"Oh, kebetulan Mami yang kasih tau aku. Katanya Papi sempat diteror. Terus aku kasih tau Dewa. Dewa langsung nyelidiki, Pa," kilahku berusaha menyembunyikan prahara rumah tanggaku."Terus Papa tau Jems juga dari mana?" tanyaku balik."Pak Himawan yang kasih tau karena pernah ada pemuda yang datang ke sini. Katanya mau nuntut haknya. Tapi, Pak Himawan gak mau percaya begit aja. Beliau minta bukti, tapi pemuda itu gak bisa buktikan. Pak Himawan juga sempat berniat kasih beberapa bisnisnya, tapi dia gak mau. Gak lama dari itu, bisnis papimu bangkrut. Hanya perusahaan ini yang selamat, itu pun karena Papa yang bantu. Papa kasian sama Pak Himawan. Masalahnya terlalu berat," jelas Papa panjang lebar.Aku seketika terdiam. Suasana pun menjadi hening. Hanya terdengar suara pergerakan jarum jam yang bertengger di dinding ruangan minimalis ini."Setelah diselidikinsama Dewa, makanya dia tau siapa Jems itu. Papi pun akhirnya buka suara," lanjutku lagi memecah keheningan.Papa masih diam seraya m
"Ibu ini siapanya Pak Himawan?" Aku memberanikan diri bertanya seperti itu untuk menuntaskan rasa penasaran.Belum sempat pertanyaanku dijawab, suara klakson mobil dari seberang jalan memekakkan telinga. Spontan aku menoleh ke sumber suara, tampak kaca mobil perlahan turun, lalu kepala Dewa melongok keluar."We, cepat!" teriaknya dari dalam mobil.TIN! TIN! Dewa terus saja membunyikan klakson. Karena tak ingin diteriaki, akhirnya aku langsung pamitan dan meninggalkan wanita lusuh itu. Kemudian, menyeberang menuju mobil Dewa. "Lama banget, sih. Kamu lagi ngobrol sama siapa?" tanya Dewa sambil mengatur volume musik, sesekali pandangannya mengarah pada wanita yang mengobrol denganku barusan.Aku bergeming, tak menjawab pertanyaannya karena khawatir lelaki di sampingku itu turut penasaran. Namun, otakku terus berputar memikirkan wanita tadi. Sejenak kusempatkan melihat wanita lusuh di seberang jalan. Dia masih berdiri di tepi jalan sambil memandangi amplop yang berada di tangannya. Siap
"Oh, ini anak saudara Mama. Ini waktu masih umur satu bulan, Mama juga lagi hamil Furi," jawab Mama dengan raut wajah seperti kaget."Ya udah, kalian tunggu dulu. Mama mau bikinin minuman," lanjut beliau dan berjalan gontai menuju dapur sambil membawa album foto tersebut.Aku seketika tercenung. Kenapa Mama bersikap tak seperti biasa ketika melihat Dewa melihat foto tadi? Pikiranku langsung tertuju pada obrolan bersama Papa. Apa jangan-jangan itu fotonya Dewa ketika bayi?"Iya, itu tadi fotonya sepupuku," jawabku berusaha mencairkan suasana agar Dewa tak curiga dengan sikap Mama barusan.Dewa hanya manggut-manggut dan membulatkan bibir. "Aku kira kamu punya kakak cowok."Aku cepat-cepat menggeleng. "Bukan."Kemudian, aku beranjak ke kamar. Ketika di dalam, kupandangi seluruh ruangan. Mataku langsung tertuju pada boneka Panda berukuran jumbo. Seketika aku teringat ketika awal perjodohan dengan Dewa. Kuajak boneka tersebut berbicara sambil menangis tersedu-sedu. Jika mengingat kejadian
Diri ini masih mematung memandangi Dewa penuh iba. Aku sangat prihatin dengan masalah yang menimpanya. Kakiku perlahan melangkah mendekati. Kutatap wajahnya yang masih dipenuhi kobaran emosi. Setelah kurasa amarah Dewa agak mereda, kumulai membuka obrolan."Total utangmu berapa? Boleh aku bantu?" ucapku lirih, sedikit berhati-hati karena kutahu situasi seperti ini sangatlah sensitif.Kepala Dewa menoleh ke arahku. "Aku gak mau ngerepotin orang lain. Aku juga gak mau nantinya jadi berutang budi. Kamu pasti mau manfaatin keadaan, kan?"Aku sejenak terdiam. Seketika hening merajai suasana. Entah harus dengan cara apa lagi agar hati Dewa sedikit terbuka."Kenapa kamu masih mau bertahan dengan pernikahan ini?" Lelaki di hadapanku itu kembali berbicara."Pernikahan itu bukan permainan. Saat kamu ijab qabul di depan penghulu itu adalah sakral. Urusannya sama Allah. Udahlah, lupakan sebentar soal masalah kita. Sekarang kita selesaikan dulu masalahmu," lanjutku memberi saran.Dewa hanya menata
"Bisa lah. Dulu kita rencana nabung bersama buat acara pernikahan. Rencananya nanti kita akan menggelar resepsi yang megah dan mewah. Makanya aku suruh Nindi yang pegang semua hasil penjualan mobil."Mendengar penuturan Dewa, aku seketika tertawa. "Dewa, Dewa. Kasian banget nasibmu. Luarnya doang gagah, tapi dalamnya kalah sama cewek kayak Nindi."Dewa langsung menatapku tajam. "Jangan ngeledek aku kamu. Namanya juga musibah, siapa yang mau.""Kalau ini bukan musibah, tapi percobaan bunuh diri," kelakarku sambil terbahak.Tampak Dewa menghela napas seraya meraup wajahnya. Dia sepertinya benar-benar pusing menghadapi masalah yang menimpa."Habis ini kita mau ke mana?""Kita ke asrama dulu. Oh iya, makasih ya, kamu udah bantuin aku," ucap Dewa lembut, tidak seperti biasa. "Santai aja. Udah kewajibanku sebagai istri bantuin suami. Iya, kan?" ledekku sambil mengerlingkan sebelah mata."Iya, deh. Terserah kamu." Dewa langsung berjalan menuju mobil, meninggalkanku.Aku pun segera mengikuti
"Oh, saudara. Aku kira itu istrimu," ucap Winda sedikit menyunggingkan senyum masam."Kalau istri emangnya kenapa, Mbak?" timpalku memberanikan diri.Sontak Dewa memelototiku, tapi segera kuinjak kakinya. Akhirnya lelaki di sampingku itu terdiam seketika."Ya, aku patah hati, dong." Winda menjawab terang-terangan. Benar-benar Nindi kedua."Emangnya Mbak belum nikah?" sengitku lagi. Aku sudah tak peduli dengan Dewa.Wanita bernama Winda itu tampak seperti bingung. "Em, sebenernya udah, tapi hubunganku dengan suami lagi gak harmonis." Kulihat Dewa mengernyit. "Oh, ya? Terus kamu kerja di mana?" Dia seperti ingin mengalihkan pembicaraan.Namun, Winda justru mengarahkan kami ke bagian ujung restoran. "Kita duduk di sana aja, yuk. Gak enak ngobrol sambil berdiri gini."Dewa pun menuruti permintaan Winda. Mau tidak mau, aku juga mengikutinya meski dalam hati sangat kesal. Namun, sejenak kutepikan rasa cemburuku. Kuikuti ke mana permainan ini akan berakhir.Setelah duduk di tempat yang Wind
Usai makan, Winda mengajak Dewa berbelanja ke mal. Namun, suamiku itu meminta izin padaku terlebih dahulu. Karena ingin mengetahui arah pertemuan ini, akhirnya kusetujui. Ya, sekalian memantau kegenitan si wanita aneh itu.Ketika berada di mal, Winda terus menarik tangan Dewa seolah ingin menggandengnya. Melihat tingkah konyol wanita itu, hatiku sangat geram. Beruntungnya Dewa selalu menolak. Kemungkinan karena dia khawatir diketahui oleh temannya. Berbeda dengan Nindi saat di Bali. Di sana memang tak ada rekannya sehingga dia bisa berbuat seenaknya."Kamu mau belanja apa? Oh iya, sodaramu juga mau dibeliin apa?" Winda memberi penawaran pada Dewa."Kamu mau dibeliin apa?" bisik Dewa sembari menyenggol lenganku.Aku seketika menggeleng. Semangatku mendadak hilang semenjak kehadiran wanita itu. Jangankan mau memilih belanjaan, melihat tingkah mereka berdua saja mataku sudah pedih."Apa aja, deh. Terserah kamu." Akhirnya Dewa angkat bicara.Setelah itu, kami berkeliling menemani Winda be
"Oke, gak masalah. Aku bisa memaklumi." Dewa pun mengalihkan tatapannya. Hening seketika merajai suasana.Perlahan kakinya menginjak pedal gas dan melajukan mobil dalam diam. Namun, riak wajahnya tampak bahagia. Senyumnya sesekali merekah dan sedikit mencuri-curi menatapku. Mentari yang telah meninggi serta pesona awan putih berarak-arakan di atas sana pun turut mengiringi perjalanan kami. Beberapa saat kemudian, tangan kirinya melepas kemudi dan meraih jemariku hingga membuat jantungku berdentum tak beraturan. Suasana tenang dan nyaman pun seketika tercipta."Kita mau ke mana ini?" tanyaku yang akhirnya memecah kesunyian."Kamu maunya ke mana?" Dewa balik bertanya padaku. Tangannya masih memegang jemariku. Tatapannya kali ini terbagi antara fokus mengemudi dan sesekali menatapku penuh perhatian.Sejenak kukernyitkan kening. "Loh, bukannya katanya tadi mau beli perabotan?" Segera kulepaskan tangan seraya berpura-pura merapikan rambut, padahal sebenarnya menyembunyikan riak kecanggung
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol