Lima belas menit kemudian Aluna sudah sampai di kantor polisi untuk memberikan laporan. Keluarga preman pun ternyata telah dihubungi kalau salah satu keluarganya telah melakukan kejahatan dan kini masuk dalam bui. Meskipun Aluna memberikan kesaksian atas peristiwa itu dan tidak menuntut tetap saja hukuman untuk keempat preman itu tetap berlanjut karena sudah ada korban yang meninggal. Mau tak mau Aluna menyerahkan semuanya kepada pihak polisi dan tidak ingin memperpanjang masalah. Aluna melewati keluarga preman dan meminta maaf karena kejadian itu. Bahkan wanita yang hamil itu ternyata istri dari preman yang menusuk perut Pak Udin sehingga merenggang nyawa.“Semua sudah terjadi, keluarga kalian yang mencari masalah sendiri, mengambil jalan pintas bahkan mereka hampir saja melecehkan saya jika saya tidak melawan. Saya pun masih trauma dengan kejadian ini. Beliau sudah berjasa untuk menolong saya sampai mempertaruhkan nyawanya dan maaf pihak kepolisian tetap memproses sesuai hukum y
“Sayang, apa yang kamu katakan? Di mana orang tuamu, Nak?” tanya balik Aluna lembut. Gadis kecil itu kembali terisak membuatnya mereka bingung. “Maaf Mbak sebaiknya kita lapor ke kantor polisi kalau ada anak hilang, sepertinya dia ditinggal atau sengaja dibuang sama orang tuanya deh,” sahut ibu-ibu yang lain. “Nggak mungkin anak hilang kamu lihat saja sendiri penampilan dan pakaiannya seperti orang kaya, bersih cantik lagi, kalau aku sih aku mau saja merawat anak ini lucu banget,” sanggah ibu yang lain.“Zaman sekarang apa saja bisa terjadi, siapa tahu anak ini pancingan. Sengaja dia didandani seperti anak berkelas untuk menarik perhatian setelah itu dia akan memberitahukan kepada bosnya untuk mencuri, iya kan? Kamu seperti itu kan?” tanya ibu yang lain dengan sorot mata tajam mengintimidasi gadis kecil itu sehingga merasa ketakutan.Para warga mulai berargumen sendiri, membuat keributan. Aluna hanya melihat wajah gadis kecil itu yang tampak sendu. Aluna mendekati gadis kecil itu
“Namaku Anaya biasa dipanggil Naya ,” sahutnya sambil melangkah menuju kamar kecilnya. Anaya membukakan pintu kamar itu. “Selamat datang dikamarku,” ucapnya semringah. Pintu kamar pun terjual dan terlihat langsung penampakan di dalamnya. Sesaat kedua mata Dena hanya menatap ke sana kemari dalam dia. Kamar yang sederhana tapi sangat bersih dan rapi. Bernuansa warna pink warna kesukaannya yang sama dengan Dena. “Maaf kamarku hanya seperti ini, pasti kamarmu lebih luas dari ini ya?” tanya Naya sedikit cemberut.Dena masih memandang kamar itu yang tidak banyak pernak pernik tapi membuat gadis kecil itu tersenyum. Dena memperhatikan setiap inci sudut di kamar itu. Tidak ada barang mewah seperti di dalam kamarnya. Dena melihat lemari pakaian Naya yang hanya berpintu satu. Pasti di benaknya kalau teman barunya tidak banyak memiliki pakaian. Tak ada AC hanya ada kipas angin kecil yang bertengger di meja kecil. Gadis kecil itu memasuki kamar itu untuk lebih dekat lagi. Dena beralih ke
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dua gadis kecil itu sudah tertidur nyenyak. Rencana ingin ke kamar Aluna ternyata tidak tersampaikan. Anaya menggenggam tangan Dena. Begitu juga sebaliknya. Mereka sudah terlihat akrab meskipun baru malam ini mereka bertemu. Saling mengisi mungkin itu dipikiran mereka. Setelah panjang lebar bercerita dengan kehidupannya masing-masing, mereka mempunyai sedikit kemiripan. Dena sangat merindukan sosok seorang Ibu. Meskipun nyata tapi dia tidak bisa mengungkapkan isi hatinya jangankan itu bertegur sapa saja Dena sudah takut, karena bukan sambutan hangat melainkan amarah, kebencian yang terpancar dari wajah cantik Delia. Sehingga dia urungkan untuk mendekat kepada ibu kandungnya sendiri. Hanya sosok seorang ayah yang terus menghiburnya dikala kesedihan itu kembali datang. Sedangkan Anaya sangat merindukan dan ingin merasakan kasih sayang yang tak pernah dia dapat dari seorang ayah. Bahkan dia tidak tahu nama dan rupanya bagaimana. Bayang
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dua gadis kecil itu sudah tertidur nyenyak. Rencana ingin ke kamar Aluna ternyata tidak tersampaikan. Anaya menggenggam tangan Dena. Begitu juga sebaliknya. Mereka sudah terlihat akrab meskipun baru malam ini mereka bertemu. Saling mengisi mungkin itu dipikiran mereka. Setelah panjang lebar bercerita dengan kehidupannya masing-masing, mereka mempunyai sedikit kemiripan. Dena sangat merindukan sosok seorang Ibu. Meskipun nyata tapi dia tidak bisa mengungkapkan isi hatinya jangankan itu bertegur sapa saja Dena sudah takut, karena bukan sambutan hangat melainkan amarah, kebencian yang terpancar dari wajah cantik Delia. Sehingga dia urungkan untuk mendekat kepada ibu kandungnya sendiri. Hanya sosok seorang ayah yang terus menghiburnya dikala kesedihan itu kembali datang. Sedangkan Anaya sangat merindukan dan ingin merasakan kasih sayang yang tak pernah dia dapat dari seorang ayah. Bahkan dia tidak tahu nama dan rupanya bagaimana. Bayang
Aluna datang ke kamar Anaya saat mendengar teriakan gadis kecil itu. Pintu kamar dibuka dengan cepat dan melihat dua gadis kecil itu sedang duduk. Terlihat Anaya berusaha menenangkan Dena yang seperti ketakutan. Air keringat sudah membasahi keningnya. Aluna langsung mendekati mereka. “Ada apa, Sayang?” tanya Aluna bingung.“Ummi, tiba-tiba saja Dena berteriak dan bangun dan sudah seperti ini, kenapa ya Ummi?” tanyanya juga yang ikutan bingung.Tatapannya kosong dia langsung memeluk Aluna dalam sekejap. Wanita cantik itu pun terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Dena. Dalam pelukan tu Dena bisa merasakan kehangatan kasih lembut seorang ibu yang tidak pernah dia dapatkan selama ini, hingga tanpa sadar air matanya pun mengalir begitu saja.“Bolehkan sedikit lama memeluk Tante?” tanya Dena dengan suara pelan.Aluna terkejut dan menatap Anaya. Anaya pun mengangguk. “Boleh, sayang kamu boleh memeluk Tante.,” sahut Aluna lembut.Beberapa saat kemudian, Dena melepaskan pelukan itu setelah
Ardan segera menghubungi Dena namun sayang nomornya tidak aktif. Berkali-kali Ardan menghubunginya tapi tetap saja tidak bisa. “Kamu di mana Sayang? Pasti kamu sekarang ketakutan dan menghubungi Papi tapi Papi malah tidak menghubungi kamu.” Ardan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak waspada dengan Delia yang bisa melakukan apa saja sesuai keinginannya. Namun, Ardan kembali tersadar saat melihat di nomor yang lain di layar ponselnya. Dia lalu mencoba menghubungi nomor itu. Namun, saat ingin menghubungi nomor itu seketika ponselnya berdering. Ardan langsung mengangkatnya. “Ya katakan ada apa?” “Maaf Pak, saya hanya mengingatkan kalau pesanan nasi kotak sudah bisa dinego dan siap menyiapkan sesuai pesanan kita.”“Oke, terima kasih dan pastikan semua nantinya berjalan dengan lancar.”“Baik Pak., tapi bagaimana dengan Nona kecil Dena, apakah sudah ditemukan?” “Belum, saya masih mencari putri saya, pastikan tidak ada yang tahu tentang masalah ini. Delia juga sangat keterlaluan
“Halo? Apakah Om papinya Dena? Kenapa nggak dijawab sih? Om masih dengarkan? Atau Naya salah pencet nomor ya?” Entah kenapa suara itu begitu lucu terdengar di telinga Ardan. Dia pun tersenyum sendiri. Hatinya bergetar entah perasaan apa ini yang membuat dirinya ingin bertemu dengan pemilik suara itu. “Kenapa aku ini? Kenapa suaranya langsung membuatku penasaran?” tanyanya dalam hati. “Halo? ...Halo?” Ardan tersadar dari lamunannya saat suara itu sedikit meninggi. “Ha—halo, siapa ini? Benar saya papinya Dena, kamu siapa, Sayang?” “Ih Om panggil Sayang, kita kan belum kenal kata Ummi jangan langsung percaya jika ada orang lain bersikap baik sama kita, belum tentu hatinya baik pasti ada sesuatu.”“Oh ya, Ummi kamu benar sekal. Sekarang katakan, kenapa Dena ada sama kamu?” “Seharusnya Naya yang tanya sama Om, kenapa Dena ada di jalanan malam-malam sendirian? Untung saja Dena bertemu dengan Ummi di tengah jalan. Dia hampir saja menabrak Ummi dan Ummi membawa Dena pulang ke rumah Nay
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike
Naya memperhatikan wajah pria itu lebih dekat lagi. Wajah yang sempurna dan memang mempunyai kemiripan dengan Naya. “Abi memang sangat tampan pantas saja banyak yang menyukai Abi, tapi apakah Abi juga banyak pacar? Buktinya Abi dulu tidak menyukai Ummi karena Ummi cacat, dan sekarang Abi kembali dan ingin mengajak kami untuk hidup bersama. Naya Ingin sekali mempunyai keluarga yang utuh. Naya ingin memeluk Abi. Naya ingin mereka tahu kalau Naya masih mempunyai Abi tapi bagaimana dengan nasib Dena? Apakah dia akan membenci Naya jika dia tahu Nayalah putri kandungnya bukan Dena,” gelisahnya dalam hati.“Apakah Naya tidak merindukan Abi dan apa yang dikatakan Ummi tentang Abi Naya?” desak Ardan ingin mengetahui apa saja yang diajarkan oleh Aluna. “Awalnya iya, Naya kan nggak pernah melihat wajah Abi Naya, tapi setiap Naya bertanya di mana Abi Naya Ummi langsung terlihat sedih. Dari situ Naya nggak akan pernah bertanya lagi tentang jika membuat Ummi menangis,” jelasnya panjang lebar.De
Ardan langsung melepaskan Aluna karena dia juga tidak mau akan terjadi sesuatu hal dengannya dan Naya.“Maaf Lun, aku hanya ....” ucapan menggantung saat Aluna langsung bertanya tentang kondisi papanya. “Bagaimana kondisi papa apakah beliau baik-baik saja?” akhirnya Aluna juga penasaran dengan kondisi kesehatan mantan mertuanya itu. “Alhamdulillah untuk saat ini baik-baik saja. Papa tidak bekerja lagi di perusahaan, kini aku yang mengambil tanggung jawab itu. Ternyata apa yang papa lakukan di perusahaan aku baru menyadarinya kalau tanggung jawab papa semasa itu sangat berat, aku baru menyadari semuanya,” jelas Ardan pelan.Aluna kembali duduk diikuti oleh Ardan. Dia senang akhirnya Aluna mau mendengarkan keluh kesahnya. “Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berubah, Mas. Kamu mengambil tanggung jawab dengan benar. Berarti permintaan papa sudah kamu turuti,” sahutnya tersenyum lega jika mantan mertuanya masih sehat.“Nggak semuanya Lun, ada satu permintaan yang belum bisa aku turuti,”
Aluna pun melihat sekelilingnya dan benar memang masih banyak pembeli yang ingin dilayaninya.“Maaf, tapi tidak bisa lama-lama karena warung masih ramai atau mau menunggu sebentar, saya nggak bisa meninggalkan mereka?” bujuknya karena memang masih terlihat ramai. “Tante, Dena juga harus istirahat, kami juga belum pulang ke rumah kecuali kami boleh menginap di rumah Tante, boleh kan?” Dena begitu bersemangat. “Tidak!” jawab lantang Naya hampir sebagian orang melihat ke arahnya.Aluna tak enak hati jika dilihat banyak orang. Mau tak mau Aluna membawanya ke rumah yang terletak di samping warungnya. Mereka pun duduk di teras rumah. Sedangkan Naya tetap berdiri di samping Aluna yang sudah duduk bersama Ardan dan Dena. Ada sedikit rasa canggung untuk bisa duduk bersama apalagi jarak duduk mereka tidak terlalu jauh. Ardan tak lepas memandangi terus wajah Aluna sehingga wanita cantik itu pun bersemu merah. Dena yang tidak mengetahui apa-apa pun sedikit merasa curiga dengan gerak tubuh pa