“Eh, Riris! Op! Sini aku bantu! Ayo!” Arfan repleks menangkap tubuh ramping namun sangat sintal itu.“Pening, Bang! Kepala saya pening!” Riris mengalungkan tangannya di leher Arfan sambil memejamkan mata. Kepala dia sandarkan di bahu sang pria.“Abang bantu ke kasur kamu, ya! Ayo, jalan pelan-pelan!” bujuk Arfan merasa risih sekali sebenarnya. Apalagi saat merasakan tonjolan di dada Riris menempel erat di dadanya. Terasa begitu kencang dan hangat. Piyama tidur gadis itu yang tak terkancing sempurna, ditambah tak ada pelapis bra, membuat degup jantung Arfan tak karuan. Jiwa kelaki-lakiannya bergejolak hebat.“Saya tidak sanggup berjalan, Abang. Sepertinya pelipis saya terlalu banyak mengeluarkan darah. Saya kehilangan banyak darah, kepala saya pening, Abang!” rengek Riris makin mengeratkan pelukan.“Begitu, ya? Ya, sudah saya gendong saja kamu, ya! Hep!”Arfan yang lugu dan polos tak tahu akan drama wanita itu. Tanpa ragu dia menggendong tubuh sintal Riris menuju ranjang. Lalu dia let
“Ris! Udah selesai!” Arfan mencoba menggeser kepala Riris dari pangkuan, dan mengurai pelukan tangan gadis itu di pinggangnya.“Aku takut, Abang! Hick … hick … hick ...!” tangis Riris pecah lagi sembari mengeratkan pelukan tangannya di pinggang Arfan.“Kenapa taku? Takut apa?” Arfan kembali dia buat bingung.“Kenapa kepalaku peningnya gak hilang-hilang? Aku takut hantaman sudut pintu tadi membuat aku geger otak, abang, hick … hic … hick ….”“Enggak mungkinlah, Ris! Kan, yang kena hantam pelipismu, bukan bagian lainnya!”“Tapi aku takut.”“Kamu terlalu jauh mikirnya, Ris! Ya, sudah, kamu tenangkan dulu dirimu, ya! Aku akan menunggu sampai kau tenang, cep cep, udah jangan nangis!!” bujuk Arfan menahan hati yang mulai kesal. Dia harus bersabar sedikit lagi. Sedikit lagi.“Abang baik sekali, ya! Sabar, gak gampang marah, tidak seperti laki-laki lain! Bahagia sekali Kak Rosa mempunyai suami seperti Abang!” puji Riris kembali melancarkan aksinya.“Terima kasih sudah memuji Abang! Jadi g
“Ampun … sakit, Abang! Rintih Riris terpaksa mengikuti tarikan tangan Binsar. Jika melawan, maka jambakan di rambutnya akan bertambah kencang.“Kukira kau perempuan baik-baik! Kukira kau setia dan masih punya sedikit saja harga diri. Kukira kau bertingkah seperti lont* murahan hanya padaku saja. Kukira kau bersikap seperti pelac*r hanya bila di depanku saja! Aku begitu bangga karena kau selalu sangat memuaskankan. Aku begitu bangga menikmati setiap layananmu. Ternyata aku salah duga. Kau rupanya melakukan hal yang sama terhadap laki-laki lain pula! Kau murahan, Riris! Kau sampah!”Binsar menghentakkan tubuh Riris ke atas ranjang. Dengan kasar piyama gadis itu dia robek, hingga Riris benar-benar bugil. Binsar lalu melampiaskan kemarahan dengan caranya. “Sakit! Ampuun! Jangan begini, abang! Aku mohon, jangan sakiti tubuhku! Sakit ….” rintih Riris, namun tak dia hiraukan. Tubuh Riris dia perlakukan seperti binatang. Tak ada rayuan, tak ada kelembutan, apalagi cumbuan. Setelah pria it
“Tolong berhenti menangis! Saya sudah bilang, kan, saya benci melihat perempuan menangis?! Jadi, tolong! Tolong jangan nangis!” Bukannya kasihan, pria ini justru merasa sangat jengkel melihat Elma tetap menangis.“Ba-baik!” lirih Elma berusaha menghentikan tangis, meski isaknya masih terdengar sesekali.“Ibu tadi bermimpi, ingat, hanya mimpi! Jadi, tak perlu di tangisi! Saya berjanji akan melindungi anak-anak Ibu! Ibu tak perlu khawatir, ok!” tukas Alva penuh tekanan.“Ba-baik, Pak. Mertua dan suami saya ingin memisahkan saya dan anak-anak. Saya takut mereka beneran dibawa pergi lagi!”“Ya, saya sudah berjanji pada ibu bahwa saya akan melindungi mereka! Bagi saya janji adalah utang. Dan satu lagi, saya tidak suka basa-basi, ok! Sekarang Ibu tidur lagi!!” tegas Alva bermaksud meninggalkan perempuan itu untuk melanjutkan tidurnya di sofa.“Sebentar, Pak! Maaf, Bapak sebenarnya siapa? Kenapa Bapak ada di sini? Suami saya mana? Abang saya juga? Ke mana semua?” tanya Elma mengagetkan Alv
“Mama!” Vita terlihat begitu girang. Gadis kecil itu berlari menghampiri Elma. Memeluk lengan kanan yang tak ada selang infusnya, lalu menciumi pipi sang bunda.“Mammmma … ma … mamma ….” celoteh Tampan melorotkan diri dari gendongan seorang wanita berusia empat puluhan.“Mana Om Alva, Sayang?”Kalimat itulah yang pertama keluar dari mulut Elma. Mata cekungnya menanti seseorang muncul di ambang pintu. Tetapi, tak ada siapa-siapa lagi yang datang setelah itu. Elma meneguk ludah penuh kecewa. Kenapa?“Om Alva? Mama nyari Oom Alva?” tanya Vita membulatkan kedua matanya. Gadis kecil itu menatap Elma bingung. “Oom kan, jagain Mama tadi malam. Kata Oom Alva, dia jaga mama di sini, Vita sama Adek, disuruh bobok di rumahnya. Mama tahu, Ma, rumah Oom Alva besaaaaar sekali. Kayak rumah putri putri. Vita dan Adek bobok di kamar yang beeeesaaaar. Kami juga dibeliin baju baru sama Oom Andre.”“Oh, Om Alva jagain mama ya tadi malam?”“He em.”“Terus, Om Andre itu siapa?”“Abangnya Oom Alva.”“Oh,
“Tuh, kan, Buk! Pak Alva aneh! Dia begitu perhatian pada Ibuk dan anak-anak! Cobalah bujuk dia supaya mau jenguk Bu Nyonya, ya, Buk!” Bik Ning mengusulkan.“Bagaimana caranya, Bik? Pak Alvanya tidak ada di sini, bagaimana saya mau membujuk.”“Coba telpon!”“Saya tidak punya nomornya. Ponsel saya juga lowbat. Udah dari kemarin belum isi daya.”“Pakai hape saya, ini!” Bik Ning mengaktifkan lalu menyerahkan ponsel miliknya. “Itu sudah memanggil, mudah-mudahan Pak Alva mau mengangkatnya.”Elma menerima benda pipih itu, lalu mendekatkan ke telinganya.“Ada apa Bik Ning? Bu Elma enggak kenapa-napa, kan? Apa dia pingsan lagi? Atau anak-anak, ya? Kenapa anak-anaknay? mereka baik-baik saja, kan? Aku udah kirim seorang pengasuh ke situ! Harusnya udah sampai. Pokoknya Bu Elma tidak boleh stres dan kepikiran tentang anak-anaknya! Kalian urus Vita dan Tampan dengan baik, ya! Oh, iya, ada apa tadi nelpon saya?”Elma tercekat. Kerongkongannya bagai disekat. Wanita itu tak sanggup lagi berkata-kata.
“Wah, ide bagus itu, Kak. Kita bergerak sekarang? Kakak siap?” tanya Binsar penuh semangat. Tak mengira kalau ancaman sang kakak ipar ternyata menguntungkan baginya.“Semangat sekali kamu! Tapi ada syaratnya, tentu!” Rosa tersenyum samar.“Syarat lagi?” Binsar mengernyitkan dahinya dengan kencang. Hatinya kembali tak enak.“Iya, dong!”“Apa, Kak?”“Kita pergi berdua saja! Gak boleh ikut si Riris. Aku gak ngelarang kalian pacaran, selama kamu belum jatuh hati padaku.”“Maksud Kakak?”“Aku kok, pengen diperlakukan seperti kau memperlakukan Riris tadi malam?” Rosa meletakkan bokongnya di pinggir kasur. Tepat di samping sang adik ipar.“A-apa? Ma-maksud Kakak? Kak Rosa bercandanya jangan gitu, dong, Kak! Sebenarnya yang Kakak dengar tadi malam di kamar Riris itu tak seperti yang Kakak bayangkan!” Binsar menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Memangnya kamu tahu apa yang aku bayangkan?” tanya perempuan itu menatap tepat di bola mata Binsar. Sang pria menoleh ke arah lain, sungguh dia
Delapan belas orang karyawan toko mengangguk hormat dan patuh. Masing-masing mengerjakan tugasnya. Para supir dan kenek pengantar barang orderan segera mengeluarkan empat mobil truk dan empat pick up. Yang lainnya segera membuka toko, membersihkan dan mengatur segala sesuatunya yang perlu dirapikan.Selanjutnya mereka akan menunggu perintah dari Riris sang kasir toko sekaligus orang kepercayaan Bos. Memuat orderan ke dalam truk atau pick up, lalu mengantar ke alamat pemesan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Riris belum juga muncul di mejanya. Para karyawan menganggur semua.Sementara Bik Darmi juga mengerjakan tugas-tugas rutinnya. Membersihkan seluruh rumah, memutar mesin cuci, menjemur lalu memasak untuk makan siang. Namun hari ini dia kebingungan mau masak apa. Tak ada bahan makanan yang tersedia di kulkas untuk dia olah.“Maaf, Buk? Saya harus masak apa hari ini?” tanya wanita itu memberanikan diri mendekati Bu Risda yang tengah menikmati sirih di teras samping rumah.“Ko
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca