“Maaf, aku terbawa suasana, tapi tolong jangan menghindar dariku. Ada banyak yang ingin aku ceritakan sama kamu dan kamu tidak keberatan kan jika aku selalu melihat anak kita? Dia putriku kan? Tolong jawab Luna, aku mohon!” desak Ardan ingin memastikan. Aluna masih diam seakan mulutnya terkunci rapat. Hanya linangan air mata yang sudah mewakili perasaannya dan apa yang dikatakan Ardan adalah benar adanya. “Jawab Aluna, aku butuh kepastian dari mulutmu sendiri, apa perlu aku memberitahukan kepada Naya sendiri kalau ibunya yang telah merahasiakan dirinya sendiri,” ancam Ardan seketika.Mendengar perkataan Ardan, Aluna mulai tersulut emosi dengan menatap tajam pria tampan itu.“Ya aku memang menyembunyikan kehamilan Naya, tapi kamu pasti tahu penyebabnya, apakah aku harus menceritakan sedetail mungkin kepada Naya apa yang dia lakukan kepada ibunya?” tanya balik Luna menegaskan.Seketika Ardan malah terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan balik Aluna.“Maaf Luna, kamu memang benar kesal
“Papi kok lama sekali sih bawa Tante Aluna keluar, kalian sedang membicarakan tentang apa kok sepertinya serius banget, apakah Papi sudah mengenal Tante Luna?” tanya Dena yang serba ingin tahu. Begitu juga dengan Naya yang terlihat bingung melihat kedekatan Umminya dengan papinya Dena. “Oh nggak Sayang, tadi ada sesuatu yang masuk di mata Tante Luna jadi Papi membantu mengeluarkan kotoran itu. Sudah nggak sakit lagi kan?” tanya Ardan pura-pura.“I—iya sudah nggak apa-apa kok. Terima kasih sudah membantu Pak Aris, maaf merepotkan,” sahut Aluna kembali gugup. “Oh gitu, Papi memang sangat perhatian dan Kenapa Papi lama sekali di sini kan Dena sudah bilang mau kasih kue ulang tahun ini buat Tante Luna, dari tadi kan belum makan,” sungut Dena sedikit kesal sambil membawa kotak makanan yang berisi potongan kue ulang tahun yang sengaja disisakan oleh Dena.Aluna melihat kotak makanan itu., Dia lalu membawa Dena untuk duduk di kursi panjang kayu. Naya dan Ardan pun mengikutinya. “Sekaran
Aluna menghentikan langkahnya seketika, lalu memandang wajah Aluna dengan tatapan sendu. “Naya?” panggil Ardan pelan. Naya mengerti dengan apa yang diisyaratkan oleh mata Aluna. “Maafkan Naya Om, tapi tolong jangan memaksa Ummi. Dan tolong beri pengertian dengan Dena pintu kami tetap terbuka lebar untuk menerima kedatangannya tapi untuk Naya bertukar tempat meskipun Naya memang merindukan sosok seorang Abi, Naya tetap tidak ingin jauh dari Ummi karena Ummi yang sudah melahirkan dan membesarkan Naya dengan penuh perjuangan,” jelasnya lagi membuat Ardan terdiam.Begitu juga dengan Aluna yang tidak menyangka bisa berbicara seperti layaknya orang dewasa. Tak ingin terlalu lama di tempat itu, Aluna kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Ardan. Pria tampan itu pun membiarkan dua wanita beda generasi itu pergi. Sedangkan Dena masih saja terdiam dengan lelehan air mata yang sudah membanjiri pipinya. “Aku tidak mau kehilangan Dena tapi aku juga tidak mau membuat putri kandungku send
“Sandra? Teman Naya yang baru keluar dari sekolah itu kan?” tanya Aluna memastikan.“Ummi tahu dia keluar dari sekolah karena apa?” tanya Naya.“Ya karena papanya Sandra pindah tugas ke Bandung dalam waktu yang lama, makanya mau tak mau Sandra harus ikut kan?” “Iya Ummi memang benar, tapi Sandra pernah bilang setelah dia pergi ke Bandung orang tuanya akan berpisah, dan Sandra harus tinggal bersama papanya saja karena ibunya akan pergi jauh bahkan katanya Sandra nggak bisa lagi bertemu dengan ibunya karena beda kota,” jelas Anaya pelan. “Sayang?” “Ummi, Sandra sering menangis di sekolah karena nggak mau pisah sama ibunya tapi kata orang dewasa itu bilang kalau Sandra harus ikut dengan papanya yang lebih kaya dan terjamin daripada dengan ibunya yang miskin. Mereka tidak mempunyai belas kasih terhadap Sandra dan ibunya. Dia tidak berani berontak atau menolak karena suaranya pasti nggak di dengar karena masih kecil, tapi nggak berlaku untuk Naya, Ummi.”“Apakah Naya ingin berpisah deng
Ardan masih saja melihat ke layar sentuhnya. Dia pun tersenyum sendiri saat melihat beberapa foto itu yang diabadikan oleh Siska sekretarisnya.Ardan mengingat bagaimana dia menyuruh Siska untuk bisa mengambil foto ibu dan anak itu. Dia pun tak mengira saat di dapur pun Siska berhasil mengabadikan dirinya bersama Aluna dalam adegan berpelukan meskipun terlihat ekspresi Aluna yang berontak. Hanya Siska yang tahu siapa Aluna sebenarnya karena Ardan sudah menceritakan sedikit tentang siapa pemilik warung itu yang kebetulan di sewa untuk menyediakan kotak nasi dalam acara ulang tahun Dena. “Sepertinya takdir ingin kita kembali Aluna, aku tidak peduli apa pun yang terjadi kalian harus bersamaku kembali, aku ingin bersama keluargaku yang sebenarnya. Aku capek hidup seperti ini. Hidup dengan kepura-puraan, sedangkan Delia, dia begitu tak peduli dengan hubungan perkawinan ini tapi jika aku mengakhiri semuanya bagaimana dengan hidup Dena? Bahkan Om Ardi pun bersikap tidak tahu menahu. Dena
Wajah pria tampan itu pun langsung tersenyum begitu juga dengan gadis kecil yang sedari tadi menundukkan kelapanya kembali diangkat setelah mendengar nama Aluna disebut ikut menyunggingkan sebuah senyuman. Dena langsung beranjak dari tempat duduknya dan memeluk erat Aluna. Seketika Ibu kepala sekolah pun terkejut dengan sikap calon anak didiknya yang begitu akrab dengan Aluna. “Kalian sudah saling mengenal?” tanya Bu Nia kelapa sekolah itu penasaran.“Iya Bu, Dena adalah teman anak saya,” jawabnya sambil melonggarkan pelukan Dena.“Oh syukurlah jadi Dena bisa langsung beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini ,” jawab Bu Nia tersenyum “Iya Bu,” sahut Aluna sedikit kikuk karena Ardan tetap saja tidak mengalihkan pandangannya dari dia.“Dena, kenapa menangis?” tanya Aluna lembut sembari mengusap air mata yang sudah membanjiri wajahnya.“Apakah Tante marah sama Dena sehingga meninggalkan Dena di panti asuhan itu?” tanya Dena pelan.“Sayang, Tante nggak bisa marah dengan gadis kecil
“Nay, kamu nggak ikutan melihat ponsel Dena? Dia memang anak orang kaya ya?” tanya Refa mendekati Naya yang asyik makan dari bekal yang dibuatkan oleh Aluna di halaman taman sekolah. “Nggak, lagian Naya lapar makanya makan di halaman. Refa mau?” tanya balik Naya sambil mengunyah makanannya. Tidak lupa dia pun menawarkan makanan itu kepada Refa. Tentu saja Refa bergegas mengambil makanan itu. Roti tawar isi selai coklat yang dipanggang, sangat disukai oleh Naya dan juga teman-temannya. Naya selalu membawa banyak makanan karena bisa membagikan kepada teman-temannya saat istirahat. “Ummi Naya memang sangat pintar membuat bekal makanan, terima kasih Nay, bisa mengganjal perut nanti,” sahut Refa sambil memakan roti itu dengan lahapnya. Naya lalu membungkus beberapa potong roti lagi di dalam plastik. “Dan ini untukmu dan adikmu, simpanlah kamu pasti akan lapar setelah pulang sekolah dan adikmu pasti menunggu kapan kamu membawa makanan,” ucapnya sambil menyodorkan kantung plastik berw
Naya pun menghampiri Anggi dan bertanya kepadanya. Dengan suara cegukan Anggi pun menceritakan apa yang terjadi meskipun dia tahu kalau Aryan pasti pelakunya yang selalu membuat anak perempuan menangis. Namun, hal itu sudah biasa bagi mereka tapi yang membuat Naya kesal karena Dena pun terlihat acuh tapi malah ikuti menertawakan Anggi meskipun dia tidak secara langsung menghina Anggi. “Kamu tidak perlu mendengarkan anak yang menghinamu, anggap saja dia orang gila, lagian buat apa bertengkar dengan orang gila kan?” sindir Naya sambil melirik ke arah Aryan membuat anak laki-laki itu pun terlihat kesal “Hei kamu, nggak usah ikut campur anak penjual naai, kalian itu sama dari anak orang miskin. Meskipun ibumu adalah guru di sini tapi tidak menghilangkan status kamu sebagai anak orang miskin, lagian kamu saja nggak mempunyai ayah atau jangan-jangan ibumu itu adalah seorang yang merebut ayah orang lain, kalau nggak salah namanya pelakor, iya kan?” hina Aryan terang-terangan dengan terseny
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike
Naya memperhatikan wajah pria itu lebih dekat lagi. Wajah yang sempurna dan memang mempunyai kemiripan dengan Naya. “Abi memang sangat tampan pantas saja banyak yang menyukai Abi, tapi apakah Abi juga banyak pacar? Buktinya Abi dulu tidak menyukai Ummi karena Ummi cacat, dan sekarang Abi kembali dan ingin mengajak kami untuk hidup bersama. Naya Ingin sekali mempunyai keluarga yang utuh. Naya ingin memeluk Abi. Naya ingin mereka tahu kalau Naya masih mempunyai Abi tapi bagaimana dengan nasib Dena? Apakah dia akan membenci Naya jika dia tahu Nayalah putri kandungnya bukan Dena,” gelisahnya dalam hati.“Apakah Naya tidak merindukan Abi dan apa yang dikatakan Ummi tentang Abi Naya?” desak Ardan ingin mengetahui apa saja yang diajarkan oleh Aluna. “Awalnya iya, Naya kan nggak pernah melihat wajah Abi Naya, tapi setiap Naya bertanya di mana Abi Naya Ummi langsung terlihat sedih. Dari situ Naya nggak akan pernah bertanya lagi tentang jika membuat Ummi menangis,” jelasnya panjang lebar.De
Ardan langsung melepaskan Aluna karena dia juga tidak mau akan terjadi sesuatu hal dengannya dan Naya.“Maaf Lun, aku hanya ....” ucapan menggantung saat Aluna langsung bertanya tentang kondisi papanya. “Bagaimana kondisi papa apakah beliau baik-baik saja?” akhirnya Aluna juga penasaran dengan kondisi kesehatan mantan mertuanya itu. “Alhamdulillah untuk saat ini baik-baik saja. Papa tidak bekerja lagi di perusahaan, kini aku yang mengambil tanggung jawab itu. Ternyata apa yang papa lakukan di perusahaan aku baru menyadarinya kalau tanggung jawab papa semasa itu sangat berat, aku baru menyadari semuanya,” jelas Ardan pelan.Aluna kembali duduk diikuti oleh Ardan. Dia senang akhirnya Aluna mau mendengarkan keluh kesahnya. “Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berubah, Mas. Kamu mengambil tanggung jawab dengan benar. Berarti permintaan papa sudah kamu turuti,” sahutnya tersenyum lega jika mantan mertuanya masih sehat.“Nggak semuanya Lun, ada satu permintaan yang belum bisa aku turuti,”
Aluna pun melihat sekelilingnya dan benar memang masih banyak pembeli yang ingin dilayaninya.“Maaf, tapi tidak bisa lama-lama karena warung masih ramai atau mau menunggu sebentar, saya nggak bisa meninggalkan mereka?” bujuknya karena memang masih terlihat ramai. “Tante, Dena juga harus istirahat, kami juga belum pulang ke rumah kecuali kami boleh menginap di rumah Tante, boleh kan?” Dena begitu bersemangat. “Tidak!” jawab lantang Naya hampir sebagian orang melihat ke arahnya.Aluna tak enak hati jika dilihat banyak orang. Mau tak mau Aluna membawanya ke rumah yang terletak di samping warungnya. Mereka pun duduk di teras rumah. Sedangkan Naya tetap berdiri di samping Aluna yang sudah duduk bersama Ardan dan Dena. Ada sedikit rasa canggung untuk bisa duduk bersama apalagi jarak duduk mereka tidak terlalu jauh. Ardan tak lepas memandangi terus wajah Aluna sehingga wanita cantik itu pun bersemu merah. Dena yang tidak mengetahui apa-apa pun sedikit merasa curiga dengan gerak tubuh pa