Aku terbangun lalu menatap ke sekeliling, bukannya semalam aku bersama Mas Dafa. Kenapa sekarang berada di kamar ini lagi. "Jingga sudah bangun?" Aku menoleh ke arah Hans yang sedang tersenyum di balik pintu, ia lalu mendekat ke arahku. "Minum dulu susunya," ujarnya lalu menyodorkan segelas susu padaku. "Hans, siapa yang mengantarku ke kamar ini. Bukannya semalam aku di kamar Mas Dafa?" Hans terdiam sejenak, lalu menjawab, "Maaf jika saya lancang, Jingga. Saya membopong tubuhmu dan membawamu lagi ke kamar ini, semalam saat saya ingin melihat Kak Dafa. Saya juga melihat kamu tidur di sisinya, karna takut Kak Dafa bangun dan menyelakai kamu makanya saya buru-buru membawa kamu yang sedang tidur." Aku menghela nafas Kecewa mendengar jawabannya, semalam aku merasa jika Mas Dafa yang membawa tubuhku. Ternyata itu hanya mimpi. "Jam berapa sekarang, Hans?" Hans melirik ke arah alrozinya. "Jam delapan," jawabnya membuat mataku terbelalak. Aku langsung bangkit, tapi Hans malah menahanku
Seharian ini aku hanya berdiam diri di dalam kamar, tubuhku terasa begitu lemah. Namun, aku tidak peduli. Entah mengapa, semangat hidupku benar-benar hilang.Mas Dafa sepertinya sudah tidak peduli padaku. Dia terlihat biasa-biasa saja saat Hans dengan jelas mengungkapkan keinginannya untuk menikahiku.Aku merasa bahwa selama ini Mas Dafa tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya memanfaatkanku."Argh!" Aku melempar tisu ke sembarang arah, mataku membulat ketika aku melihat Mas Dafa sudah berdiri di sisi pintu, dan tisu itu malah melayang ke wajahnya."Mm--mas Dafa."Mas Dafa hanya memutar bola matanya, ia lalu menghampiriku dan memberikan beberapa roti serta susu padaku. "Makanlah," ujarnya membuatku tertegun. Apakah Mas Dafa masih peduli padaku."Mm--mas, kamu ....""Jangan kegeeran, biar bagaimanapun kamu masih istri saya. Saya tidak mau ada berita bahwa istri seorang Dafa meninggal dunia karna kelaparan. Hm, bukankah itu akan kembali membuat publik merasa kalo saya masih seperti ke
"Pak, antar saya ke hotel melati sekarang!" ujar Jingga sembari menatap ke sekeliling, wanita itu takut jika Hans melihatnya. "Mau ke mana, Non? Sekarang sudah jam 1 malam!" "Pak, ayo cepat. Saya mohon!" Meskipun supir tersebut terlihat keberatan, ia tetap menganggukan kepalanya. Sang supir pun lalu membawanya ke sebuah hotel sesuai permintaan Jingga.Jingga terus menatap ke depan, sebenarnya hatinya terasa gelisah. Ia dengan berani pergi menghampiri Dafa dan Clara, di sana dirinya sudah merencanakan akan melabrak wanita itu. Jingga membayangkan, setelah Clara membukakan pintu, ia akan langsung memberinya pelajaran.Jingga tersenyum miris, ia menatap sebuah kotak yang berisi bubuk cabe. Ia berniat akan menggunakan itu untuk menaburkannya pada tubuh Clara. ***Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah hotel bernama Hotel Melati. Dengan jantung yang berdetak kencang, Jingga keluar dari mobil dan mengucapkan terima kasih kepada supir sebelum menyuruhnya untuk segera pulang.Jingga meng
Jingga duduk lemas di tepi trotoar, kaki terasa berat untuk melangkah. Ia tidak lagi memiliki rasa percaya kepada siapapun, hatinya begitu sakit karena semua orang yang pernah ia percayai telah menghianatinya."Bodoh, bodoh, bodoh. Kamu sangat bodoh Jingga, sangat bodoh. Kenapa kamu harus percaya sama mereka!" Jingga terisak, ia memukul kepalanya berkali-kali. "Dari semua hal yang paling menyakitkan, inilah yang paling sakit. Saat penghianatan itu datang dari orang yang kita percaya," gumama Jingga.Wanita itu terkekeh pelan. Ia terlihat benar-benar lelah karena setiap kali dirinya mencoba bangkit, dunia sepertinya selalu membuatnya kembali terjatuh. Jingga mengusap air matanya saat ponselnya berdering, wanita itu terdiam sejenak sebelum mengangkat panggilan telepon dari Papah mertuanya. "Hallo, menantu Papah. Apa kabar?" tanya Tuan William di sebrang sana. Jingga berdehem sejenak. "Alhamdulillah baik Pah ... Papah apa kabar?" "Kabar Papah baik Jingga, kamu lagi apa? Kok kaya di
"Ke--kenapa ada polisi?" tanya Clara dengan suara yang terdengar gugup. Semua tamu yang hadir pun menjadi gaduh, karena ternyata ada beberapa polisi yang berada di belakang Jingga."Acaranya akan kita mulai sayang," bisik Dafa di telinga Clara membuat wanita itu langsung menatap heran ke arah Dafa. Dafa mendekati Jingga, ia menatap lekat wanita yang hanya diam itu. Seketika Jingga terlonjak saat Dafa menarik tangan Jingga dan membawanya ke tengah."Mas apa ini, bukannya kamu akan meresmikan acara kita?" tanya Clara. Sekarang wanita itu terlihat sangat bingung, terlebih banyak kusuk-kusuk omongan orang. "Maaf Clara, itu tidak akan terjadi karna saya sudah menemukan semua bukti tentang kalian!" "Bukti? Bukti apa Mas?" Dafa tersenyum sinis, lelaki itu lalu menyuruh orang untuk menyalakan proyektor."Ada apa ini? Apa maksud ini semua Mas?" "Lihat saja!"Tatapan semua orang mengarah pada layar putih di depan, mata mereka tercengang melihat sebuah video terpampang di sana."Sekarang, D
"Mas Satria, jangan tinggalin aku Mas."Tania terus menangis histeris, wanita itu hendak berlari menghampiri tubuh Satria namun di hadang beberapa orang. "Lepasin, tolong lepasin. Mas Satria!" "Tania, Satria sudah meninggal!""Ngga! Mas Satria gak akan ninggalin aku, gak mungkin," jerit Tania. "Tenanglah, Tania. Tenang," lirih Tuan William. Ia ikut menangis saat Satria dan Angel di nyatakan meninggal.Jingga menatap Dafa yang hanya diam, matanya terus mengarah pada Jenazah mereka yang sedang di urus. Jingga melihat Dafa yang hanya diam, matanya terpaku pada jenazah mereka yang sedang diurus. Air matanya mengalir deras di pipi, ia berusaha meredakan kepedihan yang mendalam di hatinya. Pemandangan tubuh mereka yang seperti itu terlalu berat baginya. Bagaimana mungkin mereka nekat melompat dari ketinggian 5 lantai? Tubuh mereka hancur dan jiwa mereka telah meninggalkan tubuh, namun tangan mereka masih saling berpegangan erat."Argh." "Tania, kamu kenapa?"Jingga langsung menoleh k
Pov JinggaAku menggendong bayi Tania dengan air mata yang menetes, tak kuasa manahan tangisku saat bayi yang baru lahir ini sudah kehilangan Papahnya dan Ibunya seperti tidak menyayanginya."Jingga, kamu amankan dulu bayinya." Aku mengangguk, saat akan membawa bayi ini tiba-tiba Tania kembali berteriak. "Kembalikan bayiku! Jangan bawa dia, kamu mau nyuri dia kan? Karna dia pewaris keluarga William?""Astagfirullah." Hans menggelengkan kepalanya, sedangkan wajah Mas Dafa sudah memerah. Mas Dafa memgambil alih bayi itu, lalu kembali menurunkannya di dekat Tania. "Urus bayimu Tania!" ucap Mas Dafa, setelah itu ia akan kembali mendekatiku akan tetapi Tania malah mencekal tangannya. "Mm--mas Dafa," panggil Tania, membuat kami semua mengerutkan kening. "Mas, bantu aku buat jaga bayi ini. Kasian dia Mas, dia udah gak punya Papah." "Bukannya kamu tadi menuduh istri saya akan mencuri bayimu?" "Yah, karna dia bukan siapa-siapa. Dia pasti bakal ngelakuin segala cara untuk mengambil bayi
"Ngga, Mas." Langkah Mas Dafa kembali berhenti saat aku menghempaskan tangannya. "Jingga, kamu ....""Mas, aku mohon. Apa kamu tidak kasihan sama Papah, dan anak Tania. Dia masih kecil Mas, dia butuh banyak kasih sayang.""Jingga, kamu tidak tau apapun. Turutin perintah saya, ayo!" Mas Dafa akan kembali menarik tanganku, tapi dengan cepat aku menggeleng. "Maaf Mas, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini. Mas, tolong kali ini saja jangan egois," ucapku membuat mata Mas Dafa melebar, seperti tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. "Saya egois, kamu serius dengan ucapanmu, Jingga?""Iya, Mas," jawabku sembari menatap ke arahnya, berusaha untuk menutupi ketakutan ini karna sudah melawan dirinya. "Baiklah, kita akan tetap di sini," jawab Mas Dafa dengan nada yang terdengar kecewa.***Aku, Papah dan Hans mengikuti Mas Dafa yang berjalan ke arah kamar Tania, entah kenapa mendadak hatiku menjadi tidak tenang. Semoga saja, ini tidak membuat hubungan kami menjadi kembali reng