"Diar!" Monica terjaga, sekelilingnya hanya hutan luas, banyak kupu-kupu beterbangan dengan riang, sekawanan burung juga terbang bahkan salah satunya hinggap di kepala Monica, dan membuat wanita itu terjaga. "Diar, sini!" Monica menyapu sekeliling, tak ada siapa pun. Seingatnya ia berada di jalanan dan mengalami kecelakaan, tapi sekarang malah menatap bingung juga keheranan. "Di mana ini?" lirihnya hampir tak terdengar. Sepasang kaki melangkah, sementara suara yang memanggil dirinya tadi berusaha ia abaikan. Dari mana ia tahu nama itu. "Jangan takut, Diar! Ibu di sini." Mendengar itu Monica jadi tertarik, ia menoleh dan mencari sumber suara, tapi suara itu mendadak berhenti. "Apa aku sudah mati?" "Belum, anakku. Kau hanya tersedat, kemari, Sayang!" "Di mana kau?" "Ikutilah burung itu!" Monica menoleh ke arah kawanan burung, meski ragu tak membuatnya urung untuk tak mengekori. Monica terus melewati banyak pohon besar, rumput dan ranting berduri sepanjang jalan ia lewati.
Matanya terjaga, ruangan serba putih lagi dan bau khas rumah sakit yang membosankan, mengapa ia selalu berakhir di tempat seperti ini. Monica membuang napas berat, perban di kepala sedikit mengganggu. Ia teringat kembali mimpinya, mungkin jika ia ikut masuk bersama Arumi, dirinya pasti berakhir di dalam peti mati, entah. Derap kaki terdengar mendekat, ekor matanya menangkap keberadaan Nathan. Refleks ia berbaring membelakangi. Mengapa dunia sesempit ini, terus saja mempertemukan dirinya dengan orang yang sebenarnya tak ingin ia temui. "Maaf." Satu kata tak membuat Monica bergeming, bahkan sekedar berbicara saja ia malas. Lelah rasanya jika akan berakhir dengan perdebatan. Nathan masih senantiasa berdiri, sedikit menjaga jarak sebelum Monica melemparinya dengan semua benda yang ada di atas nakas. "Mungkin maafku tak penting. Tapi, keberadaanmu penting bagiku, Monica. Kau sejauh ini sedikit membuatku sadar akan satu hal," lanjutnya kemudian. Monica sengaja tak menghubris, toh
Beberapa hari di rumah sakit membuat Monica jenuh, Nathan langsung mengambil keputusan untuk membawa Monica pulang sebelum istrinya itu berubah pikiran. Di rumah Monica bersikap layaknya orang asing, tak ingin berbicara, dan langsung masuk ke dalam kamar, mungkin saja ia lelah, pikirnya. Sementara Nathan seperti biasa melepas rindunya dengan mengunjungi kamar Arini. "Sayang, bagaimana kabarmu hari ini? Oh iya, aku punya kabar gembira, besok dokter akan kembali untuk mengecek perkembanganmu, ku harap semua berjalan lancar dan kau segera pulih." Arini hanya mendengarkan dan mulutnya yang sering terkatup rapat. Entah, setelah berpikir panjang, ia memilih menyerah dengan suaminya, membuang cibta Nathan yang sepertinya bercabang. Arini sudah lelah, ucapan Monica ada benarnya, ia yang terlalu bodoh karena mempertahankan Nathan. Jelas pria itu belum bisa menentukan pilihan, antara dia, Monica, atau Maira. Sebaiknya ia pergi, ada Monica yang akan membantunya pergi dari sini untuk mencar
Suara langkah kaki menggema di sepanjang koridor kantor. Beberapa hari ini Monica sudah menjalani aktivitas seperti biasa sebagai asisten pribadi suaminya, tak terhitung berapa banyak karyawan yang dikeluarkan dengan cara tidak terhormat karena sikap mereka yang ceroboh. Yuan benar-benar tak ada kapoknya menyuap orang, bahkan mata-mata itu sengaja dibayar itu merayu dirinya. Ironis, mereka salah memilih lawan, bagai kucing dan tikus, tentu saja tikus akan koyak dimangsa kucing. "Coba lihat! Ini rekomendasi sampel produk baru. Menurutmu mana yang lebih menarik?" Nathan menatap Monica yang kini fokus dengan banyak pilihan di layar, ia kemudian tertuju pada gambar sebelah kiri. "Alasannya?" "Lihat warnanya yang segar seperti bunga sakura, juga desainnya yang lebih unik dari yang lain. Sekali pun ini hampir terlihat sama, tapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit berbeda dari yang lain." Nathan manggut-manggut mengerti. Ia salut dengan Monica yang bisa belajar dengan cepat. "Sekar
"Aku berangkat lebih awal." Nathan menatapnya heran di meja makan. Monica hanya menghabiskan satu roti tawar dan juga susu, seperti terburu-buru, bahkan tak ingin berangkat bersamanya seperti sebelum-sebelumnya. "Tunggu! Aku akan selesai sebentar lagi." Nathan berusaha menahan, tapi Monica sudah berlalu secepat kilat. Baru saja Nathan meraih tas kerjanya untuk menyusul Monica, suara teriakan pelayan membuatnya terkejut. "Tuan, nyonya Arini!" Mendengar nama Arini disebut, akhirnya ia abai pada Monica dan berlalu ke lantai atas. Nathan dibuat tercengang ketika melihat Arini terduduk di ranjang dan menatapnya sembari tersenyum. "Arini?" Nathan berlari mendekat dan memeluk erat istrinya penuh cinta, ia mengecup pipi dan rambut wanita itu berulang kali. Air mata jatuh di pelupuk mata, rona kebahagian terpancar begitu saja. Akhirnya usahanya tak sia-sia, Arini sudah puluh dan kembali ke kehidupannya. "Sayang, akhirnya kau sadar. Maaf jika aku selama ini melakukan banyak kesalahan,
Di bawa lampu remang-remang pasangan itu menjalin cinta yang sempat berjatak. Tak ada oagi cambukan, luka sayatan, atau tangis kesakitan. Semua berjalan sesuai keinginan.Lenguhan nikmat keluar dari bibir mungil Arini, ketika miliknya tersentuh jemari nakal milik Nathan. Pria itu benar-benar memanjakan dan ingin memuaskan dirinya. Bahkan saat menyamar menjadi Monica, ia tak merasakan hal senikmat ini sebelumnya.Jari itu bergerak cepat, mengorek keluar masuk miliknya, membuat netra hitamnya menghilang penuh kenikmatan. Suara seksi yang dikeluarkan Nathan juga tak kalah menggoda.Cukup lama jari kekarnya bermain di sana, sementara Arini hanya bisa meremas kasur untuk menahan agar desahannya tak terlalu keras."Mendesahlah sayang! Aku suka mendengarnya."Akhirnya desahan itu tak lagi ia tahan, sesuatu rasanya ingin keluar dari bawah sana, membuatnya memohon agar Nathan berhenti. Tapi pria itu lebih tahu apa yang harus ia lakukan tentunya. "Sayang, rasanya aku ingin buang air kecil."Na
"Hentikan kebohonganmu atau kau akan mati di sini!" Maira terkejut dengan reaksi yang diberikan Nathan, pria yang biasanya dengan mudah ia rayu kini mendorongnya dengan kuat. Arini yang melihat itu tertawa mengejek, kemudian menggamit lengan suaminya dengan mesra. "Kita akan terlambat jika terus meladeni dia," ujar Arini. Nathan menatap dengan kemarahan oada Maira, jelas sekali wanita itu berbohong, ia ingat saat itu dirinya bahkan tak mengeluarkan apa pun ke miliknya. "Bawa dia dan pastikan dia tak lagi mengusik keluargaku!" titah Nathan tegas. "Nathan, dengarkan aku! Kau akan menyesal karena sudah bersikap sekejam ini padaku. Nathan, Nathan!" Arini dan Nathan menghilang bersama mobilnya. Sepanjang jalan Nathan terus berusaha menjaga kestabilan emosi istrinya. Wanita itu baru saja sembuh, ia sama sekali tak ingin membuat kesalahan yang akan memperparah kondisi istrinya lagi. Sudah cukup, karena untuk mencari pengganti Arini pun sulit, saat sebelumnya Monica memutuskan p
"Jadi, saudari kembar ku ada bersama Yuan?"Budi melebarkan pupil, bagaimana bisa putrinya mengenal Yuan, sementara ia belum menceritakan semuanya."Dia wanita yang baik, saat ayah punya pemikiran untuk membuang kalian, dia datang sebagai sahabat ibumu untuk mengurus saudarimu sampai saat ini," terang Budi membuat putrinya mengerti."Baik apanya? Dia hampir membuat Arini mati. Aku yakin perempuan itu pasti punya dendam pribadi sampai mengadopsi Arini." "Berhenti menyebutnya baik! Dia wanita jahat yang selalu membuat Arini menderita. Asal ayah tahu, Saudariku koma bertahun-tahun karena ulahnya, dia dan anak-anaknya itu penjahat yang tak bisa diampuni. Jika tahu begini, sudah lama aku patahkan saja kaki Yuan."Budi semakin tak mengerti maksud putrinya. Ia menatap Monica yang sedang dikuasai amarah. Pantas saja Monica seperti merasa tidak asing ketika bersama Arini, juga bisa merasakan kesakitan yang dirasakan Arini, ternyata semua sudah terjawab."Sebentar! Ayah tidak memahami apa maks
"Mommy mau ke mana?"Suara Edward menghentikan aksinya yang sedang mengemasi pakaian ke dalam koper, setelah pulang kerja ia mengemasi beberapa barang pentingnya yang akan ia bawa ke Indonesia esok pagi.Edward masih berdiri di depan pintu kamar menunggu jawaban, sepertinya Monica akan pergi ke suatu tempat yang entah. Monica terdiam sebentar kemudian lanjut menutup kopernya, tidak banyak barang yang ia bawa, lagi pula ia tidak menginap, jika bisa ia akan segera pulang, atau jika memang harus menginap setidaknya hanya satu hari, ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan Edward dan Edgard meski sudah menyuruh orang untuk memasak dan mengurus keperluan keduanya."Mommy akan berangkat ke Indonesia, ada meeting penting dari pemilik brand yang menjadi investor di perusahaan Mommy. Oh iya, besok akan ada orang yang datang untuk mengurus kalian sementara waktu. Jangan bertengkar dengan adikmu sampai Mommy kembali!"Tangan Edwar mengepal kuat, ia seperti merasa diabaikan dan tidak didengar,
"Edgard, panggil kakakmu untuk makan malam!" Monica yang baru saja pulang kerja, telah selesai memasak makan malam untuk mereka. Ia memang tidak membiasakan diri untuk membeli makanan di luar demi kesehatan putranya. Edward sebenarnya belum tertidur, ia masih sibuk dengan isi pikiran yang tak ada habisnya. "Mommy sudah menunggu di bawah."Edward bergeming, kakinya terasa berat untuk mendekati Edgard, akhirnya mau tak mau Edgard yang menghampiri Edward dan menarik kakinya."Berhenti berpura-pura tidur! Memangnya ada masalah yang lebih rumit dari rumus kimiamu yang membuat pusing itu? Ayo turun sebelum Mommy marah!"Edward masih pada posisinya, membuat Edgard semakin kesal pada saudara kembarnya."Kau sedang memikirkan Daddy?"Pertanyaan Edgard membuat Edward bangkit merubah posisi menjadi duduk."Ternyata benar, pria dewasa yang kemarin itu adalah Daddy, ucap Edward menatap Edgard. Adiknya tidak terkejut, ia sudah menduganya dari awal kalau itu memang ayah kandung mereka.Lihat saja
Monica menjadi semakin sibuk, ia terlihat sangat fokus dengan bisnisnya yang sudah mulai dikenal banyak orang, karena keberadaan produk skin care milik Felicia.Kesibukannya yang padat, membuat kedua putranya yang memang masih membutuhkan perhatian lebih darinya malah lebih sering ditinggal sendiri, dalam waktu yang cukup lama.Mereka hanya akan bertemu di pagi hari di meja makan, lalu Monica akan pulang ketika malam hari dan tetap menyiapkan makan malam seperti biasa, mengobrol secara intens pun sudah tidak pernah dilakukan, hal itu tentu saja membuat hati kedua putranya sedih, mereka seperti kehilangan sosok ibunya.Malam menampakkan rembulan penuh, Edward duduk di balkon rumah seorang diri, tak lagi memegang komputer, atau mencari rumus-rumus kimia baru tersulit yang akan dipecahkan, pikirannya tertuju pada wajah Nathan saat mereka pertama kali bertemu.Bibirnya bungkam, membiarkan binatang malam mengambil alih lebih dulu untuk saling berbisik satu sama lain.Ia bisa melihat cinta
"Pak saya membawa kabar bahagia, akhirnya perusahaan kita diterima untuk bekerja sama dengan perusahaan milik Nyonya Monica."Nathan tentu saja tidak bisa tidak senang, akhirnya satu langkah lagi, tujuannya akan tercapai. Nathan bergegas menyuruh sekretarisnya untuk memproses pengiriman produk di perusahaan kecil Monica. Itu akan menguntungkan bagi keduanya, apalagi dengan sistem bagi hasil yang lebih menguntungkan perusahaan Monica, tentu saja i mempermudah Monica untuk memperluas perusahaan kecilnya, agar menjadi lebih dikenal, ia tak akan rugi mengeluarkan berapapun biayanya, toh ia tahu Monica bekerja untuk dua anaknya. Beberapa bulan kemudian ia mendapat kabar yang lebih membahagiakan, angka penjualan produk miliknya di sana juga tak kalah memuaskan. Tiba-tiba saja sang sekretaris masuk."Ada laporan?" selidik Nathan. Tuan William menunggu di bawah."Nathan sadar, tingkahnya ini sudah tercium oleh William. Ia tahu betul kedatangan William kali ini pasti untuk mencegahnya. J
"Periksa rambut ini!" Nathan menyerahkan dua helai rambut yang berbeda di kantong plastik kecil, sekretarisnya yang baru saja masuk pun mengambil sampel rambut tersebut. "Tunggu dan laporkan hasil labnya padaku segera!""Baik, Pak."Sang sekretaris langsung berlalu keluar dari ruangan Nathan. Ia sebenarnya memang sengaja membiarkan Monica pergi bersama dua putra kembar, yang dicurigai adalah anak-anaknya, tapi nanti setelah hasil yes itu keluar, dan ia tahu jika itu adalah anaknya, maka mau tidak mau ia harus menjemput Monica dan meminta penjelasan dari wanita itu, mengapa Monica memilih menghindar dan merahasiakan ini semua darinya.Ia kembali mengingat kejadian kemarin, dari reaksi William dan Arini, sudah pasti mereka mengetahui segalanya. "William, mengapa ia menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Jika memang itu putraku apakah salah jika aku tahu." Nathan langsung saja memainkan jemarinya pada keyboard, mencari-cari informasi tertentu terkait Monica dan kedua putranya, tap
"Kak, apa yang kau lakukan?" protes Nathan ketika dipukul beberapa kali oleh William. Ia tak peduli dan mendorong Nathan hingga menabrak mobilnya sendiri. "Cepat pergi dari sini!" titahnya tegas. Nathan mengusap darah yang menodai sudut bibirnya, kemudian menatap kesal ke arah William. Ia meludah, membuang darah yang tadi terasa asin di mulutnya. "Apa salahku? Aku hanya ingin tahu anak siapa mereka? Mengapa begitu mirip denganku?""Seseorang bisa mirip dengan siapa saja. Pergi, ini bukan urusanmu, Nathan! Kau hanya membuat Monica ketakutan."Nathan terdiam sesaat, ia memberi tatapan layaknya musuh ke arah William, berpikir jika William selalu bersikap seolah paling benar. William yang merasa tertantang bersiap untuk memukul lagi."Aku tahu, itu pasti anakku.""Tutup mulutmu, bangsat!"BUGH!Pukulan tersebut langsung dicegah Arini, ia menjerit agar Nathan dan William berhenti bertengkar. Terlebih saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian, warga desa pasti lebih mudah penasaran
"Kak, kau mau ke mana?"Sudah tujuh hari sejak pemakaman Budi, Monica dan anaknya memang menginap di desa Bunga, William sendiri yang mengambil semua barang bawaan Monica di hotel dekat rumah sakit kala itu, atas permintaan Monica sendiri.Wanita itu sedang sibuk berkemas, ia menatap Arini sekilas, kemudian lanjut mengemasi beberapa barang yang menurutnya penting."Aku akan kembali ke Amerika hari ini, pekerjaanku tak bisa ditinggal begitu saja," sahut Monica dengan tangannya yang masih sangat sibuk.Ia memasukkan beberapa produk kecantikan, tapi urung. Ia memilih untuk meninggalkan beberapa produk miliknya di meja rias Arini. Menginap beberapa hari, Monica memang menempati kamar Arini, sementara adiknya dan William menempati kamar tamu."Memangnya tak bisa bertahan sampai empat puluh hari?" tanya Arini terdengar menawarkan.Monica tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Ia mendekati Arini yang kini berpindah ke kasur."Tidak bisa, Arini. Toko kosmetik yang aku kelola cukup ramai, dan s
"Aku pikir kau tidak akan datang, tapi akhirnya kakak sudah berada di sini. Meskipun aku sedikit kesal, kenapa tidak memberitahu kami? William pasti akan menjemput kalian di bandara," cerocos Arini, ketika keduanya duduk di kursi tunggu.Monica tersenyum tipis."Tidak perlu. Memangnya aku kedutaan Indonesia yang harus dijemput?" sahut Monica berkelakar. Arini memajukan bibir bawahnya kesal."Oh iya, Kak. Apa mereka tahu?" Monica menatap penasaran."Tahu apa?" "Tentang siapa ayahnya."Monica terdiam sebentar, kemudian menggeleng cepat."Untuk apa memberitahu mereka? Lagi pula setelah mereka tahu, apa yang akan mereka dapatkan? Kau tahu kan seperti apa Nathan? Sudah, jangan bahas namanya di sini! Anak-anak akan mendengarnya nanti. Mereka kembali juga untuk bertemu ayah, bukan pria brengsek itu!" William dari tadi sibuk dengan ponselnya, di sisi kiri kanan ada Edward dan Edgard yang sedari tadi tak melunturkan senyum mereka, di layar pipih mereka berbicara bebas dengan Adam dan Allea
"Mommy, are you okay?" Kedua putranya menatap panik ke arah Monica, wanita itu memijat pelipis, rasa pusing masih terasa di kepala, tapi Monica masih berusaha tersenyum agar tak membuat anak-anaknya semakin khawatir. "Mommy tidak apa-apa, Sayang. Oh iya mengapa sepagi ini sudah pulang?" tanya Monica. "Kami tidak bisa fokus jika Mommy kenapa-kenapa." Putranya begitu peduli dengannya, padahal ia ingat sejak kecil mereka berdua tidak terlalu dimanjakan dengan kasih sayang dari Monica. "Mommy, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" selidik Edgard. "Tidak ada, Mommy hanya kelelahan," dustanya untuk ke sekian kali. "Berhentilah berbohong, Mommy! Kakek sedang sakit di Indonesia. Keputusan juga ada di tangan Mommy, akan kembali ke sana seorang diri, atau tetap berada di sini bersama kami," ujar Edward mantap. Mendengar itu Monica mengernyit heran. "Apa yang kau katakan? Bagaimana bisa Mommy meninggalkan kalian sendirian?" Edward tahu tahu Monica tidak akan pernah memb