"Han-hantuuuu!" Aku dan Asih berkata bersama. Asih maju kedepan dan aku juga maju kedepan hingga akhirnya kami saling tubruk."Auuu!" Pekikku. Aku memegangi kening sedangkan Asih memegangi bibirnya. Memang Asih lebih tinggi dari pada aku. Cukup jauh perbedaanya. Dia memiliki tinggi badan yang lumayan sekitar 167 sedangkan aku hany 155. Asih berkulit gelap namun memiliki wajah yang manis dengan wajah oriental."Kamu ini gimana si, Sih?" gerutuku."Abis Bu Bos juga ngapain maju? Kan kamarnya disana!" Asih menunjuk kearah pintu kamar.Tak lama pintu kamar ayah terbuka. Reno dan Bulik Tuti keluar dengan sedikit heran. Aku kelimpungan. Malu jika aku ceritakan.Kulihat Bulik yang masih memegangi tissu untuk mengelap matanya. Artinya tadi yang menangis itu Bulik?"Tadi yang menangis itu, Bulik?" tanyaku saat Bulik mendekat. Aku yang masih terduduk bersama Asih langsung bergegas berdiri."Iya, Nduk. Bulik sedih sekali mendengar penuturan Mas Indra tentang semua yang Linda lakukan. Bulik menye
"Apa maksud ucapan kalian?" Faizal masih penasaran karena kami masih bungkam.Aku menyenggol lengan Asih. Dia tampak gelagapan. Mungkin tadi dia tak sengaja menjelaskan karena jengkal.Prankk ....Tiba-tiba suara gelas pecah terdengar dari dalam kamar."Lee, Ibu mau minum!"Suara wanita tua itu terdengar. Faizal segera beranjak dan masuk kekamar. Aku mengikutinya karena rasa penasaran.Saat gorden terbaru, aku kaget melihat wanita yang tengah berbaring. Walau wajahnya pucat, aku masih bisa mengenalinya. Ya ... Wanita itu, orang yang sama dengan foto yang kutemukan kemarin. Artinya ....Aku akan masuk kedalam saat sebuah suara menghentikan langkahku."Jangan! Tolong jangan masuk, Bu Bos. Hargai privasi saya." Faizal berkata tepat saat akan masuk membawakan minuman. Aku memilih mundur. Kemudian pamit pulang karena takut menganggu. Biar urusan yang lain nanti saja!"Gelo dia, Bu. Berani-beraninya bilang begitu!" Gerutu Asih saat kami sudah dalam mobil."Kamu ini, hampir membuat aku keta
Setelah keluar dari kantor, aku bukan pergi ke restoran Nuansa hijau. Tapi, justru pergi ke rumah Faizal. Entah kenapa langkah ini yang membawa aku kesana. Padahal klien ini sangat penting. Duh ....Tiba di rumah duka, terlihat sudah banyak warga berkumpul. Tentu kedatanganku membuat beberapa pasang mata yang tengah melayat menatapku. Kikuk. Tapi, aku tak peduli."Assalamualaikum ...." Kuucapkan salam. Beberapa orang menjawab. Kulihat Faizal begitu tegar. Dia tengah mengaji di samping jenazah ibunya.Aku duduk diantara orang-orang. Mereka terlihat sedikit segan padaku, bahkan ada yang membawakan aku kursi untuk duduk. Tapi kutolak.Sedikit banyak ada yang berbisik. Bahkan aku mendengar ada beberapa yang menduga jika aku orang penting di kantor Faizal bekerja.Aku melihat orang yang sibuk merangkai bunga, mengiris daun pandan. Aku sampai bingung untuk membantu."Boleh saya bantu, Bu?" tanyaku pada Ibu separuh baya yang tengah memegang pisau memotong daun pandan."Bo-boleh, Mbak. Tapi .
Gila! Bagaimana ayah begitu cepat memutuskan. Ah! Rasanya aku saja belum siap secara lahir maupun batin. Apalagi setelah kejadian Hisyam kemarin. Menambah rasa ragu untuk membuka hati.Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya lewat mata aku mengisyaratkan jika aku benar-benar belum siap.Kulangkahkan kaki dengan lemas. Menaiki tangga menuju kamar. Aku sudah pindah kembali kekamar atas. Tentu karena aku sudah kembali bisa berjalan.Saat bobot kujatuhkan pada ranjang. Aku meatap langit-langit kamar. Kenapa ayah bersikukuh untuk menikahkan Faizal dengan salah satu diantara kami. Bahkan kali ini cenderung memintaku.Sayup mata mulai terpejam. Saat ponselku berdering hingga aku terperanjat. Nomor luar negri?"Hallo, assalamualaikum, Mbak Afi." Dari sebrang sana terdengar lembut suara perempuan yang tak asing bagiku."Hallo, Waalaikumsalam,Tiara. Apa kabar? Bagaimana keadaanya. Betah juga tinggal di negara tirai bambu," ucapku padanya. Dia dulu tetanggaku disini. Rumahnya bersebelahan. Dia da
Aku tak percaya melihat penampakan mahluk didepanku. Bahkan sempat mengedipkan mata karena masih belum yakin dengan apa yang kulihat.Mimpi kah?Aku bergumam. Dengan pelan menyusuri anak tangga yang tinggal beberapa lagi. Pelan tapi pasti. Pandanganku tak teralihkan dari sosok pria didepan sana.Tersenyum. Bahkan sangat kentara lesung pipitnya. Baru kali pertama aku memperhatikan dengan segsama cekungan yang ada di pipinya saat tersenyum."Sudah siap?" tanyanya ketika kami tinggal berjarak beberapa langkah.Aku masih terpakau. Ah! Rasanya ini mustahil."Hello! Apa sudah siap berangkat?" tanyanya kemudian melambaikan tangan. Aku tersadar dari hipnotis-nya."Ka-kamu?" tanyaku terbata."Kenapa? Apa seorang OB tidak boleh tampil resmi saat Dinner dengan calon istri?" Ah! Bahkan aku sendiri memikirkan untuk berdandan sederhana. Mengikuti mode yang dia tampilkan selama ini. Nyatanya?Aku tersenyum malu. "Se-sebenarnya ...."Ingin rasanya aku katakan, jika aku ingin kembali kekamar dan Men
"Bang Tigor meninggal?" aku masih tak percaya. Karena pagi tadi juga kami masih komunikasi.Aku lemas. Bagaimanapun dia banyak membantu keluarga ini. Bahkan Ayah sudah mengagap dia seperti saudara sendiri."Kenapa, Bu?" tanya Asih yang melihat aku masih mematung di anak tangga.Bibirku bergetar. Ada rasa tak percaya akan semua hal ini."Bang Tigor, Sih. Dia di kabarkan meninggal baru saja." Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Aku melangkah menuruni anak tangga. Segera menyuruh Asih untuk meminta sopir mengantarkan kerumah duka.Tiba di rumah Bang Tigor, suasana sudah ramai. Banyak pelayat yang tengah membaca Al Qur'an. Aku mendekat pada jenasah. Wajah yang telah ditutup oleh kain jarik, kusingkap sedikit. Air mata ini langsung luruh."Bang!" ucapku dengan sedikit isakan. Aku memilih mundur, takut jika air mata ini jatuh di atas jenazah. Ada raut bingung pada beberapa orang dengan kedatanganku. Tak terkecuali istri bang Tigor yang masih duduk lemas di samping Bang Tigor."Bang Tigor ora
PoV Faizal.Aku yatim sejak kecil. Saat itu, aku hanya mampu menangis melihat ku--Permadi-- terbujur kaku didepanku. Ibu tak kuasa menahan tangis terlebih saat itu, kami tak punya apapun untuk sekedar di makan."Bapak, pergi dulu. Siapa tahu dapat rejeki dan kita bisa beli makan. Setelah ini, Bapak pastikan hidup kalian tak akan kekurangan." Pamit Bapak saat itu. Ibu memelukku erat. Mengangguk dan melihat punggung Bapak Permadi sampai menghilang di lorong jalan.Namun, baru saja satu jam Bapak pergi, kami mendengar jika dia pergi untuk selamanya. Tentu, sakit dan kaget menyatu. "Permadi meninggal karena ditabrak sama mobil, Mbak! Sedangkan yang punya mobil juga meninggal karena tertabrak teronton." Tetangga mengabari. Aku sendiri bingung, bagaimana Bapak di tabrak dan yang menabrak ikut meninggal?Sampai akhirnya aku paham kronologinya. Tentu marah! Bagaimanapun dia telah membuat Bapak meninggal walau setimpal dia juga meninggal.Sebelum Bapak di kebumikan, ada beberapa orang yang da
"Eh, Bu Bos!" Faizal langsung menurunkan ponselnya. Aku tak tahu sudah di matikan atau belum."Siapa yang sedang kamu telfon?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tentu aku tak mau kecolongan lagi. Sudah terlalu banyak kecolongan oleh Linda dan Mas Wahyu. Aku tak mau kecolongan dari orang lain. Apalagi dia bukan siapa-siapa."Bukan siapa-siapa kok, Bu Bos. Hanya teman biasa. Biasalah, bisnis kecil-kecilan." Dia membuka saku dan akan memasukan ponselnya."Tunggu! Aku mau lihat siapa yang kamu telfon. Bisa berikan ponselmu?" Aku langsung mengarahkan tangan.Dia terlihat bingung. Namun kemudian menarik tangannya."Sepertinya ada yang mulai cemburu, mungkin ia kira aku tak setia."Settt!Dia memang sekarang begitu PD! "Mana!" Aku kembali memajukan tangan."Kenapa si calon istriku ini? Cemburunya begitu amat sampai-sampai meminta ponselku. Duhh ... Tambah manis deh!" aku tahu, dia sedang membuat aku urung meminta ponselnya."Maaf, ya. Ini bukan urusan pribadi antara anda dan saya! Ini masal
"Soal Faizal ....""Aku siap kok, Om. Jika disuruh nikah sama dia sebagai syarat untuk mendapatkan perusahaan. Lagian aku sudah tahu jika Faizal itu laki-laki salehah. Itu yang penting, agar bisa membimbing kita sebagai istri kejalan yang benar." Ucapan Linda tentu membuat hatiku berdenyut nyeri. Rasa apa ini hingga aku seperti tak ikhlas mendengar apa yang baru disampaikan oleh Linda. Aku memajukan bibir.Ayah tersenyum. Apa benar ayah akan melakukan itu. Ia tak berkata namun mendekat pada kami berdua."Masalah yang satu ini kan berhubungan dengan perasaan Faizal. Jadi semuanya aku serahkan Padanya. Datanglah kekantor esok hari dan kamu akan mendengar keputusannya." Ayah berkata dengan tegas. Sambil melihat kearah aku dan juga Linda.Setelah kepergian Linda yang tadi sudah janji akan datang kekantor esok hari. Aku memasang wajah cemberut didepan Ayah."Kamu kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?" Ayah mendekat padaku."Ayah itu punya prinsip ngga sih? Pertama di jodohkan dengan Linda, ke
Aku tersenyum senang saat Faizal keluar dengan wajah sedikit bingung. Dia tentu kaget karena aku tak memberitahukan terlebih dahulu.Aku melihat dari CCTV yang sudah kupasang di ruang staf HDR. Kulihat Pak Samsul tengah menjelaskan apa yang harus dia kerjakan. Dengan segsama Faizal serius menyimak. Ayah memang tak salah memilih dia menjadi seperti sekarang."Eheem!" Asih yang berada diruanganku berdehem."Asih! Kapan kamu datang? Ngga ketok pintu dulu lagi!" Aku otomatis langsung menutup laptop. Tentu takut ketahuan jika aku tengah mengawasi Faizal."Kenapa di tutup? Lagi lihat film dewasalah?" ocehnya. Aku mendelik padanya."Emangnya otakku semesum itu!" gerutuku. "Ngomong-ngomong ada apa kamu nyusul?" Dia tak langsung menjawab. Justru menjatuhkan bobot pada sofa di samping ruangan."Aku cuma mau mengabari tentang Linda. Dia tinggal di kontrakan kecil di daerah Lebak bulus." ungkapnya.Aku mengangguk. "Apa kamu dapat nomor telfonnya?""Tentu, Asih kalau cari tahu ngga akan setengah-
Benarkah?Ayah menceritakan bagaimana dulu membiayai sekolah Faizal. Dari masuk ponpes hingga jadi hafidz dan kuliah yang memang ayah memilih jurusan sesuai yang dibutuhkan untuk mengelola pekerjaan."Tapi, Faizal pernah bilang jika dia hanya lulusan SMA hingga ia akhirnya hanya bisa bekerja sebagai OB. Dia bilang Ayah menawari kerjaan yang lebih layak karena kegigihnya." Aku mengingat itu, saat pertama masuk kekantor."Iya begitulah. Dia selalu tak mau menunjukan sekolah tingginya. Dia bilang masih tak pantas dirinya menerima gelar itu. Dia percaya jika nasib akan merubahnya tanpa harus menunjukan apa yang dia sendiri merasa begitu beruntung." Ayah menjelaskan. Aku hanya mengangguk. Faizal memang laki-laki yang selalu bersikap rendah hati tapi ....Sebenarnya dulu memang ayah menginginkan dia untuk kamu, tapi tentu ayah tahu jika kamu sudah menentukan pilihannya pada laki-laki yang bernama Wahyu. Ayah hanya ingin kebahagiaanmu."Terus bagaimana ayah menjodohkan dia dengan Linda? Bahk
"Eh, Bu Bos!" Faizal langsung menurunkan ponselnya. Aku tak tahu sudah di matikan atau belum."Siapa yang sedang kamu telfon?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tentu aku tak mau kecolongan lagi. Sudah terlalu banyak kecolongan oleh Linda dan Mas Wahyu. Aku tak mau kecolongan dari orang lain. Apalagi dia bukan siapa-siapa."Bukan siapa-siapa kok, Bu Bos. Hanya teman biasa. Biasalah, bisnis kecil-kecilan." Dia membuka saku dan akan memasukan ponselnya."Tunggu! Aku mau lihat siapa yang kamu telfon. Bisa berikan ponselmu?" Aku langsung mengarahkan tangan.Dia terlihat bingung. Namun kemudian menarik tangannya."Sepertinya ada yang mulai cemburu, mungkin ia kira aku tak setia."Settt!Dia memang sekarang begitu PD! "Mana!" Aku kembali memajukan tangan."Kenapa si calon istriku ini? Cemburunya begitu amat sampai-sampai meminta ponselku. Duhh ... Tambah manis deh!" aku tahu, dia sedang membuat aku urung meminta ponselnya."Maaf, ya. Ini bukan urusan pribadi antara anda dan saya! Ini masal
PoV Faizal.Aku yatim sejak kecil. Saat itu, aku hanya mampu menangis melihat ku--Permadi-- terbujur kaku didepanku. Ibu tak kuasa menahan tangis terlebih saat itu, kami tak punya apapun untuk sekedar di makan."Bapak, pergi dulu. Siapa tahu dapat rejeki dan kita bisa beli makan. Setelah ini, Bapak pastikan hidup kalian tak akan kekurangan." Pamit Bapak saat itu. Ibu memelukku erat. Mengangguk dan melihat punggung Bapak Permadi sampai menghilang di lorong jalan.Namun, baru saja satu jam Bapak pergi, kami mendengar jika dia pergi untuk selamanya. Tentu, sakit dan kaget menyatu. "Permadi meninggal karena ditabrak sama mobil, Mbak! Sedangkan yang punya mobil juga meninggal karena tertabrak teronton." Tetangga mengabari. Aku sendiri bingung, bagaimana Bapak di tabrak dan yang menabrak ikut meninggal?Sampai akhirnya aku paham kronologinya. Tentu marah! Bagaimanapun dia telah membuat Bapak meninggal walau setimpal dia juga meninggal.Sebelum Bapak di kebumikan, ada beberapa orang yang da
"Bang Tigor meninggal?" aku masih tak percaya. Karena pagi tadi juga kami masih komunikasi.Aku lemas. Bagaimanapun dia banyak membantu keluarga ini. Bahkan Ayah sudah mengagap dia seperti saudara sendiri."Kenapa, Bu?" tanya Asih yang melihat aku masih mematung di anak tangga.Bibirku bergetar. Ada rasa tak percaya akan semua hal ini."Bang Tigor, Sih. Dia di kabarkan meninggal baru saja." Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Aku melangkah menuruni anak tangga. Segera menyuruh Asih untuk meminta sopir mengantarkan kerumah duka.Tiba di rumah Bang Tigor, suasana sudah ramai. Banyak pelayat yang tengah membaca Al Qur'an. Aku mendekat pada jenasah. Wajah yang telah ditutup oleh kain jarik, kusingkap sedikit. Air mata ini langsung luruh."Bang!" ucapku dengan sedikit isakan. Aku memilih mundur, takut jika air mata ini jatuh di atas jenazah. Ada raut bingung pada beberapa orang dengan kedatanganku. Tak terkecuali istri bang Tigor yang masih duduk lemas di samping Bang Tigor."Bang Tigor ora
Aku tak percaya melihat penampakan mahluk didepanku. Bahkan sempat mengedipkan mata karena masih belum yakin dengan apa yang kulihat.Mimpi kah?Aku bergumam. Dengan pelan menyusuri anak tangga yang tinggal beberapa lagi. Pelan tapi pasti. Pandanganku tak teralihkan dari sosok pria didepan sana.Tersenyum. Bahkan sangat kentara lesung pipitnya. Baru kali pertama aku memperhatikan dengan segsama cekungan yang ada di pipinya saat tersenyum."Sudah siap?" tanyanya ketika kami tinggal berjarak beberapa langkah.Aku masih terpakau. Ah! Rasanya ini mustahil."Hello! Apa sudah siap berangkat?" tanyanya kemudian melambaikan tangan. Aku tersadar dari hipnotis-nya."Ka-kamu?" tanyaku terbata."Kenapa? Apa seorang OB tidak boleh tampil resmi saat Dinner dengan calon istri?" Ah! Bahkan aku sendiri memikirkan untuk berdandan sederhana. Mengikuti mode yang dia tampilkan selama ini. Nyatanya?Aku tersenyum malu. "Se-sebenarnya ...."Ingin rasanya aku katakan, jika aku ingin kembali kekamar dan Men
Gila! Bagaimana ayah begitu cepat memutuskan. Ah! Rasanya aku saja belum siap secara lahir maupun batin. Apalagi setelah kejadian Hisyam kemarin. Menambah rasa ragu untuk membuka hati.Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya lewat mata aku mengisyaratkan jika aku benar-benar belum siap.Kulangkahkan kaki dengan lemas. Menaiki tangga menuju kamar. Aku sudah pindah kembali kekamar atas. Tentu karena aku sudah kembali bisa berjalan.Saat bobot kujatuhkan pada ranjang. Aku meatap langit-langit kamar. Kenapa ayah bersikukuh untuk menikahkan Faizal dengan salah satu diantara kami. Bahkan kali ini cenderung memintaku.Sayup mata mulai terpejam. Saat ponselku berdering hingga aku terperanjat. Nomor luar negri?"Hallo, assalamualaikum, Mbak Afi." Dari sebrang sana terdengar lembut suara perempuan yang tak asing bagiku."Hallo, Waalaikumsalam,Tiara. Apa kabar? Bagaimana keadaanya. Betah juga tinggal di negara tirai bambu," ucapku padanya. Dia dulu tetanggaku disini. Rumahnya bersebelahan. Dia da
Setelah keluar dari kantor, aku bukan pergi ke restoran Nuansa hijau. Tapi, justru pergi ke rumah Faizal. Entah kenapa langkah ini yang membawa aku kesana. Padahal klien ini sangat penting. Duh ....Tiba di rumah duka, terlihat sudah banyak warga berkumpul. Tentu kedatanganku membuat beberapa pasang mata yang tengah melayat menatapku. Kikuk. Tapi, aku tak peduli."Assalamualaikum ...." Kuucapkan salam. Beberapa orang menjawab. Kulihat Faizal begitu tegar. Dia tengah mengaji di samping jenazah ibunya.Aku duduk diantara orang-orang. Mereka terlihat sedikit segan padaku, bahkan ada yang membawakan aku kursi untuk duduk. Tapi kutolak.Sedikit banyak ada yang berbisik. Bahkan aku mendengar ada beberapa yang menduga jika aku orang penting di kantor Faizal bekerja.Aku melihat orang yang sibuk merangkai bunga, mengiris daun pandan. Aku sampai bingung untuk membantu."Boleh saya bantu, Bu?" tanyaku pada Ibu separuh baya yang tengah memegang pisau memotong daun pandan."Bo-boleh, Mbak. Tapi .