Rasa sakit di perutku semakin menggila. Aku memang sering mengalami nyeri ketika haid, tetapi kali ini rasanya teramat sakit. Linda segera menghubungi Gus Anam melalui ponselku. Kami menjadi pusat perhatian karena di kantin sedang ada banyak orang.“Kak Anam, buruan ke kantin, Shafia jatuh.”Tanpa menunggu lama, Gus Anam datang bersama dua teman lelakinya. Dia segera membopongku ala bridal style tanpa menunggu persetujuanku. Aku yang sudah lemas tidak bisa menolak perlakuannya. “Bertahanlah, Fia!”“To ... looong, Gus! Perutku sangat sakit.” Aku memegang perut yang terasa amat nyeri. Gus Anam terlihat cemas. Bulir keringat mulai bermunculan dari keningnya dan sesekali jatuh menetes. “Kamu tenang, ya! Aku akan segera menghubungi Mas Azam,” ucapnya meyakinkanku.Gus Anam hendak membawaku ke ruang kesehatan, tetapi aku memintanya langsung ke rumah sakit, takut jika dugaanku benar. Bodohnya diriku yang terlambat menyadari semua ini. Pikiranku jauh menerawang ke sana. Bagaimana jika sua
Dokter menjelaskan jika aku bisa pulang malam ini setelah keadaanku membaik. Calon janin dalam rahimku sudah tak berbentuk ketika aku sampai di rumah sakit. Gumpalan daging itu sudah hancur dan tidak bisa diselamatkan lagi. Calon buah hatiku, buah cintaku dengan Gus Azam kini hanya tinggal kenangan. “Fia, maafkan aku. Sungguh aku benar-benar minta maaf membawamu masuk dalam kehidupanku hingga membuatmu menjadi korban.” Gus Anam akhirnya mengeluarkan suara meskipun Gus Azam memberikan tatapan mata tajam, sepertinya mereka sedang tidak akur. “Aku benci kamu, Gus!” ucapku hingga membuat Gus Anam pergi.Aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa menjaga diri. Andaikan aku bisa melawan perempuan itu, andaikan aku bisa melindungi diriku, semua itu tidak akan terjadi padaku. Andaikan, andaikan, dan andaikan. Semuanya sudah terjadi dan aku tidak bisa berandai-andai.Aku kembali berbaring dan istirahat setelah Gus Anam pergi. Kini tinggal kami berdua yang masih tinggal di ruangan ini. Gus A
Aku segera menarik tanganku dari Gus Anam. Kulihat sorot mata suamiku menunjukkan kemarahan. Aku menunduk tidak berani menatap suamiku. Kami tidak melakukan apa-apa, tetapi seolah seperti pasangan yang ketahuan selingkuh. “Apa yang kamu lakukan pada istriku?” tanya Gus Azam pada adiknya. “Aku tidak melakukan apa-apa padanya, hanya meminta maaf. Bukankah Mas Azam yang memintaku untuk minta maaf kepada Shafia?”“Kenapa sampai pegangan tangan?”“Aku khilaf!”Aku semakin menunduk karena merasa tidak bisa menjaga diri. Sebelumnya aku sudah mengatakan pada suamiku jika adiknya menyukaiku, tetapi dia pikir aku ini terlalu polos karena percaya dengan adiknya yang suka bercanda. Sekarang dia bisa melihat sendiri apa yang adiknya lakukan padaku. “Beresi barang-barang kita! nanti sore pindah ke rumah orang tuamu!” Kulihat wajah adik iparku tampak terkejut, begitu juga denganku. Aku tidak menyangka Gus Azam akan berubah pikiran secepat ini. Padahal aku sudah mengajaknya pindah semenjak menge
Kami tiba di rumahku pukul empat sore dan sudah membeli makanan untuk makan malam. Umi sengaja mengajak datang lebih awal supaya bisa membantu membereskan rumah yang berbulan-bulan tidak dihuni. Meskipun setiap tiga hari sekali ada orang yang membereskan rumah, tetapi di musim panas ini banyak sekali debu yang berterbangan masuk ke dalam rumah.“Ayo Umi bantu, Sayang,” ujar Umi sembari menenteng tas kecilku yang berisi perlengkapan mandi dan skin care. “Fia bisa sendiri, Umi. “ Aku meletakkan beberapa sabun, sikat dan pasta gigi di kamar mandi. Setelah itu aku pergi ke kamar mengganti sprei dan merapikan kamar tidurku. Umi meminta Gus Anam untuk membawakan koper kecil kami, tetapi suamiku merebutnya. “Kamu bantu ngepel saja! Biar aku yang bantu Shafia.” Gus Azam memberikan alat pel yang dia pegang kepada adiknya.Aku terkekeh melihat kelakuan Gus Azam dan adiknya. Mereka sebenarnya saudara yang baik, tidak pernah menyakiti satu sama lain dan saling mengasihi. Aku tidak ingin hubung
“Assalamu’alaikum ....” Aku mengucap salam ketika masuk rumah. Kakek dan Nenek baru datang tadi pagi, tetapi aku tetap berangkat kuliah karena ada ujian semester. “Nenek masakin sayur kesukaanmu, Fia,” ujar Nenek setelah menjawab salam. “Wah, makasih, Nek. Kakek di mana?” Kulihat nenek duduk sendirian di depan televisi menonton berita kriminal.“Di belakang, lihat kolam ikan yang baru. Katanya Kakek juga kepingin melihara ikan.”Aku terkekeh mendengarnya. Di usia senja ini Kakek sudah menghabiskan waktunya untuk memelihara burung, belum lagi ternak bebeknya. Sekarang malah menginginkan ikan, bagaimana dengan hewan yang ada di rumah?“Nanti bebeknya bagaimana, Nek?”“Disembelih saja pas lebaran nanti, buat rica-rica.”Nenek memelukku erat, tidak menyangka jika aku bisa menjadi gadis yang mandiri sesuai keinginan kedua orang tuaku. Dua tahun sudah aku tinggal di rumah peninggalan orang tuaku. Nenek dan Kakek sering berkunjung juga pakde dan budeku. Mereka semua senang akhirnya aku bi
“Nanti Mas kerja apa?”“Mas ‘kan udah jadi bos di pasar meskipun hanya toko kecil. Mas juga masih bisa membantu mengajar di pesantren Abah. Mas tidak akan berhenti mengamalkan ilmu.”Suamiku tetaplah manusia biasa, selain Bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, dia juga mengamalkan ilmunya sebagai seorang muslim.Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia, tetapi sekarang Gus Azam mengelola toko Ibu yang di pasar. Dia kembangkan menjadi toko besar yang menjadi pusat grosir sembako. Sekarang toko Ibu tidak hanya satu kios, melainkan genap tiga kios. Sebentar lagi lantai dua siap dihuni setelah melakukan renovasi selama lima bulan. Gus Azam membeli dua ruko yang bersebelahan dengan toko Ibu. Kebetulan sudah tutup semenjak masa pandemi. Seperti biasa aku menyiapkan makanan untuk suamiku setiap pulang kuliah. Jika tidak sempat memasak, aku akan membeli sayur dan lauk di warung, tetapi hari ini ada Nenek dan Kakek. Mereka membawa beberapa sayuran yang ditanam di kebun. Kuambil sayur tewe
“Mas, ini adalah hari terakhir ujian semester, aku ingin ke pesantren. Sudah lama aku tidak makan masakan Umi, juga kangen sama Anin.”“Enggak sekalian hari Rabu nanti pas Mas ngajar?” Aku menggeleng. “Rasanya aku ingin makan sup buatan Umi.”“Ya sudah, nanti sore kita ke rumah Umi.”Pagi ini setelah sarapan bersama, kami bersiap untuk berangkat. Gus Azam akan pergi ke pasar sedangkan aku ke kampus. Menggunakan motor butut, suamiku mengikuti dari belakang. Kami berangkat bersama menggunakan motor yang berbeda supaya tidak perlu mengantar dan menjemputku, tetapi tetap saja suamiku selalu mengantarkan sampai gerbang kampus.Gus Azam akan mengantarkanku sampai kampus jika karyawannya sudah datang. Sekarang dia menjadi bos meski hanya di sebuah toko. Dia tidak perlu datang pagi-pagi dan tepat waktu untuk presensi. Aku melambaikan tangan ketika sudah sampai di kampus. Aku mengerjakan soal ujian dengan semangat karena membayangkan masakan Umi sampai-sampai membuatku ngeces, tidak sabar un
Aku melihat benda kecil panjang di tanganku. Perasaanku campur aduk rasanya, bahagia sekaligus ingin menangis melihat dua garis merah di sana. “Gimana hasilnya, Sayang?” tanya suamiku setelah aku keluar dari kamar mandi. Saat ini kami sedang berada di klinik Bu Indah, letaknya tidak jauh dari pesantren. Ternyata dugaan Umi benar. Aku hamil dan sudah memasuki usia sembilan minggu. “Selamat, ya, Pak, Bu. Ini vitaminnya jangan lupa diminum.” Aku dan Gus Azam tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah. Setelah tiga tahun akhirnya kami dikaruniai seorang anak. Ada kehidupan di dalam perutku yang harus kami jaga. Kami pulang dan memberikan kabar gembira ini kepada Abah dan Umi. Semua orang terlihat bahagia, teyapi aku dikejutkan dengan kehadiran Gus Anam di sini. Dia berjalan mendekat ke arah kami. Sejenak kemudian dia memeluk suamiku. “Selamat atas kehamilan Shafia, Mas. Jaga dia, bahagiakan dia. Jangan sampai air matanya menetes lagi.” “Kamu tenang saja, semuanya aman.” Gus
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat