Happy reading***Pagi-pagi Aluna memutar musik klasik pada piringan hitam yang ada pada ruang tengah kondominium. Dia baru saja menyelesaikan sarapan, duduk santai menunggu Daffin yang masih menikmati sarapannya di ruang makan. Tidak seperti biasanya, pagi ini Aluna sarapan lebih dulu tidak menunggu Daffin, saat suaminya duduk di meja makan Aluna langsung bergegas pergi karena sarapannya sudah habis.“Huh…” meniup asap yang keluar dari teh hagat miliknya. Aluna memejamkan kedua mata menikmati paginya.“Teh ditemani musik klasik memang perpaduan paling sempurna,” bisik Aluna dengan gelengan kepala sambil menelan habis wewangian teh miliknya.“Apalagi dengan croissant,” lanjut Aluna pelan.Merasa puas menghirup uap hangat dan wangi teh, Aluna meletakkan secangkir teh miliknya ke atas meja. Menyilangkan kaki kanan di atas kaki kiri, Aluna menatap ke depan. Ada kaca besar yang langsung memperlihatkan kolam ikan dan taman belakang milik suaminya.“Tidak perlu jauh-jauh mencari tempat refr
Happy reading***“Masih mau marah?” tanya Daffin pada Aluna yang masih enggan cerewet seperti semual. Posisi mereka memang sudah duduk berdampingan dengan kepala Aluna menyender pada pundak suaminya.“Habisnya kamu sih, itu mahasiswi tahu berniat mengambil kesempatan masih saja dilayani,” sewot Aluna sambil menampilkan mimik kesal. Ingatkan Aluna untuk mencakar wajah perempuan kemarin jika bertemu.“Hah…”Napas berat terembus dari bibir Daffin, masih tidak habis pikir dengan faktor yang membuat Aluna marah. Padahal yang jelas-jelas mengajak ke café adalah mahasiswinya bukan dia, tapi kenapa malah Daffin yang kena imbasnya.“Yasudah, aku minta maaf ya? Jangan marah, senyum,” tanya Daffin sekaligus meminta kedua seudut bibir istrinya agar terangkat.“Tidak baik Aluna marah lama-lama sama suami, dosa,” peringat Daffin.“Ih kamu mah, sukanya bawa-bawa dosa.”Aluna langsung mengambil jarak, menatap sebal pada Daffin yang justru terkekeh. Puas sekali suaminya itu membuat Aluna sadar kalau
Happy reading***Sekarang di ruang tengah kondominium Daffin hanya tersisa Aluna dan Raynol. Satu jam yang lalu Daffin meninggalkan mereka karena ada pekerjaan yang benar-benar harus dia kejerkan di kantor. Toh juga Daffin tidak merasa khawatir meninggalkan istrinya dan Raynold. Daffin percaya temannya itu tidak akan macam-macam.“Jadi kita akan mulai dari mana?” tanya Raynold mulai membuka pembicaraan, sedari tadi dia hanya sekedar berbasa-basi tentang bagaimana cerita Aluna selama di Canada.“Terserah kamu saja, aku ikut saja.” Aluna mengendikkan bahu, dia sih terserah Raynold akan memulai pengobatan kedua ini dari mana.“Kalau aku meminta kamu bercerita dengan rinci tengtang masa lalu kamu tidak masalah?” pinta Raynold sekaligus bertanya.“Daffin sudah tahu semua?” tidak menjawab Aluna malah balik bertanya.“Maybe, bisa jadi sudah,” timpal Raynold setengah ragu. Ya Raynold kemarin hanya memberikan informasi yang bisa dia dapatkan, selebihnya dia tidak tahu apakah Daffin mencari le
Happy reading***“Sudah ya nangisnya.” Dua jam Daffin menunggu Aluna menangis sambil memeluk. Istrinya itu sama sekali tidak mau dilepas satu menit pun.“Kita makan siang dulu yuk,” ajak Daffin.Melihat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore membuat Daffin khawatir karena Aluna belum mengisi perutnya sama sekali. Belum lagi menangi dari tadi, jelas menguras tenaga. Daffin hanya takut istrinya sampai pingsan karena energinya yang terkuras habis.“Dia Daff,” bisik Aluna, memberi jarak pada pelukan mereka.Aluna mendunga menatap suaminya, sungguh tidak bisa dibendung lagi. Mengingat masa lalu yang begitu menyakitkan membuat hati Aluna seperti dihancurkan untuk kedua kalinya.“Pria itu membuat aku membenci pria di dunia ini.”Deg.Tidak tahu kenapa Daffin tiba-tiba merasa jantungnya seperti diremas. Mendengar ucapan Aluna agaknya membuat dia merasa sedikit tidak suka.“Dia yang secara langsung memberitahu aku bahwa pria di dunia ini tidak ada yang bisa dipercaya,” lanjut Aluna dengan penu
Happy reading***Ini hari Minggu dan pria yang tengah berkutat pada layar laptopnya itu sama sekali tidak peduli jika sekarang hari libur. Bukan hanya dari pagi hari, sudah dari pukul dua pagi Daffin sudah duduk pada kursi kerja pada ruang kerjanya. Pria ini terlihat sibuk sekali dengan begitu banyak pekerjaan yang menumpuk, terlihat dari file-file yang ada pada laptopnya.“Hah…” mengembuskan napas berat, kepala Daffin seperti sudah ditindih beton saking lelahnya. Bayangkan saja, kemarin selama seharian penuh dia full di kantor, dan dengan niat menyiksa diri Daffin membawa pekerjaan kantor ke rumahnya.“Kenapa juga tiba-tiba banyak ekspor yang ingin dilakukan,” keluh Daffin saat menerima begitu banyak file dari negaranya.Sejenak dia terdiam, menatap layar laptop yang menampilkan begitu banyak angka dan huruf. Menyandarkan punggung pada sandaran kursi, Daffin akan istirahat sejenak, melemaskan otot-ototnya yang sudah tegang efek kerja rodi berlebihan.“Hahahaha…”Shap.Sontak kepala
Happy reading***“Yakin mau dititip di sini?” tanya Daffin pada istrinya yang mengangguk seratus persen yakin.“Kenapa tidak dibiarkan di rumah saja?”“Ih kamu bawel deh, diam ya,” paksa Aluna agar sang suami menutup mulut.Mengembuskan napas pelan, Daffin merolingkan kedua mata malas. Malam-malam istrinya mengajak ke rumah Adnan, katanya ingin menitipkan anak kesayangan supaya ada yang mengurus selama mereka bulan madu.“Kamu sudah bilang ke Alisia atau Adnan jika kita akan ke rumah mereka untuk menitip Maru?” lagi Daffin bertanya, menatanya menuju anjing shiba inu yang ada di gendongan sang istri.“Belum sih, tapi aku yakin mereka pasti mau menjaga Maru, iyakan sayang?”“Guk!” langsung dibalas Maru dengan suara menggonggongnya.“Tuhkan Maru aja setuju sama aku,” pede Aluna menatap Daffin senyum girang.“Terserah kamu saja,” balas Daffin malas.Mereka sekarang sudah berdiri di depan gerbang rumah Adnan. Sebenarnya Daffin merasa tidak enak pada kakak iparnya itu karena ulah istrinya
Happy reading***“Daffin bangun!!”Pekikan Aluna menjadi suara pertama di pagi-pagi buta, perempuan itu sudah rapi dengan celana jeans hitam dan baju kaos putih. Berkacak pinggang di depan Daffin yang masih tertidur lelap.“Katanya pesawatnya berangkat jam setengah tujuh pagi, ini sudah jam lima,” omel Aluna sambil menatap jam dinding kamar mereka.Kalau ditanya apakah persiapan mereka sudah siap, Aluna akan mengangguk. Dia sudah bangun sejak jam tiga, menyiapkan semua keperluan yang sekiranya mereka butuhkan. Aluna tidak terlalu membawa banyak barang karena kata Daffin mereka bisa membeli di tempat mereka bulan madu. Suaminya itu tidak mau repot membawa banyak koper saat bepergian.“Daffin!” pekik Aluna lagi sambil menggoyangkan tubuh sang suami.Sudah banyak cara Aluna gunakan untuk membangunkan Daffin, tapi suaminya itu memang kebo kalau tidur. Ya sebenarnya gak kebo juga sih, semalam Daffin lagi-lagi lembur dan tidur jam tiga saat Aluna bangun.“Astaga suami bangun!! Ih kebo bang
Happy reading***“Oh gossh punggungku.”Aluna langsung melakukan peregangan setelah keluar dari dalam pesawat, sekarang dia tengah berdiri di ruang kedatangan. Mengikuti Daffin berjalan sambil mendorong troli berisi koper mereka.“Sumpah deh, remuk banget,” adu Aluna pada Daffin yang justru terlihat santai berjalan tanpa ada beban.“Lebay deh kamu, aku biasa aja tuh,” sahut Daffin dengan gelengan kepala.“Lagi pula saat di pesawat aku sudah minta kamu tidur supaya tidak capek, malah gak mau.” Daffin menampilkan wajah datar pada istrinya, sia-sia dia membeli tiket pesawat first class. Mencari kenyamanan agar istrinya tidak rewel, justru Aluna malah tidak bisa diam saking mereka merasakan privasi.“Ya kan gak mungkin aku mau tidur seharian full, nonton drama sudah pasti,” sahut Aluna dengan cengirannya. Iya, Daffin penuh merasakan keributan Aluna karena istrinya itu heboh saat menonton drama. Bahkan sampai ikut menangis kencang saat ada adegan tragis.“Dasar kamu.” Geleng-geleng kepala
Happy reading***“Saya berterima kasih kepada seluruh tamu undangan, para investor yang telah menyempatkan diri hadir pada acara 12 tahun Royal Group.” Daffin berdiri di atas podium dalam acara ulang tahun perusahaan yang dirinya dan sang Papa rintis.Selesai dengan masa jabatan sebagai duta besar, Daffin benar-benar terjun dalam dunia bisnis dan mengambil alih perusahaan atas permintaan sang Papa. Ada begitu banyak kemajuan yang terjadi selama Daffin menjabat sebagai CEO Royal Group. Satu-persatu investor mulai mendekat dan mengajak kerja sama yang membuat Royal Group melebarkan sayap kesegala bidang. Malam ini sebagai pembuktian, Daffin yang berdiri dengan Aluna dan kedua buah hatinya dihadapan begitu banyak tamu undangan memaparkan keuntungan Royal Group selama satu tahun terakhir.“Tidak etis rasanya jika saya tidak membiarkan dewan direksi sekaligus pemegang saham terbesar di Royal Group hanya diam tanpa memberikan sambutan,” ucap Daffin, menoleh menatap Aluna yang masih terseny
Happy reading***“Sayang!”Daffin melambaikan tangan saat dirinya melihat Aluna celingak-celinguk menatap seisi ballroom. Jelas teriakan Daffin yang cukup menggelegar itu membuat banyak pasang mata menatap ke arah Aluna dan Alisia yang tengah berjalan menghampiri suami masing-masing.“Halo anak Papa.” Adnan langsung membawa Haresh ke dalam gendongannya.“Ini acara apa sebenarnya?” tanya Alisia yang masih belum tahu dirinya tengah menghadiri acara apa. “Teman kamu yang mana yang mengundang? Aku kenal mereka? Atau mereka kenal aku tidak?” cecar Alisia membuat suaminya terkekeh.“Bukan acara teman aku,” jawab Adnan, melirik Daffin yang tengah merapikan rambut Aluna. “Tapi acara kita,” lanjutnya.“Ha?” Aluna menatap kakaknya. “Kita?” Jujur Aluna semakin tidak mengerti dengan maksud acara kita.Baru saja Aluna ingin membuka mulut ada sep
Happy reading***Aluna sudah kelimpungan mengurus Ara dan Haresh, belum lagi Aziel yang sedari tadi terus merengek. Pagi-pagi kepalanya sudah dibuat pecah, mana Ara susah sekali diatur sejak Haresh datang. Kedua bocah itu hobi sekali berlari-lari membuat Aluna kewalahan untuk memasangkan pakaian.“Sini biar Aziel sama kakak.” Alisia muncul dengan gaun biru dongker miliknya.Mengembuskan napas lega, Aluna menganggukkan kepala lantas berjalan keluar kamar mencari Ara yang belum dikuncir rambutnya. Pagi ini mereka membagi tugas, tapi karena Gail tiba-tiba demam membuat Alisia haru benar-benar mengurus anaknya, jadilah Haresh Aluna yang mengurus.Aluna ingin menyumpah rasanya, tadi Daffin dan Adnan meminta mereka semua berdandan dengan rapi dan akan dijemput pukul sepuluh yang artinya tiga puluh menit lagi. Tidak ada penjelasan Daffin dan Adnan pergi begitu saja, menyerahkan tugas mengurus dan menyiapkan anak-anak pada istri masing-masing.
Happy reading***Daffin menahan tawanya saat menatap Aziel berjalan dengan sempoyongan. Bayi yang baru saja menginjak umur dua tahun itu tengah berjalan menghampiri Aluna yang tengah menguncir rambut Ara. Tersenyum lucu menatap putranya yang berjalan tertatih dengan menjaga keseimbangan tubuh. Jujur saja melihat Aziel yang pantatnya masih dilapisi popok dengan langkah sempoyongan membuat perut Daffin tergelitik.“Buahahahahaha…”Tawa Daffin tidak bisa ditahan lagi saat Aziel jatuh terduduk kala kakinya gagal menjaga keseimbangan tubuh. Anak laki-laki itu yang tahu tengah ditertawai langsung menangis kencang.“Hahaha…” bukannya berhenti tertawa Daffin malah menjadi-jadi, terpingkal-pingkal dengan melihat wajah memerah Aziel dengan air mata membanjiri wajah.“Daffin!” Aluna menatap tajam suaminya.“Haha… iya-iya.” Daffin mengangkat tangan, lekas bangun dari duduknya m
Happy reading***Semuanya mengerubungi si tampan yang berada pada ranjang khusus bayi. Anak laki-laki Daffin dan Aluna telah lahir dengan berat normal dan kondisi sehat. Alisia bahkan menangis saat dirinya yang diizinkan menggendong bayi Aluna pertama kali karena Daffin masih dalam kondisi bergetar setelah menemani Aluna melahirkan.“Lihat sayang, adiknya tampan sekali,” tunjuk Lisa yang tengah menggendong Ara. “Mirip banget sama Papa,” lanjutnya dengan senyum mengembang. Kepala Lisa mendunga menatap ke arah Aluna yang tengah istirahat karena tenaganya habis terkuras. Senyum bangga Lisa berikan pada Aluna walau kakaknya itu tidak melihat, Lisa bahagia kakaknya telah melewati rasa sakit saat melahirkan.“Mirip Ara ya adik kecilnya,” girang Ara melihat adiknya yang masih memejamkan mata.“Ih mirip tante tahu, tidak ada tuh mirip Ara sama sekali.” Salina menggelengkan kepala, waktunya menggoda Ara akhir
Happy reading***Alisia menggandeng Haresh dengan langkah terburu-buru melewati lorong rumah sakit, dibelakangnya ada Adnan dengan wajah panik. Suami Alisia itu sibuk menghubungi nomor telpon Daffin sejak sampai di rumah sakit. Sialnya, Daffin justru tidak mengangkat satu pun panggilan darinya.“Anak ini kemana sebenarnya,” gerutu Adnan, sudah ada puluhan panggilan hanya untuk Daffin saja tapi tak satu pun diangkat.“Gimana? Daffin ada angkat telpon?” tanya Alisia saat mereka sudah berada di depan salah satu ruangan VVIP rumah sakit.Adnan menggelengkan kepala. “Buru-buru diangkat, operator yang jawab terus,” ujarnya dengan napas berembus kasar. “Kita masuk saja dulu,” pinta Adnan. Menarik gagang pintu dan mendorong pelan.Pertama kali yang terlihat adalah Aluna yang meringis di atas ranjang rumah sakit, disamping Aluna ada kedua orang tua Daffin yang sudah terbang dari Australia ke Canada sej
Happy reading***Daffin dan Adnan berjalan masuk ke dalam kediaman baru milik Daffin dan Aluna. Semenjak masa jabatan Daffin sebagai duta besar berakhir, dia beserta semua keluarganya pindah dari kondominium, membeli rumah yang jaraknya cukup jauh dari rumah awal mereka. Walau tidak sebesar kondominium tapi rumah yang dibeli Daffin bisa dibilang cukup besar karena memiliki fasilitas yang lengkap. Rumah yang Daffin dan keluarganya tinggali sekarang adalah hasil dari bantuan dari Adnan yang mencarikan mereka rumah.“Aku suka rumah ini,” ujar Adnan saat melihat kolam renang yang mereka lewati untuk sampai ke ruang keluarga. “Untung saja kemarin kamu mau membeli rumah ini, jika tidak aku yang ambil,” canda Adnan yang dibalas kekehan oleh Daffin.“Terima kasih yang ke seratus kali,” ucap Daffin mengingat dia dan Aluna berterima kasih berkali-kali pada Adnan yang membantu mereka mencari rumah, dan mendapat harga diskon karen
Happy reading***Tepat seperti judul untuk bab ini, jam tujuh pagi Aluna dan Alisia tengah menikmati usapan lembut angin yang menerpa kulit mereka. Jalan-jalan pagi sekitaran komplek mereka memang menyenangkan, tak lupa juga dengan Haresh dan Ara yang menemani. Agenda mereka hari ini adalah piknik di taman komplek, hanya mereka berempat karena Daffin dan Adnan tengah keluar karena ada urusan bisnis.“Kandungan kamu gimana? Sehat kan?” Alisia mengusap perut Aluna yang sudah membuncit memasuki umur delapan bulan.“Sejauh ini kata dokter aku dan si kecil sehat-sehat saja,” jawab Aluna. “Semoga saja tidak ada hal buruk terjadi sampai satu bulan kedepan,” harap Aluna.Selama masa kehamilannya Aluna benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Dia sama sekali tidak pernah mengerjakan hal berat, pekerjaan rumah pun hanya mencuci piring saja, selebihnya Aluna serahkan pada ART. Aluna terus memikirkan hal positif agar tidak
Happy reading***Tatapan tajam Alisia membuat Adnan sudah seperti buruh upah yang bekerja tiada henti, sejak pagi buta Adnan seperti setrikaan bolak balik mengangkat barang. Ingin rasanya Adnan mengeluh pada istrinya, tapi Alisia malah acuh dan lebih fokus bermain dengan Haresh. Memang nasib melawan istri, tidak ada yang akan membela apalagi kata-kata Alisia.“Ini itu buat adik kamu.” Adnan sih langsung angkat tangan.“Ini mau ditaruh di mana sayang?” tanya Adnan saat mendorong tempat tidur bayi yang memiliki roda.Alisia menatap seluruh isi kamar yang kata Daffin menjadi kamar sementara anak Daffin dan Aluna. “Di mana ya?” bingung Alisia saat tidak menemukan space yang tepat.Adnan mengembuskan napas, setidaknya dia bisa istirahat sebentar selama istrinya berpikir. “Kamu sih, banyak banget belinya,” ucap Adnan. No! Dia tidak mengeluh karena pengeluaran sang istri yang diluar nalar demi membel