Sengaja Nisa mengganti pakaian siang ini, dia ingin menunjukkan pada Ivana jika dia habis enak-enak bareng Damar setelah makan siang tadi, padahal sebenarnya di dalam kantor suaminya Nisa terlelap, rasanya dia lelah sekali, baru kali ini dia benar-benar bekerja. Menguras tenaga dan otak. Setelah menggoda Damar dan makan, lalu melakukan ibadah, mata Nisa mendadak mengantuk, dia pun terlelap di pelukan Damar, lelakinya membangunkan ketika hendak memulai lagi rapat siang ini.Ivana menatap Nisa jengah, begitupun Nisa menatap Ivana dengan pandangan tak mau kalah. Damar memperhatikan gelagat Nisa, hatinya bersorak, Nisa adik kecilnya dari dulu memang selalu overprotektif terhadap dirinya. "Baik, sesuai kesepakatan kita, penambahan bahan baku akan di lakukan awal bulan depan, untuk kerjasama pertama kita di bidang ini, maka akan kami beri pengurangan harga 10%. Silahkan Pak Damar Anda bisa tanda tangan si sini." Ivana menunjuk kertas yang dia sodorkan di hadapan Damar. "Semakin cepat Anda
"Udah nggak usah gugup begitu!! selama ini gue fine aja, asal elo nggak banyak ngoceh, sekarang gue kasih elo pilihan, elo mau lebih pro ke gue apa pro ke sana? Kalo elo lebih pro ke sana, gue melebarkan tangan dengan senang hati. Setidaknya hilang satu mata-mata kekek tua itu." "Tapi, Mbak ak--""Elo cuma harus bersikap seperti biasa aja, anggap aja gue nggak tau, kasih aja laporan setiap hari seperti biasa," ucap Ivana santai. "Terus kalo sampai waktunya Mbak nggak dapet jodoh yang pas bagaimana?" tanya Mila pelan. "Itu urusan gue, elo nggak usah repot, pokoknya pas waktunya, gue pasti dapet apa yang gue rencanain," jawab Ivana percaya diri. Mila menaikkan kaca mata yang merosot dari hidung kecilnya, gelisah. ***"Mas, kalo di senggol-senggol Ivana jangan diem aja dong," ujar Nisa, saat ini mereka sudah masuk ke dalam bed cover. "Kapan Ivana senggol-senggol?" tanya Damar, lelaki ini membaringkan tubuh di sebelah Nisa, lalu kembali meraih ponsel karna ada pesan masuk. "Emang t
l"Pah, mamih mau bicara!" ujar Fina, setelah menyelesaikan makan, karna Chandra sudah mengangkat tubuh, hendak meninggalkan meja makan. "Mau bicara tentang apa, Mih?" tanya Chnadra, menghentikan langkah.Fina melirik pada Fatta yang masih menyelesaikan makan di suapi Kila. "Ayo ke ruang kerja." Chandra mengerti arti tatapan mata Fina, lelaki ini berjalan menuju ruang kerja di ikuti Fina. "Kila, nanti buat bekal, Fata, mau di bawakan puding, ada di kulkas, ya," perintah Fina sebelum meninggalkan meja makan. Kila mengangguk, "Iya, Nya."Fina mengekor di belakang Chandra perutnya sudah semakin terlihat bulat, tubuhnya pun sedikit berisi. Wanita yang dulu begitu merawat penampilannya ini kini seolah tak lagi memperhatikan tubuhnya, tetapi sepertinya dia nyaman dengan apa yang dia lakukan sekarang. Wanita dengan pakaian longgar ini menutup pintu perlahan. Membalikkan tubuh berjalan menuju Chandra berada. "Duduk, Mih," suruh Chandra saat Fina hanya berdiri mematung di hadapannya. Fi
Nisa juga Damar asik berkumpul di ruang keluarga. Biarpun lelah Nisa tetap menemani Damar bermain dengan dua putra putrinya. "Ayah aku kangen, Ayah kemana aja tiga hari nggak temenin aku main? " tanya Fatta. "Mama Nisa juga udah nggak pernah di rumah, Fatta cuma main sama Mbak Kila, sama Dedek. Dedek nakal aku suka di pukul." Fatta merajuk manja pada Damar. "Kamunya jangan jail sama dedek, itu dedeknya anteng," ujar Damar, menunjuk Attala yang sedang duduk di pangkuan Nisa, memainkan mobilan. "Aku cuma mau pinjam mobilan, nggak boleh, boneka aku mau pergi jalan-jalan, pake mobil, sama adek nggak boleh, jadi aku rebut," ujar Fatta lagi. "Ya nggak boleh rebut-rebut dong," ucap Damar sambil tersenyum lembut lalu menjawil dagu putrinya"Damar, Papa mau bicara." Dari arah belakang Chandra datang memanggil Damar. Nisa yang sedang fokus pada benda segi empat di depannya tak mendengar Chandra memanggil, tangannya mengelu-elus kepala Attala yang ada di pangkuannya."Mas, besok aku mau m
"Mih, sini duduk dekat papah." suara Chandra membuyarkan lamunan Fina. Fina berjalan perlahan, tangannya sambil mengelus perut yang sudah terlihat membesar. Dia duduk di dekat Chandra tetapi masih berjarak. "Sini, Mih. papah mau pegang perut Mamih." Fina diam tak mendekat. "Pah, bukannya kita sudah bukan suami istri?" tanya Fina lagi. Chandra tersenyum lembut, dia menggeser bokong mendekati Fina karna Fina tak mendekatinya. Lelaki ini menggenggam tangan Fina lalu mengecup lembut, mendapat sentuhan Chandra ada gelenyar merambat ke seluruh tubuh Fina.Sekuat tenaga Fina menahan gelenyar yang merambat, apa lagi dengan lembut Chandra mengelus tangan lalu mengelus perut Fina. "Mamih, mau kan jadi istri papah lagi?" Fina mendongak menatap Chandra, netranya bertemu dengan netra lelaki tua ini. "Pah. Mamih ...." Fina menarik jemari dari tangan Chandra."Kenapa?" "Pah." Fina gugup, tangannya menyentuh perutnya. "Anak ini. mamih masih--" "Papah terima apapun itu, Mih. Kita rawat bareng
Sepanjang jalan Nisa melamun, dia memikirkan Emran juga Ivana. Emran melajang karna beberapa kali patah hati, dan Ivana si petualang cinta, mungkin saja mereka cocok, Emran yang kalem dan Ivana yang sok kepedean. Sejak tadi Nisa memandang ke arah luar, tangannya menyangga dagu. Bahkan Fatta merengek saja, sepertinya Nisa tak mendengar. Dia masih memutar otak bagaimana cara mempertemukan Ivana dan Emran. Tapi kalo Ivana petualang lelaki berarti dia udah di celup-celup, kasian amat Bang Emran dapet bekasan," mimik muka Nisa berubah kecewa. "Ah ... Tapi siapa tau Bang Emran nggak masalahin masalah itu, jodohin aja deh siapa tau jodoh, apapun rintangannya kalo jodoh nggak akan kemana," ujar nisa sumringah masih berbincang sendiri."Mah." Damar menyentuh lengan Nisa."Iihhh ... Bikin kaget, apaan sih, Mas!!" ujar Nisa tubuhnya terjengkit."Lagi ngayalin apa? mukanya sampe begitu? ntar senyum ntar cemberut! Fatta rewel ini, mau di pangku mamah katanya." telisik Damar. "Nggak ngayalin
Angin berhembus semilir mengoyang dedaunan, sang bagaskara menyorot hangat membuat kelopak bunga bermekaran, perlahan embun menghilang, memberikan nuansa pagi ceria.Pagi ini seisi rumah terlihat bahagia. Dua anak kecil bercanda riang, sepasang paruh baya bercengkrama hangat, juga sepasang kekasih yang seperti enggan keluar dari peraduannya. "Katanya mereka hari ini mau ke luar kota kenapa belum turun?" gumam Chandra. "Lagi getol bikin anak, Pah," jawab Fina sekenanya. "Ini, Pah minum ini." Fina memberikan secangkir minuman."Apa ini Mih?" "Madu, khusus buat Papah. Aman buat jantung." Fina mengerling pada Chandra. Tanpa bertanya lagi lelaki ini langsung meminum racikan yang di berikan Fina, lelaki ini sadar wanitanya masih menginginkan, mungkin karna lama tak tersentuh, kini dia menginginkan dan menginginkan lagi. Kini kondisi Chandra pun semakin membaik, melihat putrinya bahagia, hari-hari ditemani dua anak Damar, juga melihat perubahan Fina membuta hati Chandra tenang dan tentr
"Biarpun apa, Pak?" "Biarpun sering di beri hadiah." Bola mata Nisa terbelalak. "Maksudnya?" "Begini, Non!" Roni menjelaskan apa itu hadiah dari para kolega pemenang tender. Bola mata Nisa makin terbelalak lebar mendapati kenyataan kehidupan para pengusaha muda ini. "Nisa selama ini nggak tau, Pak. Tapi bener Mas Damar nggak pernah mau terima?" tanya Nisa penasaran. "Pak Damar memiliki iman yang kuat, Non. Kata Pak Damar, Non Nisa di rumah udah cukup." Rona kemerahan terlihat di wajah Nisa, dia merasa tersanjung. Tetapi godaan itu pasti akan terus ada. Sekarang Nisa masih muda seksi dan cantik. Katanya wanita setelah melahirkan itu badan, hormon dan segalanya bisa berubah. Saat itu apakah Damar masih merasa cukup hanya dengan Nisa seorang. 'pikir Nisa. "Pak, Nisa mau belajar keluar masuknya keuangan, boleh?" tanya Nisa. "Boleh, Non. Selama saya masih di sini, Non boleh minta ajarin apapun sama saya, Tuan Chandra berperan banyak untuk saya dan keluarga saya, saya a
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal