Beranda / Romansa / Aku Padamu, Gus! / Tidak bisa Tidur

Share

Tidak bisa Tidur

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-06 15:30:31

Semua orang di ruangan ini menatap ke arah kami. Aku benar-benar malu dibuatnya. Wajahku pasti sudah semerah tomat.

Sejenak kemudian Gus Azam mengulurkan tangan. Aku memberanikan diri menatap matanya, tetapi dia malah mengerutkan dahi.

“Cium tangan suamimu, Nak!” ucap umi sambil menepuk punggungku.

Meskipun ragu aku meraih tangan Gus Azam kemudian menciumnya. Semua orang menggelengkan kepala melihat tingkah kami. Entah hubungan pernikahan macam apa ini? Aku sama sekali belum mengenal suamiku.

“Fia, Bude mau pulang. Kamu lekas sembuh, ya! Bude sekalian mau mengantar kakek dan nenek. Mereka pasti capek,” ujar Bude Yuli.

“Nenek tidak menginap di sini?” Sebenarnya aku belum terbiasa tinggal dengan orang lain dan belum siap ditinggal nenek.

“Kami akan menemanimu, Fia. Biarkan kakek dan nenekmu pulang beristirahat di rumah. Mereka tidak nyaman tidur di tempat seperti ini,” ucap umi.

Umi Hanifah menghampiriku dan mengusap pundakku. Sekarang dia adalah ibu mertuaku. Aku harus mulai terb
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aku Padamu, Gus!   Sentuhan Pertama

    “Kamu sudah salat?” tanya Gus Azam dan kujawab dengan gelengan.Aku menepuk jidatku pelan. Aku lupa jika belum melaksanakan salat Isya. Sehabis akad nikah, kami sibuk membicarakan tentang diriku. Besok aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku sudah stabil. Kemungkinan besar aku akan tinggal di rumah Gus Azam. Mereka pikir aku lebih aman tinggal di sana daripada di rumahku sendiri. “Aku antar ke kamar mandi. Kita salat jamaah!” Ucapannya tidak terdengar seperti sebuah tawaran melainkan perintah. Aku mencoba duduk, tetapi tubuhku terasa kaku. Bekas cambukan dari Pak Rozaq masih terasa perih. Sekujur tubuhku rasanya sakit semua. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan memegang pundakku. “Biar kubantu.” Gus Azam menaruh tangan kirinya di bawah leherku dan tangan kanannya diletakkan di bahu kiriku. Sejenak napasku terhenti. Dengan jarak sedekat ini aku mampu mencium aroma parfumnya. Jantungku berdebar hebat kala dia mulai mengangkat tubuhku. Ya Allah, inikah rasanya berduaan dengan lela

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Hanya Berdua Saja

    Sebuah sentuhan hangat yang cukup lama mengenai keningku. Aku lekas menutup mata kembali dan ikut menikmatinya untuk beberapa saat. Namun, tiba-tiba pintu terbuka dan suara deheman Abah mengagetkan kami. Gus Azam lekas memundurkan badannya begitu juga denganku. “Sepertinya kita datang di waktu yang tidak tepat, Umi.” Ucapan abah semakin membuatku tersipu. “Cepat sekali pendekatan Azam, belum satu jam sudah semakin dekat,” sahut Umi. “Abah, Umi, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Kami hanya ....”“Hanya apa?” Abah memotong ucapan Gus Azam. Kami terciduk sedang berduaan di dalam sebuah ruangan. Terlebih adegan yang mereka lihat sudah tidak bisa disangkal dengan alasan apa pun. Kami masih sama-sama belum saling mengenal meski sudah menjadi pasangan halal.“Kami hanya melaksanakan ibadah salat Isya berjamaah, Abah.” Sembari melipat sajadah, Gus Azam menjelaskan kepada kedua orang tuanya jika kami tidak melakukan apa-apa. “Melakukan apa pun juga diperbolehkan, Zam. Akan tetapi ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Nama Panggilan

    Pagi harinya aku terbangun kala mendengar seseorang melantunkan ayat suci. Gus Azam duduk di sofa dan membawa sebuah Al-Qur’an di tangannya. Aku melihat selimut yang kupakai dan ternyata masih aman, jilbabku juga masih menutup kepala. Sepertinya tadi malam tidak terjadi apa-apa. Aku menutup mukaku sendiri, malu karena sudah membayangkan hal yang iya-iya. Dia menghentikan bacaannya kala melihatku berusaha duduk. “Jangan bergerak, aku akan membantumu.” Gus Azam membantuku duduk. Padahal aku sudah merasa lebih baik daripada kemarin. Kepalaku sudah tidak pusing lagi, tetapi aku sudah tidak tahan ingin ke kamar mandi. “Saya mau ke kamar mandi, Gus.” “Aku antar,” ucapnya kemudian mengambil cairan infus yang menggantung di standar infus. “Aku bisa masuk sendiri.” Aku meminta cairan infus darinya kemudian segera membuang hajat. Aku segera berwudu kemudian salat. Sudah pukul lima pagi, tetapi Gus Azam sepertinya sengaja tidak membangunkanku. “Maaf aku tidak membangunkanmu, kamu terliha

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Kembali ke Pondok

    Pukul sembilan pagi, kami sampai di rumah Gus Azam. Aku tidak menyangka akan kembali ke tempat ini. Beberapa hari yang lalu aku sudah berpamitan untuk pulang, tetapi hari ini takdir berkata lain. Aku datang sebagai menantu, bukan sebagai seorang santri. “Ayo masuk!” ucap Gus Azam sambil menggandeng tanganku. Aku sudah turun dari mobil. Bukannya berjalan, aku malah mematung melihat tangan kiriku dipegang oleh suamiku. “Aku gendong kalau kamu nggak bisa jalan.”Aku menggeleng. “Maaf, aku masih bingung mau ke arah mana.”“Kamu menantu di rumah ini, Fia. Ayo ikuti aku!”Aku berjalan sambil menunduk karena pasti akan menjadi perbincangan banyak orang. Aku yakin tidak banyak yang tahu tentang pernikahan kami. Akan ada hari patah hati berjamaah jika para santriwati mengetahui Gus Azam sudah menikah. Sesampainya di rumah abah, keheningan menyelimuti rumah ini. Abah dan umi pergi ke acara akhirus sannah di pondok pesanten Darul Muttaqin, sedangkan adik-adik Gus Azam tidak ada di rumah. “K

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Curahan Hati (Curhat)

    “Kamu tidak pulang, Anin?”“Besok pagi aku baru pulang. Lia juga masih di sini. Masuk, yuk!”Kami masuk ke kamar tempat biasa kami saling curhat. Kamar ini sempit, tetapi masih cukup untuk kami bertiga. Kami duduk di karpet yang digelar di lantai. Bantal dan guling berserakan di atasnya.“Eh, wajah kamu kenapa? Aku dengar kamu sudah menikah. Apakah itu bukti KDRT?” tanya Lia.Lia sedang membereskan pakaian ke dalam koper. Sepertinya dia akan pulang kampung. “Bukan! Ini luka cambukan dari tua bangka itu. Beruntung Gus Azam datang dan menyelamatkanku. Sekarang aku sudah menjadi istri Gus Azam.”“What?” Anin membelalakkan mata. “Kamu dah nikah dan gak ngasih tahu kami?”“Baru kemarin.” “Cie cie cie! Berarti baru pecah perawan dong!” Aku segera membekap mulut Anin kala dia mengucapkan kata-kata itu. Dia adalah cewek paling barbar di antara kami. Namun, tidak dipungkiri jika dia adalah anak yang cerdas. “Hais! Kalau kalian lihat keadaanku seperti ini, kira-kira malam pertamanya bagaiman

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Cemburu

    Hatiku memanas melihat suamiku sedang berbincang dengan seorang wanita. Dia bukan lelaki yang suka memberikan senyuman di depan wanita. Bahkan dengan santrinya pun dia selalu bersikap dingin. Aku ingin segera sampai di rumah. Gemuruh dalam hati ini seakan mau meledak. Bisa dihitung berapa kali dia memberikan senyumnya untukku, tetapi kenapa kini dia berikan kepada wanita lain?Aku ingin berteriak, tetapi sepertinya percuma. Dia tidak akan mendengar suaraku. Dengan kesal aku pulang ke rumah umi. “Assalamu’alaikum,” ucapku kala memasuki rumah. Jawaban salam dari seorang lelaki yang duduk di ruang tamu membuatku tercengang. Gus Anam ada di rumah. Dia sedang rebahan di kursi dan hanya memakai kaos dalam sehingga membuatku berteriak sekencang-kencangnya.“Aaa!” Aku dan Gus Anam sama-sama berteriak hingga abah dan umi keluar dari kamar. “Astaghfirullah, ada apa ini?” tanya Umi Hanifah. Aku tidak berani membuka mata sebelum Gus Anam pergi. Bisa-bisanya dia mempertontonkan tubuhnya di d

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Hanya Tidur Saja

    Gus Azam tampak diam seolah tidak terjadi apa-apa ketika Alifah dan Gus Anam mengejeknya. Aku sendiri tari tadi menahan tawa. Entah terbuat dari apa hati suamiku ini. “Sudah, sudah! Fia harus istirahat. Ajak istrimu ke kamar, Zam!” Gus Azam mengajakku salat Zuhur terlebih dahulu. Dia memintaku berwudu lebih dulu, baru setelahnya dia. “Ladies first,” katanya. Dia mencoba memperlakukanku bak seorang putri. Aku benar-benar merasa tersanjung akan perbuatannya. Usai salat, dia memintaku minum obat kemudian tidur. “Kamu mau tidur memakai jilbab?” tanya suamiku. Dia mengerutkan dahinya seolah heran melihatku tidur dengan mengenakan jilbab. “Nanti jilbabmu kusut.”Benar juga kata suamiku. Aku belum membawa pakaian di rumah ini. “Mas, aku belum punya baju ganti di sini. Mas Azam mau nganterin aku pulang?”“Tidak perlu. Aku sudah memyiapkan beberapa baju untukmu,” ucapnya sembari merebahkan tubuh ke kasur. “Tidurlah, kamu tidak perlu takut. Akan kutemani hingga terlelap.” Dia menepuk-nep

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06
  • Aku Padamu, Gus!   Sebuah Panggilan

    Aku terbangun ketika mendengar suara ponsel berbunyi keras. Di sampingku sudah tidak ada siapa-siapa. Pergi ke mana suamiku?Aku melihat sekeliling dan ternyata ponselnya berada di meja dekat rak buku. Ketika aku berdiri kulihat sajadah yang masih tergeletak di lantai. Saat aku melipatnya terasa masih hangat. Dia pasti baru saja keluar. Kuambil ponsel yang tiada henti berbunyi menyanyikan lagu salawat tibbil qulub. Sebuah nomer tanpa nama terpampang jelas di layar utama. Kurapikan jilbab kemudian hendak keluar membuka pintu, tetapi kuurungkan langkahku kala mendengar berdebatan di luar sana. “Fia butuh istirahat, Zam!” ucap umi.Aku mengintip dari dalam kamar yang sudah terbuka pintunya. Gus Azam dan adiknya sedang duduk sambil makan pisang goreng sedangkan umi sedang membereskan meja makan. Menantu macam apa aku ini? Bukannya membantu malah tidur. “Tapi enggak harus di sini, Umi. Dia pernah menyukai Anam dan tadi siang Fia melihat tubuh Anam.”Astaghfirullah, Gus Azam pikir aku b

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-06

Bab terbaru

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

DMCA.com Protection Status