"Ini rumahmu?" tanya Ayyara saat dirinya dan Kieran sudah sampai di depan sebuah rumah mewah.
Ini pertama kalinya Ayyara berada di sana. Dia baru tahu, jika Kieran ternyata memiliki rumah pribadi.Kieran mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang istri. Dia mulai membuka pintu utama rumah itu, lalu masuk lebih dulu, meninggalkan Ayyara yang masih menatap rumahnya dengan takjub."Untuk apa kamu memiliki rumah sebesar ini, sedangkan kamu belum mempunyai istri?" tanya Ayyara yang masih belum sadar jika laki-laki itu sudah masuk lebih dulu.Namun, pertanyaan Ayyara barusan masih sempat Kieran dengar. Membuat laki-laki itu menghentikan langkahnya setelah beberapa senti melewati pintu utama. Dia menoleh, menatap Ayyara yang masih berdiri di depan pintu masuk."Kamu tidak ingin masuk?"Ayyara tersadar, dia menarik kopernya, lalu bergegas memasuki rumah itu. Mengikuti Kieran."Aku sengaja membangun rumah ini lebih dulu, sebelum aku menikah. Dan aku sudah berjanji, akan menempati pertama kalinya bersama istriku nanti. Dan sekarang, karena aku sudah resmi menikah denganmu, maka akan kubawa kamu tinggal di sini."Kieran tersenyum tulus. Sejak pertama kali bertemu Ayyara, dia memang berharap, semoga perempuan itu yang bisa menemaninya tinggal di rumah ini selamanya. Walau seakan tidak mungkin. Namun kenyataannya, justru itu akhirnya terjadi.Ayyara menghela nafas pelan, setelah mendengar penjelasan Kieran barusan."Seharusnya, kamu tinggal di sini bersama perempuan yang kamu cintai. Apa tidak masalah, jika aku ikut berada di sini?"Senyum Kieran perlahan memudar. Dia kembali tersadar jika istrinya itu sampai saat ini belum mengetahui tentang perasaannya selama ini. Kieran menghentikan langkahnya tepat saat mereka sampai ruang tengah. Dia kemudian menatap Ayyara dengan sorot serius."Ayyara, sepertinya ada satu hal yang seharusnya aku katakan sejak awal padamu."Ayyara mengernyit, penasaran. "Apa?"Kieran menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Jujur, dia masih ragu. Namun menurutnya itu lebih baik dia ungkapkan secepat mungkin pada Ayyara. Karena perempuan itu juga sudah menjadi istrinya, Kieran pikir tak perlu lagi menyembunyikan perasaannya pada Ayyara."Aku menyukaimu."Ayyara mengernyit tak paham. "Apa maksudmu?""Aku menyukaimu," jawab Kieran sekali lagi.Dia menatap perempuan itu cukup dalam, seakan mengisyaratkan bahwa ucapannya barusan memang tulus dari hatinya. Kieran ingin Ayyara mempercayainya."Sejak pertama kita bertemu, aku sudah mencintaimu. Aku kagum dengan kecantikanmu, aku menyukai caramu berbicaramu, dan aku menyukai sifatmu. Semua yang ada pada dirimu, aku menyukainya. Tapi aku tidak sempat menyatakan semua itu, karena sebelumnya kita tidak begitu akrab dan kamu juga menjadi kekasih laki-laki lain. Itu juga yang membuatku beberapa kali ragu untuk mendekatimu. Dan aku sebenarnya juga tidak ingin menghancurkan hubungan orang. Tapi, saat mama dan papa tiba-tiba menjodohkanku dengamu, aku rasa itu kesempatan bagus untukku, untuk berusaha memilikimu. Maka dari itu, aku menolak saat kamu memintaku untuk membatalkan perjodohan ini."Ayyara diam sesaat, mencerna semua pernyataan laki-laki itu barusan. Kieran mencintainya secara diam-diam? Ayyara menggeleng pelan, berusaha tak mempercayai semua itu."Kenapa kamu mencintaiku?""Aku tidak tahu, kenapa aku bisa mencintaimu. Jika cinta itu bisa diarahkan untuk jatuh ke siapa, aku juga tidak akan memilihmu Ayyara. Aku juga tersiksa, mencintai perempuan yang sudah jelas sudah memiliki kekasih. Aku juga ingin berhenti untuk tidak mencintaimu lagi, tapi, itu sangat sulit.""Dan, sekarang kamu menerima perjodohan ini? Itu artinya kamu telah memilih menghancurkan hubunganku dengan Bagas, walau awalnya kamu tidak ingin menjadi penghancur hubungan orang!"Ayyara tersenyum sinis. Dia tidak peduli dengan apa yang Kieran rasakan padanya. Dia tidak peduli dengan rasa cinta Kieran padanya. Karena yang ada di hati Ayyara saat ini, itu hanya ada satu nama laki-laki yang tidak bisa dia hapus, yaitu Bagas."Jika kamu mencintaiku, seharusnya batalkan saja perjodohan ini! Seharusnya kamu merelakan aku dengan Bagas. Seharusnya, kamu membiarkan perempuan yang kamu cintai ini bahagia dengan laki-laki pilihannya!""Lalu bagaimana denganku?" tanya Kieran menghentikan kalimat Ayyara.Kieran mulai geram, sorotnya perlahan berubah seakan menahan perih. Bisa-bisanya perempuan itu sama sekali tak mempedulikan apa yang dia rasakan, setelah Kieran panjang lebar mengungkapkan perasaannya pada Ayyara. Kieran tak habis pikir."Apa dengan melihat perempuan yang aku cintai bersama dengan laki-laki pilihannya, aku juga akan bahagia?""Sekarang sebaliknya. Apa setelah menikah dengan perempuan yang kamu cintai, tapi dia tidak mencintaimu, itu bisa membuatmu bahagia?"Kieran tak menjawab. Matanya sudah mulai merah, berusaha menahan amarah. Apa yang dikatakan Ayyara tidak salah. Dia tidak berhak marah pada perempuan itu. Memang, yang sebenarnya salah adalah dirinya. Seharusnya Kieran tidak perlu mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya pada Ayyara, karena hal itu justru membuat semuanya jadi kacau.Hati Kieran sakit, juga karena ulahnya sendiri. Kieran tak akan pernah menyalahkan Ayyara tentang ini. Karena dia sadar, sejak awal memang dirinya yang telah melakukan kesalahan. Kieran mengangguk, membenarkan apa yang Ayyara katakan barusan."Tapi setidaknya, aku bisa memilikimu. Itu mungkin bisa membuatku bahagia."Ayyara menggeleng tak terima. "Kamu mungkin bahagia, tapi tidak denganku!"Kieran menunduk sesaat, berusaha menenangkan hatinya yang begitu perih. Jika dia terus menjawab, perdebatan justru semakin panjang, dan membuat hatinya semakin terluka. Kali ini Kieran akhirnya diam, menyudahi perdebatannya dengan sang istri. Dia memilih berbalik, dan melangkah meninggalkan Ayyara.Kieran mulai menjauh darinya. Ayyara hanya diam sambil menatapnya kesal. Dia sangat tak setuju jika Kieran mencintainya."Jika dia tidak mencintaiku. Perjodohan ini pasti tidak akan terlaksana sampai sini. Seharusnya, aku dan Bagas bisa menikah. Kenapa cinta mas Kieran harus jatuh padaku? Kamu mencintai orang yang salah, mas!""***Ayyara menyalakan layar ponselnya. Dia melihat jam sudah menunjukan pukul tiga sore.Saat ini, dia sedang duduk di sofa ruang tengah. Memeluk perutnya yang mulai keroncongan, menahan lapar. Sesaat, dia melirik ke arah pintu kamar yang tak terlalu jauh dari sana.Sejak berdebat dengannya tadi, Kieran langsung masuk ke kamar dan tidak keluar lagi. Seakan tak mempedulikan keberadaan Ayyara di sana. Ayyara bingung, apa yang harus dia lakukan?Dia menatap koper di sampingnya sesaat. Tidak mungkin di dalam sana ada makanan. Yang Ayyara bawa dari hotel hanya pakaiannya saja."Ah, aku sangat lapar. Apa tidak ada makanan di rumah sebesar ini?"Ayyara mulai mengedarkan pandangannya. Dia ingin beranjak dari tempat duduknya. Namun, dia tidak tahu, di mana arah dapur? Rumah itu terlalu luas, dan banyak ruang. Yang Ayyara takutkan, jika dia masuk ke salah satu ruang itu, dia tidak ingat jalan keluarnya lagi. Jadi Ayyara mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat duduknya saat ini. Dan memilih untuk memeluk perutnya dengan erat, berharap itu bisa meringankan rasa laparnya saat ini.Ding Dong ...Tersentak. Pandangan Ayyara kini mengarah pada pintu utama yang terlihat cukup jauh dari tempatnya duduk saat ini."Apakah ada tamu?"Dia menoleh ke arah kamar Kieran. Laki-laki itu masih tidak keluar. Siapa yang akan membukakan pintu untuk tamu itu?Ding Dong ...Bel rumah itu kembali berbunyi. Dengan ragu, Ayyara akhirnya mulai berdiri. Dengan was-was dia berjalan menuju pintu utama.Tidak mungkin orang jahat. Ini masih sore, orang jahat tidak mungkin berani melakukan aksinya di saat hari masih terang seperti ini. Itu yang ada dipikiran Ayyara saat ini. Perempuan itu berusaha menenangkan dirinya sesaat, sebelum akhirnya pintu utama dia buka."Selamat sore, bu. Pesanan makanan, atas nama pak Kieran Bimantara." Seorang laki-laki berseragam pengantar makanan, menyodorkan sebuah paper bag berisi beberapa makanan kepada Ayyara.Ayyara sempat kaget saat pengantar makanan itu mengatakan Kieran yang memesan makanan itu. Apa Kieran tahu jika dirinya saat ini sedang lapar?Setelah menerima pesanan makanan itu. Ayyara kembali ke ruang tengah, mengeluarkan isi paper bag itu ke atas meja. Perutnya seketika semakin keroncongan saat mencium aroma lezat makanan itu."Sepertinya ini sangat enak."Sekali lagi, Ayyara melirik ke arah pintu kamar sang suami. Dia berucap pelan, "apa dia tahu makanan yang dia pesan sudah datang? Apa aku harus memanggilnya? Tidak perlu, lebih baik aku makan saja semuanya. Salah dia sendiri, tidak mau keluar kamar. Dia pikir, aku akan khawatir, dan akan memanggilnya untuk keluar? Mau dia kelaparan sekalipun di dalam sana, aku tidak akan peduli."Pintu kamar terbuka secara perlahan. Kieran keluar dari kamar, dengan langkah pelan dan berhati-hati tanpa menimbulkan suara, dia berjalan menghampiri Ayyara. Perempuan itu tengah terlelap di atas sofa. Beberapa bungkus makanan kosong dibiarkan berserakan di atas meja. Kieran menghela nafas pelan. Ayyara sama sekali tak menyisakan sedikitpun makanan untuknya. Tapi tidak masalah. Kieran tidak marah. Lagi pula, jika dia ingin makan saat ini, Kieran bisa memesan makanan lagi. Makanan yang dimakan Ayyara tadi, dia sengaja pesan memang untuk perempuan itu. Kieran tahu jika Ayyara pasti sudah kelaparan sejak pagi belum makan.Tangan Kieran perlahan terulur, menyisikan anak rambut yang menghalangi sebagian wajah cantik perempuan itu. Dia lalu tersenyum samar, menatap wajah tenang Ayyara seperti ini saja, sudah membuat Kieran senang. "Maaf Ayyara. Aku tidak marah denganmu, sekalipun kamu mengatakan kamu lebih mencintai laki-laki lain dan tidak bisa mencintaiku. Aku tidak marah, walau kamu
Karena masih mengambil cuti, Kieran berniat untuk mengajak Ayyara honeymoon seperti yang dilakukan pasangan pengantin baru pada umumnya. Dia sudah berencana memesan tempat penginapan. Namun Kieran bingung, bagaimana cara mengatakan semua ini pada Ayyara?Sejak tadi, dia terus berjalan bolak-balik di depan kamarnya. Ingin masuk dan menemui Ayyara, tapi Kieran belum menemukan kalimat yang pas untuk mengatakan semua itu.Namun tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ayyara yang sejak tadi di dalam kamar, kini keluar dengan pakaian yang sudah rapih. Membuat Kieran menatapnya dengan sorot bingung."Ayyara, pagi-pagi seperti ini mau kemana?""Aku mau ke tempat kerja. Ya, walaupun cutiku masih ada tiga hari, tapi aku ingin masuk kerja sekarang saja. Lagi pula, apa yang harus kulakukan jika terus di rumah."Kieran hanya menghela nahas pelan."Kamu masih ingin bekerja?"Ayyara mengernyit, menatap Kieran tak paham."Apa maksudmu b
Ayyara bergegas keluar dari mobil. Dia berjalan dengan langkah cepat, menghampiri laki-laki yang juga baru keluar dari taksi itu."Bagas!"Laki-laki itu menoleh, Ayyara langsung memeluknya dengan erat. Bagas tertegun, mendapat perlakuan secara tiba-tiba seperti itu dari Ayyara. "Ay-ayyara?""Aku sangat merindukanmu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bukan?" Karena Bagas tidak kunjung membalas pelukannya, Ayyara akhirnya melepaskan pelukannya. Dia menatap wajah laki-laki itu yang masih terlihat bingung. Entah apa yang sedang dipikirkan Bagas saat ini."Kamu juga tidak pernah membalas pesan atau menjawab teleponku? Apa kamu ada masalah, hm?"Bagas segera menggeleng. "Tidak ada masalah. Hanya saja ... kenapa kamu terus seperti ini?"Ayyara mengernyit tidak paham. "Terus seperti ini? Apa maksudmu?""Ayyara, hubungan kita sudah selesai. Kamu sudah menikah dengan pak Kieran. Jika kita terus terlihat dek
"Mas!"Kieran tak mengehentikan langkahnya. Setelah keluar dari mobil, dia langsung kembali menarik Ayyara memasuki rumah. Sedikitpun, tak membiarkan tangan perempuan itu lepas dari cekalannya. Sekalipun saat ini mereka sudah berada di dalam rumah."Mas!"Kieran tetap tak menggubris, Ayyara berusaha memberontak melepaskan diri. Pergelangan tangannya terasa nyaris patah, Kieran mencekalnya begitu erat."Mas!" Kali ini Ayyara berhasil menarik tangannya dari cekalan laki-laki itu. Tepat, saat Kieran nyaris membawanya masuk ke dalam kamar. Ayyara menatap laki-laki itu dengan sorot marah. Dia mengusap pergelangan tangannya yang sudah memerah. "Sakit. Apa kamu ingin mematahkan tanganku?"Kieran tetap berusaha memasang raut tenang. Walau sejak tadi, emosinya sudah tak bisa tertahan lagi. Dia ingin marah, membentak, menyadarkan Ayyara bahwa perempuan itu telah melukai hatinya. Namun, Kieran tak sanggup melakukan semua itu. Seb
Terdengar langkah seseorang perlahan mendekat, Ayyara tak berani melihatnya, hanya terus fokus pada sarapan paginya. Setelah apa yang Kieran lakukan padanya tadi malam, Ayyara kini kembali canggung kepada laki-laki itu. Antara kesal dan juga malu, berani sekali Kieran menciumnya. Namun sialnya, kenapa Ayyara juga harus menikmatinya? Kieran menarik kursi di samping Ayyara, lalu duduk untuk ikut sarapan bersama sang istri.Hari ini Kieran memutuskan untuk kembali masuk kerja. Karena menurutnya juga percuma tetap mengambil cuti, sedangkan Ayyara saja sudah masuk kerja. Untuk apa dia berada di rumah tanpa ada Ayyara?Saat Kieran nyaris ingin mengambil makanan ke atas piringnya, mendadak ponselnya justru berdering. Membuat Kieran terpaksa menunda sarapannya. Dia memutuskan untuk menjawab panggilan itu lebih dulu.'Selamat pagi, pak Kieran. Maaf mengganggu waktunya. Saya hanya ingin menyampaikan jika klien kita setuju untuk melakukan pertemua
Ayyara mengangguk, dia sangat setuju dengan pemikirannya Barusan. Dengan antusias, Ayyara berdiri dari duduknya. Dan berniat segera berangkat. Namun langkahnya tertunda, saat ponselnya tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan dari Kieran, memenuhi layar ponselnya, membuat Ayyara mengernyit bingung. Kenapa laki-laki itu menelponnya? Dengan sangat malas, Ayyara terpaksa harus menjawabnya. "Halo mas."'Ayyara, apa kamu masih ada di rumah? Apa kamu melihat dompetku di sana?'Ayyara menatap dompet hitam yang masih dia pegang. "Hm, aku melihatnya."'Bisakah kamu mengantarkannya ke tempat kerjaku? Aku tidak mungkin harus kembali lagi ke rumah. Aku tidak mempunyai banyak waktu sekarang.'Ayyara menghela nafas kesal. Baru saja dia mempunyai rencana untuk datang ke rumah Bagas, lagi-lagi harus di gagalkan oleh Kieran. "Yasudahlah, aku akan mengantarkan dompetmu ini ke kantormu. Lain kali, jika ingin berangkat k
"Pak Kieran," panggil Nasya, saat melihat sang CEO yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Kieran menoleh, melihat keberadaan sang sekertaris tak jauh darinya, dia langsung menghampiri."Pak Kieran, ini dompet bapak. Tadi ibu Ayyara mengantarkannya sampai depan perusahaan." Nasya memberikan dompet hitam yang tadinya diberikan Ayyara padanya. Kieran mengangguk, mengiyakan. Lalu tersenyum. "Terimakasih.""Oh iya pak, sebelumnya maaf. Saya merasa tidak enak dengan ibu Ayyara."Kieran mengernyit tak paham dengan ucapan perempuan itu barusan. "Kenapa seperti itu?""Sepertinya, ibu Ayyara cemburu dengan keberadaan saya."Kieran kembali tersenyum, ucapan perempuan itu sangat terdengar lucu di telinganya. Dia rasa, itu tidak akan mungkin terjadi. "Lagi pula, kenapa kamu berpikir seperti itu? Kamu 'kan di sini hanya bekerja, saya rasa istri saya pasti paham, dan tidak akan mungkin cemburu denganmu.""Tapi, pak. Saat
"Hm, mungkin saja iya. Karena menurutku, cinta itu akan tumbuh saat kita terlalu sering menghabiskan waktu bersama seseorang itu. Contohnya kita. Benarkan?"Ayyara diam. Jawaban Bagas justru membuatnya tak bisa tenang. Benar yang dikatakan laki-laki itu. Dia dan Bagas dulu bisa saling jatuh cinta, juga berawal karena sering bertemu."Bukan karena cantik, tapi karena terbiasa bersama. Selain itu, jika seseorang itu mampu membuat kita nyaman, tentu kita pasti akan jatuh cinta padanya. Tapi sebaliknya, sering bertemu dengan perempuan secantik apapun di luar sana, jika perempuan itu tidak mampu membuat kita nyaman, maka tidak akan mungkin cinta ini jatuh padanya." Bagas tersenyum, saat melihat raut Ayyara sekarang sedikit lebih tenang. Dia menarik kursi yang tak terlalu jauh darinya, menempatkannya di samping Ayyara lalu dia duduki. Bagas kemudian meraih tangan Ayyara, lalu menggenggamnya dengan erat. "Contohnya adalah kamu dan pak Kieran. Setiap ha
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.