Bakda Zuhur, aku membangunkan Gus Azam. Kami harus bersiap untuk berangkat ke rumah Kyai Abdullah. Saudara Abah dan Umi pun sudah hadir semua. “Mas, bangun!” Aku mengguncang-guncangkan tubuh suamiku, tetapi dia bergeming. “Mas! Bangun, Mas!” Berkali kucoba, tetapi Gus Azam tak bergerak. Aku mengecek denyut nadinya, ternyata masih normal. Pun jantungnya masih berdetak. Kuletakkan tanganku ke hidungnya, dia masih bernapas. “Mas, bangun! Jangan bikin aku khawatir.” Sekali lagi aku mengguncang tubuhnya, tetapi dia masih tidak bangun juga. “Ya Allah .... Bagaimana ini?” Meyda sudah tidur di kamar Umi. Sengaja diletakkan di sana supaya tidak mengganggu abahnya. Kini malah Gus Azam yang keenakan. Aku melihat air di gelas sisa dia meminum obat. Kuambil gelas itu dan hendak menyiram wajah Gus Azam, tetapi tanganku digenggam erat olehnya. Beberapa saat kemudian dia bangun dan tertawa. “Takut banget kalau aku nggak bangun.” “Mas Azam!” kuletakkan gelas kembali ke meja kemudian duduk di sa
Kami turun dari mobil disambut dengan penerima tamu yang sepertinya bukan dari kalangan pesantren. Mereka sepertinya sengaja menyewa tenaga sinoman. Mereka adalah sekelompok pemuda yang membantu orang yang sedang mempunyai hajat sebagai pelayan tamu (terutama di pedesaan).Di daerah sini memang banyak sekali pesantren yang letaknya di pinggiran desa. Hal itulah yang menjadi salah satu ciri khas pondok pesantren di kota ini. Gus Anam berjalan paling depan didampingi Abah dan Umi. Wajahnya semringah meski dia terpaksa menikah dengan Ustazah Layla. “Bismillah, Nam!” Gus Azam menepuk bahu adiknya dari belakang. Aku dan Gus Azam berjalan di belakang Gus Anam. Di tampak begitu gagah memakai jas seperti ini. Di belakang kami ada saudara Abah dan Umi yang membantu membawakan seserahan. “Selamat datang, Kyai.”Kami langsung diarahkan ke tempat yang sudah disediakan. Ternyata rumah Ustazah Layla lebih bagus dari rumah Abah. Meski sama-sama di pedalaman, tempat ini lebih luas. Ada pelaminan
“Umi, titip Meyda sebentar.” Kami berjalan melewati banyak orang menuju ke kamar mandi. Benar saja Gus Azam sedang pingsan di dekat pintu kamar mandi. Aku berlari dan berteriak histeris saat melihat tubuh suamiku tergeletak di lantai. “Mas Azam!” Aku menggoyangkan tubuhnya, tetapi dia tidak terbangun. “Siapa pun kumohon tolong suamiku.” Aku menangis sesenggukan karena semua orang hanya mengerubungi suamiku. Kusangga kepalanya di pangkuan. “Mas Azam! Bangun, Mas. Kamu sudah berjanji akan menemaniku hingga tua. Kamu sudah berjanji akan membantuku menjaga Meyda hingga dia dewasa. Dia masih kecil, Mas. Kumohon bangunlah!” Semua orang hanya menatap kami iba tanpa mau membantu. Aku masih bisa merasakan denyut nadi di pergelangan tangannya meski terasa sangat lemah. “Mas Azam!” Gus Anam berjongkok kemudian mengangkat suamiku. “Tolong bantu saya membawanya ke mobil.” Gus Anam meminta seorang santri membantu mengangkat tubuh suamiku. Lelaki yang baru saja melepas masa lajangnya itu mengan
Operasi tidak bisa dilakukan sekarang karena Gus Azam sedang drop. Badannya terlihat sehat, tetapi tekanan darahnya naik. Entah apa yang membuatnya seperti itu, aku tidak tahu. Sedari tadi dia hanya diam tanpa kata. Dia tidak mau berbicara kepadaku. Abah dan Umi pergi salat Isya sekalian makan malam. Aku sendiri menimang Meyda sambil membacakan sholawat. Dia sepertinya tahu jika kedua orang tuanya saling diam. Sedari tadi Meyda agak rewel meski sudah kenyang minum asi. Dia bahkan sampai gumoh beberapa kali karena minum terus. “Sini biar Meyda sama aku dulu.” Perasaanku sedikit lega mendengar suamiku bicara. Perlahan aku memberikan Meyda pada abinya. Meyda terdiam, matanya terlihat berbinar. Mungkin dia merindukan abinya karena semenjak tadi siang, Gus Azam belum menggendongnya. “Kenapa Mas diam? Aku takut.” “Maaf. Mas hanya sedang bingung.” “Bingung kenapa, Mas? Ada aku di sini. Aku ini istrimu. Mas bisa mengatakan semuanya padaku. Semua masalah bisa dibicarakan.” “Abah dan Umi
Aku mendongak menatap lelaki yang lebih tinggi dariku ini. Sekilas aku seperti pernah melihat wajahnya, tetapi siapa? “Maaf, Mbak,” ucapnya kemudian mengambil bingkisan plastik putih yang terjatuh. Sepertinya dia habis menebus obat. “Aku yang seharusnya minta maaf karena tidak melihat ke depan.” Aku mengatupkan kedua tangan di depan dada. “Saya juga terburu-buru, Mbak. Maaf permisi, Bapak saya sedang sekarat dan harus segera mendapatkan obat ini.” Aku menatap punggung lelaki itu yang mulai menjauh. Sepertinya dia seusia denganku. Kasihan sekali, dia pasti sangat takut kehilangan orang tuanya. Aku sampai di ruangan Mas Azam ketika Dokter Nathan bersama seorang perawat sedang memeriksa suamiku. Meyda sudah tidur, tetapi Umi masih menimangnya. “Tekanan darahnya sudah mulai normal. Besok jika keadaan Pak Azam stabil, kami akan melakukan operasi.” Dokter Nathan menjelaskan kepada Abah dan Umi mengenai penyakit yang diderita Gus Azam. Dokter Nathan juga menjelaskan prosedur pemeriksaa
Entah sejak kapan aku tertidur, kini tanganku terasa kebas dan kesemutan. Meyda menangis hingga membuatku bangun dan kelabakan. Kulihat Meyda sudah ditimang abinya. “Sudah lama, Mas?” “Cukup lama. Tadi dia nggak nangis. Melek doang, jadi Mas nggak bangunin kamu.” Kulihat Abah dan Umi masih terlelap. Segera kususui Meyda supaya mereka tidak terbangun. Baru sebentar menyusu, Meyda terlelap lagi. Namun, sepertinya ini sudah pagi. Terdengar samar lantunan ayat suci Al-Quran dari kejauhan. “Jam berapa, Mas?” “Setengah empat.” Jawaban Gus Azam membuatku terkejut. Biasanya Meyda terbangun ketika jam tiga pagi. “Berarti Meyda sudah lama terbangun, Mas?” Gus Azam mengangguk. “Dia mau menemaniku yang tidak bisa tidur.” “Mas tidak tidur?” Gus Azam mengangguk lagi. “Iya, Mas tidak bisa tidur setelah Meyda terbangun.” Meyda sepertinya kelelahan sehingga tidur pulas. Aku sendiri malah tertidur cukup lama dan tidak bangun. Padahal biasanya aku selalu bangun setiap satu jam sekali untuk meny
Sejenak aku melupakan perkataan Ustazah Layla. Aku telah berjanji kepada suamiku untuk selalu mempercayainya. Semua masalah harus dibicarakan supaya tidak ada kesalahpahaman. Namun, kali ini aku seperti tidak ingin mengetahui kebenarannya. Aku takut hatiku semakin terluka jika mengetahui fakta di balik semua ini. Aku beristighfar dan menarik napas dalam-dalam supaya perasaanku tenang, tetapi hingga beberapa kali tetap saja rasanya sesak. Yang terpenting bagiku sekarang adalah kesembuhan Gus Azam. “Fia, bagaimana operasinya?” tanya Umi yang sepertinya sudah menyelesaikan kewajibannya. “Alhamdulillah operasinya lancar, Umi. Tapi kita harus menunggu Mas Azam dipindahkan.” “Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Biar Meyda sama Umi dulu. Mumpung lagi tidur.” Sebenarnya ingin sekali aku pergi selagi ada Umi. Pun Gus Azam belum dipindahkan. Aku bisa istirahat makan siang, tetapi juga ingin melihat keadaan suamiku setelah operasi. Hal yang paling membuatku merasa bersyukur di sela-sela kea
“Maksudmu apa, Gus?”Aku tidak habis pikir dengan lelaki di hadapanku ini. Kupikir setelah melanjutkan kuliah S2, dia sudah melupakan rasanya padaku. Ternyata dia tidak berubah. Padahal dia sudah menikah sekarang. Aku berharap dia bisa melupakanku setelah menikah, tetapi kenapa sekarang jadi seperti ini?Gus Anam tidak menjawab. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu. “Apa yang sebenarnya terjadi, Gus?”“Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Aku hanya memintamu supaya selalu bahagia bersama Mas Azam. Aku tidak ingin ada air mata kesedihan yang menetes di pipimu.”Aku tersenyum mendengar gombalannya. “Aku sudah memiliki anak, gombalanmu sudah tidak bisa membuatku baper, Gus!”“Aku tahu itu.” Gus Anam sudah menghabiskan dua rotinya kemudian beranjak berdiri. “Habiskan rotinya. Kamu harus kuat sampai Mas Azam sembuh.”Setelah mengatakan itu, Gus Anam pergi. Dia sangat aneh sekali. Disisakannya dua roti untukku, tetapi memakan satu roti saja rasanya sudah membuatku kenyang. Di saat aku sud
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat