“Enggak, Tante! Itu enggak benar! Lepasin, Tan! Sakit!” pekik Nirmala mencoba melepaskan cengkraman tangan Riani. “Tapi perempuan hamil tadi sempat menunjukkan pada Tante, foto Elma dan Alva berdiri di dekat pintu pagar rumahnya. Saat itu mantan mertua Elma datang mengacaukan pernikahan mereka. Tante melihat sendiri melalui foto yang ditunjukkan oleh wanita hamil tadi! Makanya tante mau ikut bersamanya!” Riani malah mengencangkan cengkramannya. “Foto? Enggak mungkin Tante! Itu enggak mungkin!” “Elma mengenakan gaun pengantin yang sangat cantik dan mewah. Alva benar-benar menikah diam-diam! Tante ingin ke sana mau menggagalkan. Tante enggak ihklas Alva menikahi perempuan tua, gak bisa punya anak! Janda lagi! Tapi kau mengehentikanku Nirmala! Kau memang bangsat! Aku benci kauuuu …!” Tiba-tiba tangan Riani yang mencengkram bahu berpindah ke leher Nirmala. “Kucekik kau , Nirmala! Kucekik kau! Mati aja kau, bodoh! Kau bodoh! kau bodoh!” “Lepasin Tante, aaauw, huk …huk … huk ….” N
Bab 178. Mencoba Bangkit Setelah Hancur Lebur “Aku seperti mengenalmu! Wajahmu mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Sebentar!” Rini menyipitkan kedua matanya, berusaha mengenali Andre. Semua menahan nafas, khawatir kalau Riani bertindak di luar kesadarannya. “Oh, aku ingat sekarang. Kau anak Ranita, kan? Kau anak dari hasil zina ibumu! Kau anak haram! Sini kau!” Tiba-tiba Riani melompat dan langsung mencekik Andre. Entah bagaimana bisa tenaga perempuan setengah baya itu tiba-tiba bisa menjadi begitu kuat. Andre bahkan tak bisa meloloskan diri dari sergapannya. Nirmala dan beberapa ART langsung berusaha menolong Andre. Namun tak juga berhasil. “Riani! Lepaskan Andre!” Suara serak Sinulingga memohon. Pria uzur itu tak mampu berbuat apa-apa selain menghiba. Tubuh rentanya semakin lemas. Pacu jantungnya makin tak normal. Sinulingga syok, dan semakin merasa sesak. Wajahnya kian memucat. “Leppp … pas, Ma! Li … hat Ka … kek! Kakek se … perti … nya, lemas banget, Ma! Lep
Bab 179. Malam Pertama Alva dan Elma Sebuah mobil mewah dengan hiasan bunga dan pita di sekelilingnya terlihat memasuki halaman sebuah hotel. Sebuah hotel termegah dan termewah yang terletak tepat di jantungnya kota Medan. Security hotel berlari menyambut, sedikit membungkukkan badan, lalu membukakan pintu mobil buat sepasang pengantin. “Kita turun, kamu sudah siap?” tanya Alva menoleh kepada wanita di sampingnya. Elma, wanita yang berusia beberapa tahun di atasnya. “Siap untuk apa?” Wanita itu balik bertanya, kedua alis indah miliknya saling menaut, menatap Alva penuh tanya. “Eeeem, siap … ah, kamu? Untuk apa Kakek menyediakan kamar hotel buat kita, coba?” Alva menyentuh lembut puncak hidung bangir Elma. “Oh, maksud Abang, siap untuk ….” Elma menjeda kalimatnya. “Untuuuuuk …?” Alva menanti dengan mimik penuh harap. “Hem, mereka ngeliatin kita, jadi turun enggak, nih?” “Jawab dulu, baru kita turun!” “Baiklah, aku siap, Bang Alva ….” “Terima kasih, Sayang! Aku bahagia men
“Bang Al …?” panggil Elma penuh penyesalan. “Sudahlah! Sepertinya kamu lelah dengan acara yang tiba-tiba tadi. Tidurlah!” “Bukan begitu! Tolong jangan salah paham, dong!” “Lalu kenapa kamu merasa engak tenang, coba? Sepertinya ada yang kamu takutkan. Kamu takut kalau suami pertama kamu tiba-tiba datang dan mengerebek kamar ini, begitu? Kamu itu sudah sah bercerai dari Binsar, bukan, El? Aku sudah menikahimu, secara sah! Kita di sini untuk berbulan madu. Kakekku sengaja menyediakan semua fasilita sini untuk kita. Kita tidak sedang selingkuh, Elma!” “Ya, aku paham.” “Sudahlah! Sebaiknya kamu tidur saja! Aku mau ke lantai bawah, sakit kepalaku!” Alva beringsut turun dari ranjang. “Bang Al!” spontan Elma menahan lengan sang suami. “Maaf … jangan merajuk, gitu …! Aku hanya kepikiran anak-anak. Bukan yang lain-lain!” ucapnya berterus terang. “Anak-anak? Maksudnya?” sergah Alva mengernyitkan kening. “Ya, aku gak bisa konsentrasi karena itu.” “Jadi karena kau ingat anak-anak,
“Aku kok, curiga, kenapa Anyelir buru-buru pulang, ya?” Elma bergumam, namun masih terdengar jelas oleh Alva. Mereka berjalan sambil saling merangkul menuju kamar.“Kata Yogi, anak Kak nyelir nangis dari tadi nanyain mamanya, kan, kamu sendiri dengar tadi, Yank!” jawab Alva mencoba menenangkan hatinya. Sesungguhnya dia juga merasa curiga. Bukankah awalnya Anyelir begitu semringah, bahkan sempat bercanda menggoda Elma. Tiba-tiba sang kakak berubah tegang saat Yogi membisikkan sesuatu di dekat telinganya.Sebenarnya apa yang dibisikan Yogi? Ada masalah kah? Apakah ada kejadian di rumah? Apakah Mama membuat ulah. Berbagai perasaan campur aduk di hatinya.“Sayang, sekarang Abang yang ngelamun, kan?” Elma mengelus lembut bahu suaminya.“Ah, tidak, kok! Udahlah, lupakan saja! Aku kunci pintunya dulu, Sayang!” Alva menepis segala keresahan.“Aku akan nelpon Nirmala, Bang. Buat memastikan keadaan di rumah Abang. Biar kita tenang, ya!” Elma mengusulkan.“Hem.” Alva mengangguk, lalu mengik
Bab 182 Jerit dan Racau Nikmat di Kamar Hotel (21+)“Bang Alva, aku mau sekarang. Boleh, ya!” pinta Elma seraya memindahkan tangannya ke dada Alva. Jemari lembutnya mulai meraba, lalu perlahan turun ke perut Alva.Sebisa mungkin Alva bertahan untuk tetap dengan posisinya. Menahan rasa asing yang mulai menjalar dari sentuhan lembut jemari Elma di dada dan kini di areal perut rata miliknya. Rasa yang kian menghentak, menyusup ke setiap relung kalbu dan mulai menciptakan hasrat.Sentuhan Elma sukses membuatnya melayang. Hasrat yang menyerang itu membuncah liar, meyerang syaraf-syaraf otak mencipta birahi yang yang tak lagi mungkin dia tahan. Alva sudah terbakar ingin yang menuntut untuk di tuntaskan. Sekarang, tak mau ditunda.“Sayang …,” desah lembut dari bibir Elma serta terpaan hangat nafas wanita itu menyentuh punggungnya, seperti pemantik yang membuat Alva sontak berbalik.“Sayang, aku … aku tak tahan lagi,” lirihnya menatap sayu tepat di manik mata wanitanya.“Hem, aku juga ma
“Ma, kenapa jadi begini?” Anyelir mengusap lembut bahu ibunya. Air mata lolos begitu saja dari kedua netra. Namun, sang bunda tetap diam tak bersuara.“Aku tahu kalau Mama sangat kecewa dengan semua yang terjadi. Mama sangat kecewa pada Papa, kecewa pada Bang Andre, kecewa pada Alva. Bahkan, Mama juga sangat kecewa dengan keadaan rumah tanggaku. Aku tahu Mama sangat lelah dengan semua ini, Ma! Tapi, kita bisa berbuat apa? Tidak ada selain ihklas menerima,” tutur Anyelir lagi berusaha menghibur hati sang bunda.Namun, Riani tetap tak merespon. Tatapan mata wanita itu kosong, jauh entah ke ujung mana. Wajah kusutnya terlihat makin tak ada warna. Riani tak lagi berkespresi.Itu membuat Anyelir makin sedih. Dia sudah kehilangan suami yang telah berkhianat, kehilangan papa yang ternyata seorang durjana, sekarang, haruskah dia juga akan kehilangan sang bunda?“Tidak, aku tak akan sanggup, Ma! Aku tak akan sanggup menghadapi semua ini! Aku tak akan bisa, Mama …!” lirihnya menahan pe
Untuk pertama kalinya Riani merespon setelah dari kemarin hanya diam tak berekspresi. Celoteh Vita dan Tampan mampu mengusik hatinya. Namun, entah kenapa air mata deras mengalir di pipinya.Anyelir berdebar, ada rasa lega tapi sekaligus khawatir mengaduk perasaannya. Lega, karena ternyata ibunya ternyata mau merespon lagi. Khawatir, karena yang dia respon ini adlah anak-anak Elma. Wanita yang sangat dibenci oleh ibunya saat ini. “Nenek … Nenek, nangis?” Vita nekat memanjat bankar untuk menggapai pipi Riani. Tampan ikut merengek minta naik juga. Sontak Titian mengejar untuk mencegah. Anyelir berbuat yang sama.“Biarkan!”Semua terpana. Itu tadi adalah suara Riani. Perempuan yang masih berurai air mata itu bahkan sudah mau berbicara. “Ma?” panggil Anyelir tak percaya sambil terus berjaga-jaga. Biar bagaimanapun dia harus tetap waspada, kalau-kalau tiba-tiba Riani mengamuk dan membahayakan kedua anak itu.“Nenek, napa nangis? Nenek sakit, ya? Jangan nangis! Dulu, Mama Vita juga
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca