“Tahulah, Lisa. Ibu ini lapar banget. Kepala Ibu sakit. Mata kunang-kunang. Mana, sih, pembantu kamu itu? Lemot banget. Suruh beli Nasi Padang aja lama banget. Ibu, kan, harus minum obat. Ibu kasih jawaban nanti setelah Ibu makan. Sekarang Ibu nggak bisa berpikir sama sekali, Lisa,” jawab Ibu berusaha untuk bernegosiasi padaku.“Iya. Baiklah. Aku kasih Ibu satu kesempatan. Ibu makan lalu minum obat. Setelah itu, tentukan mau pindah ke ruangan kelas 3 atau tetap di sini. Jika Ibu pindah, aku bayarin. Jika tetap di sini, bayar sendiri. Aku nggak sudi, ya, bayarin biaya rumah sakit mahal-mahal. Mendingan uangnya aku kasihin ke panti asuhan.”“Jahat kamu, Lisa. Lebih mementingkan Panti Asuhan dari pada ibumu.”“Bukan jahat, Bu, tapi Ibu itu bisa di kelas 3. Lagian ini Rumah Sakit Swasta, Bu. Kelas 3 juga bagus ada tv-nya, ada kipas anginnya, ruangannya bersih dan plusnya itu banyak temennya. Jadi Ibu nggak perlu takut, kan? Ibu bisa ngobrol sama mereka. Dari pada di sini sendirian, loh,
"Ada perlu lain lagi, Sus?" tanyaku."Em, itu tentang hutang Ibu anda ...." Suster bernama tag Isah itu mengangtung ucapannya."Saya tidak tahu menahu, Sus. Tagih saja sama yang bersangkutan. Ini rumah sakit nakes tidak berhak menanyakan masalah pribadi. Bisa itu nanti pas sudah keluar dari rumah sakit. Kalau Suster masih ngeyel akan saya viralkan," jawabku. Suster isah hanya diam saja."Em ... maaf. Bukan bermaksud begitu, tapi baiklah saya akan menagihnya nanti ke rumah anda. Mari saya bantu untuk memindahkan mertua anda." Aku hanya mengangguk saja. Jengah rasanya. Aku dan suster tadi berjalan beriringan menuju kamar perawatan Ibu.“Lisa, dari sekian banyak Suster yang bekerja di rumah sakit ini, kenapa kamu itu malah minta tolong sama dia? Sengaja, ya, kamu mau bikin Ibu kesal?” ujar Ibu saat beliau mengetahui aku datang bersama dengan suster tadi.“Iya. Memang susternya banyak, Bu, di rumah sakit ini, tapi 'kan ada bagiannya masing-masing dan kebetulan Suster Isah inilah yang ber
“Ya, sebentar. Teteh ambil dulu uangnya,” jawabku.Kuambil uang Rp 300.000 dari dalam dompetku lalu kuserahkan pada Salsa. Kurasa uang segitu cukup. Bensin 200.000 cukup sampai rumah dan beli sarapan Rp100.000. Apalagi Ibu sudah dapat jatah dari rumah sakit, pastilah cukup.“Apa? Cuma 300.000? Dikit amat, sih, Teh. Nggak cukup, dong, Teh. Bensin aku itu bener-bener habis. Sudah gitu besok aku mau makan apa kalau cuma Rp100.000 begini. Belum lagi aku harus belikan sarapan untuk Ibu. Teteh tahu sendiri, kan, kalau Ibu itu makannya milih-milih dan juga orang sakit itu harus makan yang bergizi. Kita nggak boleh sembarangan ngasih makanan. Nanti bukannya sembuh malah tambah parah.” Salsa protes tidak mau menerima uang yang kuberi.“Mau, nggak, 300.000 buat beli bensin sama sarapan? Segini banyak, Salsa. Rp100.000, kamu bisa makan 3 kali di sini uang bensin 200.000 cukup untuk pulang ke rumah. Kalau nggak mau, ya sudah. Lagi pula, ya Salsa. Ibu, kan, sudah dapat jatah makan dari sini. Kamu
POV RARA.“Wah siapa itu? Bagus sekali mobilnya. Terus yang punya juga ganteng,” tanyaku pada Susi. Adik perempuanku. Saat ini kami sedang ada di acara nikahan sepupu jauh kami. Mataku tak bisa berkedip saat melihat seorang lelaki turun dari mobil yang bagus.“Emang Teh Rara belum tahu? Itu, tuh, suaminya Teh Ocha dari kota. Kaya raya, loh, Teh,” jawab Susi seraya menyenggol sikuku. Ah, rupanya itu suaminya Teh Ocha yang selama ini menjadi buah bibir di keluarga besar kami. Beruntung sekali Teh Ocha punya suami kaya raya. Sudah gitu, sepertinya orangnya juga ramah sama orang lain. Andai aku juga bisa punya suami, pasti hidupku sangatlah sempurna.“Kamu tahu dari mana, Sus? Jangan asal ngomong, loh. Kayaknya dia masih sendiri. Kalau dia suaminya Teh Ocha, kenapa dia datang ke sini seorang diri? Teh Ochanya mana?” tanyaku balik pada Susi.“Teh Ocha udah datang duluan dari semalam, Teh. Itu suaminya pasti nyusulin Teh Ocha. Kan, Teh Ochanya lagi hamil muda. Jadi kabarnya, sih, karena keh
POV RARA.****“Teteh, akan terus mencoba sampai Teteh berhasil. Kalau gagal, ya, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi. Gitu dong, Susi! Jadi orang, tuh, jangan pantang menyerah. Hidup itu, tuh, harus semangat terus berjalan mewujudkan cita-cita dan mewujudkan impian.”“Ya itu, sih, bagusnya dari Teteh. Cuma itu setiap kegagalan, Teteh akan mencoba terus sampai Teteh berhasil. Tapi, sayangnya tujuan Teteh selama ini nggak ada yang berhasil. Saran aku, Teh, jangan terlalu pemilih! Lihat umur udah makin tua. Nanti kalau nggak ada lagi yang mau sama Teteh, kan, kitanya yang rugi, Teh. Sebagai perempuan itu, tujuan hidup kita, tuh, cuma satu, Teh, berbakti sama suami dan kasih keturunan yang sholeh-solehah. Berbakti sama orang tua. Masalah harta, pasti nanti kita dapat, kok, Teh. Kalau kita, tuh, sabar mau berjuang, orang tua kita juga, Teh, nggak menuntut anak-anaknya supaya hidup sukses berkecukupan. Emak sama Bapak cuma nyuruh kita jadi perempuan solehah. Lihatlah Teteh selama ini. Teteh a
POV RARA.***“Ya emang, sih, Teh, hampir 3 tahun ini dan Teh Ocha berhasil hamil. Itu sebabnya suaminya sayang banget sama Teh Ocha. Karena kabarnya suaminya Teh Ocha kawin lagi dan memilih Teh Ocha sebagai istri simpanan dikarenakan istri pertamanya nggak bisa ngasih anak, Teh. Sudah 7 tahun menikah, makanya kawin lagi.” Aku hanya menganggukkan kepala saja mendengarkan penjelasan Susi.“Tapi, Sus. Kok, orang tuanya ngasih izin, sih? Emang nggak kasihan sama menantunya? Punya anak atau enggak, kan, bukan kuasa kita, Sus. Tuhan yang berkuasa. Walaupun aku begini-begini, kata kamu aku ini perempuan gak bagus, perempuan gak mau tutup aurat, tapi aku tahu, dong, gimana perasaannya. Seorang perempuan yang belum bisa hamil, kalau boleh minta, pasti itu istri pertamanya suaminya Teh Ocha nggak mau gitu.”“Kalau soal itu aku kurang paham. Lagi pula, ya, Teh, itu pernikahan Teh Ocha sama suaminya ini dapat restu dari orang tua suaminya Teh Ocha. Jadi, ya gitulah, Teh. Pokoknya meskipun nikah
POV RARA.***“Ya gimana nggak aku tolak, ya, Teh? Soalnya nggak sesuai kriteria aku, sih, Teh. Mereka semua di bawah standar, makanya nggak aku terimah, Teh. Dari pada kita hidup susah, kan, Teh, bersuamikan orang kampung. Ya, lebih baik kita selektif dalam memilih pendamping hidup. Teh Ocha, aku bete, nih, di rumah aja. Nggak ada kegiatan dan aku nggak mau kalau disuruh ke sawah. Masak gadis cantik seperti aku harus ke sawah bantuin Emak sama Bapak? Teteh cariin aku kerjaan, dong! Teteh, kan, tinggal di kota. Pasti banyak kenalan. Nggak apa-apa, deh, Teh, gajinya kecil. Yang penting aku bisa keluar dari kampung ini, Teh. Siapa tahu dengan aku kerja di kota, nanti bisa dapetin jodoh kayak Teteh," pintaku.“Apa, ya, Ra? Enggak tahu juga si Teteh, kalau masalah kerjaan karena selama ini Teteh pun nggak pernah yang namanya mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi Teteh nggak pernah gabung sama pembantu untuk menanya-nanyakan kerjaan apa yang pas. Kalau kerjaan pembantu, kamu mau, nggak?” jawab
POV RARA. ***“Yah, kalau itu, sih, terserah kamu saja, Sayang. Aku serahkan sepenuhnya pada kamu, tapi kalau bisa ... bantulah sepupumu ini. Kasihan dia, kan, lagi pula kita juga sedang butuh tenaga di rumah. Kalau misalnya nanti keluarga nggak setuju si Rara jadi pembantu di rumah kita, ya sudah nggak apa-apa. Nanti biar Aa' carikan kerjaan di tempat lain. Jaga toko mungkin,” kata A' Eko lagi. Yes! Ini berarti A' Eko sudah setuju dan memberikan harapan padaku untuk bekerja di sana. Semoga saja rencanaku kali ini tidak akan pernah gagal lagi.“Hatur nuhun Aa, sudah mau bantu Rara. Semoga Allah balas kebaikan Aa'. Semoga juga nanti Teh Ocha lahirnya normal. Anaknya sehat. Ngomong-ngomong, anaknya laki-laki apa perempuan?” tanyku lagi.“Perempuan, Ra. Kemarin Teteh sudah USG di dokter ternama di kota dan katanya perempuan. Teteh udah USG 3 kali dan semua bilang perempuan. Teteh senang sekali. Selama ini, kan, memang Teteh suka anak-anak dan Teteh itu suka anak perempuan. Eh, kok, dik
POV Lisa. ***“Ibu, aku ada di mana? Di mana Via da Bapak?” tanyaku pada ibu yang sedang mengaji di sampingkuAku pindai ruangan ini dan sekarang aku paham aku ada di mana seingatku memang aku pingsan rupanya aku dirawat di sini.“Alhamdulillah ... Nak, kamu sudah sadar. Bapak ada di luar. Via juga ada di luar sama Mbok. Alhamdulillah sadar, Ibu senang sekali. Kamu pingsan terlalu lama Lisa, sampai membuat Ibu khawatir. Jangan tinggalkan Ibu, ya, Nak, kita hadapi ini sama-sama kalau kamu sakit begini Ibu juga ikut sakit. Kalau kamu lemah, Ibu lemah tidak bisa berbuat apa-apa, tapi kalau kamu kuat menghadapi, Ibu akan jauh lebih kuat lagi. Lisa, maafkan Ibu. Sungguh maafkan Ibu selama ini tidak jadi orang tua yang perhatian padamu sampai-sampai masalah seperti ini harus kamu telan sendiri. Ayo, Sayang, bangkit anak Ibu yang cantik anak ibu yang kuat. Tetaplah bersama Ibu, tetaplah menjadi kebanggaan Ibu yang tidak pernah takut apa pun di luar sana. Ibu akan selalu ada di sampingmu sam
POV Lisa. ***“Ibu, nggak usah kebiasaan memotong pembicaraan orang lain. Kalaupun orang tuanya teh Ocha mau mengatakan sesuatu ya, biarkan saja dulu berbicara setelah selesai berbicara baru Ibu menyangkalnya tidak begini. Namanya nggak sopan,” kataku.“Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi kami harus mengungkapkan kebenarannya. Neng Lisa maafkan Ibu selama ini menyembunyikan padahal sebenarnya awal dari kedatangan kami ke sini ingin memberitahukan kebenaran ini pada Neng Lisa, tapi yang ada banyak sekali kendala-kendalanya dan mungkin hari ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kami untuk mengatakan sejujurnya. Perlu Neng Lisa dan keluarga tahu bahwa Ocha benar-benar istrinya ke dua Eko. Sedangkan Rara istri ketiganya Eko jelas,” bapaknya Teh Ocha.Ibuku jangan ditanya beliau langsung ambruk jatuh ke lantai,meski tidak pingsan, tapi aku yakin hatinya hancur mendengar kejujuran ini semua.“Kenapa begini? Kenapa rumah tangga anakku jadi begini sakit sekali aku mendengarnya. A
POV Lisa. *** “Lapor sana, lapor cepetan aku tidak akan pernah takut! Asal kamu tahu saja ya, perempuan murahan, pezina macam kamu bisa dipenjara. Perselingkuhan yang kamu lakukan dengan Eko bisa kena pasal dan kamu akan membusuk di penjara bersama Eko! Paham kamu?!” teriak ibuku tepat di depan wajahnya Rara sampai dia mundur matanya dan wajahnya merah aku tahu Rara ketakutan. “Jangan sok tahu Ibu tua. Aku dan A Eko itu melakukannya atas dasar suka dan sama suka, jadi tidak ada yang bisa memisahkan kami dan begitu dengan kamu tidak akan pernah bisa memenjarakan kami,” jawab Rara. “Dasar perempuan bodoh! Selain bodoh kamu juga norak. Perselingkuhan zaman sekarang bisa dipenjarakan. Oh, ya, aku baru tahu kalau ternyata seleranya Eko rendahan begini. Lihat besan selingkuhannya Eko bahkan tidak lebih baik daripada Lisa. Udik sudah seperti jemuran jalan nggak jelas begitu. Pokoknya aku mau Eko dan Lisa pisah,” ucap ibuku. “Terserah kamu saja Besan yang penting aku juga tetap pada pendi
POV Lisa. **** “Bahkan perempuan yang duduk di seberang Ibu yang diperkenalkan sebagai saudara itu adalah maduku,” kataku lagi. Perih sekali aku harus mengatakan jujur kepada kedua orang tuaku, tapi di sisi lain aku plong karena merasa berhasil mengeluarkan racun yang ada di dalam dadaku. “Apa!” teriak ibuku. “Be—san ... ini masuknya gimana, ya, tolong jelaskan pada kami!” bentak bapak. “Tidak ... ini pasti Lisa dan Besan sedang ngeprank kan, bentar lagi kan Ibu mau ulang tahun jadi pasti kalian bikin surprise kan?” kata ibuku sepertinya beliau memang belum bisa menerima kenyataan ini, tapi air mata sudah membasahi pipinya. “Tenang dulu Bu, kita minta penjelasan mengenai ini dari Besan dan juga Lisa,” sahut Bapak seraya mengusap bahu ibu. “Bapak, tahu ‘kan kalau mereka biasanya memang suka bikin kejutan begini. Bikin hati orang tua cemas ujung-ujungnya nge-prank seperti yang sering kita lihat di YouTube itu loh, Pak dan ujung-ujungnya kita dapat hadiah. Iya, kan, Lisa?” kata i
POV Lisa.****“Iya, Besan memang aku yang melarang Lisa untuk memberitahukannya pada kalian karena kami pikir bisa menyelesaikannya. Kasihan kalian juga kan, kalau terbebani dengan masalah anakku. Sudah kukatakan tadi bahwa anakku di sini posisinya bersalah Aku malu jika harus memberitahukan padamu. Aku juga yang mewanti-wanti Lisa agar tidak memberitahukan bukan kami tidak menghargai Besan, tapi sebenarnya malu," jawab ibu mertua aku beliau pasang muka sesedih mungkin.Bapak menatapku meminta penjelasan. Aku mengangguk saja karena memang aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. Biarkan saja Ibu mendramatisir apa yang terjadi itu tidak akan pernah merubah keputusanku nantinya jadi aku bebaskan saja Ibu mengarang cerita.“Tapi, ya, enggak boleh gitu juga lah besan. Kita ini kan, keluarga jadi mau sekecil apa pun permasalahan kita harus berdiskusi apalagi ini sampai di penjara loh, si Eko dan sampai dihajar bahkan kritis begitu. Kita bisa menuntut yang menghajar Eko jangan mau kita diinjak
POV Lisa. ***“Ibu sama Bapak cuma berdua aja si Via nggak nangis kan, Bu," tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku muak mendengar ucapan manis mertuaku yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.“Eggak ... tadi sih, sama Mbok lagi mainan boneka. Happy kok, Ibu sama Bapak ke sini juga nggak sendiri sama saudara besan loh, tadi ketemu di depan rumah si Lisa. karena mereka kaget Eko ada di rumah sakit ya, sudah akhirnya kami ajak ke sini," jawab ibuku. Sementara Salsa dan mertuaku terlihat kaget aku pun sebenarnya iya, tapi mencoba bersikap biasa saja. Saudara yang dimaksud orang tuaku pasti itu Teh Ocha dan kedua orang tuanya kalau begitu moment ini sungguh sangat istimewa. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Saatnya aku membongkar kebusukan mertua dan suamiku di depan orang tuaku.“Saudara yang mana besan? “tanya mertuaku sok tidak tahu. Padahal dari matanya jelas terbaca beliau sangat panik.“Si Ocha sama orang tuanya tapi tadi lagi izin ke toilet katanya kebelet. Oh, ya, Eko sakit apa
POV Lisa. ***Aku benar-benar tidak menduga bahwa dia otaknya konslet bahkan lebih konslet dari Teh ocha. Ya, Tuhan beginikah selera suamiku? Selera seorang berpendidikan tinggi sungguh turun derajat sekali karena sewaktu dulu kuliah Mas Eko itu termasuk lelaki yang benar-benar pemilih kualitas perempuan giliran selingkuh kok, sama remahan rengginang begini. Astagfirullah dan itu menjadi sainganku kalau diladenin mungkin sampai lebaran monyet tidak akan berhenti. Ya, lebih baik aku diam saja malas ngeladenin orang-orang yang otaknya lebih konslet daripada Teh Ocha.“Diamkan kamu nggak usah balas ucapanku. Makanya kalau mau ngomong itu ngaca dulu kamu itu siapa? Ih ... malas banget meskipun kata Eko kamu adalah wanita yang paling berjasa dalam hidupnya, tapi kalau soal yang lain contohnya soal ranjang A Eko selalu memujiku bawa aku adalah yang terbaik,” kata Rara seraya mengibaskan rambut pirangnya.Astaghfirullahaladzim aku mimpi apa ya, bisa berhadapan dengan pelakor model begini. S
POV Lisa. ***“Puas kamu, Lisa, udah buat anak Ibu begini. Pokoknya kamu harus mempertanggungjawabkan semuanya. Lihatlah sekarang Eko kritis. Ibu benar-benar kecewa sama kamu," ucap mertuaku begitu melihat kedatanganku. Untung saja Via tidak aku ajak karena situasi di sini sangat tidak kondusif. Mertuaku bahkan berusaha menyerangku.“Puas banget tuh, aku kira datang ke sini Mas Eko tinggal nama ternyata masih ada orangnya, ya, meskipun dalam keadaan kritis," jawabku pasti mereka semua tidak akan pernah menyangka bahwa aku akan menjawab seperti itu bahkan orang-orang sampai melongo.“Apa kamu bilang, dasar ya, kamu itu istri nggak tahu diri suami sekarat malah Alhamdulillah, benar-benar ya kamu kurang seons otaknya pantas aja dia pergi ninggalin kamu lihatlah, Bu, menantu yang Ibu bangga-banggakan ternyata begitu kan? Licik dan jahat. Bahkan dia mendoakan suaminya meninggal," sahut Rara. Aku hanya tertawa saja mendengarkan ocehannya. Terserah mau ngomong apa aku tak peduli.“Teteh kay
POV Lisa. *** “Ya, mau bagaimana lagi Ibu juga khawatir, tapi kalau kita pergi malam ini lebih mengkhawatirkan keselamatan kita. Duh, tiba-tiba kepala Inu jadi pusing begini memikirkan sesuatu yang terjadi semuanya secara tiba-tiba,” keluh mertuaku. “Ayo, Mbok kita pergi dari sini aku nggak mau lagi mendengarkan perdebatan mereka!" ajakku pada Mbok, lalu kumatikan lampu agar mereka benar-benar pulang. “Tuh, kan, lampunya mati lagi, Bu. Sudahlah Ayo, kita pulang!" teriak Salsa. Sampai kamar aku menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Sejujurnya aku sedikit khawatir pada Mas Eko. Pasti sakit maag-nya kambuh lagi sampai dia dibawa ke rumah sakit begitu. Mas Eko itu orangnya milih-milih soal makanan sedangkan di penjara pasti makan seadanya dan Mas Eko nggak mau makan itu sebabnya dia sakit. “Apakah besok Ibu akan jenguk pak Eko?" tanya Mbok Wati. Aku menggeleng saja belum tahu apa yang akan aku lakukan besok. “Mbok, jadi curiga jangan-jangan Bapak dipenjara digebukin sama na