"Pengacara model apa kayak gini? Udah punya suami masih ganggu suami orang," omelku sambil menggulirkan ke bagian bawah pesan dari Winda di ponsel Dewa.Setelah kucek, Dewa sama sekali tidak menanggapi pesan dari wanita gatal itu. Di antara SMS yang masuk, semua berawal dari Winda tanpa mendapat balasan dari suamiku."Bagus."Segera kucek ke aplikasi perpesanan lainnya. Mengantisipasi jangan sampai Dewa bermain belakang. Pura-pura tak merespons SMS, tapi melalui jalur lain. Tanganku terus menggulirkan ke semua perpesanan, tak ada yang mencurigakan. Semua pesan yang masuk dari teman kantor Dewa. Hatiku pun tenang.Tak berselang lama, masuk lagi pesan dari Winda. Sejenak aku berpikir, apa sebaiknya kuladeni saja? Ya, aku akan berpura-pura sebagai Dewa untuk mengetahui apa niat dan rencana wanita tak tahu diri itu.[Waalaikumsalam. Maaf, baru balas. Ini habis pengajian di rumah asrama. Ada apa, ya?] Tulisku di kotak masuk dan setelahnya kukirimkan ke nomor Winda. Dalam hati sangat geram
Kutarik napas dalam-dalam. Tanganku telah bergetar hebat. Ingin kulabrak wanita itu, tapi masih berusaha kutahan. Secepatnya ku-screenshoot pesan dari Winda barusan. Untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu ada buktinya bahwa dia yang memulai menggoda Dewa.Kugeletakkan kembali ponsel Dewa di bawah bantal. Detik kemudian, suara deringan terus terdengar. Sejenak kuintip, rupanya telepon dari Winda. Namun, tak kuhiraukan panggilan tersebut dan menyudahi membalas pesannya.Tepat jam setengah satu, terdengar suara ketukan pintu diikuti salam. Aku yang sempat terlelap, terbangun karena kaget mendengar suara tersebut. Setelah kubuka pintu, ternyata Dewa yang datang. Raut wajahnya terlihat lesu dan dipenuhi keringat.Segera kuambilkan air minum, lalu kusodorkan padanya. Dewa langsung meneguk hingga tandas. Sepertinya dia sangat kehausan."Apel apa tadi?" tanyaku sambil menerima gelas bekas air minum Dewa."Ada anggota yang berkelahi dengan warga sebelah. Kita siaga satu buat antisipasi kala
"Dia langsung matikan. Dasar perempuan gak jelas," omelku sambil mengembalikan ponsel pada Dewa.Suamiku itu seketika memandangi layar pada benda yang berada di genggamannya. "Kamu dari tadi SMS-an sama Winda?" Kepalanya sontak mendongak ke arahku.Aku hanya menaikkan kedua alisku. "Kenapa?"Dewa justru terkekeh. "Gak papa. Lucu aja. Kasian, ya, Winda. Segitunya ngejar laki-laki. Bener-bener udah gak punya harga diri.""Tapi, kamu seneng, kan? Bangga dikejar-kejar perempuan seperti Winda."Mata Dewa seketika memicing ke arahku. "Mulai lagi, deh. Baru aja seneng-seneng udah kumat lagi."Spontan Dewa menggeser posisi duduk ke dekatku. Tangannya menangkup kedua pipiku, lalu menciumi kelopak mataku dengan sangat lembut. Perlahan dia memagut bibirku dan aku pun menikmati setiap perlakuan darinya. Sungguh malam ini menjadi malam terindah dalam hidupku. Persoalan Winda kulupakan sejenak demi menikmati malam bersama suami tercinta.Selepas itu, Dewa beringsut dan melepaskan tangkupannya. Namu
"Mau apa lagi dia?" ucapku kesal."Makanya kamu yang angkat," timpal Dewa masih menyodorkan ponsel di hadapanku.Aku mengedikkan bahu. "Ogah ah. Kalau aku angkat palingan langsung dimatiin. Lagian juga dia kan ada perlunya sama kamu. Coba kamu angkat, deh. Mau ngomong apa si ulet bulu itu."Dewa pun menuruti permintaanku. Kulihat tangannya perlahan menggeser tombol berwarna hijau, lalu mengaktifkan loudspeaker."Assalamu'aikum," ucap Dewa lirih seraya menatap ke arahku."Ya ampun, Wa. Dari semalam aku telepon kamu gak angkat-angkat ke mana aja? Eh, malahan istrimu itu yang terima. Kita bisa ketemuan gak? Aku janji bakal nurutin apa yang kamu mau, aku juga bakal senengin kamu," cerocos Winda tanpa rasa malu berbicara dengan suami orang."Orang salam gak dijawab. Tau gak, menjawab salam itu wajib hukumnya," cela Dewa seraya menasihati wanita tak tahu malu itu."Iya, deh. Sorry. Waalaikumsalam," jawabnya dengan suara yang dibuat-buat manja.Dadaku kian bergejolak. Seketika Dewa menggengg
Namun, suamiku itu justru menggodaku. "Cemburu, nih, ye?"Aku spontan berdiri dan menatap ke arahnya tajam. "Coba kalau kamu di posisiku? Seandainya ada cowok yang ganggu aku, kamu marah gak?"Dewa kembali menarik tanganku dan memintaku duduk di sampingnya. "Iya, iya, aku tau. Aku minta maaf. Kalau gitu terserah kamu, deh, mau apain perempuan itu. Intinya aku jujur dan gak mau ladeni."Kuacungkan jari telunjuk di hadapan Dewa. "Bener, ya? Awas kalau kamu bohong. Aku sunat kedua kalinya biar kapok."Raut wajah Dewa seketika berubah. Tangannya pun sigap memegang benda pusakanya itu. "Ngeri banget ancamanmu, Sayang.""Iyalah, makanya jangan macam-macam sama aku. Gak habis pikir aja sama Winda. Semalam tengah malam nelepon, sekarang pagi-pagi buta gini juga udah nelepon. Apa dia gak tidur semalaman?" Aku menggeleng."Daah, gak usah bahas dia lagi." Dewa seketika memelukku. "Mending kita lanjut lagi yang semalam. Dingin-dingin gini enaknya---"Langsung kututup mulut Dewa. "Pelan-pelan kala
Badanku seketika bergidik. Tanpa menjawab, aku langsung masuk rumah dan mengunci pintu. Setelah di dalam, kuintip dari celah jendela kamar. Jangan sampai Om tersebut nekat ke rumah. Ya ampun, ternyata selain Bu Dar ada lagi yang membuatku tidak tenang. Kemudian, aku berlari ke belakang. Segera kukunci pintu dapur. Entah mengapa perasaanku sangat ketakutan. Ketika hendak melangkah ke kamar, suara ketukan pintu membuat nyaliku semakin menciut. Jantungku seketika berdegup kencang.Perlahan kulangkahkan kaki ke depan. Sejenak kuintip melalui celah vitras. Detak jantungku kembali normal ketika mengetahui Bu Soni yang berdiri di depan pintu."Gimana, Bu Soni?" tanyaku seraya membuka pintu.Tetangga sebelah rumahku itu menyodorkan lencana. "Tadi, saya dengar kayaknya Tante mau beli lencana, ya? Kebetulan saya punya ada dua. Pake ini aja gak papa.""Oh, makasih, Bu Soni. Tapi, suami saya lagi pergi beli ke rumah Bu Bamin." Belum kering mulut ini, Dewa telah masuk ke teras. Dia memberi kode
"Kalo kamu jengkel gak usah diangkat. Buang-buang waktu aja. Bikin muka kamu cepat keriput juga marah-marah terus," ucap Dewa sambil berlalu menyambar handuk.Aku terdiam sejenak seraya memandangi layar ponsel. Sepertinya apa yang dikatakan suamiku itu ada benarnya. Akhirnya, kuabaikan telepon dari si Ulat Bulu itu. Kuletakkan kembali ponsel di atas nakas. Kemudian, aku bergegas menyiapkan seragam Persit.Di sela-sela aku sibuk menyetrika pakaian, ponsel Dewa tak berhenti berdering. Namun, tetap saja tak kuhiraukan. Palingan telepon dari Winda. Dasar wanita murahan.Ketika usai menyetrika dan meletakkan seragam yang akan kupakai di kamar, ponsel suamiku itu kembali berdering. Sejenak kulihat bukan nomor Winda, melainkan nomor tak dikenal. Namun, perasaanku mengatakan itu trik dari wanita tak tahu malu itu. Sepertinya dia memakai nomor lain agar mendapat respon dari Dewa. Tepat jam 06.15, Dewa masuk kamar. Ponselnya kembali berdering. Saat kulihat, nomor tak dikenal yang barusan menel
Dewa spontan keluar, lalu memandangiku hingga keningnya mengerut. "Kamu kenapa? Kayak dikejar anjing aja."Aku mengarahkan Dewa ke dapur seraya meletakkan plastik berisikan kue di meja makan. "Itu, Om Ferdi. Dia main mata lagi sama aku."Tanpa kata-kata, Dewa langsung keluar. Kulihat wajahnya telah merah padam. Tangannya pun mengepal sempurna. "Kurang ajar. Liat aja nanti." Dia membuka pintu sangat kasar hingga menimbulkan bunyi.Ketika dia melangkah keluar, segera kutahan. Kupanggil Dewa kembali. Aku khawatir dia berkelahi dengan Om Ferdi dan justru menjadi masalah."Kenapa? Biar aku hajar dia," ucap Dewa terlihat ganas sambil memegang kerangka pintu. Pandangannya tak lepas mengarah ke rumah sebelah.Sejenak kulihat Om Ferdi sudah tak ada lagi di luar. Motornya pun tidak terparkir di teras. Sepertinya dia telah pergi kantor."Jangan emosi gitu. Gak enak dilihat orang. Apalagi kita di sini baru. Mending kita pantau aja, sampai di mana pergerakan dia. Kalau udah kelewatan baru boleh ka
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol