"Mas Wahyu!" Aku terperanjat. Ternyata Mas Wahyu yang menahan laju kursi rodaku."Kenapa, Fi? Kamu takut aku berbuat sesuatu? Aku tidak sejahat itu!" Mas Wahyu berkata tanpa melepaskan tangannya dari kursi roda. Bahkan dia malah mendorongnya maju."Lepaskan, Mas!" "Kamu tak perlu panik begitu, Fi. Aku hanya ingin membantu. Lagian aku heran sama kamu. Sudah bisa jalan kenapa masih suka pake kursi roda?" Mas Wahyu membawaku menjauh dari lobi, membawa masuk kedalam namun bukan menuju lifh, lebih tepat seperti kedapur.Apa aku harus berdiri dan lari? Tapi ...."Kamu mau bawa aku kemana, Mas?" tanyaku lagi."Aku hanya butuh waktu sebentar berbicara denganmu, jangan panik. Aku tak akan berbuat jahat padamu selama kamu masih bisa berbaik hati."Duh! Pasti Mas Wahyu ingin meminta sesuatu. Aku celingukan, berharap Asih segera menyusul namun nyatanya tak jua kunjung datang.Dibawa kedapur kantor, Mas Wahyu mengehentikan aku tepat di pojok sebelah kulkas."Apa maumu, Mas?" tanyaku langsung begi
Setelah kepergian Bang Tigor, aku membuka beberapa berkas yang pak Samsul bawa. Aku pelajari dengan segsama. Sepertinya masih ada harapan untuk menyelamatkan semuanya. Tentu Ayah peran utamanya.Beberapa klien menawarkan pertemuan. Aku masih bingung. Ucapan seorang staf marketing kemarin tetap membuatku insecure untuk langsung berhadapan dengan orang yang akan meminta kerja sama."Aku harus bisa mencari orang yang dapat di percaya untuk mewakili. Asih tak ahli dalam bidang ini. Iya cekatan namun sepertinya otaknya tak mampu menampung hal bisnis." Aku bergumam sambil mengetuk kepala."Asih, bagaimana tentang bodyguard yang akan menemaniku setiap hari, apa kamu sudah dapat?" tanyaku pada Asih yang tengah duduk bersandar disofa."Belum, Bu. Nanti secepatnya saya konfirmasi. Teman saya masih belum bisa dihubungi. Dia yang tau banyak tentang orang yang bisa menjadi bodyguard.".Aku mengangguk. "Tolong panggilkan Bayu. Aku ingin menyeleksi orang yang bisa mewakiliku bertemu klien.""Baik, B
Untuk apa? Apa Ayah masih menginginkan Faizal untuk menjadi suami Linda? Rasanya tak mungkin Linda mau.Faizal masuk dengan berlahan. Tatapannya langsung menuju pada brangkar dimana ayah terbaring."Pak Indra! Huuuu ...." Faizal langsung memeluk tubuh ayah dengan tangis yang pecah. Aku juga dapat melihat Ayah menitikan air mata. Seperti keduanya menyimpan kerinduan yang teramat. Apa Ayahku sedekat ini dengan seorang OB?"Maafkan saya, Pak. Baru bisa mengunjungi Bapak. Saya malu dan merasa tak pantas menginjakan kaki di rumah Bapak. Apalagi setelah di hina habis-habisan oleh keponakan Pak Indra." Faizal berkata dengan mengusap air matanya. Aku ikut terharu melihat itu.Ayah menggerakan mimik bibirnya."Reno, lihat Pak Indra!" Aku memanggil Reno yang seolah ia juga larut dalam kesedihan.Faizal langsung menatap Ayah."Apa yang beliau sampaikan?" tanyaku penasaran pada raut wajah ayah yang menyampaikan sesuatu."Beliau meminta sesuatu dari Faizal." Reno menjelaskan. Faizal langsung me
"Beliau berkata, jika takut tak memiliki umur panjang dan belum bisa melihat kamu bahagia!" Sontak ucapan Reno membuat aku yang akan pergi, langsung berhenti.Aku mencerna ucapan Reno, tapi sepermenit kemudian aku menyuruh Asih untuk melanjutkan mendorongku sampai keluar rumah sakit. "Bu Bos kepikiran ucapan Reno tadi?" Asih membuyarkan lamunanku. Aku yang tengah melamun, memikirkan baik buruknya perkataan ayah."Entahlah, Sih. Aku di lema. Kegagalan pernikahanku yang pertama saja masih membuat aku trauma sampai sekarang. Kamu bisa bayangkan. Sepupuku sendiri yang telah mengkhianati aku. Dia merebut hati suamiku.""Percayalah, Bu. Jika semua yang Bu Bos alami itu dapat di ambil khikmahnya. Jangan pernah merasa trauma atau takut untuk kembali menjalani hidup. Karena sejatinya, tak semua akan berjalan sama." Asih berkata panjang lebar. Seolah dia telah mengalami biduk rumah tangga."Kamu itu, Sih. Bisa aja ngomongin orang. Nyatanya kamu juga jomblo. Kenapa ngga nikah-nikah?" Aku balik
Aku melihat jam yang melingkar di tangan. Pukul lima sore. Aku belum juga salat Ashar. "Asih, antar aku ke masjid!" "Baik, Bu."Segera aku turun ke masjid menunaikan empat rakaat. Lenggang tak ada siapapun di ruang yang khusus perempuan. Hanya ... Ada suara seorang yang tengah mengaji. Suaranya bagus.Selesai salat, aku mendorong kursi sendiri untuk keluar. Karena memang asih aku suruh tunggu di luar. Dia sedang datang bulan.Karena penasaran siapa yang serajin ini tengah menghafal Al-Qur'an. Aku memilih melihat kesamping tempat yang hanya di batasi oleh besi yang dibentangkan kain lebar."Ternyata Faizal?" Aku bergumam. Saat kutahu pasti dia Faizal. Dari baju Koko yang ia gunakan sama dengan kemarin saat aku melihatnya. Suaranya benar-benar bagus.Aku segera mendorong kembali kursi rodaku saat Faizal menutup Al Qur'an dan selesai mengaji. Karena gugup takut ketahuan telah mengintai dia, aku mempercepat laju kursi roda. Ternyata justru rodanya terselip oleh karpet yang mungkin benan
[Mas Hisyam sudah sampai tadi, sekarang tengah istirahat.] Membaca pesan dari nomor Hisyam itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan."Mas Hisyam?" Artinya yang membalas itu ... Ah! Aku harus berfikir positif. Mungkin yang membalas adiknya atau sepupunya. Aku menenangkan diri, lebih baik aku tanyakan nanti kalau dia sudah bangun."Ayo, Sih!" Aku megajak Asih untuk segera masuk. Aku hari ini memilih untuk menggunakan kruk dari pada kursi roda. Terlihat lebih mandiri."Selamat pagi, Bu," sapa para pegawai begitu lewat. Sebagian sudah pada tahu jika aku CEO. Dari para karyawan yang bekerja selama Ayah menjabat dulu, kebanyakan mereka terlihat gigih dan ulet. Sangat berbeda dengan karyawan yang bekerja sekitar satu atau dua tahunan. Mereka yang kerja setelah kedudukan Mas Wahyu berkuasa. Rata-rata egois dan kadang suka asal-asalan.Tiba di ruanganku, tak lama Faizal masuk. Membawakan susu sesuai permintaanku. Iseng aku ingin mengerjainya sekaligus menguji kesetiannya pada kantor ini.Aku be
"Ini sedang di kamar, Syam. Kamu tidak sedang berbohong kan?" tanyaku langsung. Aku tak mau jadi beban dan terus kepikiran."Maksud kamu apa, Fi. Aku bohong apa?" Dia justru balik bertanya."Maaf, Syam. Aku sempat meraguakanmu." Jawabku jujur.Hening, tak ada sepatah kata yang terucap."Ya sudah dulu ya, Syam. Aku mau mandi!" Akhirnya aku memilih mengakhiri telfon."Ya sudah buruan sana mandi! Biar baunya wangi sampai sini.""Gombal!" Aku langsung mematikan telfon. Menutup album dan menyimpannya kembali pada lemari.Aku bersiap mandi dan menjalankan salat magrib. Aku duduk diatas sajadah sampai isya. Agar tak perlu wudhu lagi dan langsung melaksanakan salat isya setelah wirid dan ngaji.Pintu di ketuk. Asih bilang ingin memberitahu sesuatu. Tentu aku gegas membukanya walau dengan tertatih."Ada apa, Sih?" tanyaku padanya yang terlihat sedikit bingung."Ini, Bu Bos. Faizal nanyain rumah Pak Indra. Katanya dia datang ke RS dan sudah di bawa pulang!" Aku tersentak. Bagaimana ini, kalau d
Sepertinya merenungi diri atas apa yang kita alami percuma. Perlu untuk lebih hati-hati dan bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Keputusan untuk dekat dengan Hisyam memang terlalu terburu-buru. Aku memang gegabah hanya karena mendengar keinginan ayah yang kurasa sedikit aneh. Ya ... Aneh. Seorang Indra Aji pangera pemilik AFI Mandiri, menjodohkan putri satu-satunya dengan seorang OB? Aneh bukan? Alasan apa yang mendasari semua itu? Apa hanya karena Faizal tekun beribadah, tanggung jawab dan sopan santun?Difikir tetap tak ada titik temu, tapi ... Sudahlah. Aku makin pusing jika memikirkan semua hal itu.Lebih baik aku tidur, dan setelahnya bangun untuk salat malam. Aku ingin Allah memberi petunjuk tentang pilihan Ayah itu.~~~~Gegas aku memasuki ruang rapat. Hari ini, Bayu sudah menjadwalkan beberapa pertemuan aku dengan klien membahas proyek yang memang sedang kita susun.Aku duduk membuka laptop. Mensejajarkan pada semua yang hadir.Setelah kujelaskan rincian dan niat kedepan
"Soal Faizal ....""Aku siap kok, Om. Jika disuruh nikah sama dia sebagai syarat untuk mendapatkan perusahaan. Lagian aku sudah tahu jika Faizal itu laki-laki salehah. Itu yang penting, agar bisa membimbing kita sebagai istri kejalan yang benar." Ucapan Linda tentu membuat hatiku berdenyut nyeri. Rasa apa ini hingga aku seperti tak ikhlas mendengar apa yang baru disampaikan oleh Linda. Aku memajukan bibir.Ayah tersenyum. Apa benar ayah akan melakukan itu. Ia tak berkata namun mendekat pada kami berdua."Masalah yang satu ini kan berhubungan dengan perasaan Faizal. Jadi semuanya aku serahkan Padanya. Datanglah kekantor esok hari dan kamu akan mendengar keputusannya." Ayah berkata dengan tegas. Sambil melihat kearah aku dan juga Linda.Setelah kepergian Linda yang tadi sudah janji akan datang kekantor esok hari. Aku memasang wajah cemberut didepan Ayah."Kamu kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?" Ayah mendekat padaku."Ayah itu punya prinsip ngga sih? Pertama di jodohkan dengan Linda, ke
Aku tersenyum senang saat Faizal keluar dengan wajah sedikit bingung. Dia tentu kaget karena aku tak memberitahukan terlebih dahulu.Aku melihat dari CCTV yang sudah kupasang di ruang staf HDR. Kulihat Pak Samsul tengah menjelaskan apa yang harus dia kerjakan. Dengan segsama Faizal serius menyimak. Ayah memang tak salah memilih dia menjadi seperti sekarang."Eheem!" Asih yang berada diruanganku berdehem."Asih! Kapan kamu datang? Ngga ketok pintu dulu lagi!" Aku otomatis langsung menutup laptop. Tentu takut ketahuan jika aku tengah mengawasi Faizal."Kenapa di tutup? Lagi lihat film dewasalah?" ocehnya. Aku mendelik padanya."Emangnya otakku semesum itu!" gerutuku. "Ngomong-ngomong ada apa kamu nyusul?" Dia tak langsung menjawab. Justru menjatuhkan bobot pada sofa di samping ruangan."Aku cuma mau mengabari tentang Linda. Dia tinggal di kontrakan kecil di daerah Lebak bulus." ungkapnya.Aku mengangguk. "Apa kamu dapat nomor telfonnya?""Tentu, Asih kalau cari tahu ngga akan setengah-
Benarkah?Ayah menceritakan bagaimana dulu membiayai sekolah Faizal. Dari masuk ponpes hingga jadi hafidz dan kuliah yang memang ayah memilih jurusan sesuai yang dibutuhkan untuk mengelola pekerjaan."Tapi, Faizal pernah bilang jika dia hanya lulusan SMA hingga ia akhirnya hanya bisa bekerja sebagai OB. Dia bilang Ayah menawari kerjaan yang lebih layak karena kegigihnya." Aku mengingat itu, saat pertama masuk kekantor."Iya begitulah. Dia selalu tak mau menunjukan sekolah tingginya. Dia bilang masih tak pantas dirinya menerima gelar itu. Dia percaya jika nasib akan merubahnya tanpa harus menunjukan apa yang dia sendiri merasa begitu beruntung." Ayah menjelaskan. Aku hanya mengangguk. Faizal memang laki-laki yang selalu bersikap rendah hati tapi ....Sebenarnya dulu memang ayah menginginkan dia untuk kamu, tapi tentu ayah tahu jika kamu sudah menentukan pilihannya pada laki-laki yang bernama Wahyu. Ayah hanya ingin kebahagiaanmu."Terus bagaimana ayah menjodohkan dia dengan Linda? Bahk
"Eh, Bu Bos!" Faizal langsung menurunkan ponselnya. Aku tak tahu sudah di matikan atau belum."Siapa yang sedang kamu telfon?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tentu aku tak mau kecolongan lagi. Sudah terlalu banyak kecolongan oleh Linda dan Mas Wahyu. Aku tak mau kecolongan dari orang lain. Apalagi dia bukan siapa-siapa."Bukan siapa-siapa kok, Bu Bos. Hanya teman biasa. Biasalah, bisnis kecil-kecilan." Dia membuka saku dan akan memasukan ponselnya."Tunggu! Aku mau lihat siapa yang kamu telfon. Bisa berikan ponselmu?" Aku langsung mengarahkan tangan.Dia terlihat bingung. Namun kemudian menarik tangannya."Sepertinya ada yang mulai cemburu, mungkin ia kira aku tak setia."Settt!Dia memang sekarang begitu PD! "Mana!" Aku kembali memajukan tangan."Kenapa si calon istriku ini? Cemburunya begitu amat sampai-sampai meminta ponselku. Duhh ... Tambah manis deh!" aku tahu, dia sedang membuat aku urung meminta ponselnya."Maaf, ya. Ini bukan urusan pribadi antara anda dan saya! Ini masal
PoV Faizal.Aku yatim sejak kecil. Saat itu, aku hanya mampu menangis melihat ku--Permadi-- terbujur kaku didepanku. Ibu tak kuasa menahan tangis terlebih saat itu, kami tak punya apapun untuk sekedar di makan."Bapak, pergi dulu. Siapa tahu dapat rejeki dan kita bisa beli makan. Setelah ini, Bapak pastikan hidup kalian tak akan kekurangan." Pamit Bapak saat itu. Ibu memelukku erat. Mengangguk dan melihat punggung Bapak Permadi sampai menghilang di lorong jalan.Namun, baru saja satu jam Bapak pergi, kami mendengar jika dia pergi untuk selamanya. Tentu, sakit dan kaget menyatu. "Permadi meninggal karena ditabrak sama mobil, Mbak! Sedangkan yang punya mobil juga meninggal karena tertabrak teronton." Tetangga mengabari. Aku sendiri bingung, bagaimana Bapak di tabrak dan yang menabrak ikut meninggal?Sampai akhirnya aku paham kronologinya. Tentu marah! Bagaimanapun dia telah membuat Bapak meninggal walau setimpal dia juga meninggal.Sebelum Bapak di kebumikan, ada beberapa orang yang da
"Bang Tigor meninggal?" aku masih tak percaya. Karena pagi tadi juga kami masih komunikasi.Aku lemas. Bagaimanapun dia banyak membantu keluarga ini. Bahkan Ayah sudah mengagap dia seperti saudara sendiri."Kenapa, Bu?" tanya Asih yang melihat aku masih mematung di anak tangga.Bibirku bergetar. Ada rasa tak percaya akan semua hal ini."Bang Tigor, Sih. Dia di kabarkan meninggal baru saja." Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Aku melangkah menuruni anak tangga. Segera menyuruh Asih untuk meminta sopir mengantarkan kerumah duka.Tiba di rumah Bang Tigor, suasana sudah ramai. Banyak pelayat yang tengah membaca Al Qur'an. Aku mendekat pada jenasah. Wajah yang telah ditutup oleh kain jarik, kusingkap sedikit. Air mata ini langsung luruh."Bang!" ucapku dengan sedikit isakan. Aku memilih mundur, takut jika air mata ini jatuh di atas jenazah. Ada raut bingung pada beberapa orang dengan kedatanganku. Tak terkecuali istri bang Tigor yang masih duduk lemas di samping Bang Tigor."Bang Tigor ora
Aku tak percaya melihat penampakan mahluk didepanku. Bahkan sempat mengedipkan mata karena masih belum yakin dengan apa yang kulihat.Mimpi kah?Aku bergumam. Dengan pelan menyusuri anak tangga yang tinggal beberapa lagi. Pelan tapi pasti. Pandanganku tak teralihkan dari sosok pria didepan sana.Tersenyum. Bahkan sangat kentara lesung pipitnya. Baru kali pertama aku memperhatikan dengan segsama cekungan yang ada di pipinya saat tersenyum."Sudah siap?" tanyanya ketika kami tinggal berjarak beberapa langkah.Aku masih terpakau. Ah! Rasanya ini mustahil."Hello! Apa sudah siap berangkat?" tanyanya kemudian melambaikan tangan. Aku tersadar dari hipnotis-nya."Ka-kamu?" tanyaku terbata."Kenapa? Apa seorang OB tidak boleh tampil resmi saat Dinner dengan calon istri?" Ah! Bahkan aku sendiri memikirkan untuk berdandan sederhana. Mengikuti mode yang dia tampilkan selama ini. Nyatanya?Aku tersenyum malu. "Se-sebenarnya ...."Ingin rasanya aku katakan, jika aku ingin kembali kekamar dan Men
Gila! Bagaimana ayah begitu cepat memutuskan. Ah! Rasanya aku saja belum siap secara lahir maupun batin. Apalagi setelah kejadian Hisyam kemarin. Menambah rasa ragu untuk membuka hati.Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya lewat mata aku mengisyaratkan jika aku benar-benar belum siap.Kulangkahkan kaki dengan lemas. Menaiki tangga menuju kamar. Aku sudah pindah kembali kekamar atas. Tentu karena aku sudah kembali bisa berjalan.Saat bobot kujatuhkan pada ranjang. Aku meatap langit-langit kamar. Kenapa ayah bersikukuh untuk menikahkan Faizal dengan salah satu diantara kami. Bahkan kali ini cenderung memintaku.Sayup mata mulai terpejam. Saat ponselku berdering hingga aku terperanjat. Nomor luar negri?"Hallo, assalamualaikum, Mbak Afi." Dari sebrang sana terdengar lembut suara perempuan yang tak asing bagiku."Hallo, Waalaikumsalam,Tiara. Apa kabar? Bagaimana keadaanya. Betah juga tinggal di negara tirai bambu," ucapku padanya. Dia dulu tetanggaku disini. Rumahnya bersebelahan. Dia da
Setelah keluar dari kantor, aku bukan pergi ke restoran Nuansa hijau. Tapi, justru pergi ke rumah Faizal. Entah kenapa langkah ini yang membawa aku kesana. Padahal klien ini sangat penting. Duh ....Tiba di rumah duka, terlihat sudah banyak warga berkumpul. Tentu kedatanganku membuat beberapa pasang mata yang tengah melayat menatapku. Kikuk. Tapi, aku tak peduli."Assalamualaikum ...." Kuucapkan salam. Beberapa orang menjawab. Kulihat Faizal begitu tegar. Dia tengah mengaji di samping jenazah ibunya.Aku duduk diantara orang-orang. Mereka terlihat sedikit segan padaku, bahkan ada yang membawakan aku kursi untuk duduk. Tapi kutolak.Sedikit banyak ada yang berbisik. Bahkan aku mendengar ada beberapa yang menduga jika aku orang penting di kantor Faizal bekerja.Aku melihat orang yang sibuk merangkai bunga, mengiris daun pandan. Aku sampai bingung untuk membantu."Boleh saya bantu, Bu?" tanyaku pada Ibu separuh baya yang tengah memegang pisau memotong daun pandan."Bo-boleh, Mbak. Tapi .