Setelah menyiapkan air hangat Aluna kembali ke kamar dan membangunkan sang suami untuk segera bangun. Meskipun biasanya Ardan sangat sulit dibangunkan dan pasti akan terbawa emosi dia tetap membangunkannya. “Mas, bangun sudah jam enam pagi, semua sudah aku siapkan, segeralah mandi dan sarapan pagi juga sudah ada di meja makan,” ucap Aluna tanpa jeda. Tidak ada pergerakan dari Ardan, wanita cantik itu kembali mendekat. Wajahnya sedikit dicondongkan dan menatap wajah tampan itu. “Apakah dia sakit?” gumamnya seraya menempelkan telapak tangannya ke kening Ardan. “Tidak panas, tapi biasanya sudah bangun meskipun dengan omelan. Kenapa ya?” Aluna masih bingung sementara Ardan malah sengaja berpura-pura masih terlelap tidur. Aluna kembali menggoyangkan tubuh Ardan tapi pria tampan itu tidak juga bangun. “Kenapa hari ini sangat sulit dibangunkan sih?” ucapnya sedikit kesal. Masih penasaran Aluna masih berusaha untuk membangunkan sang suami. Namun, dengan sengaja Ardan malah menarik tubu
“Aku yakin tidak salah orang, wanita itu yang ada di tempa kejadian. Dia yang menolong Ardan. Mas, aku takut kalau Aluna sampai mengatakan sesuatu kepada orang lain atau dengan Ardan tamat riwayatku, Mas,” ucapnya dalam ketakutan.“Ayolah Sayang jangan takut seperti , kalau pun memang Aluna memang ingin menindasmu dia tidak akan bisa karena aku sendiri yang akan menyingkirkannya. Seharusnya yang mati adalah Ardan tapi dia seperti kucing saja mempunyai sembilan nyawa. Mungkin kita tidak akan melakukan rencana itu lagi karena sangat berbahaya pastinya mereka sudah lebih berhati-hati, kita akan pakai halus dan aku merasa yakin kalau kamu bisa menikah dengan Ardan,” jelas Om Ardi begitu bernafsu untuk mencumbu tubuh Delia yang begitu seksi. Dengan cepat Ardi menaikkan gairah Delia sehingga dalam hitungan menit saja mereka melakukannya. Napas mereka masih terdengar tersengal-sengal. Delia dengan cepat merapikan pakaiannya yang sudah berantakan akibat ulah Om Ardi. Begitu juga pria paru
Di dalam mobil Ardan tampak diam, dia hanya fokus untuk menyetir padahal sedari tadi Delia sudah panjang lebar bercerita tentang kegiatan yang akan menyita waktunya. Ardan masih bergeming dia malas untuk menanggapi semua ocehan Delia, karena entah kenapa semenjak kehadiran Rayhan semut menjadi rumit. Di tambah ucapan Rayhan yang seakan-akan ingin mengambil Aluna dari sisinya. Mobil mewah itu berhenti tepat di sebuah gedung tinggi. Tempat di mana Delia akan bekerja sebagai model. Hari ini jadwal Delia sedikit padat karena banyak pemotretan yang harus dia kerjakan. “Sayang, aku sudah sampai tapi wajahmu sepertinya tidak suka dengan kehadiran aku, apa ada? Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?” tanya Delia lembut sembari mengecup pipi Ardan. “Aku enggak apa-apa, turunlah jangan sampai kamu terlambat, nanti siang aku jemput untuk makan siang,” jawab Ardan dan membalas ciuman hangat untuk Delia.Wanita seksi itu pun turun dari mobil dan segera masuk ke gedung. Sedangkan Ardan kini melaju
“Cepatan Mbok, apa perintah saya kurang jelas?” bentak Ardan terlihat kesal. “Bu—bukan begitu Den cuma aneh saja, permisi Den,” sahut Mbok Asih segera melangkah pergi mencari Aluna. Untung saja dia tahu keberadaan wanita cantik itu dan segera menghampirinya.“Nyonya Lun?” panggil Mbok Asih sedikit nyaring sehingga Luna menoleh. Wanita cantik itu sedang asyik membaca buku agam sebelum masuk waktu Zuhur. Dia pun menutup bukunya dan berusaha menghampiri Mbok Asih yang terlihat berlari kecil menuju ke arahnya.“Jangan panggil Nyonya, kesannya ketuaan Mbok, memang ada apa sih Mbok, kok sepertinya ada yang penting?” tanya Aluna penasaran.“Itu ada Den Ardan pulang, sekarang dia ada di meja makan,” jawab Mbok Asih sambil mengatur napasnya yang terdengar masih tersengal-sengal tapi membuat Aluna heran.“Mas Ardan pulang, kok tumben ini kan jam makan siang bukannya dia bilang mau makan siang bersama Mbak Delia?” tanyanya penasaran.“Nggak tahu Neng, cepatan Neng ke sana dia mau Neng Luna y
“Lepaskan aku Mas! Apa yang kamu lakukan?” Aluna semakin berontak ingin terlepas dari pelukan Ardan, tapi pria tampan itu malah semakin mengeratkan pelukannya sehingga membuat Aluna sulit bernapas. Tongkat penyangga kakinya pun terlepas dari tangannya karena berusaha mendorong badan Ardan tapi tetap saja Aluna tidak mampu menggeser tubuh kekar itu.“Kenapa kamu berontak, bukankah kamu ingin aku sentuh walaupun sebenarnya aku sangat jijik denganmu, bahkan aku tidak pernah ingin mempunyai anak darimu. Kamu tahu kenapa karena kamu cacat dan bagaimana jika keturunanku juga cacat sepertimu, penerus generasi keluarga Batara tidak sempurna?” ejek Ardan dengan menyeringai jahat. Seketika wajah Aluna memerah, terlalu sakit untuk di dengar tapi wanita cantik itu berusaha bersikap untuk tidak mengeluarkan air matanya.“Baik, jika kamu memang menganggapku sampah, aku juga sudah tidak peduli lagi! Kamu ingin kita pisah, aku sudah siap tidak perlu menunggu setahun lagi, bahkan kamu sudah terang-t
“Bagaimana dengan Tuan Ardin, beliau akan merasa sedih dan penyakit jantungnya?” tanya Mbok Asih merasa kasihan.“Aku tahu Mbok makanya kami akan memutuskan berpisah setelah Papa pulang dan merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke dua. Rasanya sudah cukup aku bertahan sedangkan Mas Ardan juga masih mencintai Mbak Delia,” jawab Aluna dengan suara sedikit bergetar.Mbok Asih tidak bisa berkata-kata lagi, antara bahagia dan sedih dengan keputusan yang Aluna ambil. Bahagia karena Aluna bisa mengambil keputusan yang menurutnya tepat dan sedih karena Aluna tidak akan tinggal di rumah itu lagi. ***Ardan kembali ke kantor dengan wajah yang masih terlihat kesal. Untuk menghilangkan pikiran tentang Aluna dia pun kembali bekerja, memeriksa laporan. Ada saja yang terkena amukan Ardan sehingga para karyawan takut dengannya.Dia melempar pulpennya tak menentu, bukannya menghilang tatapi malah semakin mengingatnya. “Ah sial!” rutuk Ardan kesal. Dia semakin mengingat wajah Aluna.Ardan lalu m
“Halo, maaf Sayang, aku tadi banyak pekerjaan dan sekarang kepalaku pusing jadi aku pulang.”“Sekarang kamu di mana? Di rumah atau apartemenmu?”“Aku sekarang ada di apartemen, kamu ke sini saja, aku tunggu.”“Baiklah Sayang aku langsung ke sana sekalian aku belum makan siang dari tadi nungguin kamu enggak datang-datang.”“Oke, aku akan menebus kesalahanku sesuai dengan keinginanmu, sekarang kamu puas?”“Oke, I love you.”“Iya.”Pria tampan itu sebenarnya malas untuk bertemu tapi dia pun tidak mau berdebat panjang apalagi jika wanita itu mengadu kepada Rini. Lebih baik dia mengalah dan membiarkan keadaannya seperti itu. Ardan sudah berada di depan pintu apartemennya. Setelah membuka pintunya pria tampan itu langsung menghempaskan tubuhnya di sofa empuk sembari memijit-mijit keningnya yang masih terasa pusing.“Ya Tuhan, apa yang terjadi kepadaku? Kenapa semenjak ada Rayhan aku sangat kesal jika dia menatap lain kepada Aluna? Sangat menyebalkan,” gerutunya kesal. Ardan membuka sepatu
Rayhan tersenyum kecil saat ponselnya berdering. Foto yang dia unggah ke Story WA dua menit yang lalu dalam posisi Rayhan sedang menikmati makannya di meja makan sudah dilihat oleh Ardan dan tebakannya sangat tepat karena pria tampan itu langsung menghubunginya. Dengan santai Rayhan pun menerima panggilan itu.“Sudah aku duga dia akan panas melihat aku sedang ada di rumahnya,” ucap Rayhan dalam hati sambil tersenyum. “Ya Halo, ada apa Aar”“Ngapain kamu ke rumah?” “Kenapa memangnya? Rumahku kan bersebelahan dengan rumahmu, kan? Ada yang salah?” “Iya aku tahu, tapi kenapa kamu nongkrong di rumahku bukan di rumah kamu sendiri?” “Oh itu, tadi saat pulang kantor enggak sengaja berpapasan dengan Aluna dia mau pergi ke supermarket, nah dia mau jalan kaki ya udah deh aku tawari untuk mengantarnya. Sebagai ucapan terima kasih dia mengundang aku untuk makan. Aku ya enggak keberatan dong, soalnya di rumah juga belum masak, enggak apa-apa kan?” “Apa kamu bilang? Tunggu aku juga mau pulan
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike
Naya memperhatikan wajah pria itu lebih dekat lagi. Wajah yang sempurna dan memang mempunyai kemiripan dengan Naya. “Abi memang sangat tampan pantas saja banyak yang menyukai Abi, tapi apakah Abi juga banyak pacar? Buktinya Abi dulu tidak menyukai Ummi karena Ummi cacat, dan sekarang Abi kembali dan ingin mengajak kami untuk hidup bersama. Naya Ingin sekali mempunyai keluarga yang utuh. Naya ingin memeluk Abi. Naya ingin mereka tahu kalau Naya masih mempunyai Abi tapi bagaimana dengan nasib Dena? Apakah dia akan membenci Naya jika dia tahu Nayalah putri kandungnya bukan Dena,” gelisahnya dalam hati.“Apakah Naya tidak merindukan Abi dan apa yang dikatakan Ummi tentang Abi Naya?” desak Ardan ingin mengetahui apa saja yang diajarkan oleh Aluna. “Awalnya iya, Naya kan nggak pernah melihat wajah Abi Naya, tapi setiap Naya bertanya di mana Abi Naya Ummi langsung terlihat sedih. Dari situ Naya nggak akan pernah bertanya lagi tentang jika membuat Ummi menangis,” jelasnya panjang lebar.De
Ardan langsung melepaskan Aluna karena dia juga tidak mau akan terjadi sesuatu hal dengannya dan Naya.“Maaf Lun, aku hanya ....” ucapan menggantung saat Aluna langsung bertanya tentang kondisi papanya. “Bagaimana kondisi papa apakah beliau baik-baik saja?” akhirnya Aluna juga penasaran dengan kondisi kesehatan mantan mertuanya itu. “Alhamdulillah untuk saat ini baik-baik saja. Papa tidak bekerja lagi di perusahaan, kini aku yang mengambil tanggung jawab itu. Ternyata apa yang papa lakukan di perusahaan aku baru menyadarinya kalau tanggung jawab papa semasa itu sangat berat, aku baru menyadari semuanya,” jelas Ardan pelan.Aluna kembali duduk diikuti oleh Ardan. Dia senang akhirnya Aluna mau mendengarkan keluh kesahnya. “Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berubah, Mas. Kamu mengambil tanggung jawab dengan benar. Berarti permintaan papa sudah kamu turuti,” sahutnya tersenyum lega jika mantan mertuanya masih sehat.“Nggak semuanya Lun, ada satu permintaan yang belum bisa aku turuti,”
Aluna pun melihat sekelilingnya dan benar memang masih banyak pembeli yang ingin dilayaninya.“Maaf, tapi tidak bisa lama-lama karena warung masih ramai atau mau menunggu sebentar, saya nggak bisa meninggalkan mereka?” bujuknya karena memang masih terlihat ramai. “Tante, Dena juga harus istirahat, kami juga belum pulang ke rumah kecuali kami boleh menginap di rumah Tante, boleh kan?” Dena begitu bersemangat. “Tidak!” jawab lantang Naya hampir sebagian orang melihat ke arahnya.Aluna tak enak hati jika dilihat banyak orang. Mau tak mau Aluna membawanya ke rumah yang terletak di samping warungnya. Mereka pun duduk di teras rumah. Sedangkan Naya tetap berdiri di samping Aluna yang sudah duduk bersama Ardan dan Dena. Ada sedikit rasa canggung untuk bisa duduk bersama apalagi jarak duduk mereka tidak terlalu jauh. Ardan tak lepas memandangi terus wajah Aluna sehingga wanita cantik itu pun bersemu merah. Dena yang tidak mengetahui apa-apa pun sedikit merasa curiga dengan gerak tubuh pa