“Terima kasih karena telah bersedia menampung saya selama ini! Saya pamit!” ucap Andre lalu melangkah gontai meninggalkkan wajah-wajah yang terperangah masih tak percaya.“Stop!” Teriakan itu menggelegar. Sang kakek terlihat gemetar dengan wajah memucat.Andre menghentikan langkah, namun tak hendak berbalik lagi. Suasana bertambah tegang. Beberapa detik berikutnya, Andre melanjutkan langkah lagi. “Berhenti Andre!” Kembali sang Kakek berteriak.Pun Andre tak menghiraukan. Hatinya telah beku. Kesakitan yang dia alami selama ini seolah bergolak di dalam ingatan. Semua peristiwa seolah diputar ulang. Segala kalimat kasar yang pernah terlontar, berdengung tak tentu arah, berseliweran di kepala, berlomba mengeksistensikan diri.Andre terhuyung lemas.Kenapa baru sekarang terasa sakitnya. Kenapa baru sekarang jiwa yang tak pernah berkeluh kesah itu rasa terkoyak. Terluka meski tak berdarah. Sakit ini terlalu parah ternyata. Sukma yang selama ini telah mati rasa, seolah terjaga.Terja
“Aku kenapa sebenarnya? Tadi malam itu, aku … aku rencananya mau ke rumah Elma. Tapi, kok aku malah tidur di kamar dan aku gak tau apa-apa sama sekali. Aku masih bingung ini, Kak. Tiba-tiba dibangunin Kakek dan dia minta aku batal berangkat. Sebenarnya ada apa, sih, Kak?” Alva seperti orang bodoh.“Kamu mandi saja, nanti di mobil aku ceritakan! Ayo, cepat! Kopermu udah disiapkan oleh Bibik kemarin! Kamu tinggal berangkat aja! Aku yang ngantar! Kita sarapan di Bandara saja!”“Aku mau ketemu Elma dululah, Kak!”“Alva? Tolong ikuti perintah Kakak kali ini saja, ok?”Anyelir membulatkan matanya, mendelik kepada Alva.“Kau mau menikahi Nayra? Kalau kau tidak mau menikahi Nayra, cepat tinggalkan negara ini, titik!” tegas sang Kakak masih melotot tajam.Alva melihat ada yang berbeda kali ini dengan sikap sang Kakak. Begitu tegas. Kenapa Kak Anyelir yang biasanya lemah lembut, kalau bicara pada Alva selalu merayu dan memanja, kali ini terlihat sangat kasar dan memaksa?Alva penuh tanya, te
“Alva! Anyelir! Kenapa belum masuk! Lapor, dulu, ayo!”“Bang Andre! Elma ….”Ternyata, meskipun Andre telah meninggalkan keluarga besarnya, tetapi dia tak pernah bisa meninggalkan Alva. Pria itu hadir di saat yang sangat tepat. Dia bahkan membawa serta Elma, penyemangat hidup sang adik tercinta. Kenapa Andre begitu peduli pada Alva? Apakah ada ikatan batin di antara mereka? Atau, apakah karena ada hubungan darah yang begitu kental?“Bang Andre … Abang datang?! Abang bawakan Elma juga?” Alva segera bangkit, melangkah memburu sang kakak sulung. Memeluk begitu erat.Detik ini, segala prasangka buruk menguap. Segala kebencian yang sempat tertimbun di dalam sanubari Alva luntur, hanyut bersama titik air mata yang lolos di kedua sudut mata elangnya. Pria itu tersedu dalam haru.Bagaimana bisa, sang kakak yang tiada henti dibencinya ini ternyata begitu peduli padanya. Bahkan, dari semua keluarga besarnya, hanya Andre yang tau isi hatinya. Hanya Andre yang paham, apa yang sedang diinginka
“Terima kasih, El!” Alva mengeratkan pelukan.“Hem,” sahut Elma pelan.“Al! Sudah waktunya! Petugas sudah memanggil namamu dua kali!” Andre mengusap bahu sang adik.“Ya, baik!” Sang pecinta terpaksa melepas pelukan. Mengecup ujung jemari Elma sekali lagi, lama, dalam, dan penuh perasaan.“Aku pergi!” lirihnya kemudian, bersamaan dengan suara panggilan untuk ketiga kalinya memanggil namanya.Lalu, doa-doa mengiring langkah kakinya. Doa yang terucap dari bibir tiga orang yang begitu mencintainya.“Kau menangis?” Lembut suara Anyelir menyodorkan tisyu kepada sahabatnya. Elma, wanita yang telah mengisi relung hati adik kesayangannya.“Ti tidak!” sahut Elma menyeka cairan yang tiba-tiba mengisi rongga hidungnya.“Menangislah! Gak usah malu! Kasihan hidungmu! Air mata itu harusnya ngalir dari mata, bukan dari hidung! Itu karena kau menahannya! Sini!”Anyelir merentangkan kedua tangan, Elma menubruknya, sesegukan di bahu sahabatnya.“Maaf, aku telah lancang jatuh hati pada adikmu, An! Seben
“Ini kuncinya, Bu! Saya langsung pulang, ya!” pamit Andre seraya mengembalikan kunci mobil Elma.“Bapak naik apa?” tanya Elma meski merasa sungkan.“Gampang, ada banyak ojek di pengkolan sana, hehehe … saya cabut, ya! Kalau ada apa-apa, jangan segan telpon saya! Itu janji saya pada Alva, bukan? Menjaga Bu Elma!”“Terima kasih, Pak Andre!”Pria itu langsung pergi menemui dua anggota Alva yang berjaga tak jauh dari rumah Elma. Memerintahkan keduanya agar menjaga Elma dan anak-anaknya dengan baik, baru menghilang dengan naik sebuah ojek.Sedangkan Elma langsung masuk ke dalam rumah. Benar dugaan Andre. Elma termangu di ambang pintu tengah, saat menyaksikan banyak saudaranya dari kampung telah berkumpul di ruangan itu.Yang paling membuatnya bingung adalah, saat melihat kedua mertuanya, juga orang tua Riris ada di antara mereka. Bukankah kemarin mereka semua digelandang ke kantor polisi? Kenapa sekarang ada di rumahnya bareng keluarga Elma dari kampung?“Eh, mamak Vita …! Kau sudah pul
“Kam yang dulu begitu baik, lembut, sopan, sayang pada keluarga, tiba-tiba bisa berubah kejam dan tak berperikemanusiaan begitu? Tega kam membiarkan orang-orang tua ini mendekam di dalam tahanan. Di mana otakndu, Elma?”“Itu … gara-gara laki-laki itu!” teriak Risda menyela. Elma tersentak kaget, namun masih berusaha tenang.“Dia sudah berselingkuh dengan laki-laki itu! Makanya dia minta pisah dengan Binsar!” lanjutnya dengan wajah garang dan tatapan nyalang menunjuk tepat ke wajah Elma.“Iya, kami melihat dengan mata kepala kami sendiri, bagaimana laki-laki yang bernama Alva itu masuk ke dalam kamarnya! Bayangkan, tak ada rasa malunya, laki-laki itu mengantar dia masuk ke dalam kamar!” Ibu Riris menimpali.“Harga diri kami sudh tercoreng! Perempuan ini sudah kami beli! Tetapi dia berani memasukkan laki-laki ke daalm rumah ini! Kami, selaku keluarag pihak suami, mengatakan dnegan tegas bahwa, kami tidak terima! Perempuan ini harus membayar mahal atas perbuatannya. Bayar secara adat!”
“Kau memasukkan laki-laki ke dalam kamarmu di depan mata kami waktu itu! Karena kami marah dan menegurmu, llau preman itu memukuli kami! Kau malah menelpon polisi. Dengan menyogok polisi, polisi itu malah menggelandang kami ke tahanan, seolah kami yang bikin keributan! Kau tak bisa mungki lagi, Perempuan murahan!” Ayah Riris ikut berdiri, menuduh dengan segenap kalimat yang paling kasar. Kalimat dusta karangan.“Elma! Kau …. Kau sudah buat malu ayah aku di kuburan sana! Ayah kau menangis darah karena malu liat tingkahmu ini, Elma!” teriak Rudang meremas reams rambutnya sendiri. Air ludahnya yang berwarna merah karena sirih muncrat ke mana-mana.“Kam tidak bisa mengelak lagi, Elma. Ada saksi, dan bukti.” Rustam berkata lemah.“Kau bayar setengah milyar, atau kau cabut gugatanmu terhadap Binsar dan Riris!” Ayah Binsar kembali mengancam.“Maaf, saya menganggu!” Tiba-tiba Titian menerobos masuk.“Siapa kau! Ini masalah keluarga, keluar!” Lagi-lagi Ayah Binsar berteriak seraya menunjuk ke
“Jaga mulutmu!”Lagi-lagi, kedua ibu-ibu yang sudah bonyok tadi hendak menyerbu Rudang. Tetapi langsung digagalkan oleh para lelaki di situ.“Aku akan tuntut kau! Pencemaran nama baik kau itu! Iya, kami akui memang si Binsar ada niat hendak menikahi si Riris. Karena Riris itu pariban kandungnya! Tapi mereka tak pernah berselingkuh di depan si Elma!” teriak ayah Binsar.“Ada buktinya di hape si Arfan! Aku sudah liat sendiri, seperti apa sepasang manusia tak berotak itu berciuman di depan Elma saat di rumah sakit, menceritakan bagaimana si Riris lebih hebat melayani si Binsar di tempat tidur, lalu menyuntikkan racun mematikan ke selang infus Elma!”“Mana buktinya! Mana hape yang kau bilang itu?” Ayah Riris menunjuk geram wajah Rudang.“Sama Arfan! Hapeku ini tak bisa nyimpan video. Cuma bisa nelpon dan SMS!”“Artinya kau tak bisa buktikan, kan? Kau akan kupenjarakan! Rustam, kau tangani perempuan gila ini! Sama gilanya dia seperti permainnya si Elma rupanya! Satu keturunan, wajarlah!”
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca