Aku mengalah, Mas. Demi Ibumu! 60"Maafkan saya, Bu. Banyak yang meminta saya untuk melanjutkan pekerjaan Ibu untuk menjadi penjahit. Saya harus resign dari butik," ujar Reni lirih. Ia datang ke butik untuk mengundurkan diri. Aku terperanjat mendengar ucapannya. Ini terlalu mendadak. Bahkan aku tak bisa mencari pengganti dalam waktu secepat ini. Namun aku tak bisa untuk tak menuruti kemauannya karena itu hak masing-masing orang. Pagi ini Reni datang ke butik untuk menyampaikan keputusannya untuk resign. Ia lebih memilih meneruskan pekerjaan Ibunya karena banyak pelanggan yang mengharapkan karyanya. Aku tahu Reni adalah anak yang telaten dan terampil maka tak heran hasil jahitannya digemari pelanggan. Reni sedang duduk bersamaku di depan meja kasir. Ia sedang bebas hari ini setelah beberapa hari sibuk mengurusi pengajian almarhumah Ibunya. "Saya tak bisa menolak keputusanmu, karena itu hak kamu. Yaa, semoga saja kamu menjadi penjahit yang sukses."Aku mencoba memposisikan diri menj
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 61"Kamu dulu dekat sama Mas Yusuf?" tanyaku pada Aini. Kami sedang berjalan bersisihan sambil dia mendorong troli belanja kami. Aku mengajaknya untuk berbelanja sambil berbincang agar aku lebih mengenal dirinya. Agar perkenalan ini lebih terkesan natural dan santai. "Emmm deket banget sih enggak, Bu. Cuma kan kami sekelas terus jadi ya kayak biasa gitu. Temenan baik." Bibir Aini tersenyum merekah. Dari sinar wajahnya, seperti ada gurat merah dari pipinya yang tersungging ke atas karena senyumannya."Oh." Aku tetap mengamati wajah perempuan di sebelahku ini. Sebenarnya sejak awal aku sudah kurang begitu suka dengannya, tetapi aku berusaha menghargainya sebagai teman Mas Yusuf, juga karena aku telah melihat sendiri bagaimana hubungan keluarganya kemarin. "Masuk ke lorong mana ini, Bu?" tanyanya ketika kami berada di depan beberapa lorong. "Kita cari buah dulu. Mas Yusuf suka sekali buah-buahan," ujarku sambil menunjuk lorong sisi kiri tempat buah-buaha
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 62Rumi sedang mewarnai bukunya di lantai. Ia menghadap meja lipatnya dengan krayon yang tertata rapi di dalam wadahnya. Sedangkan Mas Yusuf tengah berbincang dengan Aini dengan santainya. Mereka berdua duduk di lantai bersebelahan dengan Rumi. Sesekali Rumi menimpali obrolan mereka yang kudengar tentang masa sekolahnya. "Dulu, ayahmu itu pendiem banget. Nggak suka banyak ngobrol sama teman perempuan," ujar Aini sambil mengupas buah jeruk dalam wadah."Iya kah? Mbak Aini kenal sama Ayah?" sambut Rumi sambil tangannya terus mewarnai kertas di depannya. "Iya, Mbak Aini dulu teman sekelas Ayahmu. Iya, kan Mas?" sahut Aini dengan tatapan lurus pada wajah Mas Yusuf. Sayangnya yang ditatap sibuk dengan televisi yang menyala di depannya. "Kamu cewek paling genit sekelas!" desis Mas Yusuf tanpa melihat wajah pembantu di sebelahnya. "Genit? Relatif, Mas! Karena kamu bukan tipe laki-laki yang ramah sama cewek, jadinya liat aku gitu kamu udah underestimate aku
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 63"Silahkan makan, Bu. Saya permisi pulang dulu," ujar Aini setelah meletakkan piring di meja makan. Pekerjaannya telah selesai. Ia meminta izin untuk pulang setiap hari karena masih ada anak di rumahnya. Zahra tak perlu pergi mencari tempat kos. Biarlah ia tinggal bersama kami di rumah ini. Karena aku yang telah membawanya dari desa, biar ia tetap tinggal di lingkungan kami. "Iya, makasih ya?" sahut Mas Yusuf. Ia tersenyum ramah sambil tetap menggandengku menuju meja makan yang sudah tepat di hadapan kami. "Sama-sama," jawab Zahra sambil mengangguk ramah. Ia kemudian berjalan ke arah belakang untuk mengambil tas juga jaketnya. Aku memutuskan untuk tak lagi bersuara. Masih ada sedikit rasa kesal setelah kejadian tadi sore. "Kamu, tumben sih, manja banget," lirih Mas Yusuf sambil mengusap lembut pipiku. "Tiba-tiba aku takut kamu digoda sama temanmu itu," jawabku sedikit jujur. Biar saja kuungkap kegelisahanku agar ia tahu bahwa istrinya merasa tida
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 64Mas Yusuf baru selesai menikmati sarapannya. Ia lantas berdiri setelah meraih kunci motor dalam genggamannya. Sedangkan dibelakangnya, Aini sedang membersihkan ruang tengah dari debu menggunakan kemoceng. Suasana rumah tampak hening karena hanya ada mereka berdua. Aku lantas masuk ke dalam setelah mengucap salam yang sudah telat.Mas Yusuf kaget saat melihatku tiba-tiba berada di belakangnya. "Dek, kok balik?" tanyanya cepat. "Iya, Mas. Ada yang tertinggal." Aku segera masuk ke kamar untuk mengambil ponsel yang terletak di belakang bantal. "Mas kok belum berangkat?" tanyaku sambil berjalan ke luar kamar. Mas Yusuf sengaja menungguku. Ia berdiri di depan pintu kamar sambil mengamati gerakku yang lincah. Ya, tubuhku terbilang kurus saat aku mulai merintis usaha. Porsi makan dengan aktivitasku tak seimbang, jadi mudah sekali berat badanku untuk turun. "Iya, tadi dapat pesan kalau meetingnya diundur, jam delapan. Jadi Mas agak santai."Kami lantas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 65Mataku melotot tajam melihat apa yang ada dihadapanku. Duniaku seakan runtuh tak bersisa. Hancur lebur. Keningku berkerut, tak habis pikir dengan apa yang terjadi di depanku ini. Dadaku sesak naik turun tak berarturan. Kututup kembali pintu kamar yang tadinya kubukka perlahan. Celah kecil cukup jelas untuk membuat mataku melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar pribadiku. Perlahan tubuhku lunglai di atas lantai. Kutangkup wajahku dengan kedua tangan. Rasa sesak kian mendera, seakan oksigen tak lagi bersedia memberikan hakku untuk bernapas. Sekuat tenaga kutahan isak tangis agar tak mengganggu aktivitas mereka. Aku tengah terluka, sementara dua sejoli di dalam sana sedang memadu kasih bermandikan peluh asmara. Air mataku terus bercucuran merasakan nyeri yang teramat sangat. Sakit. Sungguh sakit melihat pemandangan di belakangku ini. Sekelebat bayangan keceriaan Arumi menari dikepala. Aku tak boleh lemah. Sekuat tenaga aku bersabar menemani M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 66Dengan kasar aku mengambil koper yang teronggok di atas lemari. Kumasukkan semua baju-baju milik Mas Yusuf. Untuk apa mempertahankan cinta tapi tidak didasari dengan kesetiaan. Percuma. Lebih baik hidup sendiri, membahagiakan diri sendiri dari pada berjuang bersama tapi tiba-tiba menusuk hatiku dari belakang. Sakit. Luka tapi tak berdarah. Dengan air mata bercucuran kumasukkan seluruh baju Mas Yusuf dalam koper. Asal. Tanpa kulipat, tanpa kutata, semuanya kumasukkan. Dengan kasar kututup resletingnya dan kubawa di depan teras rumah. Tak lupa juga kubawa kunci motor miliknya. Motor yang sudah kuperbarui merk dan tahunnya, tetapi ia tak melihat kerasnya aku berjuang untuk merubah nasib kehidupan kami. Kuambil tas dan jaket milik Aini di kamar belakang. Aku juga tak mau melihat barang perempuan murahan itu masih berada di rumahku. Lalu kubawa semua barang-barang ini ke depan. Aku duduk bersidekap di kursi. Dengan sabar menunggu dua orang yang masih
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 67"Maafkan Yusuf, Al. Kasihan dia langsung mengurung diri setelah sampai di rumah! Tolong jangan begini!" Ibu langsung berucap saat aku berhasil membuka pintu. "Maaf, Bu. Mas Yusuf sudah menyakiti saya. Saya tak bisa menerimanya kembali.""Orang laki-laki melakukan kesalahan ya lumrah, harusnya masih ada kesempatan kedua. Jangan sombong kamu!""Saya tidak sombong, Bu!""Apa namanya kalau bukan sombong? Suami melakukan kesalahan baru sekali, tapi sudah kamu usir dari rumahnya! Ini juga rumah Yusuf!"Aku kaget dengan ucapan Ibu mertua. Ibu menarik tanganku ketika aku hendak menjawab ucapan mertuaku. Ia menggelangkan kepalanya. "Nggak usah dibalas, ngga ada untungnya balas omongan orang yang lagi emosi," bisik Ibu di telingaku. "Jangan sombong kamu! Yusuf juga punya hak di rumah ini. Jangan main asal usir aja!" Lagi ibu mertua berucap. Ada Ratih yang tengah duduk di kursi teras. Ia hanya diam menunduk. "Bu, kalau memang punya hak jangan khawatir nanti
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk