Setelah semua barang-barang Ardan diangkut kini hanya tersisa ruangan yang begitu luas karena tidak ada sama sekali barang yang tersisa untuk ditinggalkan. Menatap ruangan itu yang dulu penuh dengan perabotan mahal dan menjadi saksi bisu perbuatan zina yang dilakukan oleh Ardan dan Delia. Tuan Ardin pun menyewa jasa pembersih untuk membersihkan ruangan apartemen itu sebelum akan dijual.Tuan Ardin lalu meninggalkan mereka berdua tanpa mengatakan apa pun. “Apa ini Ardan, kenapa jadi seperti ini, seharusnya orang tua itu tidak pulang ke Indonesia daripada dia menyusahkan kita saja,” rutuknya kesal. Ardan yang mendengar Delia berkata tidak sopan tentang ayahnya, bangkit dari duduknya dilantai dan menatap tajam kearah wanita seksi itu. “Apa kamu bilang? Kenapa kamu berkata seperti itu? Kamu ingin papa meninggal begitu?” tanyanya kesal.“Lantas apa yang aku katakan ini benar kan? Semua terjadi karena perbuatan Om Ardin yang memaksa kamu untuk menikahi wanita cacat itu dan sekarang dia
Setelah kepergian Delia, Ardan bisa masuk kembali ke dalam rumah. Dia pun melihat Aluna yang dengan santainya duduk manis sambil menikmati camilan dengan secangkir teh. Beberapa matanya melihat ke layar besar itu. Rupanya dia sedang menonton acara kesukaannya. Ardan ingin mendekati tapi tangannya langsung dicekal oleh Bu Rini. Amarah sudah memuncak ingin sekali memaki istrinya yang dinilai sudah kelewat batas. Bu Rini membawa Ardan ke kamarnya. Dengan kesal Ardan menghempaskan bokongnya dengan kasar. “Mama tahu apa yang terjadi, Sayang, tapi sudah terjadi ya mau bagaimana lagi?” ucap Bu Rini mengawali pembicaraan.“Ardan seperti orang bodoh saja di hadapan Papa. Sekarang Ardan enggak punya apa-apa lagi dan Mama tahu semua milik Papa sudah dipegang penuh oleh Aluna, kita bisa apa Ma?” tanya Ardan bingung.“Semua masalah pasti ada jalan keluarnya , kamu harus bisa mendapatkan hati Aluna, buat dia sangat mencintaimu, buat dia tidak bisa hidup tanpa kamu dengan begitu kamu bisa memanf
Bu Rini menatap punggung anak lelakinya yang tampan dan sedang kesal karena suatu alasan. Entah kenapa wanita paru baya itu tidak mau mengeluarkan uang sebanyak itu padahal dia sangat menyayangi Delia yang selalu dia banggakan sebagai menantu idaman. Bahkan sering membanding-bandingkan dengan Aluna. “Apa yang Mama pikirkan sekarang, apakah sama dengan pikiran Sari tentang Delia?” tanya Sari penasaran saat melihat wanita paru baya itu diam dengan wajah sendu.“Menurutmu, apakah kita salah menjodohkan Delia dengan Ardan. Kamu dengar kan apa yang dikatakan Ardan seminggu tiga kali Ardan mentransfer uang ke rekening Delia dengan jumlah di atas seratus juta, apa enggak salah? Lama-lama ya bangkrut dong perusahaan Papa, sedangkan mereka masih tahap pasangan kekasih belum menjadi pasangan suami istri, Mama takut hal ini akan menjadi bumerang untuk diri kita sendiri,” jelas Bu Rini semakin ragu dengan keputusannya sendiri.“Nah itu dia Ma, Sari memang menyukai Delia karena dia perfect bange
“Duduk Mbok!” perintah Tuan Ardin. Mbok Asih masih berdiri mematung mendengar ucapan majikannya. Bagaimana mungkin seorang pembantu bisa duduk satu meja dengan Tuannya, apalagi jika dilihat oleh Nyonya Rini, dia akan terkena caci maki yang maha dahsyat.Tuan Ardin kembali menatap Mbok Asih sedikit heran. “Mbok dengar ucapan saya, kan?” tanya ulang Tuan Ardin.“I—iya Tuan tapi nanti jika Nyonya tahu saya bisa kenal omel Tuan dan telinga saya jadi sakit kalau mendengar teriakan Nyonya,” jawab polos Mbok Asih membuat pria paru baya itu tersenyum simpul.“Duduklah , ada yang ingin saya tanyakan sama kamu, kamu tenang saja orang rumah sudah tidur, mereka bukan hantu gentayangan yang bisa terjaga malam seperti ini,” perintah Tuan Ardin lagi.Mbok Asih melihat ke sana kemari, dirasa aman dia pun akhirnya duduk menemani Tuan Ardin yang siap menyantap makanan.Tuan Ardin menikmati makan malamnya tanpa hambatan. Sesuap demi sesuap dia rasakan penuh sensasi, mengingatkan masa lalunya waktu mas
“Ini semua karena kamu, Lun!” hardik Ardan kembali marah. Pria tampan itu tiba-tiba saja datang ke kamar Luna dengan menggeret sebuah koper besar di tangannya.Bagaimana tidak Ardan terkena amarah dari Tuan Ardin saat tahu kalau mereka pisah ranjang. Hal ini baru diketahuinya seminggu setelah kedatangan Tuan Ardin ke rumah besar itu. Mereka berdua saling menutupi. Aluna yang setiap jam enam pagi akan datang ke kamar Ardan untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan Ardan. Pria tampan itu tetap saja bersikap dingin tanpa memandang Aluna yang sudah menjalankan kewajiban sebagai istri.Aluna tak bergeming, dia hanya menatap wajah suaminya yang merajuk seperti anak kecil. Luna mengambil tongkat kakinya di samping lalu beranjak dari tempat duduknya, setelah itu menghampiri Ardan. Dia lalu mengambil koper besar milik Ardan itu dan menggeretnya sampai ke depan pintu lemari. Dengan cepat Luna membereskan pakaian Ardan yang ada di dalam koper itu. Kedua mata Ardan terbelalak karena den
“Bagaimana Mbok, aman kan?” tanya Tuan Ardin yang ternyata menunggu Mbok Asih di dapur.“Aman sih, Tuan, tapi enggak ada masalah nantinya toh, soalnya saya kasih dosis tinggi,” sahut Mbok Asih sedikit berbisik. “Mbok tenang saja, aman kok, pokoknya enggak ada masalah, sekarang lebih baik kita pergi tidur dan saya sudah enggak sabar untuk melihat reaksi mereka nanti pagi. Selamat malam, Mbok!” “Selamat malam, Tuan!” Tuan Ardin segera melangkah pergi ke kamarnya, begitu juga dengan Mbok Asih setelah mencuci gelas susu tadi dia pun segera pergi ke kamarnya.Ardan segera melepaskan kaosnya, karena mulai terasa panas. “Kamu matikan AC nya enggak sih?” tanya Ardan yang mulai gerah. Pria tampan itu lalu mencari remote AC dan mengatur suhunya, tapi tetap saja rasa panas masih terasa menjalar di dalam tubuhnya. Begitu juga dengan Aluna, rasa yang sama seperti Ardan. Dia lalu menutup laptop dan menaruhnya di nakas. Wanita cantik itu pun menggulung rambut panjangnya ke atas sehingga terli
Aluna mencoba untuk bangkit tapi lagi-lagi kaki Ardan kembali menghalangi sehingga Aluna harus extra hati-hati untuk memindahkan kaki besar itu agar pemiliknya tidak terbangun sebelum dia ke kamar mandi. “Berat sekali ini kaki, sudah ke dua kalinya ini, mana sakit lagi,” gerutu Aluna sembari memindahkan kaki suaminya itu. Aluna berhasil dan ingin segera menghindar tapi dia harus mencari tongkat kakinya yang ternyata ada di sebelah tidur Ardan. “Aduh kenapa lagi si tongkat kakiku ada di sana sih, aku kan jadi sudah mengambilnya?” Aluna dengan hati-hati ingin mengambil tongkat kakinya melewati tubuh Ardan yang kini berubah posisi menjadi telentang.Bertumpu dengan kedua lututnya Aluna ingin mencapai tongkat itu. Tangannya hampir menyentuh tongkat itu tanpa dia sadari kalau dia pun masih bertubuh polos sehingga bagian depannya yang besar menggantung sempurna tepat di hadapan wajah Ardan yang masih tertidur lelap. Namun, seketika seperti ada yang menyentuh wajahnya sehingga dia pun t
“Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu tentang kakimu? Apakah itu karena kecelakaan atau cacat dari lahir?” selidik Ardan yang masih penasaran dengan kakinya aliran Juga. “Aluna tak menjawab pertanyaan Ardan karena ingin cepat-cepat keluar dari kamar. Setelah salat Aluna langsung merapikan mukenanya. Ardan hanya menatap apa yang dia lakukan saat mempunyai satu kaki saja . Mungkin sudah menjadi kebiasaan sehingga dengan lincah melangkah dengan cepat.“Mas, aku keluar dulu.”“Ma—mau ke mana? Pasti kamu mau menggosip dengan Papa kan, kalau kita sudah melakukan hubungan suami istri karena obat yang dikasih sama Papa?” selidik Ardan berargumen.“Mas, aku ....”“Dengar Aluna, kita memang sudah melakukan malam pertama kita tapi kita sama-sama tahu kalau apa yang terjadi semalam karena keterpaksaan. Papa sudah memberikan sesuatu diminuman kita, jadi itu bukan murni dari aku atau kamu yang menginginkan, bahkan cukup sekali aku menyentuhmu.” Ardan menjelaskan panjang lebar. Sakit itu y
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike
Naya memperhatikan wajah pria itu lebih dekat lagi. Wajah yang sempurna dan memang mempunyai kemiripan dengan Naya. “Abi memang sangat tampan pantas saja banyak yang menyukai Abi, tapi apakah Abi juga banyak pacar? Buktinya Abi dulu tidak menyukai Ummi karena Ummi cacat, dan sekarang Abi kembali dan ingin mengajak kami untuk hidup bersama. Naya Ingin sekali mempunyai keluarga yang utuh. Naya ingin memeluk Abi. Naya ingin mereka tahu kalau Naya masih mempunyai Abi tapi bagaimana dengan nasib Dena? Apakah dia akan membenci Naya jika dia tahu Nayalah putri kandungnya bukan Dena,” gelisahnya dalam hati.“Apakah Naya tidak merindukan Abi dan apa yang dikatakan Ummi tentang Abi Naya?” desak Ardan ingin mengetahui apa saja yang diajarkan oleh Aluna. “Awalnya iya, Naya kan nggak pernah melihat wajah Abi Naya, tapi setiap Naya bertanya di mana Abi Naya Ummi langsung terlihat sedih. Dari situ Naya nggak akan pernah bertanya lagi tentang jika membuat Ummi menangis,” jelasnya panjang lebar.De
Ardan langsung melepaskan Aluna karena dia juga tidak mau akan terjadi sesuatu hal dengannya dan Naya.“Maaf Lun, aku hanya ....” ucapan menggantung saat Aluna langsung bertanya tentang kondisi papanya. “Bagaimana kondisi papa apakah beliau baik-baik saja?” akhirnya Aluna juga penasaran dengan kondisi kesehatan mantan mertuanya itu. “Alhamdulillah untuk saat ini baik-baik saja. Papa tidak bekerja lagi di perusahaan, kini aku yang mengambil tanggung jawab itu. Ternyata apa yang papa lakukan di perusahaan aku baru menyadarinya kalau tanggung jawab papa semasa itu sangat berat, aku baru menyadari semuanya,” jelas Ardan pelan.Aluna kembali duduk diikuti oleh Ardan. Dia senang akhirnya Aluna mau mendengarkan keluh kesahnya. “Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berubah, Mas. Kamu mengambil tanggung jawab dengan benar. Berarti permintaan papa sudah kamu turuti,” sahutnya tersenyum lega jika mantan mertuanya masih sehat.“Nggak semuanya Lun, ada satu permintaan yang belum bisa aku turuti,”
Aluna pun melihat sekelilingnya dan benar memang masih banyak pembeli yang ingin dilayaninya.“Maaf, tapi tidak bisa lama-lama karena warung masih ramai atau mau menunggu sebentar, saya nggak bisa meninggalkan mereka?” bujuknya karena memang masih terlihat ramai. “Tante, Dena juga harus istirahat, kami juga belum pulang ke rumah kecuali kami boleh menginap di rumah Tante, boleh kan?” Dena begitu bersemangat. “Tidak!” jawab lantang Naya hampir sebagian orang melihat ke arahnya.Aluna tak enak hati jika dilihat banyak orang. Mau tak mau Aluna membawanya ke rumah yang terletak di samping warungnya. Mereka pun duduk di teras rumah. Sedangkan Naya tetap berdiri di samping Aluna yang sudah duduk bersama Ardan dan Dena. Ada sedikit rasa canggung untuk bisa duduk bersama apalagi jarak duduk mereka tidak terlalu jauh. Ardan tak lepas memandangi terus wajah Aluna sehingga wanita cantik itu pun bersemu merah. Dena yang tidak mengetahui apa-apa pun sedikit merasa curiga dengan gerak tubuh pa