"Kamu niat pergi gak? Kalau mau asyik teleponan, ya mending tinggal aja." Dewa berbicara, tapi arah matanya tertuju pada layar ponselku."Kamu ngobrol sama cowok?" lanjutnya sambil memandangku lekat."Kenapa? Kamu cemburu?" Aku membalikkan pertanyaannya. Kemudian, kuambil kembali ponselku."Jangan GR. Aku gak bakal cemburu sama kamu." Dewa langsung beranjak menuju mobil dan segera masuk kendaraan tersebut.Sejenak aku mematung karena melihat Dewa masuk mobil tersebut. Biasanya kami diantar sopir, kenapa sekarang dia yang menyetir sendiri?"Kenapa diam di situ? Gak mau naik?" Dewa langsung menyalakan mesin mobil.Gegas aku naik dan duduk tepat di sampingnya. Kemudian, kuperbaiki posisi duduk sambil memangku tas kecil. "Kenapa kamu yang nyetir sendiri? Emang gak ada sopirnya?""Kenapa? Kamu ragu kalau aku yang nyetir? Tenang aja, aku gak bakal bawa kamu nyasar." Dewa menjawab sambil fokus melajukan mobil. Kemudian, dia mengambil ponsel yang diletakkan di dashboard.Seketika aku mendengk
"Siap, Ibu. Terus, kapan mau pemotretannya, Bu? Maksudnya mumpung kami ada di sini." Akhirnya Dewa ikut menyetujui. Kemungkinan itu hanya berpura-pura."Oke, Om. Sekarang boleh? Daripada saya harus bayar selebgram, ini kan ada tantenya. Jegeg." Bu Danton terus mengelus-elus pundak.Aku hanya mematung. Kulihat ke arah Dewa dia tampak sangat kesal, tapi berpura-berpura tersenyum di depan dantonnya. Kemudian, Bu Danton memanggil salah satu karyawannya. Mereka datang dengan membawa kamera. Setelahnya, kami melakukan pemotretan."Wah, Tante kayak model. Katanya Om tadi gak ada bakat jadi model? Ini namanya mah bakat terpendam, Om?" Bu Danton melirik ke arah Dewa."Oh, siap, Bu. Kayaknya seperti itu, Bu," jawab Dewa pelan.Aku hanya tertawa dalam hati melihat tingkah Dewa yang sangat lucu. Dia belum tahu siapa aku. Wanita yang dia hina dan hendak dia buang, kuyakin suatu saat dia akan menyesali semuanya.Usai pemotretan, kami kembali duduk bersama dan berbincang lagi. Tampak Dewa sudah tak
"Kamu udah pesan makan?" tanya Dewa.Aku mengangguk. "Udah. Kalian juga mau makan?" "Ya iyalah, emangnya kamu aja yang laper? Aku juga laper lah, apalagi habis belanja tadi. Yang, kakiku pegel banget, nih." Nindi bergelayut manja di lengan Dewa.Dewa menoleh ke Nindi. "Nanti kamu ke spa aja biar enakan badanmu.""Aku gak mau, Yang. Aku maunya kamu yang pijitin." Nindi masih bermanja-manja dengan suamiku.Melihat tingkahnya, rasanya aku ingin menimpuknya dengan tempat tisu di hadapanku ini. Tapi, itu semua tak akan menyelesaikan masalah. Justru Dewa akan ilfeel padaku. Satu-satunya cara melenyapkan wanita tak tahu diri itu, ya secara halus.Dewa langsung memesan makanan. Tak lama, pesananku datang. Tanpa memedulikan mereka aku segera melahap menu di hadapanku itu.Setelah makananku habis, pesanan Dewa dan Nindi datang. Karena tak tahan melihat kemesraan mereka, aku beralasan ke toilet karena berada di sini hanya seperti obat nyamuk. Kebetulan juga aku ingin buang air kecil, sejak tadi
"Kamu kenapa, sih, Sayang? Tiba-tiba, kok malah deketin perempuan kampungan itu?" protes Nindi kesal.Dewa sontak meletakkan jari telunjuk di bibirnya seraya memberi kode agar Nindi tak bersuara. Wanita itu hanya melenguh dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain."Angkat gak ini?" Aku masih menimang ponsel seraya memandangi layar yang menyala karena panggilan dari Mami."Ngapain deket-deket aku? Kamu takut? Sana, duduk sama pacarmu aja," lanjutku sambil mendorong tubuh Dewa.Terpaksa lelaki berwajah tegas itu menuruti permintaanku dan kembali ke tempatnya semula. Mukanya tampak kusut. Sepertinya dia kesal dengan ucapanku. Namun, aku tak peduli. Segera kuusap tombol hijau ke atas dan panggilan dari Mami otomatis tersambung."Hai, Mami," sapaku sambil tersenyum lebar.Tampak Mami di seberang mengangkat tangannya balas menyapaku. Beliau juga seperti sedang memegang sesuatu."Mami lagi ngapain?" Mataku seketika mengarah pada Dewa dan Nindi.Suamiku itu tampak diam seperti kucing tersir
Akhirnya, kuborong semua dagangan kakek tua tersebut. Seketika kulihat binar di matanya. Sepertinya beliau senang karena dagangannya tak tersisa."Makasih, Nak. Semoga rezekinya lancar." Beliau berbicara seraya mendoakanku, lalu tangannya cekatan memasukkan kerupuk dan kacang rebus ke dalam kantong plastik berwarna hitam yang sudah sedikit lusuh. Sepertinya plastik tersebut bukan plastik baru. Tak mengapa."Aamiin. Sama-sama, Pak," jawabku sambil menerima plastik tersebut, lalu kembali ke tempat Dewa dan Nindi berdiri.Setelah itu, kami menuju parkiran dan segera meluncur ke Monkey Forest. Setibanya di sana, tempatnya sudah sepi. Tak ada satu pun pengunjung yang datang.Setelah membayar tiket masuk, kami bertiga masuk ke kebun. Kulihat banyak monyet berkeliaran.Aku sangat menikmati suasana yang sepi dan menenangkan itu sambil melempar kacang rebus yang kubeli tadi. Sementara kudengar suara jeritan Nindi yang ketakutan melihat monyet. Selama berjalan mengelilingi kebun binatang, wanit
"Eh, iya. Tapi ini udah bener kok, nanti ini tembus pertigaan yang mau ke resort itu." Dewa kembali menimpali."Sayang, tapi ini gak ada rumah sama sekali. Aku takut, Sayang." Tampak Nindi meremas tangan Dewa."Halah, kota sekecil ini gak mungkin kita nyasar," timpal Dewa percaya diri.Aku sudah pasrah. Kusandarkan badan ke jok. Perasaanku mengatakan bahwa jalan yang diambil Dewa itu salah. Semakin jauh kami tak mendapati perumahan. Kami kembali melewati daerah persawahan yang tak ada jaringan. Ah, sial."Wa, tapi ini udah magrib. Masa kita muter-muter di jalan aja? Harusnya kita udah nyampe karena jarak dari Monkey Forest ke resort itu paling lama sekitar satu jam. Tapi, kita udah berjam-jam gak nyampe-nyampe," protesku lagi.Tampak Dewa memegangi kepalanya. Sepertinya dia mulai sadar. Namun, dia tak mau menunjukkan. Dia masih saja kekeh jalan yang dia ambil itu benar.Hari makin petang, tapi kami masih di perjalanan. Beberapa saat kemudian, kulihat di ujung sana ada penerangan yang
Nindi balik menatapku tajam. "Kamu kenapa begitu berharap sama Dewa? Padahal kamu udah tau kalau dia gak cinta sama kamu?"Mendengar ucapan Nindi, sedikit kuhela napas berat. "Aku bukan berharap, tapi mencoba menjalani takdir. Selain itu, aku juga gak mau main-main dalam pernikahan. Segala sesuatu yang telah dipersatukan oleh Tuhan, gak akan bisa dipisahkan oleh manusia."Wanita itu malah mencebik. "Tapi, kamu gak akan bisa miliki Dewa. Dewa itu milikku. Kalian hanya tinggal nunggu waktu aja."Aku balik menghadap ke arah Nindi. "Dengerin aku. Kamu itu harusnya bisa move on. Kita ini sama-sama perempuan. Seandainya kamu di posisiku gimana? Terlepas dari perjodohan, Dewa itu statusnya udah suami orang.""Masa bodoh. Aku sama Dewa itu saling mencintai. Kamu yang harusnya sadar diri udah hancurin kebahagiaan kami." Nindi bangkit seraya melipat tangannya di dada."Kita liat aja nanti," balasku masygul.Kulihat dari tatapannya, wanita itu benar-benar telah dipenuhi amarah. Namun, aku masih
"Terserah kamu. Intinya kamu gak bakal bisa misahin aku dan Nindi." Dewa langsung berlalu menuju kamar mandi.Di sela-sela Dewa ke toilet, aku membuka hasil screenshoot foto Nindi di Instagram. Akan kuperlihatkan foto tangan tersebut pada Dewa. Aku sangat yakin bahwa tangan lelaki yang memegang Nindi itu bukanlah suamiku.Saat Dewa keluar dari kamar mandi, aku telah bersiap-siap. Sayangnya, lelaki berwajah tegas itu tidak menghampiriku. Dia malah melenggang keluar kamar. Ah, gagal.***Ketika aku asyik menonton siaran televisi, Dewa kembali. Dia masuk kamar dengan mimik tak biasa. Seperti ada gurat kecewa di wajah tampannya."Kenapa?" tanyaku basa-basi."Bukan urusanmu." Dewa masih enggan membuka mulut.Aku tak menanggapinya dan melanjutkan menonton televisi. Namun, ide seketika menancap di otak. Kusuruh Dewa duduk di dekatku. Mungkin aku tak bisa menunjukkan bukti rekaman suara Nindi saat di toilet, tapi aku bisa menunjukkan bukti yang lainnya."Kamu mau apa?" tanyanya dengan wajah p
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol