"Yura! Ngangetin aja ih." Evelyn berlalu ke meja rias dengan wajah kesal, sementara Yura memasang wajah tanpa dosa dan duduk di bibir ranjang Evelyn. Dari dulu ia memang sering ke rumah sahabatnya, bahkan saking seringnya, Monica sudah menganggap Yura seperti putrinya sendiri. "Ye, kesel ya? Maaf, deh." "Tahu ah." Yura mendekati laptop dan melihat tontonan Evelyn yang belum selesai. Selera mereka berdua beda, jika Evelyn suka drama Korea romantis, lain halnya dengan Yura yang lebih tertarik dengan film yang bercerita tentang detektif, dan suka memecahkan misteri. Padahal kehidupannya berjalan normal, tidak serumit keluarga Evelyn yang menyimpan banyak rahasia dan catatan hitam di dalamnya. "Ngapain ke sini?" "Gabut sendirian di rumah, makannya aku ke sini. Soalnya kalau ke tempat lain, ngga dibolehin sama papa, di rumah juga ngga ada orang, cuma bibi." Berbeda dengan Evelyn yang mempunyai banyak saudara, Yura adalah anak tunggal dan pewaris satu-satunya di keluarga, tapi ia
“Monica, ada panggilan di kamar 310.”“Madam, sepertinya aku sedang tidak ingin melayani siapa pun malam ini,” balasnya sembari mematikan rokok. Wanita dewasa dengan dandanan glamor itu membuang napas berat, mengambil ponsel dan berbicara beberapa kata sebelum akhirnya kembali fokus pada Monica. Gadis cantik kesayangan rumah bordilnya itu hanya terdiam sembari menunggu kelanjutan dari keputusan akhir Madam.“Aku sudah membuat tawaran, tapi pelanggan di kamar itu hanya menginginkan dirimu,” ujarnya membujuk Monica. Sementara gadis itu masih bungkam, badannya seperti remuk, suasana hati yang kacau membuatnya terlalu malas untuk bertempur di atas ranjang seperti biasa.“Tolong pikiran lagi, Monica! Dia berani membayar mahal atas dirimu. Tolong jangan sia-siakan kesempatan ini!”Ternyata benar, seistimewa apa pun perlakuan Madam padanya, tetap saja kalah jika dibandingkan dengan uang, rupiah memiliki tempat tersendiri di dalam diri Madam, bukankah harusnya ia juga sadar bahwa keberadaan
“Saya ingin membelinya!”Madam yang tadi sedang sibuk menghitung rupiah mendadak terdiam, menatap bergantian ke arah Monica dan Nathan. Wajah tampan pria itu terlihat dingin, tanpa basa-basi melempar beberapa gepok uang ke atas meja, semakin membuat mata Madam terbelalak. Luar biasa pesona Monica, pria tampan seperti Nathan bisa bertekuk lutut di bawah pesonanya, pikir Madam.“Tuan, tolong baca peraturan yang sudah tertera di sini!” Madam memberikan map hijau ke arah Nathan.“Di sini sudah tertera keputusan mutlak, bahwa semua wanita yang ada di sini tak bisa dibeli, jika tuan masih menginginkannya tidak masalah, bukankah tuan bisa kembali ke tempat ini kapan saja?”Nathan masih menatap datar, ia tak tertarik dengan peraturan sampah yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan berani, tangan kekarnya merobek kertas itu, membuat semua yang ada di sana begitu terkejut. Tatapan dinginnya seperti hendak menerkam Madam, ia benci penolakan, ia tak menyukai protes dalam bentuk apa pun.“Hei! Apa
“Jadi, kapan kita menikah?”Dua pasang kaki beriringan masuk, bahkan sebelum menyentuh sofa, pertanyaan logis langsung terucap dari bibir Monica. Nathan menahan senyum, mengira jika Monica sebenarnya terlalu terburu-buru karena telah melihat kekayaannya yang terpampang jelas sekarang.“Kau sangat tidak sabaran. Sepertinya setiap wanita pasti akan silau dengan harta, jika tadinya kau menolak dengan tegas, sekarang kau justru terdengar mendesakku untuk segera menikahimu.”Monica menatap Nathan yang menurutnya terlalu percaya diri, senyum miring terlihat menjengkelkan buat Nathan, terkesan menghina dan meremehkan.“Rasa percaya dirimu cukup bagus, tapi aku tak tertarik. Tujuan awal kau membawaku ke sini kan untuk menikah, jika hanya ingin bermain-main, kau salah memilih lawan. Dan satu lagi, apa keuntungannya setelah aku menikah denganmu nanti?”Nathan sedikit takjub dengan cara berpikir Monica, tidak mudah diperdaya padahal ia banyak menghabiskan waktu di tempat liar yang minim pendidik
Di depan ruangan banyak orang yang menunggu dengan gelisah. Suasana benar-benar genting, sampai akhirnya semua tatapan tertuju pada Monica dan Nathan yang baru saja tiba.“Kak, bagaimana keadaan ibu?” tanya Nathan getir. Seorang pria yang jauh lebih tua darinya itu memandang dan berusaha menahan rasa sedihnya sendiri.“Tenanglah! Kita semua masih menunggu keterangan dokter sekarang,” balasnya dengan satu tangan yang menepuk bahu Nathan perlahan. Monica kini terlihat lebih santai, meski sedikit gelisah, sementara dua wanita yang tak jauh darinya malah menatap sinis.“Arini, kau sudah benar-benar sembuh ternyata?”Nathan menatap istrinya yang kebingungan, menggenggam jemari lembutnya sebelum tersenyum ke arah dua wanita itu.“Tapi baru kemarin aku melihatmu terbaring sakit seperti orang mati. Bukankah terlalu cepat sampai kau bisa berdiri di hadapan kami semua sekarang?” Ambar membuatnya sedikit takut, bagaimana jika Monica tahu banyak tentang rahasianya.“Kak Ambar, tolong fokus pada k
“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting. “Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela.Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga. “Tetap di sini!” perintah Nathan. Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar.“Ng
Jemarinya bergerak, disusul netra yang perlahan terbuka memindai sekeliling, ruangan serba putih ia lihat lagi setelah menjadi istri Nathan. Bodohnya mengapa terlihat lemah di hadapan pria angkuh seperti Nathan, harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.Bayangan Nathan membentaknya harusnya adalah hal sepele, hanya saja kenapa wajah Budi yang melintas di hadapannya, bedanya Nathan tak membawa serta cambuk, atau mungkin belum. Itu yang membuatnya tak ingin mengenal lelaki lebih jauh, atau nasibnya akan memburuk di tangan laki-laki. ‘Aku yakin pasti ada seseorang selain dirinya di tempat itu,’ batinnya. Untuk melihat keadaan di luar saja ia tak bisa, jendela yang tertutup gorden itu menghalangi pandangannya. Perlahan ia bangkit, mencabut selang yang menempel di punggung tangan, lagi pula dirinya tak sakit keras.Kedua tangan menyingkap gorden, ternyata langit sudah gelap. Baru saja berdiri, suara bariton Nathan terdengar dari belakang. “Kau sudah sadar?” Sudut bibir Monica teran
Kolam belakang rumah menjadi tempat favoritnya di pagi ini, entah karena kelelahan tapi semua badannya terasa remuk, membuat tidur malamnya tenang tanpa hambatan. Secangkir kopi panas yang ia buat sendiri itu menemani. Sumpah, rasanya ia belum pernah hidup sesantai ini di rumah sendiri. Sepasang kaki jenjang menjuntai ke dalam air, ingin berenang tapi terlalu takut tenggelam. Ia ingat, terakhir berenang pun hanya ketika masih berusia 8 tahun, di sungai bersama teman sebayanya, meski berakhir dengan bekas rotan di betis mungilnya karena nekat main basah-basahan.Kehadiran Nathan ternyata mengubah hidupnya menjadi lebih baik, meski terkadang pria itu juga yang membangkitkan traumanya. Benda pipih ia arahkan pada kaki yang menjuntai indah ke dalam air jernih yang sedikit kebiruan, karena pantulan keramiknya, iseng mengunggahnya ke sosial media untuk pertama kalinya.Tiba-tiba satu pesan masuk di akunnya. [Kaki yang indah, pasti wajahnya juga tak kalah jelita.]Monica bergidik geli. Apa-
"Yura! Ngangetin aja ih." Evelyn berlalu ke meja rias dengan wajah kesal, sementara Yura memasang wajah tanpa dosa dan duduk di bibir ranjang Evelyn. Dari dulu ia memang sering ke rumah sahabatnya, bahkan saking seringnya, Monica sudah menganggap Yura seperti putrinya sendiri. "Ye, kesel ya? Maaf, deh." "Tahu ah." Yura mendekati laptop dan melihat tontonan Evelyn yang belum selesai. Selera mereka berdua beda, jika Evelyn suka drama Korea romantis, lain halnya dengan Yura yang lebih tertarik dengan film yang bercerita tentang detektif, dan suka memecahkan misteri. Padahal kehidupannya berjalan normal, tidak serumit keluarga Evelyn yang menyimpan banyak rahasia dan catatan hitam di dalamnya. "Ngapain ke sini?" "Gabut sendirian di rumah, makannya aku ke sini. Soalnya kalau ke tempat lain, ngga dibolehin sama papa, di rumah juga ngga ada orang, cuma bibi." Berbeda dengan Evelyn yang mempunyai banyak saudara, Yura adalah anak tunggal dan pewaris satu-satunya di keluarga, tapi ia
"Yura, di mana Evelyn?"Pemuda tampan itu bertanya pada Yura, yang baru saja akan masuk ke dalam mobil jemputannya. "Evelyn baru saja pulang dengan taksi," sahutnya jelas.Pemuda itu terlihat khawatir, tidak biasanya Evelyn bersikap begini, apa lagi pulang tanpa merengek minta dijemput. Edgard langsung saja bergegas pergi untuk menyusul taksi yang dimaksud Yura, tapi rupanya taksi itu sudah cukup jauh.Yura tahu, Evelyn pasti sedang menjalankan aksi mogok bicara dan menolak untuk bertemu dua kakaknya, karena potret yang dikirim Allea, terlihat sepele, tapi Evelyn adalah tipe pencemburu, ia tak mau kakak-kakaknya fokus pada perempuan lain selain dirinya.Itu juga yang membuat Yura membuang perasaannya pada Edgard, ia takut kedekatannya dengan Edgard, malah membuat Evelyn cemburu, lalu cintanya akan bertepuk sebelah tangan seperti salah satu lagu musisi band lama."Ayo jalan, Pak!" titah Yura pada sopir pribadinya.Yura juga bukan dari kalangan biasa, ayahnya adalah salah satu mitra
"Dengarkan instruksi dengan baik! Satu orang yang berisik, semua kena sanksi." Pemuda yang memakai jas almamater kampus itu terus berkeliling dari satu barisan ke barisan yang lain. Ia memperhatikan semua mahasiswa dan mahasiswi baru yang berbaris rapi, memakai hiasan kepala yang unik. Salah satu senior wanita menatap sinis pada Evelyn yang sedari tadi diam, ia menyadari Evelyn berbeda dari yang lain, selain cantik, bibirnya merah muda segar, juga pipi yang merona, bulu mata melentik indah. "Heh, kamu!" Evelyn menoleh ke sisi kiri kanan mencari orang yang dimaksud, tapi tatapan senior wanita itu terpaku padanya. Ia menghampiri Evelyn dengan raut tak suka. "Kamu dandan ya?" "Tidak, Kak." "Pembohong! Kamu ke kampus buat godain cowok-cowok di sini." Ia bersikeras mengusap pipi dan bibir Evelyn, tapi tidak ada sedikit pun yang membekas, bahkan bulu mata Evelyn juga diperiksa, ia menuduh Evelyn memakai maskara atau sulam bulu mata, ternyata semua asli. Beberapa orang menatapnya s
"Iya, sekarang aku sudah di bandara. Jangan khawatir, Adam!" Pemuda tampan memakai jas resmi itu melebarkan langkahnya, ponsel ia taruh di telinga, senyum tipis terukir saat berbicara dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Beberapa orang berlalu lalang, mereka juga sepertinya tengah menjemput keluarga, atau bahkan ada yang menunggu penerbangan selanjutnya. [Kau yakin masih bisa mengenalinya?] "Tentu saja." Ia terus berjalan, hingga akhirnya secara tak sadar menabrak seorang wanita yang tadinya sibuk dengan tablet di tangan, wanita berkemeja, dan memakai jeans sedikit ketat itu sedikit kesulitan memungut buku dan juga tabletnya yang terjatuh. "Ini yang membuatku benci dengan bandara, selalu ada kejadian serupa." Wanita itu terdengar menggerutu, sesekali melirik tajam ke arah pemuda yang tampak tidak peka sama sekali. Membantu saja tidak. "Orang kaya sama saja. Sombong!" umpatnya bergegas pergi. "Eh, tunggu!" Wanita itu tak menggubris dan terus pergi dengan umpata
Salah satu anak buah Ambar masuk dengan tergesa, pria itu ngos-ngosan dan ingin menjelaskan semuanya pada Ambar, bahwa Sean berhasil menerobos masuk dan sudah melumpuhkan anak buahnya yang lain. Tapi sebelum itu terjadi, suara pistol mengejutkan mereka,pria itu tertembak sebelum bicara."Sialan!"Ambar langsung menunduk mencari tempat aman, ia tak peduli jika nanti Jenni yang akan tertembak, tak peduli jika wanita yang diikat menggantung itu mati, yang penting ia selamat, berteriak memanggil bawahannya pun sulit, karena memang semua sudah dibereskan oleh Sean.Sean masuk dengan gagah, berjalan pelan dan menodongkan senjata ke arah Ambar yang kini menatap sang ayah."Ayah?"Sean tersenyum miring."Jika tidak ingat kau adalah darah dagingku, mungkin satu peluru ini sudah menembus kepalamu. Bangun!"Dengan takut-takut Ambar berdiri, ia mengangkat kedua tangan seolah menyerahkan diri. Sean mendorong tubuhnya dengan senjata, memerintahkannya untuk duduk di kursi, setelahnya ia mengarahkan
Kedua pria berbeda usia itu duduk saling berhadapan sat sama lain. Jika Edward menatapnya dengan kilat amarah, Sean malah menatapnya dengan bangga. Dari sekian banyak usahanya bersama William, ternyata yang bisa memecahkan masalah besar ini adalah Edward, cucunya yang paling cerdas dalam hal teknologi. "William, tinggalkan kami sebentar!" "Baik, Ayah." William bergegas pergi, termasuk Edgard sendiri. Kali ini Sean benar-benar ingin berbicara empat mata bersama Edward. "Mengapa mereka harus pergi? Agar tak tahu kebusukan mu, 'kan?" Sean tak ambil pusing. Ia menatap lurus ke depan, tatapan tajam Edward tak membuatnya gentar, ia seperti melihat dirinya sendiri dari sorot mata ini. "Aku akan memberitahumu kebenarannya, tapi berjanjilah untuk tidak menyalahkan siapa pun setelah mendengar penjelasanku. Siapa pun yang ada di dalam jawaban atas pertanyaanmu, kau tidak berhak menyalahkan atau mengorek informasi selanjutnya, karena ini masa lalu yang sudah ditutup selama puluha
"Apa yang terjadi dengan mereka tadi?" William kini menginterogasi sopirnya dengan ekspresi marah, semula ia berpikir jika dua anak itu berlari entah ke mana karena tak tahan dikekang. Tapi kondisi keduanya yang lemas, membuat William berpikir ulang tentang prasangka buruknya. "Maaf, Pak. Saya juga tidak mengerti. Tadi saya tak sadarkan diri, dan setelah bangun malah melihat dua tuan muda sudah terikat." "Kembali ke tempatmu sana!" William menatap dua keponakannya yang tak sadarkan diri, lantas menyuruh dua orang pria untuk membawa mereka ke dalam. Tapi, sebelum itu terjadi, Edward lebih dulu terbangun dan terbatuk-batuk. "Edward, kau tidak apa-apa?" tanya William panik. Habis sudah ia di tangan Monica, jika Monica tahu anaknya dalam bahaya, padahal ada dalam pengawasan William. "Hanya sedikit pusing, Paman." Edward memijat pelipisnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Aku, tidak ingat. Semua terjadi begitu cepat!" William langsung menyuruh orang untuk membopong Edward. Pr
"Kenapa anting ini rasanya familiar?"Sean dan William tengah berada di markas rahasia, keduanya ingin mengungkap sendiri pelaku yang hampir membuat nyawa Monica tiada. Anting itu terus saja Sean perhatikan, ia merasa tidak asing dengan barang milik wanita ini, seperti pernah melihatnya di telinga seseorang tapi siapa.William juga ikut memperhatikan, tapi ia sama sekali tidak tahu anting milik siapa itu. "Ayah, apa pernah melihat anting ini sebelumnya?"Sean mengangguk mantap, dan kini ia tengah memaksa otaknya untuk berpikir keras mencari jawaban. Sean memang jarang berbicara, ia lebih banyak bertindak dan menjadi salah satu orang paling teliti, hanya saja nasib buruk membawanya menjadi suami Yuan.Wanita itu benar-benar membuatnya tak habis pikir, bagaimana bisa mendiang ayahnya dulu percaya jika Yuan adalah jodohnya. Lupakan sejenak tentang Yuan, ia kemudian memilih untuk mengambil sebotol wine dari lemari pendingin, menuangkannya pada gelas kecil, dan menenggaknya perlahan. Bi
Sudah tiga hari Monica tak sadarkan diri, ia sepertinya lebih nyaman memejamkan mata dan sukses membuat Nathan gelisah. Pria itu bahkan beranjak dari tempatnya dalam waktu yang lama saja enggan. Beruntung peluru berhasil dikeluarkan, pendarahan juga terhenti tepat waktu, juga suatu kebetulan ada banyak stok darah yang sesuai dengan Monica di rumah sakit itu, sekarang Monica masih dalam masa pemulihan. Tapi ini sudah tiga hari, itu yang membuat Nathan khawatir jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Pria itu tak lepas dari sang istri, ia mengusap punggung tangan istrinya penuh cinta. Ketika ingin beranjak pun ia tetap memasang kamera pengawas, bahkan tak ada satu pun perawat yang ia percaya, ia terlalu merasa takut Monica terancam. "Sayang, bangun! Aku dan anak-anak merindukan dirimu. Bangun dan pukul saja aku! Aku adalah suami yang tidak berguna, aku tidak mampu melindungi mu dari bahaya. Jangan diam saja, Monica! Bangun dan pukul aku!" Netra tajamnya mengembun. Rasa cin