"Pah," panggil Jingga. Wanita itu tersenyum melihat satu keluarganya sedang kumpul di meja makan. "Jingga, mau makan bareng. Boleh kan?" Lelaki paruh baya itu menganggukkan kepalanya, ia meminta Jingga dan Dafa untuk duduk bersama mereka. Namun, tiba-tiba Satria dan Tania langsung berdiri dan hendak pergi."Satria, Tania kalian mau kemana?" tegur Pak William. "Kami langsung kenyang, ngeliat wajah dia." Satria menunjuk Dafa yang hanya diam dengan wajah datar."Duduklah.""Apasih Pah, kami mau ke kamar!" gerutu Tania. "Kalau begitu pergi saja dari sini, Tania. Sekalian keluar dari rumah ini, jika kamu tidak ingin mendengar perintah saya!" ancam Pak William. Tania yang mendengar ancaman itu langsung menciut, akhirnya ia dan suaminya ikut duduk sembari mendengus kesal. Jingga menghela nafas gusar, harapannya untuk makan bersama agar keluarga bisa kembali bersatu, tetapi terlihat sulit bagi keluarga ini untuk bersatu."Sudah lama kita tidak makan bersama seperti ini," ujar Pak William
Dafa menggebrak meja dengan kasar, matanya menatap tajam ponsel di depannya. Lelaki itu begitu emosi melihat berita yang diberitahukan sekertarisnya. "Pak Dafa, tenanglah. Saya sudah menghapus semua berita yang tadi muncul," ujar Rian mencoba menenangkan Dafa. "Saya akan tenang jika itu hanya tentang saya, tapi mereka sudah membawa Jingga dalam masalah ini," jawab Dafa dengan nada tinggi.Dafa mengepalkan tangannya, ia sudah tidak bisa mengontrol emosinya melihat wajah dirinya dan Jingga di sebuah akun yang seperti baru di buat. Walapun hanya sampai beberapa menit, postingan itu sudah mendapat ribuan komentar karna memang keluarga William sangat terkenal. Dulu Dafa tidak masalah, bahkan bahagia saat ada yang menyebarkan hal itu. Tapi sekarang ia benar-benar murka, karna istrinya di ikut sertakan. Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Dafa dan Reno menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka, di sana terlihat Pak William masuk ke dalam ruangan."Dafa, kenapa masalah ini kembali mu
Pov Jingga.Setelah mengetahui kabar kehamilanku, Tuan Dafa benar-benar berubah. Lelaki itu menjadi lebih posesif, ia juga tidak membiarkanku pergi kemanapun sendiri kecuali jika hari kuliah. Sifat Tuan Dafa tidak membuatku risih, aku malah sangat menyukai dirinya yang begitu perhatian padaku. Contohnya sekarang, ia rela pulang awal karna aku tidak ingin makan."Sayang!" Aku terperanjat saat sebuah tangan memeluk perutku. Senyumku mengembang melihat wajah tuan Dafa di balik kaca. "Kenapa gak mau makan?" tanyanya. "Saya gendung banget yah, Tuan?"Aku mengelus perutku, melihat ke kaca bahwa sekarang postur tubuhku sudah naik drastis. Terlihat Tuan Dafa menggelengkan kepalanya, ia lalu memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. "Hm, kamu kaya gini lebih menggoda," jawabnya membuat pipiku bersemu merah. Tuan Dafa berjongkok, lalu mengelus perutku yang sudah buncit. "Mamah harus makan yah! Kasian nanti anak Papah laper.""Tapi, pengen makan masakan Papah," ucapku dengan menirukan suar
"Jingga." "Ii--iya, Tuan." Aku yang sedang melihat ponsel Tuan Dafa terperanjat saat tiba-tiba lelaki itu sudah masuk ke kamar. "Maaf sudah lancang melihat ponsel anda Tuan," ucapku sembari menyodorkan benda pipih itu. "Tidak papa," jawabnya. "Ceritakan harimu tadi di kampus. Kenapa kamu bisa pingsan?" Tuan Dafa menatap ke arahku. "Hanya kecapen mungkin Tuan." Tuan Dafa tampak mangut-mangut, ia lalu menarik kepalaku ke pundaknya. Sesekali mencium pucuk kepalaku. Beginilah runtitas kami setiap malam, lelaki yang begitu kejam dulu sekarang sangat manis. Ia selalu bertanya tentang keadaanku setiap hari."Tuan.""Hm?" "Apakah kantor Tuan bermasalah karna kasus waktu itu?" "Kamu sudah melihat chat dari Rian?" tanyanya, membuatku menganggukan kepala. "Jingga, tidak usah di pikirkan. Hanya beberapa perusahaan yang menolak kerja sama dengan perusahaan kita, tidak akan membuat kita bangkrut," jawab Tuan Dafa, aku menatap wajah lelaki itu, ekspresinya begitu tenang. "Tapi Tuan, nama an
"Tuan, kenapa anda tidak menolong Tania? Padahal Papah sudah menyuruh anda untuk membantunya?" "Untuk apa saya menolongnya?" Lelaki itu malah balik bertanya. Aku menatap wajahnya, tenang. Seolah-olah masalah tadi tidak ada apa-apanya baginya. Aku menghela nafas pelan, sekarang harus terbiasa melihatnya seperti ini. Suamiku berbeda dengan lelaki lain, ia terkesan cuek tapi begitu peduli padaku. "Jingga.""Iya, Tuan?" Lelaki yang kepalanya sedang tiduran di pangkuanku itu mendongak menatapku. "Jangan panggil saya Tuan. Saya ingin percakapan kita tidak formal, biasa saja seperti pasangan lain!" "Terus mau panggilan apa?" Aku mengerutkan kening, tumben. "Ganti jadi Mas atau apa, dan harus panggil dengan sebutan aku kamu." Aku terkekeh mendengarnya. "Iya, Mas. Aku ngerti," jawabku. Tuan Dafa, eh maksudku Mas Dafa tampak tersenyum. Ia lalu mencium perutku."Oh, iya. Saya ingat tentang teman lelakimu itu. Doni, ternyata dia ...."Drrrt! Ucapan Mas Dafa terhenti saat mendengar pons
Sudah setengah jam aku berjalan, entah kemana aku harus pulang. Pergi ke rumah itu tidak mungkin, karna jelas-jelas Tuan Dafa sangat marah sampai mengusirku. Ingin ke rumah Ibu juga cukup jauh. Sedangkan aku tidak punya sepeserpun uang untuk ongkos. Aku merutuki diri sendiri, kenapa harus percaya pada mereka. Mereka yang kuanggap sahabat tega menyakitiku. Rifa, satu bulan kemarin kami tidak saling sapa, ternyata dalam waktu singkat dia berubah menjadi orang paling kejam yang pernah ku kenal. Untuk menyesalpun rasanya percuma, sekarang aku hanya mengkhawatirkan anak yang sebentar lagi akan lahir. Dia yang dulu begitu ditunggu oleh Mas Dafa, apakah karena hal ini Mas Dafa langsung tidak mau mengakuinya.Aku terkekeh, Mas Dafa selalu bilang bahwa fitnah itu kejam. Semua orang memfitnahnya tanpa mencari tahu sesuatu, dan bagaimana dengan dirinya? Dia pun sama! Dia sama seperti keluarganya."AAA KENAPA!" Aku berteriak di sisi jembatan. "Kenapa aku harus mengalami ini semua, kenapa?"Sak
Aku terbangun lalu menatap ke sekeliling, bukannya semalam aku bersama Mas Dafa. Kenapa sekarang berada di kamar ini lagi. "Jingga sudah bangun?" Aku menoleh ke arah Hans yang sedang tersenyum di balik pintu, ia lalu mendekat ke arahku. "Minum dulu susunya," ujarnya lalu menyodorkan segelas susu padaku. "Hans, siapa yang mengantarku ke kamar ini. Bukannya semalam aku di kamar Mas Dafa?" Hans terdiam sejenak, lalu menjawab, "Maaf jika saya lancang, Jingga. Saya membopong tubuhmu dan membawamu lagi ke kamar ini, semalam saat saya ingin melihat Kak Dafa. Saya juga melihat kamu tidur di sisinya, karna takut Kak Dafa bangun dan menyelakai kamu makanya saya buru-buru membawa kamu yang sedang tidur." Aku menghela nafas Kecewa mendengar jawabannya, semalam aku merasa jika Mas Dafa yang membawa tubuhku. Ternyata itu hanya mimpi. "Jam berapa sekarang, Hans?" Hans melirik ke arah alrozinya. "Jam delapan," jawabnya membuat mataku terbelalak. Aku langsung bangkit, tapi Hans malah menahanku
Seharian ini aku hanya berdiam diri di dalam kamar, tubuhku terasa begitu lemah. Namun, aku tidak peduli. Entah mengapa, semangat hidupku benar-benar hilang.Mas Dafa sepertinya sudah tidak peduli padaku. Dia terlihat biasa-biasa saja saat Hans dengan jelas mengungkapkan keinginannya untuk menikahiku.Aku merasa bahwa selama ini Mas Dafa tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya memanfaatkanku."Argh!" Aku melempar tisu ke sembarang arah, mataku membulat ketika aku melihat Mas Dafa sudah berdiri di sisi pintu, dan tisu itu malah melayang ke wajahnya."Mm--mas Dafa."Mas Dafa hanya memutar bola matanya, ia lalu menghampiriku dan memberikan beberapa roti serta susu padaku. "Makanlah," ujarnya membuatku tertegun. Apakah Mas Dafa masih peduli padaku."Mm--mas, kamu ....""Jangan kegeeran, biar bagaimanapun kamu masih istri saya. Saya tidak mau ada berita bahwa istri seorang Dafa meninggal dunia karna kelaparan. Hm, bukankah itu akan kembali membuat publik merasa kalo saya masih seperti ke
Dafa terduduk lemas sambil menatap sebuah foto yang berisi keluarganya dulu saat mereka masih lengkap. Dia kemudian memasukkan foto tersebut ke dalam koper.Sudah tujuh tahun sejak peristiwa mengerikan itu terjadi, namun kenangan yang menakutkan itu masih selalu menghantuinya. Dafa menghela nafas pelan dan kembali melanjutkan mengambil barang-barang lainnya untuk dimasukkan ke dalam koper."Sudah siap semuanya?" tanya Tuan William. Dafa mengangguk, ia lalu meminta seseorang untuk membawa barang-barangnya ke mobil."Hana, sini sama Papah." Bocah perempuan yang berada di sisi Tuan William langsung berlari ke pangkuan Dafa. Lelaki itu tersenyum, ia lalu mencium pipi gembul putrinya."Sebelum ke rumah baru, kita nemuin Bunda dulu yah," ucap Dafa membuat bocah itu mengangguk dengan antusias. Dafa lalu menggendong Hanna, sebelum pergi ia terlebih dahulu menatap lama ke arah kamar mereka. Ia menghela nafas pelan, merasa berat meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan indah. Namun, mes
"Tania, berhenti!" teriak Jingga dengan panik, namun Tania justru tertawa. Dengan kegilaan di matanya, wanita itu terus mengemudikan mobilnya menuju jurang yang mengerikan."Tania, jangan bodoh. Kita bisa mati!"Tidak, Jingga. Jika aku tidak bisa mendapatkan Mas Dafa, maka kamu juga tidak."Tania menginjak gas dengan keras, membuat mobil semakin cepat menuju ke jurang yang menakutkan. Jingga dengan panik mencoba menghentikannya, tangan mereka berebut setir mobil sehingga kendaraan itu menjadi tidak stabil. "Lepaskan, Tania!"Namun, Tania tak merespons. Kedua wanita itu terus berebut setir, membuat mobil semakin oleng dan jauh dari kendali."Aku tidak akan membiarkan kamu menyelakaiku atau anakku."Tin! Tin! Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dari arah samping. "HANS," teriak Jingga, ia melihat mobil Hans yang sedang melaju di sisinya dengan tangan lelaki itu berusaha mengetuk kaca mobil Tania."Hentikan perbuatan ini Tania! Berhenti!" teriak Hans dengan keras, namun Tania tet
Ada yang aneh dari tatapan Tania, tapi aku tidak tau apa. "Jingga, saya mau menemui Hans terlebih dahulu. Saya harus mengetahui apa alasan dia melakukan hal itu." "Aku ikut, Mas.""Hm, ayo."Kami akhirnya melangkahkan kaki untuk mencari Hans, sekarang dia harus menjelaskan semuanya. Mengapa dirinya sampai mengambil keputusan seperti itu? "Hans," panggil Mas Dafa. Membuat Lelaki yang sedang duduk di teras itu mendongak menatap kami. "Kak Dafa, ada apa?" "Jujur sama saya, Hans. Kenapa kamu melakukan hal itu?""Hans, hanya ingin menikahinya Kak.""Bohong, saya sudah pernah mencarikanmu wanita. Bukan hanya saya, tapi Papah juga. Tapi kamu selalu menolak dengan alasan tidak mau menikah, sekarang kamu malah ingin menikahi Tania. Hans, saya tau kamu tidak mencintainya, kamu juga tidak sepeduli itu pada putranya. Lalu apa yang membuat kamu ingin menikah dengannya?" tanya Mas Dafa, tampak kekesalan terlihat di wajahnya karna melihat Hans yang hanya tersenyum dan terus diam. "Kakak tidak
Aku terbangun dan menatap ke samping namun tidak ada keberadaan Mas Dafa. Ku lirik jam yang sudah menunjukan pukul satu malam. Kemana Mas Dafa pergi malam-malam seperti ini. Aku langsung bangkit, dan keluar dari kamar. Langkah ku ayunkan ke kamar Tania, pasti Mas Dafa berada di sana.Benar, saja. Aku melihat Mas Dafa sedang menggendong Azka, putra Tania. Mata lelaki itu terlihat sayu, tapi dia seperti tidak lelah menggendongnya. Sedangkan Tania, wanita itu sedang berbaring sembari tersenyum ke arah Mas Dafa. Melihat pemandangn seperti ini, hatiku terasa begitu sakit, terlebih melihat mereka seperti suami istri yang sempurna.Aku menggeleng dengan cepat, bagaimana bisa aku berpikir seburuk itu. Aku tau, jika Mas Dafa hanya mencintaiku. "Mas, gendong Azka nya jangan sambil berdiri gitu. Mendingan sambil tiduran dekat aku," ucap tania dengan nada yang terdengar manja."Tania, saya datang ke sini hanya untuk menidurkan Azka. Jangan pernah berpikir macam-macam, karena jika kamu mengatak
"Ngga, Mas." Langkah Mas Dafa kembali berhenti saat aku menghempaskan tangannya. "Jingga, kamu ....""Mas, aku mohon. Apa kamu tidak kasihan sama Papah, dan anak Tania. Dia masih kecil Mas, dia butuh banyak kasih sayang.""Jingga, kamu tidak tau apapun. Turutin perintah saya, ayo!" Mas Dafa akan kembali menarik tanganku, tapi dengan cepat aku menggeleng. "Maaf Mas, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini. Mas, tolong kali ini saja jangan egois," ucapku membuat mata Mas Dafa melebar, seperti tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. "Saya egois, kamu serius dengan ucapanmu, Jingga?""Iya, Mas," jawabku sembari menatap ke arahnya, berusaha untuk menutupi ketakutan ini karna sudah melawan dirinya. "Baiklah, kita akan tetap di sini," jawab Mas Dafa dengan nada yang terdengar kecewa.***Aku, Papah dan Hans mengikuti Mas Dafa yang berjalan ke arah kamar Tania, entah kenapa mendadak hatiku menjadi tidak tenang. Semoga saja, ini tidak membuat hubungan kami menjadi kembali reng
Pov JinggaAku menggendong bayi Tania dengan air mata yang menetes, tak kuasa manahan tangisku saat bayi yang baru lahir ini sudah kehilangan Papahnya dan Ibunya seperti tidak menyayanginya."Jingga, kamu amankan dulu bayinya." Aku mengangguk, saat akan membawa bayi ini tiba-tiba Tania kembali berteriak. "Kembalikan bayiku! Jangan bawa dia, kamu mau nyuri dia kan? Karna dia pewaris keluarga William?""Astagfirullah." Hans menggelengkan kepalanya, sedangkan wajah Mas Dafa sudah memerah. Mas Dafa memgambil alih bayi itu, lalu kembali menurunkannya di dekat Tania. "Urus bayimu Tania!" ucap Mas Dafa, setelah itu ia akan kembali mendekatiku akan tetapi Tania malah mencekal tangannya. "Mm--mas Dafa," panggil Tania, membuat kami semua mengerutkan kening. "Mas, bantu aku buat jaga bayi ini. Kasian dia Mas, dia udah gak punya Papah." "Bukannya kamu tadi menuduh istri saya akan mencuri bayimu?" "Yah, karna dia bukan siapa-siapa. Dia pasti bakal ngelakuin segala cara untuk mengambil bayi
"Mas Satria, jangan tinggalin aku Mas."Tania terus menangis histeris, wanita itu hendak berlari menghampiri tubuh Satria namun di hadang beberapa orang. "Lepasin, tolong lepasin. Mas Satria!" "Tania, Satria sudah meninggal!""Ngga! Mas Satria gak akan ninggalin aku, gak mungkin," jerit Tania. "Tenanglah, Tania. Tenang," lirih Tuan William. Ia ikut menangis saat Satria dan Angel di nyatakan meninggal.Jingga menatap Dafa yang hanya diam, matanya terus mengarah pada Jenazah mereka yang sedang di urus. Jingga melihat Dafa yang hanya diam, matanya terpaku pada jenazah mereka yang sedang diurus. Air matanya mengalir deras di pipi, ia berusaha meredakan kepedihan yang mendalam di hatinya. Pemandangan tubuh mereka yang seperti itu terlalu berat baginya. Bagaimana mungkin mereka nekat melompat dari ketinggian 5 lantai? Tubuh mereka hancur dan jiwa mereka telah meninggalkan tubuh, namun tangan mereka masih saling berpegangan erat."Argh." "Tania, kamu kenapa?"Jingga langsung menoleh k
"Ke--kenapa ada polisi?" tanya Clara dengan suara yang terdengar gugup. Semua tamu yang hadir pun menjadi gaduh, karena ternyata ada beberapa polisi yang berada di belakang Jingga."Acaranya akan kita mulai sayang," bisik Dafa di telinga Clara membuat wanita itu langsung menatap heran ke arah Dafa. Dafa mendekati Jingga, ia menatap lekat wanita yang hanya diam itu. Seketika Jingga terlonjak saat Dafa menarik tangan Jingga dan membawanya ke tengah."Mas apa ini, bukannya kamu akan meresmikan acara kita?" tanya Clara. Sekarang wanita itu terlihat sangat bingung, terlebih banyak kusuk-kusuk omongan orang. "Maaf Clara, itu tidak akan terjadi karna saya sudah menemukan semua bukti tentang kalian!" "Bukti? Bukti apa Mas?" Dafa tersenyum sinis, lelaki itu lalu menyuruh orang untuk menyalakan proyektor."Ada apa ini? Apa maksud ini semua Mas?" "Lihat saja!"Tatapan semua orang mengarah pada layar putih di depan, mata mereka tercengang melihat sebuah video terpampang di sana."Sekarang, D
Jingga duduk lemas di tepi trotoar, kaki terasa berat untuk melangkah. Ia tidak lagi memiliki rasa percaya kepada siapapun, hatinya begitu sakit karena semua orang yang pernah ia percayai telah menghianatinya."Bodoh, bodoh, bodoh. Kamu sangat bodoh Jingga, sangat bodoh. Kenapa kamu harus percaya sama mereka!" Jingga terisak, ia memukul kepalanya berkali-kali. "Dari semua hal yang paling menyakitkan, inilah yang paling sakit. Saat penghianatan itu datang dari orang yang kita percaya," gumama Jingga.Wanita itu terkekeh pelan. Ia terlihat benar-benar lelah karena setiap kali dirinya mencoba bangkit, dunia sepertinya selalu membuatnya kembali terjatuh. Jingga mengusap air matanya saat ponselnya berdering, wanita itu terdiam sejenak sebelum mengangkat panggilan telepon dari Papah mertuanya. "Hallo, menantu Papah. Apa kabar?" tanya Tuan William di sebrang sana. Jingga berdehem sejenak. "Alhamdulillah baik Pah ... Papah apa kabar?" "Kabar Papah baik Jingga, kamu lagi apa? Kok kaya di