dua kali masuk penjara. Aku ... tidak takut apa pun," ucapnya pelan, namun dengan kedua mata yang tajam. Gracia segera berdiri merapikan kebayanya yang sangat berantakan. Dia menata rambutnya. Kemudian dia mengepalkan kedua tangannya. Tidak percaya Ana berani memperlakukannya seperti itu.Plak!Gracia menampar Ana dengan sangat keras. Gadis itu melotot tajam ke arahnya. Ingin sekali membalas tapi Ana tahan. Dia tidak mungkin melakukan itu dengan orang yang sudah tua
Di luar rumah sakit Pen menangis tanpa henti. Dia duduk di bawah pohon sambil meringkuk. Bahkan tidak peduli beberapa orang melihatnya."Pen! Kenapa kau seperti itu? Ayo bangun!" Pen terkejut Mawar tiba-tiba datang bersama Joko, kini berada di hadapannya. Dia segera memeluk sang sahabat yang ikut menangis dan tahu penderitaannya."Aku sudah menyerahkan dia. Aku tidak bisa lagi bertemu dengannya. Tapi aku harus menyerahkan dia, Mawar. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi aku harus. Itu adalah kewajibanku. Aku sudah berdosa dan ini adalah hukuman untukku," balas Pen masih menangis. Mawar segera menarik sang sahabat dan mengajaknya masuk ke dalam mobil Joko. Lelaki itu masih terdiam mengamati semuanya."Sekarang tenangkan dirimu. Joko saat itu dibantu semua pengacara yang sudah dikirimkan Anggara, lalu kembar, juga membantumu. Semua kekayaan mu kini sudah kembali. Amara juga masih saja menerima hukumannya. Kau akan hidup dengan lebih baik." Mawar masih saja berusaha menyenangkan Pen denga