Bab 65"Jangan lupa nanti sore ulang tahun Fara, kita semua harus hadir." Mas Irfan mengingatkan ketika aku menemaninya sarapan."Ya, Mas," jawabku sambil memberesi piring kotor bekas nasi gudeg.Tadi pagi Mbok Rah mengantarkan sebungkus nasi gudeg untuk sarapan Mas Irfan, katanya yang menyuruh Mbak Nung.Kemaren juga dikirimi bubur ayam, kemarennya lagi nasi pecel. Masing-masing satu bungkus untuk sarapan Mas Irfan saja.Alhamdulillah, ringan sekali pekerjaanku, tidak usah repot-repot masak. Toh kalau masakpun belum tentu dimakan.Ketika aku mencuci piring dan gelas, dari ekor mata aku bisa melihat kalau Mas Irfan menatapku, kalau aku boleh nebak, pasti dia kasihan kepadaku.Atau mungkin dia akan tertawa senang kalau nanti aku mendapat kejutan dari ibunya. Dikiranya aku histeris lalu strok.Atau malah Mas Irfan sok pahlawan kesiangan, pura-pura menolak dan berpihak kepadaku. Kemudian ibunya memohon supaya aku menyetujuinya, lalu Mas Irfan terpaksa menerimanya.Aku tersenyum miring.K
Bab 66Dalam perjalanan pulang, semua membisu. Fara yang berangkatanya diam, giliran pulangnya tidak henti-hentinya menceritakan keseruan pesta ulang tahunnya yang ke 5.Hanya aku yang menanggapi cerita kriwil, yang lain diam, entah capai atau kesal. Sebenarnya aku menanggapi cerita kriwil karena untuk menghibur hatiku yang sedang luka.Mas Irfan sebentar-sebentar menoleh kebelakang, walaupun gelap gerakannya terlihat kalau dia sedang resah. Barangkali dia butuh keheningan, atau merasa terganggu dengan ocehan Fara.Aku tetap berusaha tegar, belum bisa berpikir jernih untuk menanggapi permintaan ibu mertua.Biar anak bungsunya saja yang memutuskan, bukankah dia yang akan menjalaninya.Aku belum berpikiran kearah sana, aku tunggu keputusan Mas Irfan saja. Kalau memang dia akan menikahi kakak iparnya, aku juga harus bersikap.Di dalam kamus hidupku, tidak mengenal kata-kata dimadu. Sehingga aku tidak bisa membayangkan jika harus hidup bersama, dan saling berbagi suami.Kalau orang lain b
67. Perasanku mengatakan Mbak Nung semakin baik dan ramah kepadaku. Sekarang kalau mengirim sarapan juga tidak hanya satu, tapi dua bungkus."Yang satu untuk Mas Irfan, satunya untuk Mbak Dela," kata Mbok Rah, yang setiap hari tugasnya mengantar sarapan kerumah."Terima kasih, ya Mbok," balasku.Mbok Rah mengangguk, sambil mencuri pandang kearahku. Kalau aku menatapnya, cepat-cepat membuang muka. Aneh sekali gerak-gerik Mbok Rah kali ini, biasanya bercanda terlebih dulu. Lha ini, langkahnya gegas diayun seperti habis melihat hantu.Aku geli melihat tingkahnya, apa dia sudah tahu permasalahnya antara aku, Mas Irfan dan Mbak Nung, ya? Mungkin ibu sudah cerita kalau Mas Irfan akan menduakanku.Biasanya Mbok Rah itu tempat ibu berkeluh kesah, karena hanya dialah yang menemani selama ini. Sekarang tugasnya si Mbok yang sudah puluhan tahun ikut Ibu agak ringan, hanya masak dan menemani saja.Si Mbok tidak lagi menunggu di warung lagi, karena warungnya sudah berubah menjadi toko swalayan.
Bab 68 Hari ini pertama kali aku masuk kerja, setelah 3 bulan cuti melahirkan. Zaqi terpaksa kuajak bekerja karena di perusahaan menyediakan penitipan bayi dan anak.Dengan begitu aku bisa setiap saat memberika ASI eklusive, lewat pumping ASI.Seperti biasa diantar oleh Mas Irfan sekaligus mengantar Mbak Nung dan sekolah Fara. Ibu tidak ikut, agak pusing katanya. Aku duduk di depan bersama Zaqi yang kugendong.Mbak Nung dengan Fara di belakang, dalam perjalanan sekian menit semua diam. Hanya terdengarkan ocehan kriwil yang tidak jelas, tetapi kalimatnya ada yang keceplosan tanpa disadari membuatku menautkan alis."Nanti kalau Mama menikah sama Papa, Fara minta adik cewek ya, Ma." Dengan polosnya si kriwil mengungkapkan pendapatnya.Terdengar Mbak Nung tertawa sumbang. Hatiku langsung menciut. Papa? Pasti yang dimaksudkan itu Mas Irfan, siapa lagi? bisikku dalam hati.Nafasku langsung naik turun, aku berusaha menahan emosi supaya tidak meledak. Sementara aku diam menyimak obrolan mer
Bab 69Semalam aku tidak bisa tidur, kebetulan Mas Irfan lembur di bengkel, ada beberapa mobil yang harus segera diselesaikan karena akan dipakai pemiliknya.Dia tidak sendiri ada karyawan yang membantu, tetapi harus diawasi supaya hasilnya memuaskanSelesai menidurkan Zaqi, aku langsung mojok menghubungi Diana, kesempatan untuk diskusi rumah yang akan kubeli. Banyak pilihannya, Diana mengirim beberapa brosur, aku harus meneliti satu persatu."Semua bagus, Di," komentarku."Iya sih. Tentukan lokasinya dulu, baru disainnya. Kemudian kita datangi kalau kamu sudah ada waktu," usul Diana."Di, aku pingin rumahnya kecil, tapi halaman belakangnya luas.""Yakin kamu pingin rumah kecil?" ledek Diana.Aku tertawa tapi tidak berani keras, bisa diomeli Mas Irfan. Hubunganku dengan Diana masih kurahasiakan, takutnya nanti dituduh macam-macam tentang Andre.Hampir tengah malam aku ngobrol kesana kemari, tentu saja tidak hanya membahas rumah yang akan kubeli, tapi kenangan masa lalu ketika masih m
Bab 70Sebelum jam kerja usai, mobil laki-laki halalku sudah parkir di depan kantor. Aku bisa melihat karena cendela ruangan kantorku menghadap ke jalan. Aku tersenyum senang.Hm, laki-laki itu menemati janjinya. Ups! untuk apa dulu, bukankah ibunya yang akan mengajakku bicara di meja makan sepulang kerja nanti?Sehingga anak bungsunya disuruh segera menjemputku karena akan ada berita besar yang akan disampaikannya, begitu 'kan, Bu?Entahlah.Kujemput malaikat kecilku di Penitipan Bayi dan Anak, disambut salah satu suster yang menggendong Zaqi, siap diserahkan kepadaku. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih kepadanya."Zaqi gak rewel, kan?" sambut Mas Irfan ketika aku masuk ke dalam mobil. Tangan kirinya mengelus pipi gembul."Alhamdulillah, enggak." jawabku singkat."Mau mampir kemana, nih?" tanyanya lagi."Tidak usah, Mas. Terima kasih." Mas Irfan memutar mobil ke arah utara, menuju pulang kerumah karena aku tidak ingin kemana-mana."Tidak sekalian jemput Mbak Nung?" Aku sengaja
Bab 71"Assalamualaikum, Bu Dela.""Walaikumssalam, Pak Syamsul,""Maaf Bu Dela, boleh mengganggu sebentar waktu Ibu? Saya dan team menuju Jogja, kira-kira tiga jam kedepan sampai sana. Mohon di sharelock, terima kasih,""Alhamdulillah. Baik, Pak."Setelah sambungan terputus segera kukirim lokasi kantor ke ponsel Pak Syamsul. Aku bernafas lega, bersyukur tidak terhingga. Tidak percaya kalau prosesnya secepat ini, semua ini atas kinerja beliau dan team.Berita dari Pak Syamsul bisa mengobati hatiku yang sedang tidak baik, setidaknya aku segera membeli rumah. Kalau terjadi apa-apa aku bisa langsung angkat kaki.Pagi ini tugas kantor segera kukerjakan, supaya kalau rombongan dari Sragen datang tidak mengganggu pekerjaanku.Kulihat laporan bagian distribusi pengiriman barang ke seluruh Indonesia lancar tidak ada hambatan yang berarti. Kuteliti satu persaru untuk membuat laporan jurnal, setelah itu kubuat grafik, ternyata penjualannya meningkat tajam.Aku tersenyum puas, kerjasama antara ma
Bab 72"Andre?" bisikku ketika kulihat laki-laki yang duduk dibelakang kemudi itu orang yang selama ini dicemburui Mas Irfan. Dadaku bergetar kencang, keringat dinginku mengucur deras memenuhi wajah dan seluruh tubuh, lututku terasa tidak bertulang."Dede!" Suaranya berat.Aku seakan mendadak mati rasa, ini akan terjadi perang dunia kedua jika Mas Irfan tahu kalau aku diantar Andre. Tapi aku bisa apa, semua terjadi begitu saja.Ya Robb, aku tidak berdaya. Aku tidak kuasa menolak, karena saat ini aku sedang membutuhkan tumpangan untuk Zaqi. Lindungilah hambamu ini."Aku tidak tega melihat kamu dan bayimu kedinginan di luaran sana. Kalian baik-baik saja 'kan?" Suara khas yang dulu pernah kurindukan.Aku tidak menyanggah, kenyataannya aku kesulitan mencari tumpangan, sementara anakku semakin panas badannya. Andre melihatku dari kaca spion, kemudian menoleh kebelakang lalu pandangannya ke bawah, melihat ujung bajuku yang basah."Bajumu basah, kita mampir ke toko baju dulu. Aku khawatir k
Bab 96 Tamat.Di dalam perjalanan menuju kantor, pikiranku mengingat kejadian kemaren, dimana aku dituduh selingkuh setelah Mas Irfan mendapat kiriman foto dari temannya.Foto-foto itu diambil dari status Andre, kemudian dikirim ke Mas Irfan, kemaren kudengar seperti itu, ketika ibunya bertanya.Aku membuang nafas kasar.Emang ada yang salah kalau kita foto-foto? Sesaat keningku berkerut, lalu menyalahkan Andre kenapa juga dia pasang status seperti itu.Aku tidak tahu kenapa Mas irfan tidak cerdas, hanya selembar foto akan dijadikan barang bukti perselingkuhan? Dimana selingkuhnya? Aku mengambil gawai lalu kulihat foto yang dikirim Mas Irfan. Kuamati satu-satu, sampai ku zoom. Di dalam foto posisiku duduk dipinggir, Diana di tengah, sedangkan Andre duduk disebelahnya Diana.Aku tersenyum tipis.Kamu lucu dan aneh, Mas. Dengan mencari-cari alasan yang tidak masuk akal kamu akan segera menceraikanku. Jangan khawatir Mas, sebelum kau cerai aku akan pergi dari kehidupanmu dan ibu, itu ka
Bab 95 Tetap kutahan emosiku, harus sabar dan berlapang dada supaya bisa mendengar ocehan mereka selanjutnya.Tadi malam aku berdoa setelah salat istikaroh, andai aku masih diizinkan bersama Mas Irfan tunjukkan kebaikannya, sebaliknya kalau ada kejelekan dia, aku pasrah kalau harus berpisah.Kupingku kembali kupasang dengan seksama."Beruntung istrimu selingkuh ini kesempatan yang baik untuk segera kau ceraikan!" kata ibu mertua.Deg! Dadaku bergemuruh, ujung mataku langsung menghangat, tega sekali ibu mertua menuduhku seperti itu."Iya, Bu. Aku akan segera mendaftarkan perceraian di Pengadilan." Suara laki-laki halalku.Lututku tiba-tiba lemas, seakan tulang-tulangku lepas dari dagingnya. Dadaku bergemuruh lebih kencang."Bagus! Sehingga istrimu satu, menantu ibu hanya Nungky." Nada suaranya culas.Air mataku langsung mengalir deras dituduh seperti itu oleh ibu mertua, isakan tangisku kutahan."Tega sekali kalian menuduh seperti itu!" isakku dalam hati."Sebelum kau cerai, ibu ping
Bab 95Diana datang membawa cangkir isi kopi pahitpesanan Andre. Wanita inspirasiku itu merapatkan kening melihatku kemudian berganti melihat Andre."Kalian ngomongin apa kok serius banget," goda Diana sambil menyodorkan cangkir.Andre tertawa lepas, suasananya akrab membuatku kangen pada waktu kuliah dulu, walaupun masa laluku bersama Andre sudah kubuang jauh."Awas ya, jangan bikin bidadari mewek lagi." ketus Diana, dia biang keladinya yang membuat suasana selalu hidup."Apaan sih," Aku cemberut."Selama dua tahun ke depan aku bakal kangen kalian." Suara Andre lirih sambil menunduk, nampak sedih.Aku dan Diana saling menatap, ikut merasakan kesedihan Andre."Kita makan siang diluar, yuk," ajak Andre setelah sedetik hening."Maaf aku harus kembali ke kantor." Aku sengaja menolak, tidak enak setiap hari pergi bertiga.Ada tatapan kecewa dari Andre, Aku tidak mungkin pergi menuruti kemauannya. Diana langsung menangkap keberatanku."Tenang, kita makan disini saja, aku sudah suruhan ora
Bab 93 Aku sudah berada di dalam mobil bersama Pak Wiryo, dalam perjalanan kami hanya ngobrol basa-basi. Kutatap bayi gembulku yang ada di gendongan, wajah tanpa dosa itu sedang terlelap. Hatiku trenyuh, bagaimana tidak? Tidak lama lagi aku akan memisahkan dia dari Ayahnya.Apakah aku egois? Hanya mementingkan perasaanku sendiri tetapi tidak memikirkan hati anakku yang nantinya akan terluka? Dia akan menjadi korban perpisahan kami, betapa sedihnya kau, Nak.Namun, tidak mungkin juga aku menerima permintaan Mas Irfan untuk dimadu. Harus berbagi suami, berbagi kasih sayang dan perhatian.Apa Mas Irfan bisa adil? Selama Ibu mertua masih ikut campur, dipastikan hatiku akan semakin hancur. Sekarang saja sudah terlihat, betapa tidak adilnya ibu mertua. Terlebih Mbak Nung menantu kesayangan ibu dan aku menantu yang tidak dikehendaki. Demikian dengan cucu, Ibu lebih sayang kepada Fara dan Ilham dibanding Zaqi. "Apa salah anakku sehingga ikut kau benci? Itu juga cucumu, Bu." Aku menggerun
Bab 92"Siapa kamu!" Suara yang sangat kuhafal.Langkah kaki itu semakin dekat, lalu menghidupkan lampu. Ruangan jadi terang benderang, aku tidak sempat lari menyelamatkan diri."Kamu!" bentaknya, matanya membulat sempurna.Aku menunduk, entah bagaimana ekpresi wajahku. Ibu mertua mendatangiku sambil membawa sapu."Kukira maling, ngapain, kamu!" Wanita itu membentakku, aku masih shock belum sempat menjawab.Dari arah kamar Mbak Nung, keluarlah dua sosok manusia yang hanya memakai baju seadanya.Aku menatap mata pemilik nama Irfan sebagai biang keladinya. Nafasku memburu, rasanya ingin kuterkam dan kutelan laki-laki itu. Aku benci melihat laki-laki yang menyakiti hatiku."Heh, ngapain kamu disitu!" Teriak Ibu mertua ketika aku tidak kunjung menjawab. Sedetik otakku berputar mencari alasan yang tepat, jangan sampai aku kena mental malu."Mencari Mas Irfan, Bu. Badan Zaqi panas minta tolong diantar ke dokter," jawabku akhirnya walaupun berbohong.Aku segera Istighfar, harus mengorbanka
"Lalu apa!""Kereta Zaqi terguling, Bu." Aku menekan suara menahan marah.Sontak ibu mertua terkejut, tapi mimiknya berubah menjadi culas, bibirnya mencebik."Nangisnya karena terkejut, bukan karena anakmu luka! Fara dan Ilham masih kecil, jangan kau salahkan!" tukasnya membela diri, tidak mau disalahkan."Maaf, Bu. Saya tidak menyalahkan." Aku membela diri."Sana, bawa pulang anakmu! Di sini bikin ribut saja! Seharusnya dipegangi, jangan dilepaskan!" Omelnya.Tanpa pamit, Zaqi kubawa pulang. Tanpa kuindahkan juga laki-laki yang disebut suami, aku muak semuanya.Langkahku buru-buru, aku sudah tidak kuat menahan air mataku yang mulai bergulir. Sampai kamar tangisku pecah."Kenapa ibu juga memusuhi Zaqi? Kalau tidak suka denganku, aku ihklas, Bu. Jangan kau musuhi anakku juga, kasihan Zaqi, itu juga cucu ibu seperti halnya Fara dan Ilham, Ibu tidak adil." Aku menggerundel dalam hati.Kutenangkan anakku dengan cara memberi ASI, aku duduk di sofa sambil menahan nafasku yang memburu. Aku se
Bab 90 Menjelang tidur, aku iseng membuka ponselku, kutekan atas nama Mas Irfan. Benar juga, pesan darinya berderet-deret, misscall, videocall.Aku tersenyum sinis. Pasti dia kelabakan merasa bersalah telah menunjukkan kemesraannya di hadapanku lewat video call bersama keluarga cemara di kamar hotel.Tentu saja aku marah, istri mana yang tidak cemburu melihat wanita lain ikut memeluk suamiku, walau terhalang tubuh kedua anaknya.Wajar ponsel langsung kumatikan. Perasaanmu dimana, Mas? Aku masih istri sahmu, istri yang selalu menyelipkan namamu saat berdoa kepada Nya."Tega sekali kamu!" rutukku.Sejak dulu ibu memang tidak suka kepadaku, berusaha memisahkan kita, dan menyuruhmu menikahi menantu kesayangannya itu. "Tidak heran kalau nanti kita harus berpisah, itu yang dikehendaki ibumu,'kan?" Aku berbicara sendiri, berandai-andai. Akhirnya aku tertidur ditengah hatiku yang sedang galau, gundah gulana, capai, letih dan lelah. Tetapi aku berjanji tidak akan menangis lagi, walaupun uj
bab 89"Andre!" Aku dan Diana teriak hampir bersamaan.Kami saling menatap, aku sungguh kaget, kenapa harus bertemu dengan Andre di tempat ini. Kok Andre bisa tahu aku ada disini, eh jangan gede rasa dulu."Ini sesuatu kebetulan atau gimana?" Laki-laki yang pernah mengisi hatiku mengangķat tangan dan mengendikkan bahu, menunjukkan kalau dia sendiri juga bingung."Ini boss saya, Bu," ucap dua laki-laki muda itu memperkenalkan Andre.Andre mengulurkan tangan menyalami satu persatu, setelah itu dia berbincang dengan dua stafnya. Aku menatap lekat Diana dengan penuh curiga, jangan-jangan dia biang keroknya."Kamu mbocorin, ya," bisikku."Enggaklah, mana aku tahu jasa ekterior ini miliknya." Diana mengangkat kedua bahunya."Ternyata dunia ini sempit," gumamku."Ini perusahaanmu, Ndre?" tanya Diana, setelah Andre selesai menemui dua anak buahnya, lalu mendatangi kami."Ini bagian dari anak perusahaan, ngomong-ngomong ini rumah siapa?" Andre memandangku lalu menatap Diana bergantian.Diana
Bab 88Bu Erna berjanji, besok akan mengirim tukang cat yang akan segera meng-eksekusi Rumah Melati. Semua kuserahkan kepada Diana yang menjadi mandornya, beruntung dia bersedia.Aku juga sempat browsing jasa membuat eksterior di internet, Alhamdulillah langsung dapat. Katanya besok akan dilihat lokasinya, lalu segera ku sharelok sekalian."Pulangnya aku antar, ya, Del," Diana menawarkan diri, ketika aku sibuk memesan taksi online."Enggaklah, Di. Aku sudah banyak merepotkan kamu, lagian besok kamu masih punya tugas menjadi mandor. Aku tidak tega kalau terus merepoti.""Halah, aku kan sudah pengalaman ngurusi kaya gini. Ok, kamu hati-hati, ya." katanya."Terima kasih, Di. Sampai besok, ya."Sebelumnya Bu Erna memperkenalkanku kepada Satpam Perumahan yang bernama Pak Didik, karena pemilik rumah sudah berubah dengan namaku.Taksi yang kupesan sudah datang, kunci segera kuserahkan kepada Diana. Besok dia yang harus membukakan pintu untuk tukang cat yang dikirim Bu Erna.***Sampai rumah