Share

Bertemu Lagi

last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-16 23:58:21

“Maksudmu apa, Gus?”

Aku tidak habis pikir dengan lelaki di hadapanku ini. Kupikir setelah melanjutkan kuliah S2, dia sudah melupakan rasanya padaku. Ternyata dia tidak berubah. Padahal dia sudah menikah sekarang. Aku berharap dia bisa melupakanku setelah menikah, tetapi kenapa sekarang jadi seperti ini?

Gus Anam tidak menjawab. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu. “Apa yang sebenarnya terjadi, Gus?”

“Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Aku hanya memintamu supaya selalu bahagia bersama Mas Azam. Aku tidak ingin ada air mata kesedihan yang menetes di pipimu.”

Aku tersenyum mendengar gombalannya. “Aku sudah memiliki anak, gombalanmu sudah tidak bisa membuatku baper, Gus!”

“Aku tahu itu.” Gus Anam sudah menghabiskan dua rotinya kemudian beranjak berdiri. “Habiskan rotinya. Kamu harus kuat sampai Mas Azam sembuh.”

Setelah mengatakan itu, Gus Anam pergi. Dia sangat aneh sekali. Disisakannya dua roti untukku, tetapi memakan satu roti saja rasanya sudah membuatku kenyang.

Di saat aku sud
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eka Wati
Ko upnya cuma 1 kak?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku Padamu, Gus!   Takut

    “Apa tidak Abah tanyakan dulu pada Mas Azam dan Fia?” Aku menghentikan langkah mendengar percakapan mereka. Aku tidak salah dengar jika mereka membicarakan keluargaku? Apa yang mereka inginkan sebenarnya? Abah menggeleng. “Lebih baik mereka tinggal sama Abah dulu. Fia bisa mengurus Meyda dibantu Umi. Sekarang jam mengajar Umi juga sudah dikurangi. Azam biar pulih dulu.” “Tapi Abah, bagaimana jika Layla mendekati Mas Azam?” “Mungkin lebih baik kamu tinggal di rumahnya untuk sementara.” Gus Anam menarik napas panjang. Dia sandarkan tubuhnya ke kursi tunggu hingga pandangan matanya bertemu denganku. “Fia?” Aku hanya mengangguk kemudian berjalan mendekat. “Mas Azam sudah sadar, Gus?” “Belum, tetapi Dokter sudah memperbolehkan keluarga untuk masuk.” Aku bersyukur karena hari ini operasi berjalan dengan lancar. Semoga setelah ini Gus Azam bisa lekas pulih. Dia bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Abah menemaniku masuk ke ruangan. Beliau pasti tahu bagaimana menantunya ini

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-19
  • Aku Padamu, Gus!   Sadar

    “Satu jam lagi, Ibu. Itu sudah sesuai dengan dosis yang diberikan.”Dokter Nathan mengatakan aku tidak perlu khawatir. Mungkin sekarang Gus Azam sudah mulai bisa mendengar, tetapi belum sepenuhnya sadar. Hingga azan Asar berkumandang, aku terbangun kala kurasakan sebuah sentuhan di kepalaku. “Mas Azam? Alhamdulillah Engkau berikan kesadaran pada suamiku, ya Allah.” Suamiku tersenyum meski wajahnya terlihat masih pucat. Dia mengelus kepalaku yang berbalut jilbab. Entah sejak kapan aku tertidur dan di belakang tidak ada Meyda maupun Abah dan Umi. Melihat kebingunganku, Gus Azam berbicara. “Aku meminta Umi dan Abah pulang. Kasihan Meyda harus berlama-lama di rumah sakit. Rumah sakit itu bukan tempat yang baik untuknya.”“Sejak kapan Mas Azam sadar?”“Cukup lama, semenjak ilermu masih menetes di tanganku,” ucapnya sambil tersenyum. Aku melihat ke tempat di mana aku menyandarkan kepala ketika tertidur, ternyata benar ada bekas iler di sana. Rasanya aku ingin bersembunyi di bawah branka

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-22
  • Aku Padamu, Gus!   Jujur dan Terbuka

    “Apa yang membuatmu tidak tenang, Fia? Bukankah sudah kukatakan aku hanya mencintaimu. Dia itu temanku, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Kamu tidak perlu cemburu dengannya.”Sudah beberapa kali Gus Azam mengatakan hal itu, tetapi beberapa fakta yang muncul membuatku selalu berburuk sangka padanya. “Sekarang dia menjadi adik iparmu, Mas. Kita akan tinggal serumah dengannya.”“Dia sudah menikah, Fia. Wanita yang sudah menikah akan menjaga Marwah (kehormatan diri) terhadap lelaki lain. Dia itu wanita berpendidikan, kamu tenang saja. Mas tahu yang kamu khawatirkan.”Aku menarik napas panjang. Apakah wajahku memperlihatkan isi hati dan pikiranku? Kenapa Gus Azam bisa menebak semuanya? Apa jangan-jangan suamiku ini dukun?Tuk!Suamiku menyentil keningku. “Sakit, Mas! Em, aku boleh tanya sesuatu? Ini tentang Mas dan Ustazah Layla.”Entah mengapa aku tidak pernah bisa mengerem mulutku. Aku tidak bisa lama-lama berbohong dan menyembunyikan sesuatu. Semua akan terasa berat dan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-23
  • Aku Padamu, Gus!   Bucin

    Hari ini kami akan kembali ke rumah. Tanpa terasa sudah sepuluh hari kami tinggal di rumah Abah. Gus Azam sudah pulih dan selesai kontrol tiga hari yang lalu. Operasi kemarin berhasil dan sukses. Insya Allah Gus Azam sudah sehat seperti sedia kala. Hanya saja luka bekas operasi terkadang masih terasa gatal. Saat kami hendak sarapan, Gus Anam dan Ustazah Layla sudah duduk di meja makan. Beberapa hari ini kami selalu sarapan bersama. Ternyata istri dari adik iparku itu pandai memasak. Pantas saja banyak yang menginginkannya menjadi menantu, tak terkecuali Ibu Mertuaku. Ustazah Layla adalah gadis berpendidikan, cerdas, salihah, dan pandai memasak. Namun, aku tidak tahu kenapa Gus Azam tidak meliriknya sama sekali. Semenjak kami tinggal bersama, aku tidak pernah melihat gerak-geriknya yang mencurigakan. Dia selalu bersama suaminya. Entah pencitraan atau memang dia sudah berubah. Adik iparku bilang jika istrinya sudah jinak. Pernah suatu ketika aku menghampirinya saat masak bersama Mbak

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24
  • Aku Padamu, Gus!   Bahagia

    Saat semua orang sudah pergi, kini tinggal aku dengan Ustazah Layla yang di kamar. Meyda baru saja tertidur di pangkuan Ustazah Layla. “Maafkan aku, Fia. Selama ini aku salah.” Aku berhenti merapikan kasur mendengar ucapan Ustazah Layla. “Aku terlalu egois karena berpikir kedekatanku dengan Azam itu spesial. Ternyata dia hanya menganggapku teman biasa. Aku memang terlalu percaya diri.” Ustazah Layla terkekeh, tetapi bisa kulihat tersirat sedikit kesedihan di sana. “Kamu tahu, Fia? Aku bisa merasakan jika Azam benar-benar mencintaimu. Tatapan matanya saat bersamamu berbeda sekali. Dia terlihat sangat bahagia. Aku semakin sadar jika memang tidak ada cinta untukku. Karena itulah aku mencoba menerima Anam. Em, maksudku Mas Anam.” “Alhamdulillah.” Karena sangking bahagianya, kupeluk Ustazah Layla setelah meletakkan Meyda di tempat tidur. “Makasih banyak, Ustazah. Kehadiranmu dalam rumah tangga kami mungkin menjadi salah satu cobaan dari Allah, tetapi sekarang semua sudah berakhir, adik i

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-02
  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-06

Bab terbaru

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

  • Aku Padamu, Gus!   Waswas

    “Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat

  • Aku Padamu, Gus!   Konsultasi

    “Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.

  • Aku Padamu, Gus!   Hamil

    “Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat

DMCA.com Protection Status