Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 47
"Pudingnya enak, Ma." Rumi memegang satu cup kecil puding buatanku. Ia makan sambil menonton acara kartun di televisi. Lahap sekali.
"Enak dong! Kan Mama yang bikin!" jawabku sambil mengacungkan jari jempolku di hadapannya. Ia hanya memandangku sekilas sambil tersenyum lalu kembali lagi menikmati puding dalam cup di tangannya.
"Kakak di sini dulu ya? Mama mau masak buat makan malam kita, sebentar lagi ayah datang," ujarku seraya berdiri dari tempatku duduk, meninggalkannya yang masih asik dengan puding dan televisi.
Tanpa menunggu jawabannya aku beranjak menuju dapur. Berkutat dengan wajan dan kompor, hendak mengolah sayur yang tadi sudah kurajang.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanya Mbak Na. Ia datang saat aku tengah mencuci sayuran. Seketika aku menoleh ke arahnya saat ia bertanya
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!Sibuk dengan ponselnyaRumi makan dengan lahap, rupanya beberapa cup puding yang ia makan tadi masih menyisakan tempat yang banyak di perutnya. Terbukti dengan sepiring nasi dengan sayur dan lauk habis dilahapnya."Anak mama pintar, besok makan yang banyak lagi ya Kak, biar gendut," pintaku sambil mencubit gemas pipinya."Iya dong pintar, kan anaknya mama sama ayah!" Alisnya bergerak naik turun sambil melirikku. Ah anakku pintar sekali menggoda mamanya."Iya dong, anak mama!""Anak ayah juga dong!" timpal Mas Yusuf."Sudah-sudah makan lagi! Habisin Kak makannya," ucapku sambil melirik piring di depan Rumi."Siap Ma."Kembali kami fokus dengan piring dan sendok yang ada di depan kami. Menikmati masakan spesial yang kubuat dengan penuh cinta untuk keluarga ke
Aku Mengalah, Kas. Demi Ibumu!Peringatan.Aku naik ke atas ranjang tempat tidur dengan perasaan dongkol. Sebegitu pentingnya kah teman alumni SMA nya dari pada keluarganya? Hingga malam pun ia masih asik dengan ponselnya. Sudah lelah seharian membuatkan cemilan untuknya malah tak disentuhnya. Setelah makan Mas Yusuf kembali sibuk dengan ponselnya, padahal biasanya setelah makan malam kita berkumpul di ruang tengah sambil menonton televisi atau menikmati cemilan yang kubeli di jalan saat pulang dari butik.Biasanya setiap selesai makan, kami selalu berkumpul bersama di ruang tamu, membahas kegiatan kami seharian, juga kadang aku menceritakan masalah yang kualami di butik. Tak jarang pula Rumi turut bergabung bersama dan menceritakan kisah lucu di sekolahnya. Namun tidak dengan malam ini, Mas Yusuf lebih memilih memegang ponselnya dari pada ngobrol bersama.Kutung
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 50Sosok IbuBelum sampai langkahku di pintu ruang tamu, terdengar deru motor masuk halaman rumah. Tampak bulek Sri dengan Maya-anaknya- datang berkunjung pagi ini."Assalamu'alaikum Nduk," sapa bulek setelah ia menurunkan standart motornya. Ia parkir motornya di depan teras rumah sebelah kiri."Waalaikum salam," urung masuk ke ruang tamu, aku menghampiri bulek. Kuraih tangannya untuk kucium lalu kuajak beliau dan Maya masuk ke ruang tamu bersama."Apa kabar Bulek? Lama nggak ketemu," ucapku saat kami sudah duduk di sofa ruang tamu."Alhamdulillah sehat. Kamu gimana Nduk? Wes sukses sekarang jarang main ke rumah mertuamu.""Alhamdulillah Bulek. Bukannya jarang main, cuma kalau kesana ngga pernah sempat main ke tetangga, paling cuma ke ibu aja terus balik lagi, selalu gitu Bule
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 51Kejutan untuk Rumi"Dek, jadi nyumbang ke sekolah Mas dulu?" tanya Mas Yusuf saat panggilannya terhubung. Mataku sibuk mengamati Dina menemani bulek memilih pakaian."Insya Allah jadi, Mas. Nunggu barang datang dulu setelah itu uangnya kutransfer ke rekening Mas Yusuf. Kenapa memangnya, Mas?""Nggak apa-apa, cuma mau mastikan biar nanti kalau dikonfirmasi sama pengurus Mas bisa kasih jawaban," jawabnya singkat."Iya cuma aku belum bisa mastiin berapa nominalnya," ucapku sambil memainkan jari tanganku."Iya asal sudah pasti nyumbang aja. Kamu lagi ngapain di rumah?""Eh iya aku lupa nggak bilang, bulek Sri sama Maya tadi ke rumah, minta antar cari baju di butik jadi ini aku lagi di butik sama bulek nanti sekalian jemput Rumi sekolah.""Wah
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 52Pov Yusuf."Sudah ditransfer kan?" tanyaku pada istriku saat sarapan. Kami sedang sarapan bersama putri kecilku dengan menu istimewa. Senang sekali mendapatinya berada di rumah beberapa hari ini. Kulihat kemarin ia sibuk membuat kudapan untukku dan juga Rumi.Setelah kepergianku tengah malam kemarin, ia tampak lebih peduli kepada kami. Bagaimana tidak, sudah jamnya istirahat dan waktunya melayaniku di atas ranjang, ia malah sibuk dengan pekerjaannya. Siapa yang tak kesal menahan hasrat semalaman?"Sudah, Mas. Mas lihat sendiri berapa nominalnya." Ia berucap sambil memberesi piring makan kami di atas meja, sedangkan Mbak Na yang membawa piring kotor bekas makan kami ke dapur dan segera mencucinya."Makasih ya Sayang. Kamu memang baik," ucapku setelah melihat nominal transferan dalam layar ponsel milikk
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 53"Suamimu ada acara apa, Nduk?" tanya ibu saat kami sedang bersantai di ruang tengah. Ibu telah menyiapkan beberapa cemilan saat ku kabari bahwa Rumi ingin menginap. Senang sekali melihat binar di mata ibuku. Ia yang telah susah payah membantuku menyiapkan modal juga dukungan moril agar aku tak patah semangat untuk merintis butikku.Hingga butikku sudah menjadi sebesar ini, ibuku tak mau jika kusuruh memilih sendiri baju yang ada dalam butik. Enggan merepotkan anak katanya. Sungguh aku tak merasa direpotkan. Aku malah senang bisa memberikan yang terbaik untuk ibu."Ada acara reuni di sekolahnya, Bu.""Kamu nggak ikut?" tanya ibu sambil menelisik wajahku."Enggak, Bu. Aku mau di sini saja." Tampak kening ibu berkerut mendengar jawabanku."Kamu berantem?" tanya ibu dengan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 54 "Kita jemput Rumi dulu ya? Setelah itu langsung saya antar ke kampung kamu," ujarku pada Mbak Na. Aku sengaja memberinya penawaran untuk mengantarnya pulang karena aku juga ingin melihat bagaimana kondisi orangtua Mbak Na. Bekerja padaku beberapa tahun membuatku merasa nyaman dengannya. Ia sudah kuanggap layaknya keluarga sendiri. "Iya, Bu." "Bagaimana dengan tetangga kamu yang mau gantiin kamu? Sudah kamu kabari? Bisa sekalian bareng saya balik nanti," tawarku. "Sudah saya kabari, Bu. Cuma ini belum balas mau sekalian bareng apa enggak. Takutnya nanti Ibu baliknya kemalaman kalau dia ngga segera kasih kabar." Aku tersenyum memandang Mba Na. Ia begitu peduli dengan keadaanku. Ketulusan hatinya sungguh bisa kurasakan. "Nggak apa-apa. Asal saya sudah punya pengganti kamu. Ba
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 55"Jangan buru-buru to Ra, biar Bu Alina santai dulu di sini," ujar Ibu Mbak Na. Ia merangkul pundakku setelah memangkas jarak antara kami. Bibirnya tersenyum ramah seraya menatapku dalam. Ada kehangatan yang terpancar dari sinar matanya."Iya, Bulik. Aku ngga buru-buru. Cuma mau ngasih tau aja kalau aku sudah siap untuk ikut kerja di kota. Nih aku udah bawa tas besar," ujar perempuan itu yang tadi mengaku bernama Zahra.Cantik sih. Semoga saja kinerjanya juga bagus. Hanya itu yang bisa kuharapkan pada setiap calon karyawan baru yang akan ikut kerja bersamaku."Mari masuk dulu," ujak Bu Sakinah. Ibu Mbak Na. Meskipun keliatannya usianya sudah senja namun wajahnya masih kelihatan awet muda. Namun penyakit yang dideritanya membuat wajahnya tak bisa terlihat cerah. Sorot matanya tampak sayu, menunjukkan bahwa kondisi tubuhnya
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk