“Terima kasih, Pak!” Elma lalu menyalakan ponselnya, menscroll nomor toko cabang Pancur Batu.“Usaha Panglong Elma Bersinar Cabang Pancur Batu, selamat pagi, Bapak, Ibu! Ada yang bisa kami bantu?”Terdengar suara merdu pegawai toko.“Saya Elma, selamat pagi Rita! Bagaimana keadaan toko kita?” tanya Elma tanpa basa basi.“Eh, Bu Elma. Toko baik, Bu! Ibu apa kabar? Kata Bapak, Bu Elma sakit keras, tidak boleh dihubungi. Bagaimana kesehatan Ibu?”“Saya sudah lebih baik, Rita. Hem, Bapak ada ke situ?”“Iya, Buk, baru sejam yang lalu dia pergi dari sini.”“Ngapain Bapak di situ?”“Itu, Bu. Em, memberikan nomor rekening atas nama Bu Rosa. Karena Bu Elma sakit, katanya mulai sekarang cabang ini sudah di bawah kendali Bu Rosa. Mulai nanti sore saya wajib transfer uang dari hasil penjualan ke nomor rekening itu.”“Lalu, apa tanggapan kamu?”“Maksud Ibu?”“Dengar Rita, kamu saya pilih, saya angkat dan saya percayakan untuk mengurus toko cabang di situ! Kamu juga saya beri tangggung jawab penu
“Yang mati nya kau Ris! Hey! Riris! Tidur atau pingsan kau ini, Butet!”Risda kebingungan. Siapa lagi yang bisa dia mintai tolong selain Elma. Tapi Elma tak mau menerima panggilan darinya. Tak ada cara lain lagi selain menelpon Rosa. Pinjam dulu uang Rosa, nanti kalau Binsar sudah pulang baru dia ganti, begitu rencananya.Meski sedikit ragu, Risda menekan nomor Rosa. Sampai panggilan ketiga, tak juga diangkat. Tapi wanita itu tak mau menyerah. Bayangan wajah murka orang tua Riris di kampung sangat menakutinya. Bila terjadi apa-apa dengan Riris, maka masalah berat pasti akan terjadi.“Hallo, Tante? Maaf aku lagi sangat sibuk. Auw, geli, tahu! Tunggu dulu, sabar! Ini mamamu yang nelpon!” “Apa? Rosa? Kau sedang di mana, dan sama siapa?”“Aku-aku di rumah Pak Udaku, Tante. Udah, ya, Tan! Aku sibuk, nih!” Nada suara Rosa panik.“Tunggu! Itu tadi kau bilang apa? Kau bilang mamamu yang nelpon, begitu, kan? Maksudmu aku, kan? Kau lagi bersama Binsar, ya?” tanya Risda curiga.“Bu-bukan,
Tak ada yang menjawab. Para karyawan yang berjumlah delapan belas orang hanya diam membisu. “Antooooo …!” Perempuan itu kembali berteriak memanggil kepala gudang. Anto segera datang sambil berlari-lari. Para pembeli saling tatap lagi. Suara bisik-bisik rame terdengar. “Ada apa Bu Risda? Seperti orang kemalingan saja! Mana malingnya, biar saya gebukin, mana-mana!” kelakar Anto tetap bercanda. Tak peduli dengan wajah merah padam sang mertua majikan. “Siapa yang memasang spanduk ini? Jawab!” teriak Risda dengan mata mendelik tajam. “Saya, Bu, kenapa?” jawab Anto dengan santainya. “Kau?” sergah Risda dengan suara bergetar. Kedua tangannya terulur hendak mencekik leher sang kepala gudang. “Kau cabut sekarang juga! Cepat!” perintahnya. Air ludahnya muncrat ke mana-mana. “Maaf, Bu, saya tidak bisa!” sahut Anto dengan enteng. “Apa maksudmu tidak bisa! Aku yang berkuasa di toko ini sekarang! Kau cabut atau kau kupecat!” Anto tak bergeming. Sedikitpun dia tak gentar. “Kuhitung mula
Alva menepikan motor yang sedang dia kendarai saat ponselnya tak henti berdering. Semoga bukan dari rumah sakit, begitu harapannya. Kondisi ibunya sudah makin membaik, jika urusan ini selesai, dia berencana akan menjenguk sang ibunda lagi. Itupun jika tak ada papanya di sana. Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu meneliti si penelepon. “Hey, kau, nya, mony*t! Ganggu saja! Aku lagi naik motor! Bukan nyetir!” teriaknya setelah mengusap layar. “Abang udah sampai mana? Lama kali, pulak! Keburu cek-out mereka, Bang!” “Sepuluh menit lagi aku sampai! Kalian awasi saja terus! Udah! Aku segera datang!” Bisar menutup telepon. Tetapi, belum juga dia kembalikan ke dalam saku celana, benda itu kembali berdering. Itu membuat emosi sang pria temperamental itu seketika meledak. “Hey, bod*t! Tunggu di situ! Cemana aku mau gerak kalau kau telpon terus, hah!” “Pak Alva?” Ups. Alva tersentak kaget. Suara merdu nan lembut itu membuat pacu jantungnya berhenti sesaat. “Maaf, saya m
“Maaf, meleset sikit! Kakak kau nelpon pulak tadi!” jawab Alva membuat kening keempat anggotanya berkerut. “Kakak? Si Titian?” celetuk Domo. “Kapan pulak perempuan matre itu jadi kakak kau! Udah ayo, bergerak!” Alva mengibaskan tangan sambil melajukan motor menuju areal parkir penginapan berlantai dua itu. Keempat anggotanya saling tatap. Masing-masing mengangkat bahu sambil membuka kedua telapak tangan masing-masing. “Hem?” gumam keempatnya berbarengan lalu berjalan menyusul sang Bos ke meja resepsionis. Dua orang security yang sedang bertugas di penginapan sederhana itu langsung menghadang langkah mereka. Tampang preman mereka jelas membuat kedua security itu curiga. Dua orang wanita berwajah manis yang duduk di belakang meja resepsionis terlihat panik. “Hey, Bung! Seorang pria bernama Binsar membawa istriku ke sini! Tunjukkan yang mana kamarnya atau kuobrak abrik hotel jelek ini! Cepat!” perintah Alva. “Maaf, tidak ada tamu yang bernama Binsar! Tolong jangan buat keributan
“Kurang ajar kau!” Rosa berteriak histeris sambil menunjuk Alva. “Maaf, sekarang silahkan dilanjutkan main kuda-kudaannya! Permisi!” kata Alva lalu berjalan pergi. Baru beberapa langkah dia dia sudah berbalik lagi. Binsar menerjangnya dari belakang. Namun, terjangan itu tidak tepat sasaran. Yogi yang sudah mengantisifasi segala kemungkinan langsung menerjang betis telanjang Binsar. “Auuuw! Bangs*t kau!” Binsar terjatuh membentur dinding sambil mengaduh. “Jangan suka main belakang, Bung! Jujur aku kasihan pada istri Anda. Wanita sebaik dia Anda permainkan dari belakang! Segala tante-tante Anda embat juga! Hehehe …. Padahal istri Anda jauh lebih cantik dan seksi sebenarnya. Kalau saja dia tidak sakit dan makan hati. Saya sudah melihat wajah aslinya. Jujur, sepertinya saya tertarik sama dia. Tapi, saya tidak akan pernah main belakang seperti Anda, hehehehe ….” Alva terkekeh panjang. “Oh, jadi itu tujuanmu sebenarnya? Kau membela Elma karena kau menyukai perempuan kerempeng, pe
“Bang Arfan tak mungkin mau menceraikan Kakak! Karena aku tahu. dia itu laki-laki idiot tapi begitu tergila-gila pada Kakak!” “Kau yakin?” “Sangat yakin.” “Tapi, terus terang. Sebenarnya justru itu yang aku tunggu.” “Maksud Kakak?” “Sebenarnya, sudah beberapa kali aku minta cerai darinya. Aku bosan hidup miskin, dan yang paling penting, aku tak perbah cinta sama dia. Aku merasa hambar. Apalagi masalah ranjang. Dia itu tak pernah bisa memuaskan aku.” “Hemh, gak pernah puas kok, bisa punya anak dua?” “Kau tidak paham maksudku, Binsar! Apa perlu aku jelaskan secara mendetail? Lebih baik kita praktekkan saja langsung. Ayolah, kita ulangi yang tadi! Daripada stres! Kita lupakan sejenak beban pikiran kita.” Rosa menyibak selimut yang menutup tubuh polosnya, lalu berjalan tampa sungkan ke arah Binsar. Tangannya langsung mengalung di leher sang pria. “Maaf, Kak! Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan. Kepalaku sakit!” tolak Binsar. Namun, bukan Rosa namanya bila dia tak berhasil m
“Alva? Kau?” “Eh, Bang Arfan? Abang dari mana? Kenapa Bu Elma ditinggal sendirian?” Alva langsung bangkit. “Aku tadi di dalam, tapi mendapat telpon dari istriku, jadi aku bawa ke luar. Takut Elma terganggu.” “Oh, Istri Abang nelpon? Ada apa?” Alva mengerutkan kening, sengaja menyelidiki situasi ini. “Rosa kehabiasan uang. Dia minta ditransfer segera. Aku akan bangunkan Elma, takut Rosa kenapa-napa.” “Buat apa bangunkan Bu Elma?’ “Pakai uang Elma dulu, aku tidak punya uang sepeserpun.” Alva tercekat! Pria itu memutar otak, memikirkan cara menghalangi niat pria lugu ini. Tapi, bagaimana caranya? Dia teringat video yang sempat dia rekam tadi di penginapan kawasan Bandar Baru. Saat Rosa main kuda-kudaan dengan Binsar. Haruskah dia buka topeng si istri durjana itu sekarang? Apakah ini saat yang tepat bila video itu dia tunjukkan? Bagaimana kalau Arfan pingsan saat melihatnya? Atau tiba-tiba darah tingginya kumat, Arfan lalu drop, stroke, atau … aaach, Alva tak bisa membayangk
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca