Namun, Dewa segera menarik tanganku hingga aku terpaksa membalikkan badan kembali. Kupandangi wajah tegasnya lekat-lekat."Ada apa lagi?" "Mana kunci mobilnya? Jangan GR kamu!" hardik Dewa sambil menengadah.Perlahan tanganku meraih kunci dari dalam tas. Ketika hendak pergi, Mami tiba-tiba datang. Terpaksa kuurungkan dan bersikap seolah tidak terjadi sesuatu."Ada apa nih kayaknya lagi pada serius?" ucap beliau membuka obrolan."Eh, Mami. Papi gimana, Mi? Apa udah baikan?" jawabku mengalihkan pembicaraan.Mami sedikit mengulas senyum. Namun, sorot matanya tetap tak bisa dibohongi. Beliau seperti sedang menyembunyikan sesuatu."Alhamdulillah udah agak mendingan."Spontan Dewa mendekati maminya dan memegang kedua tangan beliau. "Mi, bilang! Sebenarnya ada apa?"Mami terdiam. Tatapannya mengarah padaku. Aku pun hanya bisa terdiam. Rasanya ingin memberi tahu pada Dewa tentang kasus Papi, tapi seketika teringat pesan Mami. Sedangkan jika kubuka kedok Nindi dan Jems di hadapan beliau, suda
"Karena kejadian ini terjadi setelah aku nikahin kamu. Dulu, keluargaku aman-aman aja. Aku pacaran sama Nindi juga gak pernah ngalami kejadian aneh kayak gini, apalagi sampe Papi diteror segala. Kenapa pas kamu masuk ke keluargaku baru seperti ini? Kan, perlu dipertanyakan." Dewa masih memandangiku dengan tatapan menghujam.Spontan kutarik napas dan mengaturnya perlahan. "Please, sekali ini aja kamu percaya sama aku. Aku yakin kalau pelakunya itu Nindi sama Jems."Lagi-lagi Dewa tertawa. "Furi, Furi. Kamu itu pinter banget ngalihin situasi. Kamu pikir aku percaya gitu aja? Ngomong aja kalau kamu itu naksir sama Jems makanya kayak gini.""Nanti aku bilangin sama Nindi suruh mak comblangin kamu sama Jems. Eh, tapi tunggu aku nikah sama Nindi dulu." Tawa Dewa semakin berderai."Gak lucu tau. Ini masalah serius," ketusku.Tak berselang lama, suara ponsel Dewa mengalihkan perhatiannya. Lelaki di hadapanku itu langsung sigap menempelkan benda tersebut ke telinganya."Iya, Sayang, gimana?" u
Dewa mengabaikan ucapanku begitu saja dan langsung melenggang keluar. Kemudian, suara deringan ponsel membuatku terkejut. Segera kuambil benda tersebut.[Kalau kamu masih mata-matain aku, aku akan bikin kamu semakin dibenci sama Dewa]Teks bertuliskan pesan tersebut dari sebuah nomor tak dikenal. Dugaanku kuat bahwa itu nomor Nindi. Tapi, dari mana dia dapat nomor ponselku?Setelah kupikir-pikir, tak akan kubalas pesan tersebut. Jika kuladeni juga percuma. Lebih baik kuabaikan saja. Kemudian, aku berganti pakaian dan sedikit membersihkan diri. Setelah itu, kubaringkan badan sejenak seraya melepas penat. Tak lama beristirahat, suara azan Isya berkumandang. Akhirnya, aku bangun dan menunaikan salat empat rakaat.Selepas salat dan baru melepas mukena, pintu seketika terbuka. Tampak Dewa menyembul dan berjalan masuk kamar. Wajahnya kuperhatikan sangat kusut. Cara berjalannya pun seperti tak bertenaga.Usai melipat mukena, kudekati Dewa. Saatnya kutanyakan dari mana Nindi mengetahui nomor
Tak berselang lama Dewa datang. Karena tak ingin kembali berdebat dengannya, aku memilih berbaring sambil berusaha memejamkan mata. ***Ketika mataku terbuka, kulihat ke arah sofa. Dewa telah tak berada di sana. Entah ke mana dia pergi. Selimut yang dia pakai pun sudah terlipat rapi. Ah, mungkin dia ke kamar mandi.Namun, cukup lama aku menunggu, sosok Dewa tak ada keluar dari kamar mandi. Setelah kucek, suamiku itu tak ada di dalam. Ke mana dia? Aku segera keluar dan menuju ke dapur. Sosok Dewa tetap tak kulihat di rumah yang besar ini. Kebetulan ada Bik Marni yang sedang membersihkan peralatan masak. Segera kutanyakan pada beliau, barangkali mengetahui keberadaan Dewa."Bik, liat Dewa gak? Aku bangun-bangun, kok gak liat dia."Bik Marni sejenak menoleh ke arahku, tapi tangannya tetap sibuk memegang panci yang hendak dia letakkan ke dalam lemari piring. "Tadi Bibik liat Den Dewa keluar pake mobil, Non."Aku mengernyit. Tidak biasanya Dewa pergi sepagi ini. Padahal, masa cutinya bel
"Tau lah. Kan ada mata-mataku. Emangnya kamu apa? Mata-matain Nindi malah ketahuan. Gak profesional," jawab Dewa seraya mengejekku.Aku hanya diam sambil mencebik. Dalam situasi seperti ini masih sempat-sempatnya mencelaku. Bukan Dewa namanya jika tidak membuatku kesal."Aku gak nyangka aja Papi bisa ngelakuin ini." Dewa kembali melanjutkan ucapannya seraya menghela napas panjang."Namanya manusia itu tempatnya khilaf. Kayak kamu gak kayak gitu aja. Udah nikah masih berhubungan sama Nindi," sengitku yang membuat pandangan Dewa seketika mengarah padaku.Di waktu yang bersamaan, suara deringan ponsel Dewa mengalihkan perhatian kami. Lelaki berwajah tegas itu langsung menerima panggilan tersebut."Apa? Mau ambil mobil?" Dewa sangat terkejut ketika menerima telepon barusan. Entah telepon dari siapa. Aku hanya menguping sambil berusaha menebak-nebak si penelepon. Kemungkinan teman bisnisnya."Gak, gak bisa. Itu bukan urusanku. Minta aja sama Nindi," lanjut Dewa lagi masih menempelkan pons
"Sampe waktunya tiba. Pokoknya aku tetap gak mau lanjutin pernikahan ini." Dewa mengacungkan jari telunjuknya ke hadapanku.Aku tak bisa berkata-kata. Lelehan bening yang sempat mengucur segera kuhapus. Percuma menangisi semua ini, tak akan bisa mengubah keadaan. Lebih baik aku pasrah seraya berdoa. Apa pun yang terjadi yakin dan percaya pasti yang terbaik dari Tuhan. Aku juga tak ingin terkesan seperti mengemis cinta."Oke kalau begitu. Aku ikuti maumu, tapi sebelum kita berpisah izinkan aku memperlakukanmu selayaknya seorang suami.""Terserah, tapi jangan harap aku mau nyentuh kamu dan bisa mencintaimu. Gak akan!"***Beberapa jam setelah kejadian tadi, Dewa tak banyak bicara. Bahkan, ketika bertemu Mami dan Papi pun dia hanya diam. Ya, mungkin dia belum bisa menerima kenyataan hidupnya. Namun, untuk masalahnya dengan Nindi sepertinya kedua orang tua Dewa tak mengetahui."Kamu kenapa diam aja?" Mami yang membuka obrolan ketika kami berempat duduk di ruang makan."Apa Papi udah gak d
"Kok, kamu ngomongnya kayak gitu?" Gantian Mami yang seolah terkejut dengan ucapan Dewa barusan.Dewa pun seketika salah tingkah. Dia sedikit canggung dan berusaha menutupi rasa keterkejutannya tadi. Sepertinya dia baru sadar."Harusnya kamu bersyukur bisa nikah sama Furi," lanjut Mami lagi."I-iya, Mi. Aku sangat bersyukur, kok. Tapi, kan kita perlu waspada apalagi zaman sekarang banyak yang berpura-pura baik." Dewa masih berusaha mempengaruhi maminya.Spontan aku nyeletuk, "Iya, kayak yang ngurus bisnismu. Diam-diam kabur."Dewa langsung melirikku sinis. "Namanya juga musibah, gak ada yang tau. Emangnya aku mau?""Eh, ngomong-ngomong siapa sih orang yang udah kamu percaya buat ngurus showroom-mu itu?" Mami kembali melontarkan pertanyaan.Dewa seketika mengalihkan pembicaraan, lalu bangkit dan pamitan pergi. Aku tahu, dia seperti itu agar maminya tidak bertanya lebih jauh tentang bisnisnya itu. Sepertinya Mami benar-benar tidak tahu bahwa Dewa masih berhubungan dengan Nindi.Setelah
"Mau ke mana, Non? Kenapa gak nyuruh Mamang yang anter aja? Papi juga gak ke kantor."Seketika aku menoleh. "Gak papa, Mang. Aku cuma mau ke rumah Mama aja, kok.""Ya udah, Non. Hati-hati."Aku kembali berjalan keluar dan langsung masuk kendaraan. Setelah itu, mobil sedan berwarna biru itu membawaku melesat menuju tempat tujuan.Setibanya di kantor Papa, aku langsung menuju ruangan beliau. Namun, lelaki yang telah membesarkanku itu tidak berada di ruangan. Setelah menunggu cukup lama, beliau akhirnya datang."Wah, datang kok gak bilang-bilang dulu. Ada apa, Nak?" ucap beliau begitu mengetahui kedatanganku."Pa, aku mau nanya sesuatu."Papa seketika memasang wajah penasaran. "Mau nanya apa?""Apa benar Papa yang punya saham terbesar di kantor ini?"Wajah Papa mendadak berubah. "Kamu tau dari mana?""Mami sama Papi. Kenapa Papa ngelakuin itu semua, Pa? Aku kira selama ini Papa karyawan biasa di sini yang dipercaya sama Papi. Kenapa juga Papa gak pernah cerita sama kami tentang bisnis Pa
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol