Perlahan kelopak mata Ayyara terbuka. Dia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk pada pandangannya. Tangannya terulur meraba ke samping. Dan seketika terkejutnya dia, saat menyadari ternyata tak ada orang lain di kamar itu selain dirinya sendiri. Mata Ayyara seketika terbuka lebar.
"Kemana mas Kieran?"Perempuan itu mulai beringsut duduk, lalu mengambil ponselnya yang masih berada di samping bantal. Melihat jam di sana, masih menunjukan pukul dua dini hari. Pantas saja, Ayyara masih sangat mengantuk. Tapi, entah kenapa dia justru tiba-tiba terbangun."Apa mas Kieran sudah bangun di jam segini?"Karena penasaran, Ayyara akhirnya memutuskan untuk berjalan keluar kamar. Karena ini bukan rumahnya tentu Ayyara sedikit tidak nyaman berjalan sendiri tanpa adanya Kieran.Hingga langkahnya nyaris sampai di ruang tengah, Ayyara terhenti. Pandangannya terarah pada seorang wanita yang masih duduk di sofa ruang tengah, sambil meAyyara tertegun dengan ucapan Kieran barusan. Entah kenapa, ada perasaan aneh di hatinya saat laki-laki itu berkata seperti barusan, membuatnya tidak nyaman saat mendengarnya. "Terimakasih sayang. Mama juga akan terus ada untukmu, sampai kapanpun. Sekarang, kembalilah ke kamarmu dan temani istrimu. Kasihan dia sendirian di sana."Mendengar ucapan Daria barusan, Ayyara memutuskan untuk bergegas kembali ke kamar sebelum ada yang menyadari keberadaannya di sana. Dia tak mau jika anak dan mama itu tahu, jika sejak tadi dia telah mendengarkan pembicaraan mereka. "Baiklah ma. Mama juga harus istirahat ya. Maaf, karena Kieran mama jadi bergadang semalam ini.""Tidak apa-apa sayang."***Pagi itu, Ayyara dan Kieran bersiap untuk pulang ke rumah mereka kembali. Namun sebelum itu, Ayyara harus membereskan kamar yang barusan dia tiduri sambil menunggu Kieran selesai memanasi mobil. Walau di rumah itu banyak pembantu yang akan membersihkan
"Bagas!" panggil Ayyara berhasil menghentikan langkah seorang laki-laki yang baru saja berjalan melewatinya. Ayyara menghampiri walau laki-laki itu sama sekali tak mau menatapnya. Ini sudah seminggu, dia dan Bagas tak bertegur sapa. Setiap Ayyara berusaha ingin menjelaskan semuanya, Bagas selalu menghindar. Ayyara tak mau Bagas selamanya menghindar seperti ini darinya, itu membuat hatinya sangat sakit. "Bagas, tolong dengarkan aku dulu. Jangan terus menghindar dariku seperti ini, Gas. Aku tidak mau hubungan kita berakhir, aku masih mencintaimu. Aku sungguh mencintaimu, dan tidak bisa melupakanmu. Tolong percayalah padaku, Gas. Berikan aku waktu untuk menjelaskan semuanya.""Jangan pernah menjelaskan apapun padaku Ayyara. Kau sudah berbohong, kau bilang kau tidak akan menyerahkan tubuhmu pada pak Kieran. Tapi apa buktinya?" Bagas tersenyum sakit. Dia sadar, memang seharusnya dia tak berhak marah karena semua itu bukan kesalahan Ayyara. Sudah seh
Pintu sebuah ruangan terbuka cukup kasar, membuat sorang laki-laki yang tadinya fokus pada berkas di atas mejanya kini tersentak kaget. Mata laki-laki itu melebar, menatap seorang perempuan berdiri di ambang pintu ruang kerjanya menatapnya dengan sorot membunuh. "Ayyara?" Kieran mengernyit bingung. Tidak seperti biasanya istrinya itu datang ke perusahaannya di jam kerja.Ayyara kembali menutup pintu ruangan itu, lalu berjalan menghampiri tanpa mengalihkan sorot tajamnya pada Kieran. "Ada apa?""Gara-gara kamu mas. Ini semua gara-gara kamu!" Ayyara tiba-tiba berbicara dengan nada tinggi, membuat Kieran semakin tak paham. Apa kesalahannya sampai Ayyara lagi-lagi harus marah padanya sampai rela mendatanginya ke kantor?"Kamu pasti puas 'kan Bagas sudah tidak mau berbicara padaku lagi? Kamu puas akhirnya hubunganku dan Bagas berakhir?"Kieran terdiam. Jujur ini berita yang sangat mengejutkan sampai membuatnya sulit untuk
Pintu utama rumah perlahan terbuka. Kieran masuk sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang. Sudah pukul sepuluh malam, Kieran sengaja pulang larut malam agar saat sampai rumah Ayyara sudah tidur, dan tak perlu membuatnya harus mendengar amarah sang istri lagi.Namun ada yang aneh. Tidak seperti biasanya lampu di seluruh ruangan rumahnya itu mati. Hingga langkah Kieran sampai di ruang kamar. Cukup kaget saat mengetahui ternyata tak ada siapapun di sana. Entah kemana Ayyara. Pandangan Kieran tertuju pada kamar mandi yang kebetulan terhubung pada kamar itu, dia lalu menghampirinya. Namun sama saja tak ada siapapun di sana. Mulai merasa panik saat menyadari seakan tak ada siapa-siapa di rumahnya. Saat dia masuk tadi pintu utama juga masih dalam keadaan terkunci. Kieran bergegas menyusuri setiap ruang di rumahnya, dari ruang tengah, dapur, kolam renang, dan lantai dua. Tak ada siapapun di sana. "Kemana Ayyara?"Pikiran Kier
Pintu terbuka secara perlahan. Mata Bagas membulat, nyaris tak percaya saat melihat seorang perempuan tengah terduduk meringkuk di depan pintu kontrakannya. "Ayyara belum pulang?"Bagas tak bisa membuka pintunya terlalu lebar. Takutnya akan membuat Ayyara yang tengah bersandar pada pintu itu jadi terjungkal. Dia ikut berjongkok, sambil menahan tubuh perempuan itu agar tak terjungkal saat pintu dia buka. Sejak tadi sore Ayyara mengikutinya pulang sampai kontrakannya. Ayyara terus memohon di depan sana agar Bagas memaafkannya. Namun Bagas terus berusaha tak menghiraukan. Dia pikir setelah tak dihiraukan, Ayyara akan pulang. Tenyata perempuan itu masih tetap berada di teras kontrakannya. "Ini sudah malam, kenapa kau tak pulang saja Ayyara? Kenapa kau masih di sini? Padahal jika kau terus seperti ini aku juga belum tentu akan memaafkanmu."Kelopak mata perempuan itu sudah terpejam. Bahkan saat Bagas mulai menyentuhnya pun Ayyara
Suara pintu terbuka berasal dari ruang utama rumah terdengar sampai ruang tengah. Menyadarkan Kieran yang masih duduk di sofa yang tadinya sedang melamun. Semalaman penuh laki-laki itu tidak tidur. Dia terus khawatir dengan keberadaan Ayyara. Pikirannya tak bisa tenang. Dia tidak salah, namun kenapa Ayyara sampai harus marah padanya hingga seperti itu? Kieran tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini. Nomor telepon perempuan itu sampai kini juga belum bisa dihubungi. Kieran berdiri, lalu berjalan menuju ke asal suara barusan dengan segera. Jantungnya berdegup cepat. Dalam hatinya terus berdoa, semoga yang membuka pintu utama rumahnya itu adalah Ayyara. Dan benar. Dia kini mendapati seorang perempuan dengan penampilan yang sedikit berantakan sudah berdiri beberapa meter darinya. Membuat Kieran seketika bernafas lega. Ini yang sejak tadi malam dia tunggu. "Ayyara."Perempuan itu tak menjawab. Dia hanya diam sambil mengarahkan panda
Sejak menikah dengannya, Kieran tahu jika Ayyara tidak pernah mengganti parfum. Kieran sampai hafal bagaimana aroma parfum yang dipakai sang istri. Jikapun perempuan itu mengganti parfum, seharusnya yang dipakai juga masih aroma parfum perempuan. Tapi saat ini yang Kieran cium dari tubuh istrinya adalah aroma parfum laki-laki. Ini juga bukan aroma parfum miliknya. Kieran mulai sadar. Seharusnya sejak tadi dia harus mencurigai Ayyara. Seharusnya dia harus menanyakan dengan siapa Ayyara pergi tadi malam. Dia tahu istrinya itu sangat penakut dan tidak mungkin akan berani keluar sendirian tanpa adanya teman. "Kenapa?" tanya Ayyara mendadak bingung saat Kieran tiba-tiba menatapnya penuh kecurigaan seperti itu. Entah apa yang sedang laki-laki itu pikirkan, Ayyara juga tak bisa menebak."Tadi malam kamu tidur dengan siapa?"Ayyara merapatkan bibirnya untuk sesaat. Dia menatap mata Kieran yang perlahan memerah. Rahang laki-laki itu juga terlihat mulai m
Sudah hampir setengah jam, Bagas duduk di kursi kerjanya menghadap monitor komputer yang ada di hadapannya. Saat ini pekerjaannya memang banyak. Namun entah kenapa dia tidak bisa fokus menyelesaikan semuanya dengan cepat.Dia terus teringat dengan kejadian tadi malam bersama Ayyara. Bagas benar-benar sangat menyesal. Kenapa dia harus melakukan itu? Walau dia sangat mencintai Ayyara, namun Bagas selalu menyadarkan dirinya jika Ayyara itu adalah istri laki-laki lain. Bagas tak pernah mempunyai niat untuk menyentuh Ayyara, sebelum perempuan itu benar-benar menjadi miliknya. Tidak seharusnya dia melakukan semua itu. Bagas takut jika sampai kieran tahu, pasti Kieran akan sangat marah padanya. Sebuah langkah kaki mulai terdengar mendekat, menyita perhatian Bagas dan beberapa orang yang juga ada di ruang itu. Cukup kaget saat mengetahui siapa yang kini telah datang. "Pak Kieran," sapa beberapa orang yang ada di sana saat melihat sang CEO tengah berkun
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.