Kami semua menoleh ke asal suara. Seorang lelaki berkacamata menegur laki-laki di depanku. Dalam sekejap dia melepaskanku, tetapi tiba-tiba kepalaku pusing. Bayangan Pak Rozaq kembali menghantui.“Tolong jangan sakiti saya, kumohon jangan mendekat!” Aku berteriak dan menutup kedua telingaku. Bisikan yang menjijikkan itu kembali hadir, menggema di seluruh indra pendengaranku. “Apa yang kalian lakukan padanya?” Laki-laki yang baru saja datang menolong mendekatiku, tetapi aku beringsut mundur. “Pergi! Aku benci kalian.” Di saat seperti ini aku butuh suamiku untuk sekadar menangis dan melampiaskan ketakutanku. Hanya dia yang bisa menenangkanku. Namun, aku tidak bisa mengganggunya sekarang. Dia sedang mengajar, tidak mungkin dia meninggalkan kewajibannya sebagai Ustaz. “Fia, dia itu dosen. Dia yang menolongmu, kamu tidak perlu takut.” Tiba-tiba Gus Anam sudah ada di sampingku. Dia tidak menjadikanku tenang, tetapi malah membuatku semakin takut. Dia memperlakukan wanita sesuka hatinya.
“Lepas, Gus! Ini tempat umum.”Perlahan dia melepas pelukannya. “Maaf!”“Aku ini kakak iparmu! Jangan sentuh aku sembarangan, Gus!”“Maaf, Mbak Nilam. Pacar saya memang galak!” ucapnya sambil mengacak kepalaku. Entah setan apa yang merasukinya. Sejenak kemudian pegawai perpustakaan yang bernama Nilam itu tersenyum. “Owalah, pantas saja enggak mau sama cewek lain, wong pacarnya cantik banget kayak gini,” puji Mbak Nilam. Gus Anam menarik tanganku kasar dan membawaku keluar dari perpustakaan. “Lepasin tanganku, Gus! Aku bisa jalan sendiri. Kenapa Gus Anam berbuat sesuka hati terhadapku? Aku bisa mengatakannya kepada kakakmu.”“Katakan saja padanya. Aku tidak takut.”Dia mengabaikan perkataanku dan membawaku duduk di sebuah bangku panjang. Di sekelilingnya banyak mahasiswa sedang menikmati makanan yang tersaji di depannya. Ini adalah ruang terbuka, tetapi penampilannya sudah seperti kafe, sepertinya ini adalah kantin. “Tunggu di sini dan jangan pergi ke mana-mana!”Aku menurut karena
Gus Anam tertawa hingga memegangi perut. “Oke, aku antar!”Gus anam berjalan di depan dan aku mengikuti dari belakang menjaga jarak dengannya. Aku tidak mau terlalu dekat dengannya setelah mengetahui kebenaran ini. Aku harus mencari cara supaya bisa menjauh darinya, tetapi bagaimana caranya?Di tengah kebingunganku, Gus Anam tiba-tiba berhenti hingga membuatku menabraknya dari belakang. Aku memegang keningku yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa. Dia berbalik dan memegang kedua bahuku. Namun, tiba-tiba terdengar suara Gus Azam dari kejauhan. “Fia!” Aku segera melepaskan tangan Gus Anam dan berlari menghampiri suamiku. “Hei, jangan lari! Kamu bukan anak kecil lagi,” ucap suamiku. Aku mencium tangan suamiku begitu sampai di depannya. “Mas Azam kenapa lama sekali?”“Lama?” tanyanya kemudian mengecek jam di tangan kirinya. “Bukankah kamu baru saja keluar?” Gus Azam mengerutkan dahi.“Iya, Mas. Aku baru keluar. Ternyata aku tidak bisa lama-lama jauh darimu.” Aku merutuki kebodohanku send
Aku yang merasa tidak dibutuhkan ingin pergi dari tempat ini, tetapi Gus Azam menahan tanganku. Dia menggeleng dan mengajakku duduk di sampingnya. Tanganku mulai berkeringat dan gugup karena suasananya sangat canggung. Semua orang diam menatap Layla dan diriku bergantian. Aku menunduk kala ibunya Layla tersenyum menatapku. Gus Azam menggenggam tanganku seolah berkata semua akan baik-baik saja. Namun, pikiranku mulai berkelana ke mana-mana. Aku takut jika suamiku dipaksa menikahi Layla, anak dari sahabat ayahnya. Aku tidak mau dipoligami meski hal itu sering terjadi di kalangan ustaz. “Azam, Shafia, selamat atas pernikahan kalian. Kami cukup terkejut mendengar berita ini karena terkesan mendadak. Bahkan Layla yang satu sekolah denganmu saja tidak mengetahuinya. Kami minta maaf sebelumnya jika kedatangan kami ini menganggu. Namun, saya di sini sebagai orang tua cukup terpukul melihat putri kami yang selalu bersedih setiap hari. Layla mencintai Azam sejak lama, tetapi ....” Ayah Layla
Gus Azam merebahkan tubuhnya di kasur. Dia menepuk bahunya, memintaku berbaring di sampingnya. “Apa dengan begitu kalian tidak akan bertemu di kampus?” tanya Gus Azam. Dia menatapku begitu lekat. “Setidaknya kami tidak terlalu dekat, Mas. Aku sama dia ‘kan beda jurusan, Mas. Lagian dia udah mau lulus.”“Tetep aja bakal ketemu, Sayang. Kita tinggal di sini aja nemenin Umi. Kasihan Umi kalau menantu kesayangannya ini pergi. Kamu tidak perlu menghiraukan ucapannya. Dia hanya bercanda. Aku memintanya melindungimu, dan dia melakukan dengan caranya sendiri.”Aku akan lebih nyaman tinggal di rumah tanpa memiliki beban perasaan. Hanya ada suamiku di sana, hanya dia yang menjadi prioritas utamaku. Aku pun bebas bisa tinggal di rumah sendiri.Bagaimana mungkin aku hidup satu rumah dengan dua orang laki-laki yang mencintaiku? Di satu sisi aku harus taat kepada suami, tetapi di sisi lain aku takut menyakiti perasaannya. Meskipun dia bilang adiknya hanya bercanda, tetapi aku melihat ada keserius
Sesampainya di kampus, kami turun bersama. Meski tanpa bergandengan tangan, semua orang tahu dan mengira kami adalah pasangan kekasih. Gus Anam membukakan pintu belakang. Aku sengaja duduk di belakang karena menjaga perasaan suamiku. Setelah keluar, kami berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih, hanya saja kami tidak bergandengan tangan. Dia selalu mengantarkanku sampai kelas, baru setelah itu dia ke kelasnya. Entah mengapa rasanya hari ini aku tidak bersemangat. Aku sering merasa pusing dan sedikit mual. Mungkin karena hujan tadi malam dan hawa dingin membuatku masuk angin. Apalagi mencium pengharum mobil milik Gus Anam tadi pagi, mati-matian aku menahannya agar tidak muntah. Namun, kali ini aku sudah tidak bisa menahannya. Istirahat pertama aku meminta Linda mengantar ke kamar mandi. Aku ingin muntah, tetapi tidak ada yang bisa keluar dari perutku. “Sakit banget, Nda!”“Ya sudah, kita ke kantin saja, yang lain sudah menunggu di sana,” ajak Linda. Aku memiliki banyak teman
Rasa sakit di perutku semakin menggila. Aku memang sering mengalami nyeri ketika haid, tetapi kali ini rasanya teramat sakit. Linda segera menghubungi Gus Anam melalui ponselku. Kami menjadi pusat perhatian karena di kantin sedang ada banyak orang.“Kak Anam, buruan ke kantin, Shafia jatuh.”Tanpa menunggu lama, Gus Anam datang bersama dua teman lelakinya. Dia segera membopongku ala bridal style tanpa menunggu persetujuanku. Aku yang sudah lemas tidak bisa menolak perlakuannya. “Bertahanlah, Fia!”“To ... looong, Gus! Perutku sangat sakit.” Aku memegang perut yang terasa amat nyeri. Gus Anam terlihat cemas. Bulir keringat mulai bermunculan dari keningnya dan sesekali jatuh menetes. “Kamu tenang, ya! Aku akan segera menghubungi Mas Azam,” ucapnya meyakinkanku.Gus Anam hendak membawaku ke ruang kesehatan, tetapi aku memintanya langsung ke rumah sakit, takut jika dugaanku benar. Bodohnya diriku yang terlambat menyadari semua ini. Pikiranku jauh menerawang ke sana. Bagaimana jika sua
Dokter menjelaskan jika aku bisa pulang malam ini setelah keadaanku membaik. Calon janin dalam rahimku sudah tak berbentuk ketika aku sampai di rumah sakit. Gumpalan daging itu sudah hancur dan tidak bisa diselamatkan lagi. Calon buah hatiku, buah cintaku dengan Gus Azam kini hanya tinggal kenangan. “Fia, maafkan aku. Sungguh aku benar-benar minta maaf membawamu masuk dalam kehidupanku hingga membuatmu menjadi korban.” Gus Anam akhirnya mengeluarkan suara meskipun Gus Azam memberikan tatapan mata tajam, sepertinya mereka sedang tidak akur. “Aku benci kamu, Gus!” ucapku hingga membuat Gus Anam pergi.Aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa menjaga diri. Andaikan aku bisa melawan perempuan itu, andaikan aku bisa melindungi diriku, semua itu tidak akan terjadi padaku. Andaikan, andaikan, dan andaikan. Semuanya sudah terjadi dan aku tidak bisa berandai-andai.Aku kembali berbaring dan istirahat setelah Gus Anam pergi. Kini tinggal kami berdua yang masih tinggal di ruangan ini. Gus A
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat