“Saya tidak setuju!” sahut Binsar cepat. Itu mengagetkan Arfan.“Kenapa pula kau tidak setuju! Jadi kau lebih suka si Elma menderita digrogoti penyakitnya itu? Biar apa, ha?” tanyanya menatap tajam sang adik ipar.“Ya, aku tidak tega saja, Bang.”“Tidak tega apa?”“Ya, aku gak tega, si Elma selama ini, kan, tidak mau menjalani operasi karena takut mati. Kenapa pula aku harus melanggar itu pada saat dia pingsan. Aku tidak mau dia kecewa saat dia sadar nanti, Bang!”“Elma sudah sadar! Tetapi dia tak mau bicara! Kau dengar apa kata perawat tadi, kan?”“Itu sebabnya, kita tak bisa melakukan tindakan operasi tanpa persetujuannya. Jika dia tidak mau bicara itu artinya dia tidak setuju!”“Banyak kali alasan kau! Sudah, kau tanda tangani saja surat pernyataan itu! Mengenai biayanya Pak Andre sudah mau bertanggung jawab! Apa lagi yang kau tunggu?”“Maaf, Bang! Aku tidak mau!”“Astaga! Kau benar-benar lebih suka istrimu meninggal, rupanya!”“Tidak, bukan begitu! Justru karena demi keselamatann
Elma terlihat makin lemah. Wajah pucatnya kian putih seperti kapas. Bahu kurus itu terguncang, seperti menahan tangis sesegukan.“Kamu harus kuat, El! Kamu pasti bisa melewati ini!” ucap Arfan menggenggam tangan adiknya.Wanita kurus itu bergeming. Hanya air mata yang mengalir deras di kedua pipi.“Tolong jangan menangis! Kamu jangan ambil hati semua ucapan Binsar! Aku dan kakakmu Rosa tak ada niat sedikitpun untuk mengambil alih tokomu! Itu milikmu sah, Dek!” bujuknya.“Anak-anak, to …long … jaga!” lirih Elma terbata-bata!”“Iya, aku akan jaga! Kamu tenang saja, ya! Ada Abang!”“Vita … dan … Tampan, a … kan … tetap … ber … sama … ku …, kan, Bang …?”“Iya, pasti! Mereka anakmu, tentu saja akan tetap bersamamu!! Sekarang, jangan memikirkan apapun, ya! Kamu harus tetap semangat! Kuat! Yakin! Aku akan menjemput anak-anakmu ke rumah, begitu kau selesai operasi, orang pertama yang kau lihat adalah anak-anakmu! Itu janjiku!”“Hem!”“Sampai di sini, ya, Pak! Bapak tidak boleh masuk!” Peraw
“Makan dulu, Sayang! Bangun, yuk! Aku udah beliin nasi padang, itu!” Titian mengusap lembut punggung Alva. Pria yang tidur dengan posisi tengkurap di kasur lantai miliknya.“Hemmmh!” Pria itu menggeliat, berbalik, lalu merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan, tak lama kemudian terpejam lagi. Bahkan suara dengkurannya kembali terdengar halus.“Al, bangun dulu, Sayang!” Gadis itu membelai lembut pipi Alva.“Apa, sih! Aku ngantuk, sudah seminggu tidak tidur!” tolak Alva menepis tangan Titian lalu kembali terpejam.“Setelah makan, kamu lanjut bobok lagi, sampai pagi juga tidak apa-apa, ayo! Makan dulu pokoknya!” Lagi-lagi Titian membelai wajah Alva.Itu membuat sang pria murka. Tangan gemulai gadis itu dia sentak dengan kasar. Tubuh Titian terjerembab jatuh tepat di atas dadanya. Wajah mereka bahkan saling berbenturan tepat di hidung Alva. Sekarang, pipi gadis itu menempel di pipi Alva.“Sakit, Al!” lirih Titian mengusap keningnya.Alva juga nerasakan sakit di tulang hidungnya. Keni
“Kenapa tidak kau bilang dari tadi! Sampai-sampai rela aku mengemis pada si Titian yang menjengkelkan itu biar bisa sembunyi di kos kos-annya. Asem kali kau, bah!” maki Alva menahan geram dan kecewa.“Aku sudah bilang sama Tian! Apa dia tidak bilang sama kamu?” Andre berusaha tetap sabar.“Tidak! Dasar betina! Pasti dia sengaja tidak memberi tahu aku, agar aku berlama-lama tinggal di kos-annya. Udahlah! Lampu hijau bentar lagi, ini! Aku matikan hapeku! Satu lagi, jangan sok akrab pula kau nelpon-nelpon aku terus! Kita sudah tak ada hubungan kekeluargaan, aku bukan siapa-siapamu lagi, paham! Kau urus saja papa kau yang hebat itu!” ketus Alva.“Tunggu, Al! Jika kau masih mengaku sebagai manusia yang punya hati nurani, tolong kau selamatkan Bu Elma! Anggap saja itu sebagai penebus kesalahanmu karena sempat menculiknya! Ngerti kau!”“Pers*tan denganmu Andre! Tak usah kau atur-atur hidupku, bangs*t!”“Ini masalah nyawa, Al! hallo! Hallo! Alva!”“Aku tak peduli!”Alva menutup telponnya
Satu menit kemudian, sebuah pesan masuk dari Riris. Lokasi di mana anak-anak Elma saat ini berada. Sebuah restoran cepat saji di jalan Jamin Ginting. Waw, lokasinya tidak terlalu jauh dari posisi Alva saat ini.Sebuah pesan gambar masuk lagi dari nomor Riris. Segera Alva mengunduhnya. Foto seorang gadis kecil tiga tahunan dan seorang anak laki-laki belum genap satu tahun. Cantik dan tampan.[Jangan salah sasaran. Saat ini mereka bersama neneknya di restoran cepat saji itu. Neneknya ada di pihak kita. Abang kode saja dia. Maka dia akan pura-pura masuk ke toilet untuk memberi orang-orang Abang bekerja. Bawa mereka ke terminal Bus di Simpang Kuala! Aku menunggu di sana. Bus Jurusan Kaban Jahe. Good Luck!]Demikian pesan berikutnya dari Riris. Alva tersenyum tipis.Pria itu langsung menscroll daftar kontak. Setelah menemukan nomor atas nama Yogi, telunjuknya langsung menekan symbol telepon. Tak menunggu lama, panggilannya langsung diangkat.“Gi, segera meluncur ke restoran cepat saji *
“Om, jangan culik kita, ya, Om! Kita mau pulang! Mau sama nenek aja, Om!” Kembali suara Vita memelas. Itu membuyarkan semua kekacauan di dalam benak Alva.“Diam dulu! Jangan berisik, ok! Biar Om mikir, dulu! Tuh, suruh adek kamu diam!” perintah Alva berusaha tetap lembut agar tak menakuti kedua bocah itu.Ponsel pria itu tiba-tiba berdering. Pria itu melirik ke arah layar. Nomor Riris tak henti memanggil.“Ya,” sahut Alva dengan enggan. Ada benci yang mulai tumbuh di sanubarinya.“Mana anak-anak itu, Bang? Kok belum sampai di terminal! Ini udah malam banget!! Sebentar lagi Bus terakhir malam ini akan berangkat! Aku harus nunggu besok pagi lagi, kalau ini aku telat, Bang!” cerocos Riris sangat tidak sabar.“Dalam perjalanan! Sabar!” jawab Alva singkat. Dia langsung menon-aktifkan ponselnya. Pria itu kini fokus kepada Vita dan Tampan.“Kita ketemu mama kalian, yuk!” bujuknya dengan suara lembut.“Ketemu mama?” ulang Vita tak percaya.“Hem, liat tuh! Itu rumah sakit, kan? Mama kalian ad
“Vita …! Ini kamu, Sayang? Dan itu adek Tampan?” Arfan sontak berdiri, lalu berjalan menyongsong sang keponakan. Tubuh mungil Vita tenggelam di dalam pelukannya.“Iya, Paman. Ini Vita. Itu adek Tampan. Paman di sini? Bibik juga?” Wajah cantik Vita terlihat semringah menoleh ke arah Rosa.Sudah sangat lama dia merindukan keluarga dari pihak ibunya. Setiap dia utarakan keingiannya, sang nenek tak pernah meluluskan. Kali ini, tanpa dia duga-duga mereka bisa bertemu juga. Meskipun wajah sang Bibik tak pernah sedap untuk dia pandang, namun tertutupi dengan limpahan kasih sayang dan perhatian dari sang paman.“Vita mau salim sama Bibik dulu, Paman!” pintanya seraya meloloskan diri dari pelukan Arfan.“Iya, Sayang!” Arfan melepas pelukan, lalu menyambut Tampan yang berada di dalam gendongan Alva. Sementara Vita menyalam dan mencium punggung tangan Rosa.“Bibik! Bibik juga mau ketemu Mama Vita, kan? Mama Vita di dalam, kan? Dokter obatin Mama Vita, kan, Bik?” tanyanya memastikan kalimat yan
“Maaf, Pak! Tolong tunggu di luar saja! Pasien sedang sangat gawat! Jangan ganggu konsentrasi Dokter, ya! Apalagi ini bawa anak-anak segala!” Seorang perawat langsung menghadang saat Alva membuka pintu ruangan. Wajahnya terlihat sangat masam. “Dokter sedang berjuang, keluarga dimohon bantu doa, bukan malah mengganggu!” omelnya.“Bocah-bocah ini adalah anak Bu Elma! Mereka ingin bertemu ibunya dalam keadaan hidup untuk yang terakhir kalinya, harap Suster paham!” tegas Alva menerobos masuk.“Tapi, Pak! Dokter bisa marah dan mengganggu konsentrasi mereka, tolong ….”“Biarkan saja Suster!”Seorang Dokter yang paling sepuh berteriak. Sang perawat mengalah.“Mama …!” Vita melepaskan tangannya dari pegangan Alva, lalu berlari ke arah ranjang pasien.“Ma … ma … mama … mama ….” Tampan ikut melorotkan tubuhnya dari gendongan Alva lalu berlari menyusul kakaknya.“Tuh, kan, mereka pada ngurusuhi!” perawat langsung mengejar hendak menghalangi kedua bocah itu mendekati Elma.“Biarkan saja, Suster!
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca