Intan berpura-pura berdiskusi dengan Alfred. Mereka berbincang dengan suara kecil yang tidak terdengar oleh orang lain. Pelayan dan pengawal itu menjadi cemas karena tidak bisa mendengar mereka.Sesaat kemudian, Alfred mengangguk. Lalu, Intan berujar, "Baiklah, kita pulang ke ibu kota bersama-sama."Pelayan itu mengembuskan napas lega. "Terima kasih Nyonya. Nyonya benar-benar baik.""Siapa namamu?" tanya Intan.Pelayan itu memberi hormat. "Namaku Ayu.""Siapa namamu?" tanya Intan pada pengawal itu."Namaku Agus," jawab pengawal itu dengan suara yang kasar. Tubuhnya kekar, tampak lugu dan bersahaja. Akan tetapi, penampilan luar biasanya bertolak belakang dengan sifat hati.Intan menanyakan beberapa hal lagi, tetapi tidak menemukan kejanggalan. Intan jelas juga tidak ingin menemukan kejanggalan dari mereka.Di tengah malam, Tabib Riel memingsankan pak kusir, Agus, dan Ayu menggunakan sedikit bubuk yang tidak berwarna dan tidak beraroma.Di dalam kamar, Leolina berlutut di depan Intan dan
Marsila dan Intan merinding setelah mendengar omongan Alfred. Melempar mati seorang bayi yang baru lahir? Seberapa kejamnya Putri Agung sampai bisa melakukan hal seperti itu?Leolina tersenyum getir. "Perbuatan kejam seperti ini entah sudah terjadi berapa kali di Kediaman Putri Agung. Aku awalnya punya adik laki-laki. Saat hamil, Ibu sudah menduga itu adalah anak laki-laki. Ibu ingin kabur karena tahu Ayah tidak akan bisa melindunginya. Ibu tahu Putri Agung tidak akan menoleransi kelahiran bayi laki-laki. Semua bayi laki-laki harus mati. Tapi Putri Agung mengutus orang untuk mengawasi Ibu. Setelah masuk ke Kediaman Putri Agung, tidak ada yang bisa keluar lagi, kecuali mayat.""Ayah bilang dia akan membantu ibuku kabur." Leolina menyeka air mata. "Ibu percaya dan terus menunggu Ayah mencari kesempatan. Sampai waktunya akan bersalin, mereka baru menemukan satu kesempatan. Ibu Tiri pergi menghadiri perjamuan dan akan pulang larut malam.""Tidak berhasil kabur?" Marsila merasa sangat marah
Leolina menjawab, "Saat tinggal di Kediaman Putri Agung, kami tidak dapat meninggalkan paviliun kami. Tidak peduli mempelajari seni bela diri atau ajaran rumah bordil seperti Kakak, semuanya dilakukan di paviliun masing-masing. Sedangkan Paviliun Barat, tidak pernah kudekati. Tapi kata pelayan, Paviliun Barat sepertinya adalah tempat ibadah karena Ibu Tiri selalu pergi sembahyang setiap tanggal satu dan lima belas.""Tempat ibadah?" Intan mengernyit. Pasti tidak hanya sekadar tempat ibadah. Jika tidak, mengapa Putri Agung menjaganya dengan ketat?Tampaknya, mereka harus mencari kesempatan untuk memeriksanya."Kamu pernah belajar ilmu bela diri?" tanya Intan lagi.Leolina menjawab, "Ayu adalah guruku. Aku pernah belajar beberapa tahun. Kami semua memiliki keterampilan masing-masing. Ibu Tiri membesarkan kami untuk memanfaatkan kami, bukan secara percuma."Intan mengangguk, itu benar. Putri Agung tidak hanya sekadar kejam. Putri Agung dan Raja Emino bersekongkol demi memperebutkan tahta.
Keesokan hari, Ayu dan Agus tahu bahwa mereka telah dipingsankan semalam karena barang bawaan mereka digeledah. Tas mereka sudah dirapikan kembali, tetapi mereka sangat waspada. Oleh karena itu, mereka tahu apakah barang mereka sudah digeledah atau tidak."Ini justru bagus." Kilatan dingin melintas di mata Ayu. "Mereka pasti menggeledah kita karena mau membawa kita pulang ke ibu kota. Kalau mereka tidak menemukan kejanggalan, tahap berikutnya akan lebih mudah."Ayu menoleh pada Leolina. "Saat istirahat di tengah jalan, kamu harus mencari cara untuk menghabiskan waktu bersama Raja Aldiso dan biar dia tahu kamu menguasai ilmu bela diri. Raja Aldiso menyukai wanita yang menguasai ilmu bela diri."Leolina mengiakan. Lalu, dia memegang kepalanya. "Kenapa aku merasa pusing?"Ayu menjawab dengan cuek, "Itu normal, nanti juga sembuh. Kita semua dipingsankan oleh mereka."Ayu menatap Leolina. "Ingat, dekati Raja Aldiso selama ada kesempatan. Aduh, kita salah siasat kali ini. Sebelum berangkat k
Suatu hari, mereka beristirahat di bawah pepohonan samping jalan raya. Sekitar lima ratus meter dari sana, ada sebuah sungai yang jernih. Cuaca yang begitu panas membuat semua orang berbondong-bondong pergi ke sungai itu.Leolina juga mencuci tangan di sungai. Dia tentu tidak akan berendam di sungai seperti para pria.Namun, melihat para pria bermain dengan ria, Leolina mengambil sebatang dahan pohon dan menari di samping.Gerakan jurusnya tidak mematikan, melainkan indah. Leolina menjinjit, melompat, berputar, dan menendang, memadukan gerakan tarian dan seni bela diri. Sungguh indah.Semua orang menjadi bersemangat. Mereka melompat keluar dari sungai dan ikut melakukan gerakan bela diri.Ayu menatap Alfred. Tebersit ketakjuban di mata Alfred saat melihat Leolina.Ayu bertukar tatapan puas dengan Agus. Benar saja, Alfred sangat memperhatikan wanita yang menguasai seni bela diri.Lama kemudian, Alfred baru memalingkan tatapan. Dengan hati kecut, Alfred melirik Intan yang sedang berbicar
Intan memalingkan wajah. Senyuman menghiasi tatapan matanya. Tentu saja dia meminta Tabib Riel mencari tahu hal tersebut. Di dunia ini, tidak banyak pria yang berintegritas.Alfred menggertakkan gigi. "Kamu curiga aku terjangkit penyakit itu? Aku berperang sepanjang waktu. Kamu benar-benar mencurigaiku?"Para pria kembali setelah bermain air. Intan pergi meraih tangan Marsila, tidak menjawab pertanyaan Alfred.Ayu melihat bahwa Alfred sedikit marah, sedangkan Intan buru-buru pergi, sepertinya bertengkar.Di sepanjang perjalanan menuju ibu kota, tidak terjadi hal lain lagi.Menjelang bulan Agustus, mereka akhirnya tiba di ibu kota.Departemen Ritus sudah tahu kapan mereka akan tiba dan memberitakan kabar gembira itu kepada seluruh warga ibu kota.Masyarakat sangat tulus. Semua orang berkerumun untuk menyaksikan kepulangan pahlawan.Sebelum masuk ke kota, Intan memberikan kudanya kepada Leolina dan menyuruh mereka mengembalikan kuda di lain hari.Leolina memberi hormat dan mengucapkan te
Rudi sedang bertugas hari ini, menjaga ketertiban bersama Pasukan Pengaman Ibu Kota. Saat mereka satu per satu menunggang kuda melewatinya, Rudi pergi ke sana dan melihat wajah setiap dari mereka.Saat melihat Vincent yang tidak lagi tampan seperti dulu, Rudi mengembuskan napas dan memiliki perasaan yang rumit. Dia bahkan merasa malu selama sesaat.Pahlawan, Rudi dulunya juga adalah pahlawan. Para warga juga bersorak seperti sekarang ketika dia pulang dari Kota Uldi.Kini, Rudi malah menjadi anggota Pasukan Pengaman Ibu Kota yang berpangkat rendah. Rudi sudah bukan orang berprestasi dan diberi kepercayaan yang besar. Saat melihat mereka, Rudi sangat merasa pesimis.Rudi mungkin hanya bisa mengandalkan dukungan kakak ipar untuk bisa meraih prestasi dalam hidupnya. Jika tidak, Rudi hanya mungkin punya kesempatan untuk mencetak prestasi apabila terjadi peperangan lagi.Dulu, Rudi benar-benar sangat bodoh dan memikirkan segala sesuatu dengan terlalu baik. Bagaimana mungkin bisa mencetak pr
Nyonya Kartika sedang menyeka air mata. Saat mendengar pelayan melaporkan kemeriahan di luar, Nyonya Kartika ingin sekali menjadi warga biasa dan ikut meramaikan keadaan.Pelayan telah menceritakan kisah yang diceritakan oleh pendongeng-pendongeng dalam beberapa waktu itu. Nyonya Kartika sangat terharu oleh semua kisah itu.Akan tetapi, Nyonya Kartika bukan menangis karena bergembira atas keramaian di luar, melainkan karena mendengar Intan mengurung diri di dalam kamar untuk waktu yang lama setelah pulang.Nyonya Kartika mengerti mengapa Intan begitu sedih. Reuni hidup dan mati ini bukan milik Intan karena ayah dan kakaknya tidak gugur dalam peperangan yang sama."Sini!" Nyonya Kartika melambai pada Intan yang berlutut di lantai untuk memberi hormat. "Duduk di samping Ibu."Intan berdiri dan berjalan ke sana. Baru saja sampai di depan Nyonya Kartika, Intan langsung ditarik ke dalam pelukannya.Nyonya Kartika sedang duduk sehingga Intan yang ditarik hanya bisa berlutut dan terperangkap
Dayang Erika segera mengejar Tuan Putri setelah mendengar Jihan akan dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah, "Tuan Putri, apakah Anda berubah pikiran?"Putri Agung merasa isi pikirannya sangat kacau, "Kurung dia di penjara bawah tanah dulu dan nanti baru bicarakan hal ini lagi.""Baik, Anda jangan marah dan melukai tubuh Anda sendiri," bujuk Dayang Erika."Tidak ada seorang pun yang bisa dibandingkan dengan Marko, Jihan tetap bukan Marko meski punya tampang yang sama. Jihan sama sekali tidak bisa membuatku menyukainya dan aku malah marah saat melihat wajahnya."Putri Agung kembali ke kamarnya dengan amarah di matanya dan tetap merasa kesal meski sudah duduk, "Pelayan, bawakan air dan sabun. Aku mau cuci tangan."Semua pelayan sedang sibuk bekerja pada saat ini, Putri Agung mencuci tangan bekas menyentuh Jihan berulang kali, seperti setiap kali dia sehabis berhubungan badan. Putri Agung akan merendam dirinya di dalam ember yang berisi dengan air panas untuk menghilangkan aroma yang men
Jihan berusaha untuk berdiri, tapi Jihan sama sekali tidak memiliki kekuatan di dalam tubuhnya seolah-olah dia sedang sakit parah.Jihan segera menoleh setelah mendengar suara pintu terbuka dan terdapat seseorang yang berjalan masuk setelah melewati pembatas ruangan.Rambutnya disanggul dan dihiasi oleh pita, wanita ini mengenakan pakaian berbahan satin yang berwarna putih dan hijau. Wanita ini terlihat berusia sekitar 40 tahun yang tidak terdapat kerutan apa pun di wajahnya. Tapi ekspresi wanita ini sangat serius dan memiliki aura intimidasi dari seseorang yang berkuasa.Terdapat seseorang yang mengikuti di belakang wanita dan memindahkan kursi ke samping tempat tidur. Wanita itu duduk dengan perlahan dan menatap mata Jihan yang terlihat cemas serta curiga."Si ... siapa kamu?" Jihan tidak pernah melihat Putri Agung, tapi mengetahui identitasnya pasti tidak sederhana.Putri Agung melihat kepanikan di mata Jihan dan hatinya berada di tingkat ekstrim, seolah-olah terdapat air yang menyi
Sebuah kereta kuda meninggalkan kota dan Jihan sedang bergegas untuk pergi ke Jinbaran karena terdapat masalah pada pabrik di Jinbaran. Ayahnya menyuruh Jihan untuk pergi ke sana secara pribadi meski masalahnya tidak terlalu serius.Sebenarnya Jihan telah tinggal di Jinbaran untuk waktu yang lama, tapi Jihan mengantar istrinya ke ibu kota untuk melakukan persalinan karena istrinya sedang hamil. Jihan bisa menyerahkan masalah di sana pada pengurus toko setelah masalah di Jinbaran diselesaikan, selain itu Jihan juga berencana untuk melakukan bisnis yang lain dalam perjalanannya kembali ke ibu kota.Jihan sudah lama menjadi seorang ayah, karena dia menikah saat masih berusia 20 tahun dan sudah memiliki dua putra pada saat ini. Jadi dia berharap istrinya bisa melahirkan seorang anak perempuan untuknya.Tidak terlalu banyak orang yang memiliki selir di keluarga mereka dan Jihan juga tidak memiliki satu pun selir. Jihan memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan istrinya dan selalu membaw
Pangeran Rafael bersedia bekerja sama demi hal ini, karena anak ini akan memiliki nama belakang Gunawan dan pasti akan berada di pihak Keluarga Bangsawan Gunawan."Aku akan memberi tahu mereka saat kembali," ujar Pangeran Rafael.Putri Agung bertanya, "Sebentar lagi upacara pemberkatan orang meninggal sudah tiba, apakah kamu sudah mengundang Guru Boni?""Sudah aku undang, ada 8 biksu yang datang bersama Guru boni. Aku akan jemput mereka secara pribadi pada hari pertama."Putri Agung mengangguk kecil dan berkata, "Panggil ibumu datang, tapi kamu harus bilang kalau ibumu harus bergadang dan tidak perlu datang kalau tidak bisa melakukannya.""Tentu saja ibuku bisa melakukannya, ibuku telah menjadi penganut Buddha selama bertahun-tahun dan selalu ingin mengikuti upacara ini," ujar Pangeran Rafael dengan cepat. Terdapat Nyonya Clara, Nyonya Thalia, Nyonya Besar Arni, Nyonya Besar Mila dan lain-lain yang mendatangi upacara pemberkatan orang meninggal. Mereka semua adalah nyonya atau nyonya b
Keluarga Salim masih tidak memberi jawaban apa pun, tapi desakan berulang kali dari Putri Agung membuat Nyonya Mirna mau tidak mau harus mendatangi Kediaman Keluarga Salim secara pribadi.Nyonya Mirna baru mengetahui jika Vincent sedang pergi ke Cunang dan berada di Perkemahan Pengintai Tujuvan karena terjadi sesuatu pada Waldy, jadi Vincent pergi ke sana untuk mengunjunginya bersama dengan Charles, yang merupakan anak angkat Keluarga Akbar.Viona berkata dengan nada meminta maaf, "Seharusnya masalah ini sudah diputuskan sejak awal, tapi Vincent bersikeras mau pergi menemui teman seperjuangannya dan baru memutuskan hal ini. Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan, tapi aku sangat menyukai Nona Reni. Kamu sendiri juga tahu kalau aku sangat menyukainya pada pertemuan pertama kami dan sangat ingin segera menjadikannya sebagai menantuku."Viona berkata dengan tulus dan Nyonya Mirna percaya karena Viona memang menunjukkan kesukaannya pada Reni pada hari itu, kemudian berkata
Merpati milik Paviliun Prumania terus beterbangan untuk bertukar pesan dan tiba di ibu kota pada dua malam sebelum upacara pemberkatan orang meninggal setelah beterbangan selama beberapa hari. Surat-surat itu baru dibawa ke Kediaman Aldiso setelah Metta dan yang lain menyusunnya menjadi sebuah surat yang lengkap di malam hari.Metta memberi surat ini pada Marsila, tapi Marsila tidak membukanya, melainkan memanggil semua orang ke ruang kerja dan menyerahkan surat itu pada Tuan Axel, karena hal ini berhubungan dengan Jenny dan sebaiknya membiarkan Tuan Axel membukanya terlebih dahulu.Terdapat urat yang menonjol di dahi Tuan Axel setelah membaca ini, "Sungguh tidak masuk akal. Ini benar-benar merupakan sebuah konspirasi, apa itu utang budi karena telah menyelamatkannya, ini semua adalah rencana yang dibuat dengan teliti."Alfred mengambil surat itu dan berkata secara garis besar setelah membacanya, "Pembuat onar itu adalah preman lokal yang buat masalah setelah terima uang dari orang lai
Tentu saja Edi tidak mengetahui jika Nona Nesa datang ke sini deminya. Edi tidak hanya akan menjadi menteri Departemen Konstruksi jika dia adalah orang yang pintar.Semua orang masih belum makan dan sedang menunggu Edi, Edi menyerahkan pangsit pada pelayan dan meminta mereka untuk merebusnya sesegera mungkin, agar mereka semua bisa makan selagi masih panas.Yanti berkata dengan nada bercanda, "Ternyata kamu pulang terlambat karena beli pangsit? Edi, sekarang perhatianmu hanya terpusat pada istrimu dan tidak ada ibumu lagi, kamu bahkan tega membiarkan ibumu kelaparan menunggumu kembali."Edi segera meminta maaf dan tidak bisa menahan diri untuk mengeluh, "Sebenarnya aku bisa pulang lebih awal, tapi Joko menyiapkan pangsitnya dengan lambat dan Nona Nesa juga menyela antrean. Nona Nesa Warda bilang dia sangat lapar dan menyuruhku untuk mengalah pada mereka berdua, jadi aku pulang terlambat hari ini.""Nona Nesa Warda?" tanya Yanti. Yanti sangat mengenal adik iparnya yang jarang berhubunga
Pangsit kuah yang panas disajikan, wangi sekali. Nona Nesa mengucap terima kasih pada Edi, "Terima kasih atas kebaikan Tuan Edi. Kalau Tuan Edi beli daun teh di tokoku lagi, aku akan beri sedikit diskon."Edi menatap Nona Nesa. "Diskon berapa?"Nona Nesa mengedipkan mata, tampak sangat lincah. "Tuan Edi mau diskon berapa?"Nona Nesa memiliki tampang yang manis dan lugu. Terutama saat mengedipkan mata, senyuman yang tersungging di bibir seperti bunga anggrek yang mekar di malam hari. Pria pasti akan terpukau padanya.Akan tetapi, Edi seakan-akan tidak melihat kecantikan dan kecentilan Nona Nesa. Dia hanya peduli berapa banyak diskon dari daun teh. "Samakan saja dengan diskon yang Nona Nesa berikan pada Tuan Warso."Nona Nesa tertawa. Matanya sangat indah. "Bagaimana bisa? Aku harus membalas kebaikan Tuan atas pemberian pangsit ini. Kalau Tuan Edi datang sendiri, aku beri seperempat kilo untuk pembelian setengah kilo. Bagaimana?"Edi berseru dengan girang, "Sepakat.""Sepakat!" Nona Nesa
Pada petang hari, Edi keluar dari kantor Departemen Konstruksi. Sudah ada kereta kuda yang menunggu di luar. Sebelum naik, Edi berpesan, "Pergi ke ujung Jalan Sejahtera. Dua hari lalu, Nyonya bilang mau makan Pangsit Joko. Beli yang mentah untuk masak di rumah nanti.""Sekarang sepertinya belum buka," jawab pak kusir.Pangsit Joko mulai berjualan pada malam hari. Ibu Kota Negara Runa makmur. Jalan Sejahtera dan Jalan Taraman sangat ramai di malam hari."Itu sebentar lagi, tunggu saja di sana," kata Edi.Pak kusir tersenyum seraya berkata, "Tuan Edi benar-benar sayang Nyonya Sanira."Edi mengetuk kepala pak kusir dengan kipas yang dia pegang. Dia tersenyum dan berujar, "Sanira menikah denganku dan sudah melahirkan anak untukku. Tentu saja aku sayang dia. Kamu juga, harus perlakukan Elmi dengan baik."Pak kusir tersenyum seraya berkata, "Aku tahu."Pak kusir adalah keturunan pelayan Keluarga Widyasono, sedangkan Elmi sudah dibeli oleh Keluarga Widyasono ketika masih kecil. Dua tahun lalu